السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Kamis, 03 Oktober 2024

Menilik Tingkatan Cinta dalam Bahasa Arab



Halimi Zuhdy

"Emangnya cinta ada tingkatannya?." Ada lah!. Cinta itu rasa. Rasa itu adalah perasaan. Perasaan itu bermacam-macam. Seperti lidah merasakan makanan, maka ada makanan yang sedang, enak dan enak banget. He. 

Demikian juga dengan cinta. Cinta biasa, cinta biasa-biasa saja, dan cinta banget. Kalau ini, ngarang saja. Lah, dalam bahasa Arab, cinta itu ada 14 tingkatan, sebagaimana dalam gambar di atas, yaitu; الهوى (Al-Hawa), الصبوة (As-Sabwa), الشغف (Asy-Syaghaf), الوجد (Al-Wajd), الكلف (Al-Kalaf), العشق (Al-‘Isyq), النجوى (An-Najwa), الشوق (Asy-Syaq), الوصب (Al-Washb), الاستكانة (Al-Istikanah), الود (Al-Wudd), الخلة (Al-Khillah), الغرام (Al-Gharam), dan الهيام (Al-Hiyam).
Sedangkan penjelasa singkatnya, dari tingkatan di atas dimulai dari kata "al-hawa", seringkali kata ini kita terjemah dengan hawa nafsu, yang arti awalnya adalah keinginan, dan mempunyai beberapa makna; cinta, nafsu birahi, kecenderungan, kegemaran, khayalan dan keinginan yang datang tiba - tiba. Maka, (1) الهوى (Al-Hawa) adalah tingkat pertama dari cinta, yang berarti mulai menyukai seseorang.

Sedangkan tingkatan (2) adalah الصبوة (As-Sabwa), yaitu tahap di mana cinta menjadi lebih mendalam dan muncul rasa saling ketertarikan antara dua orang. Juga bisa diartikan dengan "hanin", kasih sayang. (3) yaitu الشغف (Asy-Syaghaf), cinta yang menyentuh hati terdalam, di mana perasaan cinta telah memasuki relung hati. Lah, ini semakin dalam, dibandingkan dengan al hawa dan al-subwah. Dan kata saghaf ini sering digunakan sebagai pengganti kata hubb. 

Berikutnya, adalah (4) الوجد (Al-Wajd), tahap ketika cinta telah begitu mendalam, dan pikiran terus dipenuhi oleh orang yang dicintai. Wow. Kalau sudah penuh, apakah masih ada tempat lainnya?😁. Ternyata, ada tapi agak sedikit membuat perih, apa? Yaitu (5). الكلف (Al-Kalaf) perasaan cinta yang kuat, hingga menyakitkan.

Sebenarnya, ada banyak kemiripan antara satu kata dengan kata lainnya, tapi namanya kata yang berbeda, maka pasti ada maksud yang berbeda. (6) العشق (Al-‘Isyq) tahap cinta yang intens, melibatkan pengorbanan besar dan kecintaan yang mendalam. Tidak hanya cinta berjalan indah, tapi dalam keindahan terkadang ada sandingan, tapi sandungan ini bukan halangan, tapi untuk lebih hati-hati menemukan cinta. Maka, ada (7) النجوى (An-Najwa), adalah cinta yang penuh dengan kerinduan dan kesedihan karena jarak atau perpisahan.

Seringkali "rindu" dianggap berbeda dengan "cinta", apakah emang berbeda?. Lah, kata ini (8) الشوق (Asy-Syaq) adalah tahap kerinduan dan perasaan ingin bertemu dengan orang yang dicintai. Ini, juga namanya cinta. Berikutnya, (9) الوصب (Al-Washb) cinta yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, seolah-olah seperti penyakit. (10) الاستكانة (Al-Istikanah), adalah tahap di mana seseorang merasa tunduk dan patuh terhadap orang yang dicintai

Berikutnya; (11) الود (Al-Wudd) cinta yang lembut dan penuh kasih sayang, biasanya terjadi antara pasangan. Lah, ini ynag sering kita dengar dengan mawaddah, dalam samara (sakinah, mawaddah wa rahmah). (12) الخلة (Al-Khillah), tahap penyatuan cinta, di mana dua orang menjadi satu dan tidak terpisahkan. Khalil, cinta yang memenuhi celah, sampai penuh. Berikutnya adalah (13 ) الغرام (Al-Gharam), yaitu salah satu derajat cinta tertinggi, di mana cinta terus menerus dan tak terpisahkan. Dan cinta yang paling tinggi adalah (14) الهيام (Al-Hiyam), Derajat cinta tertinggi, yang mencapai tingkat kegilaan atau cinta tanpa batas. Tapi, yang jelas tidak benar-benar gila lo! 

Terus, dimana posisi kata "hubb"? Lanjut di youtube Lil Jamik

***
Marja' ; Bainunah

Malang, 03 Oktober 2024.

Uniknya Makna "Bid'ah" dalam Pemahaman Keagamaan

Asal Kata Bid'ah 

Halimi Zuhdy

Mengapa "bid'ah" selalu menarik didiskusikan? Karena kata ini bermakna "perkara baru". Namanya "hal baru, inovasi". Maka, ia selalu hangat pada setiap waktunya. Dan, ada yang memaknai "bid'ah" secara harfiah, ada yang memaknai secara "maknawiyah". Ada pula yang memaknai secara "teologis". Dan ada yang hanya ikut-ikutan tentang "bid'ah itu sesat", tanpa memahami konsep bid'ah yang sesat. Atau sebaliknya, terlalu bersemangat dengan bid'ah hasanah, sehingga lupa bahwa agama ada dalilnya (dengan batasan-batasan tertentu). 
Ada pula, yang kokoh seperti semen gersik bahwa seluruh bid'ah adalah sesat, karena tanpa mampu membaca literasi lain terkait dengan kata "bid'ah" sendiri, sehingga sekelas Imam Syafi'i dan Imam Nawawi disesatkan. Tanpa, memahami yang dimaksud dengan bid'ah mahmudah dan bid'ah madzmumah (tercela). Sehingga baginya, tidak ada bid'ah mahmudah/hasanah. 

Urusan bid'ah sebenarnya bisa lebih disederhanakan, walau ini tidak pernah sederhana, karena ancamannya adalah "neraka". Tinggal bagaimana melihat dan membaca bid'ah ini. Mau menyalahkan Nabi terkait dengan hadis bahwa "setiap bid'ah adalah sesat"?, nanti menjadi ingkarus sunnah. Lah, masalahnya bagaimana memahami kata "kullu bid'atin dhalalah, setiap sesuatu yang baru bid'ah", dan bagaimana praktiknya para sahabat Nabi dan Salaf?.  

Adanya perbedaan "bid'ah" adalah perbedaan konsep awal dari pada ulama. Contohnya, belajar ilmu tajwid atau ilmu nahwu, apakah termasuk bid'ah?. Bila dijawab, "bukan"!. Terus namanya apa?, sedangkan belajar ilmu nahwu tidak pernah ada pada masa Nabi. "Oh, ilmu nahwu bukan persoalan ibadah"!?. Katanya. Kalau belajar ilmu nahwu bukan ibadah (apalagi untuk memahami tafsir), berarti belajar ilmu nahwu adalah sia-sia dan tidak dapat pahala?!. Kalau belajar ilmu nahwu adalah bid'ah, berarti belajarnya adalah sesat. "Ia tidak seperti itu!". Terus seperti apa?

Dari sini saya melihat, bahwa perbedaan konsep bid'ah ini yang kemudian mendatangkan beberapa perbedaan. Sehingga ada yang kukuh dengan tak ada pembagian bid'ah, dan ada yang membagi bid'ah menjadi dua dan seterusnya. Karena berbeda memahami kata "bid'ah" itu sendiri. Saya tidak akan banyak mengutip "marajik", karena akan menjadi makalah atau bahkan menjadi buku, apalagi hanya menulis catatan ringan di FB atau di IG. Ya, hanya sedikit mengutip, makan bid'ah menurut beberapa ulama. Dan lebih banyak saya ambil dari alsunna.  

Secara bahasa, bid'ah adalah "sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya". 
جئت بأمر بديع أي محدث عجيب لم يعرف قبل ذلك.
 "Aku datang dengan sesuatu yang baru (badi')", yakni sesuatu yang baru dan mengagumkan yang sebelumnya tidak dikenal. 

Secara syariat, bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an maupun hadits, sebagaimana dijelaskan oleh alim lughah yang cukup terkenal, Al-Fayumi, dalam bukunya Al-Misbah al-Munir, pada kata dasar "ب د ع" (b-d-'a). Hal ini juga disebutkan oleh Muhammad Murtadha Al-Zabidi, dalam Taj al-Arus pada kata yang sama. Dalam Al-Mu'jam al-Wajiz (Jilid 1, hlm. 45) disebutkan: "Bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama atau yang lainnya, di mana seseorang memulai sesuatu tanpa contoh sebelumnya." 

Pembahasan tentang bid'ah ini tidak akan pernah selesai sampai kapan pun. Karena, memang sudah beda "pemahaman" dan "pemaknaan" yang berbeda. Apalagi sama-sama merujuk kepada ulama'nya masing-masing yang dianggap paling alim dan paling berpengaruh. 

Yang juga menjadikan sebuah perbedaan, karena perbedaan pendekatan; sosiokultural, kontektual dan teologis. Sebagian orang melihat bid'ah dari sisi sosiokultural, di mana bid'ah dalam praktik keagamaan dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, perdebatan sering muncul ketika tradisi atau kebiasaan yang baru diterapkan dalam masyarakat Muslim. Ada juga pandangan yang menekankan pentingnya memahami konteks ketika membicarakan bid'ah. Bid'ah dianggap tidak selalu negatif, terutama jika didasarkan pada perubahan zaman yang menuntut adaptasi baru dalam menjalankan syariat, selama tidak menyimpang dari pokok ajaran agama. Misalnya, penggunaan teknologi dalam penyebaran dakwah atau penyelenggaraan kegiatan ibadah yang difasilitasi dengan alat-alat modern. 

Dalam kerangka teologis, bid'ah sering dikaitkan dengan perbedaan interpretasi dan mazhab dalam Islam. Beberapa mazhab lebih ketat dalam membedakan antara apa yang dianggap sebagai sunnah dan bid'ah, sementara yang lain mungkin lebih longgar dan memberikan ruang untuk bid'ah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama agama.

Apakah masih banyak perbedaan tentang bid'ah?. Masih, dan tidak akan pernah selesai. Selain perbedaan konsep, makna, juga perbedaan praktik. Belum lagi, para ulama berbeda pendapat apakah bid'ah hanya terbatas pada masalah ibadah ataukah termasuk dalam perkara di luar ibadah. Terus, ibadah yang seperti apa, dan yang bukan ibadah seperti apa?. Ini juga masih terus tampa henti. 

Selama konsep bid'ah dan batasannya berbeda, maka akan selalu terdapat perbedaan. 

Malang, 30 Sep 2024

***
Gambar tidak membahas Bid'ah 😁 gambar dalam acara Human Resources Building bagi Asatidzah Aswaja

Senin, 30 September 2024

Pemaknaan "Silaturrahim" dalam Kajian Modern


Halimi Zuhdy

Beberapa kali mendengar Prof Muhammad Zainuddin , Rektor UIN Malang mengutip hadis Nabi Muhammad tentang silaturrahim dan dikaitkan dengan netwaking dan kolaborasi. 

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahim.”

Kemudian saya tertarik untuk mengkaji 3 kalimat; 1) ayyabsutha lahu fi rizkihi (dilapangkan rizki), 2) wa yunsa'a lahu fi atsarihi, 3) fal yashil rahimahu. 
Kalimat terakhir sebuah penekanan pada kedua manfaat besar dari silaturahim "fal yashil rahimahu, maka hendaklah bersilaturahim". Silaturahim dalam ilmu modern dapat dimaknai dengan membangun jaringan (networking), kolaborasi dan menjaga hubungan sosial.

Menariknya, lembaga atau seseorang yang mampu menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak, seperti mitra kerja, pemangku kepentingan (stakeholders), komunitas, dan lembaga lain—akan memiliki peluang lebih besar untuk berkembang. Berkembang, kalau kita tilik maka bisa memberikan pemahaman kalimat yang pertama, "ayyabsutha lahu fi rizkihi, dilapangkan rizkinya". Kerjasama lintas lembaga, kemitraan strategis, dan networking yang kuat dapat membuka banyak pintu untuk pendanaan, inovasi, dan proyek bersama yang dapat memperkuat posisi lembaga tersebut dalam dunia modern. Wow, amazing. 

Rahim, kasih sayang. Membangun jaringannya yang baik, penuh cinta, penuh dengan prinsip-prinsip saling menguntungkan (bukan hanya finansial lo, tapi keuntungan psikis, bahagia). Kalau dalam dunia bisnis dan organisasi modern, corporate social responsibility (CSR) dan kemitraan strategis dengan komunitas lokal adalah bentuk nyata dari "silaturahmi" modern. 

Dengan menjaga hubungan baik, lembaga akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk dukungan, peluang, dan reputasi yang baik di mata publik. Ini, pada akhirnya, dapat memperluas "rezeki" lembaga dalam hal pendanaan, sumber daya manusia yang berkualitas, dan peluang bisnis. Belum lagi makna rizki, yang sangat luas lo!

Dan yang menarik, dalam ilmu ekonomi (al-iqtishadiyah) dan sosiologi (ilm al-ijtima'), rezeki sering kali dihubungkan dengan peluang dan jaringan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki jaringan sosial yang luas dan kuat cenderung lebih sukses dalam bisnis, pekerjaan, dan kesempatan hidup lainnya. Jaringan sosial memungkinkan seseorang untuk mendapatkan informasi penting, peluang bisnis, dukungan emosional, dan bahkan bantuan finansial saat dibutuhkan. Masyallah.

Dalam konteks hadis ini, "ayyunsa'a fi rizkihi/diluaskan rezeki" dapat diartikan juga sebagai keuntungan dari jaringan sosial yang baik. Silaturahmi atau menjaga hubungan yang baik dengan orang lain membuka peluang untuk berkembang, baik secara finansial maupun profesional. Di dunia bisnis modern, networking adalah kunci kesuksesan. Banyak peluang muncul dari hubungan yang baik dengan rekan kerja, kolega, mitra bisnis, atau bahkan teman dan keluarga. Dengan menjaga silaturahmi, seseorang tidak hanya memperluas jangkauan sosialnya tetapi juga membuka pintu bagi rezeki yang lebih luas. (Fawaid bina' shabaka hadisah). Orang yang jarang berteman, berkumpul, bahkan lebih sering menyendiri, maka biasanya mental tidak sekuat ornag yang sering berkumpul (berkolaborasi). 

Kedua, "Wa ayyun sa' lahi firizkihi" 
(Lanjut...berikutnya, masih dalam perjalanan)😁☕

Kediri, 29 Sep 2024

Bagaimana menurut Kyai Ekonomis 😁 Abdul Wahid Alfaizin

Asal Kata Marah



Halimi Zuhdy

Kata "Amarah" berasal dari bahasa Jawa Kuno "rah", yang memiliki makna "darah; marah; berdarah", (wiktionari). Akar kata "rah" ini dapat merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dalam diri manusia, termasuk kemarahan. Dalam konteks ini, "marah" mungkin diartikan sebagai keadaan ketika esensi batin (rah) seseorang terganggu atau tergoncang, sehingga memunculkan ekspresi kemarahan dengan darah yang bergolak dan mendidik. 

Sedangkan pendapat lain, kata "amarah"berasal dari bahasa Arab "Ammarah" (أمارة), yang diartikan sebagai "tanda" atau "gejala." Kata ini berasal dari akar kata "أمر" (amr), yang berarti "perintah" atau "kehendak." Dalam konteks psikologis, amarah merujuk pada kondisi ketika seseorang dipenuhi dengan perasaan kuat yang sering kali mendorongnya untuk bertindak di bawah kendali emosi, seolah-olah diperintah oleh perasaan tersebut. Dan kata "ammarah", adalah memerintah (امر) pada hal-hal yang buruk. 

Sedangkan, marah dalam bahasa Arab, kata "الغضب" yang berarti "marah" dan memiliki asal-usul yang menarik. Berdasarkan penjelasan Ibn Jinni, "الغضب" berasal dari kata "غَضَبَة الرّأس" yang berarti kulit kepala. Artinya, emosi marah yang intens seolah-olah membuat panasnya perasaan di dalam hati naik hingga ke kulit kepala. Dari sinilah kata "غضب" berasal, mengacu pada perasaan yang menyebabkan reaksi fisik yang terlihat hingga ke kepala, seperti memerah atau tegangnya otot.
Jadi, secara bahasa, marah dalam bahasa Arab dihubungkan dengan reaksi fisik yang muncul akibat emosi yang memuncak, terutama bagaimana perasaan itu seolah-olah mengalir dari hati hingga ke kepala.

Toyyib. Terlepas dari kajian bahasa dan asalnya. Adakah marah itu baik? Apa baiknya?. 
Marah itu selalu membuat luka. Perih. Bahkan tidak sedikit yang berakhir pada penganiayaan dan pembunuhan. Marah itu bara, yang siap melahap siapa pun yang berada di sekitar api amarah. 

Gara-gara luapan amarah. Orang tua membunuh anaknya. Suami menceraikan istrinya. Anak-anak memukul orang tuanya. Saudara dihabisi. Tetangga dilukai. Marah, selalu berakhir dalam jurang penyesalan.

Amarah yang membuncah, buta segala arah, akan merusak  tanpa terarah, yang akhirnya dia hanya dapat menyesali apa yang telah berdarah. 

Gegara marah. Gegara kurang sabar. Semuanya akan berakhir dengan ttragis. Coba sebantar saja menghela nafas. Sambil menenangkan diri. Berdzikir. Atau duduk santai, sambil ngopi. Mungkin tidak akan terjadi hal-hal buruk. Tetapi, penyesalan tidak ada di awal, pintu sudah lepas, anak penuh luka. Ia hanya bisa menyesal.

La taghdab...la taghdab..walakal jannah!!!
Jangan marah, Nabi mengulang beberapa kali, maka bagimu surga.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِيْ ، قَالَ :  لَا تَغْضَبْ!!. فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ :لَا تَغْضَبْ!!!.

Ada seorang laki-laki minta wasiat kepada Nabi Shallahu alaihi wassalam : “Berilah aku wasiat ya Rasul”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].

Marah terkadang tidak mudah dikendalikan. Maka, butuh belajar untuk menahannya, dan belajar untuk bersabar. 

Apakah semua marah dilarang?! Tidak, ada beberapa marah yang diperbolehkan (lihat kajian marah)

******
Ya Allah, jauhkan kami dari marah dan amarah 🤲🤲

@sorotan

Makna dan Asal Kata "Bisyarah"


Halimi Zuhdy 

Bisyarah. Ia bukan seorang wanita, dan juga bukan seorang laki-laki. Di Indonesia, selalu dikaitkan dengan amplop, gaji, dan uang. Kalau mendengar kata "bisyarah", isinya kelihatannya tidak banyak, hanya sekitar 100-300 ribu. 😁. Biasanya diberikan pada guru diniyah, dan guru TPQ. (Ini, yang perlu diperjuangkan).😁. Dapat bisyarah berapa pun, guru TPQ dan Guru ngaji sepertinya tidak "mengeluh". 
Lah, kembali pada kata "Bisyarah". Ia tidak jelas, tapi paling ditunggu bagi orang-orang tertentu, kadang juga tidak dipedulikan bagi orang-orang tertentu. Ada dan tidaknya, sebenarnya biasa saja. 

Yuk. Lihat asal kata aslinya. Bisyarah, itu dari bahasa Arab. Dalam Al-Qur'an banyak sekali, dengan bentuk yang berbeda-beda. Asal katanya basyara, bisyarah itu kata tunggal sedangkan jamaknya bisyarat wa basyair. Artinya adalah khabarun syarr wa mufrih (kabar gembira). 

Dalam Ensiklopedia Syariah, kata بشارة termaktub sebagai "Setiap kabar yang benar dan baik yang dapat mengubah raut wajah menjadi lebih baik dan lebih indah. Seperti firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira (يبشر) kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar." (Al-Isra: 9). Dan sabda Nabi ﷺ: "Permudahlah, jangan mempersulit, berilah kabar gembira, dan jangan membuat orang lari." (HR. Bukhari: 69). (Al-jurjani).

Maka, bisyarah. Tidak harus uang, bisa juga hadiah mobil. Sepeda motor. Atau juga dianter atau dijemput lesawat jet dan dikawal polisi, benar Yai Ma'ruf Khozin . Yang penting wajah, berbunga-bunga bahagia. 

Lah, istilah "bisyarah" secara bahasa (التعريف اللغوي) adalah  kabar yang dapat mengubah raut wajah, baik itu dalam keadaan bahagia maupun sedih. Namun, secara umum kata ini digunakan dalam konteks kebaikan. Oleh karena itu, dikatakan: "Aku memberi kabar gembira kepada seseorang" (أبشرت الرجل), atau "Aku menyampaikan kabar gembira kepadanya" (بشرته), yang berarti aku memberitahunya tentang sesuatu yang menggembirakan. Istilah ini disebut demikian berasal dari kata "bisyir" yang berarti kebahagiaan, karena kabar gembira menampakkan ekspresi wajah yang ceria dan kebahagiaan seseorang. Bentuk jamak dari bisyârah adalah bisyârât dan basyâ’ir.

Pokoknya bahagia, walau banyak 😁. Eh, walau sedikit. Intinya bahagia. Kalau saya sendiri (jujurli), bisyarah (amplop) tidak pernah dilirik, mungkin pas pulang saja. 😁. Jarang dihitung. Ada dan tidak ada amplop, biasa saja. Asalkan masih ada bengsin itu hadir ke undangan. Benar kah gus Yaser Muhammad Arafat 

Untuk para dai, kalau ada ya jangan ditolak, kalau tidak mau diambil, sedekahkan lagi ke masjid atau madrasah. Kalau mau, maka tidak usah hitung-hitungan, asalkan masih rasional, ngoten geh? Gus Ahmad Husain Fahasbu

Apalagi pakek tarif. Waduh, bahaya. Kapan berjuangnya.😔. Dan menariknya, kalau bisyarah tidak cukup, atau sedikit, atau bahkan tidak diberi sama sekali oleh pengundang, maka yakinlah akan diberi ganti oleh Allah di tempat lain dan bisa berupa hal lain; keluarga bahagia, sehat, tiba-tiba dikasih umroh atau apa pun, walau tidak berharap, tapi Allah itu sangat rahim dan ghani, manyansurullah yansurkum.

Tapi, perlu dicatat dengan baik "bagi lembaga atau orang yang mengundang, harus memperhatikan yang diundang, bukankah tamu adalah raja?. Kalau da'i, ia bukan raja, tapi ia bagian dari pemberi maughidhah, minimal dihitung berapa biaya pp-nya dan mungkin kotak berkat untuk keluarganya".

***
Gambar hanya pemanis. Setelah menulis tulisan di atas tentang "Bisyarah", satu jam kemudian kok dilalah dapat bisyarah (bisyaroh), lumayan😁 bisa buat beli refrensi 📚

Siapa yang Memberi Nama Muhammad? Dan Apakah Ada nama yang sama Sebelum Kelahirannya?


Halimi Zuhdy

Sebuah nama tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia punya kisah. Ia punya sejarah. Ia adalah catatan indah dalam kehidupan manusia. Maka, jangan pernah menyepelakan sebuah nama. Ia harga yang sangat mahal. 

Nama Muhammad, disebutkan 4 kali dalam Al-Qur'an. Dan setiap nama dalam satu Ayat punya kisah tersendiri. Belum lagi struktur indahnya yang tata rapi dalam setiap Ayatnya. Belum lagi, Muhamamd menjadi sebuah nama dalam Surat Al-Qur'an. محمد. 
Nabi Muhammad ﷺ memiliki kedudukan istimewa bahkan sebelum lahirnya. Ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa nama beliau telah ditetapkan oleh Allah ﷻ jauh sebelum penciptaan alam semesta. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Nabi Adam AS menemukan nama "Muhammad" tertulis di beberapa tempat di surga, termasuk di tiang Arsy, bahkan saat beliau masih dalam keadaan antara ruh dan tanah.

Menurut Ibnu Qutaibah, salah satu tanda kenabian Nabi Muhammad ﷺ adalah bahwa sebelum beliau, tidak ada seorang pun yang diberi nama Muhammad. Hal ini merupakan bentuk pemeliharaan Allah terhadap nama tersebut, sebagaimana Allah menjaga nama Nabi Yahya AS, yang tidak memiliki nama sejenis sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

"Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang anak laki-laki yang namanya) Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia." (Surat Maryam: 7)

Namun, saat waktu kelahiran Nabi Muhammad ﷺ semakin dekat, banyak dari kalangan Ahli Kitab yang menyadari akan kedatangan Nabi terakhir dan mulai memberi nama anak-anak mereka Muhammad, dengan harapan bahwa anak mereka adalah nabi yang dijanjikan. 

Qadhi Iyadh menyebutkan bahwa hanya ada enam orang yang diberi nama Muhammad sebelum Islam, sedangkan Ibnu Hajar, yang melakukan kajian mendalam tentang orang-orang yang diberi nama Muhammad, menemukan sekitar dua puluh orang dengan nama tersebut, meski beberapa dari mereka mungkin merupakan pengulangan atau kekeliruan. Pada akhirnya, Ibnu Hajar menyimpulkan hanya lima belas orang yang benar-benar bernama Muhammad sebelum kelahiran Nabi ﷺ.

Di antara nama-nama tersebut, hanya dua orang yang diketahui hidup hingga masa Islam: Muhammad bin Adi Al-Tamimi dan Muhammad bin Al-Baraa Al-Bakri, yang terakhir ini bahkan menjadi sahabat Nabi ﷺ. 

Ibnu Khallikan juga mencatat bahwa di masa jahiliyah, hanya tiga orang yang diketahui memiliki nama Muhammad: Muhammad bin Sufyan bin Mujasyi’, kakek dari penyair Al-Farazdaq, Muhammad bin Uhayhah bin Al-Julah, saudara tiri Abdul Muthalib, dan Muhammad bin Hamran bin Rabi’ah.

Siapakah yang memberi nama Nabi Muhammad?. Yang menamai Rasulullah ﷺ dengan nama Muhammad adalah kakeknya, Abdul Muthalib, setelah mendapatkan mimpi yang menakjubkan. Abdul Muthalib melihat dalam mimpinya sebuah rantai perak yang ujungnya menjulur ke langit, bumi, timur, dan barat, yang ditafsirkan oleh para ahli nujum bahwa keturunan Abdul Muthalib akan diikuti oleh orang-orang dari timur dan barat. Selain itu, ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa ibunda Nabi ﷺ, Aminah, bermimpi diperintahkan untuk menamai putranya dengan nama Muhammad, namun riwayat ini tidak memiliki dasar yang kuat.

Marajik:
1. Ibnu Qutaibah, Ta'wil Mukhtalif al-Hadith
2. Ibnu Hajar, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah.
3. Ibnu Khallikan, Wafayatul A'yan.

Kreatifitas Guru/Dosen Agama di Perguruan Tinggi

Halimi Zuhdy 

"Ngajar anak TK itu butuh kreatifitas tingkat tinggi, apalagi ngajar mahasiswa" kata salah seorang guru TK. "Benar, dan kreatifitas itu tidak cukup dengan menghadirkan berbagai fasiltas teknologi kekinian, butuh hati dan pikiran untuk menyampaikannya, karena sudah banyak media yang tampil di permukaan untuk menghadirkan ilmu agama, tapi kalau dosennya atau gurunya tidak melanjutkan dengan mentahujjutkan murid-muridnya padaNya maka akan ada yang kosong". Kata seorang Kyai yang juga dosen. "Yang paling penting itu, dosen/guru/ustadz/kyai adalah uswahnya yang terus berjalan, bukan hanya di kelas berbicara akhlak tapi ketika keluar kelas tidak sama!" Kata seorang ustadz pesantren. 
Di era kekinian, peran dosen agama mengalami perubahan yang signifikan. Mereka tidak lagi hanya dituntut untuk menyampaikan materi secara konvensional, tetapi juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dosen, tidak lagi cukup membaca kitab di depan mahasiswa dengan duduk diam, dan melarang mahasiswa buka hp, sedangkan kitanya bisa di buka di HP atau di laptop. 

Teknologi yang berkembang pesat memberi peluang bagi dosen agama untuk menghadirkan metode pengajaran yang lebih interaktif dan dinamis. Kurikulum Merdeka, yang menekankan fleksibilitas dalam proses pembelajaran, semakin mendorong dosen untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengemas materi keagamaan agar tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa. Kurikulum merdeka? Lah, ini diskusi terus berkembang lo! He.

{ إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَیۡنَ أَن یَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَـٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومࣰا جَهُولࣰا }
[Surat Al-Ahzab: 72]

Pemanfaatan teknologi menjadi salah satu langkah penting yang diambil dosen agama. Berbagai platform digital, seperti video pembelajaran, podcast, dan aplikasi keagamaan, dapat menjadi media yang efektif untuk memperkaya pengalaman belajar mahasiswa. Mahasiswa hari ini, sangat akrab dengan berbagai media, maka bagi dosen agama yang masih konvensional juga bisa belajar platform digital. (Apakah masih dosen yang tidak akrab?, masih ada, terutama dosen sepuh, tapi sepuh tidak menghalangii diri untuk terus belajar kekinian)

Teknologi memungkinkan dosen atau juga guru (usyadz) untuk menghadirkan konten yang lebih menarik dan mudah diakses, sehingga pemahaman mahasiswa terhadap konsep agama bisa lebih mendalam. Dengan integrasi teknologi, dosen juga dapat membangun lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung pembelajaran yang berkelanjutan. 

Selain itu, dalam Kurikulum Merdeka, metode pembelajaran berbasis proyek dan studi kasus menjadi salah satu pendekatan yang efektif. Dosen agama dapat mengajak mahasiswa untuk terlibat langsung dalam proyek-proyek sosial yang mengedepankan nilai-nilai agama. Misalnya, mahasiswa bisa dilibatkan dalam program pemberdayaan masyarakat yang selaras dengan ajaran agama. Melalui metode ini, mahasiswa tidak hanya belajar secara teori, tetapi juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan nyata.

Isu-isu kontemporer seperti keberagaman, toleransi, dan lingkungan hidup juga menjadi topik penting yang bisa diintegrasikan dalam pengajaran agama. Dosen agama dapat membantu mahasiswa memahami relevansi ajaran agama dalam menyikapi tantangan global yang dihadapi saat ini. 

Pendekatan ini akan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan berusaha mencari solusi dari sudut pandang agama terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.

Yang nantinya, peran dosen agama tidak hanya terbatas pada penyampaian materi ajar, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual yang mengarahkan mahasiswa untuk membentuk karakter dan nilai-nilai moral yang kuat. 

Melalui program-program pembinaan karakter berbasis agama, dosen dapat membantu mahasiswa menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bermoral tinggi. Inilah esensi dari pendidikan agama di era kekinian, yang mengintegrasikan kreativitas, inovasi, dan pengembangan karakter sesuai dengan tuntutan zaman.

Toyyib. Selamat berkreasi dan berinovasi!!!!!!

Sabtu, 21 September 2024

Peradaban bukan Peradzaban?



Halimi Zuhdy

Sudah berapa lama dunia ini, sudah berapa peradaban silih berganti?. Ada peradaban Sumeria di Mesopotamia (4000 SM) yang sekarang di daerah Irak. Peradaban lembah Sungai Nil, yang lahir kerajaan mesir, atau kita dengan Firaun.Di antara peninggalannya; piramida, sphinx, mumifikasi dan lainnya. Ada perdaban Maya, Inca, dan peradaban lainnya. Juga kita pernah membaca, ada kaum Ad dan kaum tsamud, kaum Tsamud berada di kawasan Hijaz dan Tabuk yang sekarang kita kenal dengan Saudi Arabiyah. 
Selalu asyik membincang sebuah peradaban, 
karena di dunia ini tidak ada yang abadi. Banyak yang membangun peradaban hebat, tapi kemudian peradaban itu hancur. Ia jatuh, bahkan tersungkur. Tapi, apa pun itu, ia bagian dari membangun peradaban, bukan dari bagian menghancurkan peradaban. Ada yang mengganggap peradaban adalah hanyalah bangunan yang kokoh dengan berbagai aksesorisnya, ada pula menganggap perkembangan teknologinya!. Tapi, lupa bahwa adanya peradaban itu, menjadi bagian penting dari pembangunan akhlak atau adab. Sehingga peradaban yang baik, peradaban yang menjadikan masyarakat beradab, bukan penuh adzab. 

Kata "adab", berasal dari bahasa Arab yang adab; kesopanan, kemuliaan, akhlak, sopan santun. Peradaban kemudian diartikan dengan kemajuan dalam kecerdasan, kebaikan, budi pekerti, lahir dan batin. Atau kemajuan dalam ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan masyarakat. 

Dalam bahasa Arab, peradaban adalah "hadarah", yang asalnya bermakna "hadir/datang". Dalam babylon "kata tersebut berasal dari kata kerja hadhar, dan dikatakan bahwa peradaban adalah pembangunan desa, pedesaan, dan rumah yang dihuni. Ini adalah kebalikan dari kata Badui, nomadisme, dan gurun mengacu pada masyarakat yang kompleks, yang sebagian besar anggotanya tinggal di perkotaan dan berpraktik di bidang pertanian, pertambangan, manufaktur skala kecil, dan perdagangan". 

IKN, Apakah menuju Peradaban Baru? 

Membangun kota baru di negara-negara seperti Indonesia, Mesir, dan beberapa negara lainnya sering kali dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk mendorong pembangunan yang lebih merata, mengurangi kemacetan di ibu kota lama, dan menciptakan pusat-pusat ekonomi baru yang lebih modern dan terorganisir. 

Di Indonesia, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) merupakan upaya untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk dan kerusakan lingkungan di Jakarta, serta untuk memajukan wilayah Kalimantan Timur. Tujuan utama IKN adalah menciptakan kota yang ramah lingkungan, modern, dan berkelanjutan, serta merangsang perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa.

Di Mesir, pembangunan kota administratif baru di timur Kairo, disebut sebagai "New Administrative Capital", dimaksudkan untuk mengurangi tekanan populasi dan lalu lintas di Kairo yang sudah sangat padat, serta untuk menghadirkan pusat pemerintahan dan bisnis yang lebih efisien. Pembangunan ini juga mencerminkan upaya Mesir untuk modernisasi dan meningkatkan daya tarik investasi asing.

Selain Indonesia dan Mesir, negara seperti Brasil dengan pembangunan Brasília, Malaysia dengan Putrajaya, dan Kazakhstan dengan Astana (sekarang disebut Nur-Sultan) juga memiliki alasan yang serupa, yakni menyebarkan pusat ekonomi, meningkatkan infrastruktur, dan mengurangi ketergantungan pada kota-kota besar yang lama.

Wow, banyak kota-Kota besar yang hancur dan pindah dalam sejarah. Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa banyak kota dan negara yang dulunya sangat maju, namun akhirnya hancur atau ditinggalkan. Salah satu contohnya adalah peradaban Mesopotamia di lembah sungai Eufrat dan Tigris, yang pernah menjadi pusat peradaban pertama dunia. Kota-kota besar seperti Ur dan Babilon pernah berjaya, namun akhirnya runtuh akibat peperangan, perubahan iklim, serta penurunan sumber daya alam. 

Baghdad, yang pada masa keemasannya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia Islam pada abad ke-8 hingga 13, juga mengalami kehancuran setelah diserang oleh bangsa Mongol pada tahun 1258. Serangan tersebut menyebabkan runtuhnya peradaban yang sudah dibangun selama berabad-abad, dengan hilangnya banyak pengetahuan dan budaya.

Selain itu, kota-kota kuno seperti Pompeii di Italia hancur karena bencana alam, yaitu letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 M. Sementara itu, kota-kota seperti Timbuktu di Mali, yang dahulu merupakan pusat pembelajaran dan perdagangan di Afrika Barat, mengalami kemunduran seiring dengan berkurangnya rute perdagangan utama dan konflik politik.

Fenomena perpindahan pusat kekuasaan, ekonomi, dan budaya ini terus berulang sepanjang sejarah, menunjukkan bahwa kota-kota besar sekalipun bisa mengalami kehancuran jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan politik, lingkungan, atau ekonomi yang terjadi di sekitar mereka. Bagi banyak negara, membangun kota baru merupakan upaya untuk mencegah masalah serupa terjadi dan untuk menghadirkan visi masa depan yang lebih baik bagi masyarakatnya.

Lanjut.....
***
Catatan sore yang terputus, perjalanan memuju Madura (13/9/2024)

Perbedaan pendapat tentang "Rahmatan Lil Alamin"


Halimi Zuhdy 

Apa sih makna kata "Rahmatan" itu? Apakah ia bermakna damai, sejahtera, rahmat atau kasih sayang. Terus, kalau kata "Lil Alamin"? Yang diperuntukkan untuk alam, seluruh alam, atau seluruh dunia. Ada banyak pendapat tentang makna di atas, ada yang mengatakan untuk jin dan manusia, ada yang mengatakan untuk dunia dan seisinya, dan pendapat lainnya. 
وقوله ( وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ) يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: وما أرسلناك يا محمد إلى خلقنا إلا رحمة لمن أرسلناك إليه من خلقي.

ثم اختلف أهل التأويل في معنى هذه الآية ، أجميع العالم الذي أرسل إليهم محمد أريد بها مؤمنهم وكافرهم؟ أم أريد بها أهل الإيمان خاصة دون أهل الكفر؟ 

Perbedaan pendapat ulama tentang arti "Rahmatan Lil Alamin" yang diambil dari tafsir Al-Tabari (ayat 107, Surat Al-Anbiya') berkisar pada apakah rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ mencakup seluruh umat manusia (baik yang beriman maupun yang kafir) atau hanya bagi mereka yang beriman.

Pendapat pertama, rahmat bagi seluruh umat manusia (termasuk yang kafir). Beberapa ulama, termasuk Ibn Abbas, berpendapat bahwa Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai rahmat bagi semua makhluk, baik yang beriman maupun yang kafir. Bagi yang beriman, rahmat ini berlaku di dunia dan akhirat, sementara bagi yang kafir, mereka dilindungi dari azab dunia yang menimpa umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka. Dengan kata lain, meskipun kaum kafir tidak mendapatkan rahmat dalam bentuk hidayah dan kebahagiaan akhirat, mereka masih mendapat manfaat di dunia karena dihindarkan dari azab-azab besar yang pernah menimpa kaum terdahulu.

Pendapat kedua, rahmat hanya bagi yang beriman. Ulama lain, seperti Ibn Zaid, berpendapat bahwa rahmat ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ dan menaati ajaran-ajarannya. Menurut pendapat ini, "al-'alamin" (seluruh alam) merujuk kepada mereka yang menerima dan mempercayai ajaran beliau. Bagi yang kafir, kehadiran Nabi tidak membawa rahmat, melainkan menjadi ujian atau fitnah bagi mereka.

Al-Tabari menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, baik yang beriman maupun yang kafir. Yang beriman mendapatkan rahmat dalam bentuk hidayah dan keselamatan di akhirat, sedangkan yang kafir dihindarkan dari azab yang pernah menimpa umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul mereka. (Dikutip dari tafsir KSU). 

( وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ) قال: العالمون: من آمن به وصدّقه ، قال وَإِنْ أَدْرِي لَعَلَّهُ فِتْنَةٌ لَكُمْ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ قال: فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة ، وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين ، والعالمون ههنا: من آمن به وصدّقه وأطاعه.

وأولى القولين في ذلك بالصواب .القول الذي رُوي عن ابن عباس ، وهو أن الله أرسل نبيه محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع العالم ، مؤمنهم وكافرهم . فأما مؤمنهم فإن الله هداه به ، وأدخله بالإيمان به ، وبالعمل بما جاء من عند الله الجنة. وأما كافرهم فإنه دفع به عنه عاجل البلاء الذي كان ينـزل بالأمم المكذّبة رسلها من قبله.

Asal Usul Nama Ibrahim dan Kebesaran dalam Sejarah Agama


Halimi Zuhdy

Setiap sesuatu yang banyak dibahas, dibincangkan, dikaji pasti sesuatu yang istimewa, atau sebaliknya. Dan dianggap sesuatu yang berarti. Seperti nama Nabi "Ibrahim", yang kalau di Barat dikenal dengan Abraham. Dan, yang mendapatkan julukan "Al-Khalil" dari para Nabi, hanyalah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. 
Yuk! Kita selidik sedikit, asal usul kata Ibrahim ini.  Dalam kitab jila' Al-Afham, karya Abi Abdillah, bahwa Ibrahim berasal dari bahasa Suryani, yaitu "ib" dari Ab (abun, اب, ayah) dan "rahim" dari rahim (رحيم, penyayang). Ibrahim : Abu Rahim, Ayah yang penyayang.  

Sedangkan dalam Kamus Ma'ani, kata "إبراهيم" (Ibrahim), berasal dari bahasa non-Arab (ajami) yang merujuk pada negara asal Nabi Ibrahim, makna aslinya adalah "أبو الجمهور" (bapak dari banyak orang), yang nama aslinya adalah "أَبرام" (Abram), yang artinya adalah "الأب الرفيع" (ayah yang mulia). 

Dan nama "إبراهيم" sendiri tidak berasal dari bahasa Arab atau juga tidak berasal dari Ibrani (sebagaimana anggapan banyak orang), kata ini berasal dari "كوفى" (Kufi), daerah dekat Kufah. Ada beberapa varian nama ini dalam bahasa-bahasa lain seperti: أبرام, أبرهة (Abram, Abraha). Ada juga makna tambahan dalam bahasa Kurdi, yaitu "بن الأخ" (putra saudara laki-laki). Dalam bahasa lain, seperti bahasa Kurdi, nama ini terdiri dari dua kata: "بن الأخ" (putra saudara) dan "هام" (bebatuan), yang artinya adalah "أخو الصخر" (saudara dari bebatuan). Nama ini mungkin mengacu pada bebatuan yang digunakan untuk membuat patung-patung. (Kamus Ma'ani).
Dalam Al-Maudhu' dan wikipedia Arab juga tidak jauh berbeda penjelasannya, bahwa Ibrahim adalah nama yang berasal dari bahasa Semitik (أصل سامي). Daerah Syam, kalau hari ini adalah berada di: Libanon, Palestian, Suriah, dan Yordania. Nama Ibrahim dianggap penting dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam karena Ibrahim disebut sebagai أبو الأنبياء (Bapak para Nabi) dalam ketiga agama tersebut. Nama Ibrahim memiliki makna yang sama dalam kitab suci Taurat dan dianggap berarti أبو الجمهور atau أبو الأمم (Bapak dari banyak orang atau Bapak bangsa-bangsa). Dalam bahasa Aram, "أبرام" bisa berarti "ayah yang tinggi" atau "ayah yang terhormat", yang merupakan asal usul nama Ibrahim.

Dalam berbagai bahasa di Eropa dan Amerika, nama Ibrahim disebut dengan varian sebagai berikut; Abraham dalam bahasa Inggris, Авраам (Avraam) dalam bahasa Rusia, ܐܒܪܗܡ (Avrahaim) dalam bahasa Suryani. Nama Ibrahim juga memiliki berbagai bentuk dan variasi di beberapa bahasa lain, seperti dalam bahasa Kurdi, dan memiliki bentuk diminutif seperti بَراهيم. 

Malang, 8 September 2024

Minggu, 08 September 2024

Asal Usul Penamaan Bulan Rabi’ul Awwal dan Bulan Maulid

Halimi Zuhdy

Rabi’ul Awwal, nama bulan ketiga Hijriyah ini tidak terlalu popular di Indonesia. Masih kalah masyhur dengan bulan Maulid. Bulan, di mana manusia agung lahir ke muka bumi, Muhammad bin Abdullah. Apakah penamaan bulan Rabiul Awwal bermula dari kelahiran Nabi Muhammad saw, atau sudah ada sebelumnya, atau ada peristiwa penting sehingga nama itu disebut dengan Rabiul Awwal?, atau hanyalah nama sesuai dengan musim di mana bulan ini berada, Rabi'?.


Rabiul Awwal. Rabi' memiliki banyak arti di antaranya adalah semi, yang menunjuk pada sebuah musim di mana tumbuhan-tumbuhan mulai mekar Kembali dan bunga-bunga mulai berkembang. Awwal, bermakna pertama. Rabiul Awwal, bulan semi pertama. Karena setelah bulan ini ada bulan semi kedua yang disebut dengan Rabi'us Tsani. Tetapi, kata awwal (pertama) dan kedua bukan sebagai kata sifat dari Rabi’, tetapi dari Syahr (bulan).

Dalam Al-Ma'rifah nama Rabiul Awwal ini disematkan oleh buyut kelima Nabi Muhammad, Kilab bin Murrah pada tahun 412 M, jauh sebelum Nabi dilahirkan. Nama ini sudah sangat akrab di telinga orang-orang Arab, sehingga keindahan, kebahagiaan, dan berbagai kesenangan dan kesuksesan sering menggunakan kata ini, Rabi'. Seperti, Akala Rabi’, Zahratur Rabi’ dan lainnya.
Banyak riwayat yang menceritakan tentang asal muasal penamaan nama Rabi'ul Awwal ini, sebagaimana dalam Al-Ma'rifah, yaitu lirtiba' Annas wa dawab fihi (manusia dan hewan pada menunggu dan berharap datang bulan ini). Bulan ini dulunya disebut dengan musim gugur (kharif) dan orang-orang Arab menyebutnya musim semi (Rabi'), dan Rabi' disebut dengan Shaif (musim panas), dan Shaif disebut dengan Qaidh (musim panas). Ada pula yang berpendapat, bahwa orang-orang Arab membagi musim dingin (Syita') menjadi dua bagian, bagian pertama dengan Rabi’ al-Ma' (mata air) dan Amthar (hujan), dan yang kedua adalah Rabiun Nabat (musim tumbuhan). Masyarakat Arab mengenal dua Rabi', Rabiul Syuhur dan Rabiul Azminah. Rabi' yang pertama menunjuk pada musim semi awal dan kedua, sedangkan Rabi' yang kedua merujuk pada beberapa musim lainnya, seperti musim gugur (kharif).

Ada pula yang berpendapat, asal usul dinamakan Rabi' Awwal, karena pada bulan ini orang-orang Arab memanen (menikmati) hasil rampokannya yang dilakukan pada bulan sebelumnya, shafar. Tetapi, ada pula pendapat bahwa Bulan Rabi' adalah bulan yang banyak menelan korban peperangan (kematian yang melimpah) karena peperangan antar kabilah pada bulan sebelumnya sedang berlangsung sengit dan kematian demi kematian banyak terjadi di bulan ini, Rabiul Awwal. 
Ada pula yang menyebutkan Bulan Rabiul Awwal dengan Rabiul Anwar. Karena di dalamnya terbit cahaya terang, nur Muhammad, cahaya ketuhanan yang menerangi semesta, demikian kata Dr. Ali Jum’ah dalam Elbalad. Dan di beberapa negeri Arab pada bulan Rabiul Awwal diadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad setiap hari. Demikian juga dengan Indonesia, perayaan kelahiran Nabi Muhammad dirayakan diberbagai tempat, dan sepanjang bulan Rabiul Awwal, walau nama bulan ini lebih akrab adalah bulan Maulid, bulan kelahiran Nabi Muhammad (merujuk pada tempat atau waktu).

Peristiwa penting pada bulan ini adalah kelahiran manusia agung, teladan umat, utusan Allah, Nabi Muhammad, tetapi ada perbedaan dalam menentukan hari antara 8, 10, dan 12 Rabiul Awwal. Namun, para sejarawan menegaskan bahwa kelahiran Nabi Muhamamd terjadi pada hari Senin, 9 Rabi' al-Awwal tahun 53 SM, bertepatan dengan 20 April 571 M (Tahun Gajah).

Dan yang menarik, mengapa disebut maulid kok tidak milad, dan apa perbedaannya dengan maulud?. Ketiganya memiliki akar yang sama, yaitu; wa la da (ول د) yang artinya lahir. Kata mīlād berasal dari akar kata و ل د yang berarti "lahir." Secara harfiah, mīlād berarti "kelahiran." Istilah ini digunakan untuk merujuk pada momen kelahiran seseorang. Biasanya, mīlād dipakai dalam konteks perayaan ulang tahun atau kelahiran secara umum. Sedangkan مولود (Mawlūd) dan مولد (Mawlid). 

Mawlūd berarti "yang dilahirkan" atau "bayi yang baru lahir." Ini adalah kata sifat yang mengacu pada individu yang baru dilahirkan, seperti dalam frasa مولود جديد yang berarti "bayi baru lahir." Sementara itu, mawlid juga berarti "kelahiran" namun lebih spesifik digunakan untuk merujuk pada peristiwa atau hari kelahiran tokoh penting. Dalam konteks keagamaan, mawlid sering digunakan untuk merujuk pada perayaan kelahiran Nabi Muhammad, seperti dalam مولد النبي yang berarti "hari kelahiran Nabi" atau "Maulid Nabi."
Maulid adalah tempat (ism makan) atau waktu lahir (ism zaman), maka bisa merujuk kepada tempat dimana seseorang dilahirkan, sedangkan maulid juga menunjuk pada waktu dilahirkan atau hari dimana seseorang dilahirkan. Berbeda dengan maulud, merujuk kepada bayi yang dilahirkan, yaitu Mauludun Nabi, Nabi yang dilahirkan. Keduanya sama-sama benar. 

Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Anwar. Maulid.
Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad
Malang - 1 Rabi’ul Awwal 1445 H.

Menilik Tupoksi Suami dan Kata "Qawwamuna"

Halimi Zuhdy

"Ah, tugas suami itu cari nafkah dowang" kata Pak Busil, "Kalau istri dan anak saya sudah tercukupi, semuanya menjadi tenang. Urusan pendidikan ada sekolah dan pesantren, tinggal bayar, beres". Sambil tersenyum simpul. 

Peran suami dalam keluarga jauh melampaui sekadar pencari nafkah. Meskipun memberikan nafkah adalah salah satu tanggung jawab penting seorang suami, perannya tidak boleh dibatasi hanya sebagai 'buruh' yang sekadar mencari uang dan kemudian melupakan tanggung jawab lainnya. 
Bila seorang suami hanya berfokus pada aspek material dan mengabaikan aspek emosional, spiritual, dan moral dalam keluarganya, maka apa bedanya dia dengan seorang pekerja yang hanya memenuhi tugas pekerjaan tanpa ikatan emosional dan tanggung jawab moral terhadap rumah tangga? (Kajiannya, di Lil Jamik)

Seorang suami tidak hanya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, tetapi juga harus terlibat aktif dalam membina hubungan yang harmonis dengan istri dan anak-anaknya. Ia harus menjadi pemimpin yang bijaksana (imam), yang mendidik dan mengarahkan keluarganya menuju kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama, serta menjaga agar keluarga terhindar dari pengaruh negatif yang dapat merusak keutuhan rumah tangga. (Keluarga sakinah, www halimizuhdy com)

Seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar dalam keluarganya, yang tercermin dalam konsep "qawwamuna 'ala al-nisa’" (قوامون على النساء) yang disebutkan dalam Al-Qur'an, Surah An-Nisa ayat 34. Ayat ini menggarisbawahi bahwa laki-laki, sebagai suami, adalah pemimpin dalam rumah tangga. Peran ini bukan sekadar kedudukan atau otoritas, tetapi juga tanggung jawab besar untuk melindungi, membimbing, dan mendukung keluarganya secara fisik, emosional, dan spiritual.

Kata "qawwamuna" berasal dari akar kata "qama" yang berarti berdiri atau tegak, dan dalam konteks ini, menunjukkan bahwa seorang suami harus berdiri tegak sebagai penjaga dan pelindung istri dan keluarganya. Peran ini mencakup memberikan nafkah, menjaga keamanan, serta memimpin keluarga menuju kebaikan dan keselamatan.

Ayat lain yang relevan adalah "qu anfusakum wa ahlikum nara" (قوا أنفسكم وأهليكم نارا) yang artinya "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." Ini menekankan bahwa seorang suami harus memastikan keselamatan spiritual keluarganya, dengan menuntun mereka dalam menjalankan ajaran agama, menjauhkan dari kemaksiatan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada diri sendiri, tetapi juga melibatkan istri dan anak-anak, agar mereka senantiasa berada di jalan yang benar.

Keberhasilan atau kehancuran sebuah keluarga sangat erat kaitannya dengan peran suami sebagai pemimpin. Seorang suami yang menjalankan peran qawwam dengan penuh tanggung jawab akan membawa keberkahan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Ia menjadi teladan bagi anak-anaknya dan memelihara hubungan yang baik dengan istrinya, sehingga keluarga tersebut menjadi unit yang kuat dan harmonis. 

Sebaliknya, jika seorang suami lalai atau menyalahgunakan peran kepemimpinannya, hal ini dapat menjadi penyebab utama keretakan dan kehancuran keluarga. Keluarga yang tidak mendapatkan bimbingan dan perlindungan yang seharusnya dari seorang suami mungkin akan menghadapi berbagai kesulitan, baik dalam kehidupan duniawi maupun dalam hal spiritual.

Oleh karena itu, seorang suami memegang kunci keberhasilan keluarganya. Melalui peran dan tanggung jawab yang ia emban, ia dapat membangun keluarga yang bahagia dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat.

Bagaimana dengan Tupoksi Istri?

Doa yang Tak Dikenal

Halimi Zuhdy 🥹

Kadang saya batin, "Siapa sih yang paling dekat dengan kesuksesan kita dan selalu memberikan jalan menuju-Nya. Apakah mereka yang selalu bersama kita, atau yang mensuport kita, atau mereka yang selalu riang dengan kita, atau mereka yang punya segudang jabatan dan harta, atau siapa?". 

Sesekali, saya menarik nafas panjang. "Betapa banyak doa-doa yang terbang menuju Allah, tanpa sepengatahuan kita. Kita tak sengaja berbuat baik, atau kadang sengaja agar dia mendoakan kita", "terkadang hanya memberi tanda tangan, atau senyuman, kemudian mereka berdoa agar kita sukses". "Tapi, sebalikanya, betapa banyak doa-doa yang buruk, gegara kita tanpa sadar melukai hati seseorang". 
Terkadang, kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi hingga lupa memperhatikan mereka yang berada di sekitar kita, orang-orang yang tidak pernah kita pedulikan. Mereka bukan pejabat yang terpandang, bukan pula hartawan yang dipuja. Mereka bukan teman dekat, apalagi saudara yang selalu kita hubungi. Bahkan, banyak dari kita yang mungkin tak mengenal mereka, mereka yang duduk di emperan pintu, atau yang kita lihat sekilas sedang memungut sampah di dekat kantor.

Namun, siapa sangka, di balik kesederhanaan dan ketidaknampakan mereka, ada doa-doa yang senantiasa mengiringi langkah kita. Doa dari mereka yang mungkin tak pernah kita perhatikan, tetapi selalu berdoa agar kesuksesan menyertai kita. Mereka yang dengan tulus memohon kepada Allah agar amal ibadah kita diterima, agar setiap langkah yang kita ambil dijaga dan diberkahi.

Mereka yang mungkin tak pernah kita lihat mengangkat tangan, tapi dalam keheningan malam, memohonkan segala kebaikan untuk kita. Tanpa kita sadari, mungkin mereka yang selama ini menjadi sebab kita mencapai fase-fase indah dalam hidup, melalui doa-doa yang hanya diketahui oleh Sang Maha Kuasa.

Sungguh, kita tak pernah tahu siapa yang sesungguhnya telah mengantarkan kita pada keberhasilan. Maka, jangan pernah meremehkan orang lain, karena di antara mereka mungkin ada yang doanya diterima Allah, doa yang menjadi perantara kesuksesan kita. Ada banyak orang ikhlas yang bekerja dalam diam, tanpa kita sadari. Namun, tidak sedikit juga orang yang kita anggap memberikan banyak hal, yang justru mungkin menjadi penghambat.

Kita juga tidak tahu, siapa teman kita di FB, X, IG atau lainnya, selalu mendoakan kita, gegara kita menuliskan kebaikan-kebaikan, atau kita terbiasa mendoakan kebaikan untuk teman-teman kita. 

Kebaikan itu sering datang dari tempat yang tidak terduga. Hargailah setiap manusia, karena kita tidak pernah tahu dari mana dan dari siapa keberkahan hidup kita berasal.

Ya Allah, pertemukan kami dengan mereka-mereka hang melantunkan doa-doa kenaikan itu.🤲🏻🤲🏻🤲🏻♥️

Rabu, 28 Agustus 2024

Mengapa Surat Al-Kautsar berada di antara Al-Ma'un dan Al-Alfirun?

(Rahasia Urutan Surat dalam Al-Qur'an)

Halimi Zuhdy

Tidak ada Surat dan Ayat dalam Al-Qur'an yang posisinya (letaknya) dan urutannya sembarangan, semuanya berada posisinya yang indah dan tepat, dan atas bimbingan Allah swt kepada Nabinya. Dan, bagaimana posisi Surat Al-Kautsar dalam Al-Qur'an?


Surat Al-Kautsar adalah surat yang sangat pendek namun sarat dengan makna. Surat paling pendek, tapi mengandung banyak hal (al-kautsar, Katsir). Imam Fakhruddin Ar-Razi menguraikan bahwa Surat Al-Kautsar adalah kebalikan dari Surat Al-Ma'un yang sebelumnya. 

Dalam Surat Al-Ma'un, Allah SWT menggambarkan perilaku buruk orang-orang munafik yang mencakup empat hal: kikir (البخيل), meninggalkan shalat (ترك الصلاة), riya dalam beribadah (الرياء), dan menahan diri dari memberikan zakat atau sedekah (منع الزكاة). Surat Al-Kautsar seolah menjadi penawar dari sifat-sifat buruk ini.

1. Kebakhilan yang disebut dalam Surat Al-Ma'un dijawab dengan anugerah Allah yang berupa Al-Kautsar, yang berarti kebaikan yang melimpah. Allah berfirman:

   -  (البخل)"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." (QS. Al-Ma'un: 1-3)

Dijawab dengan; 

   -(انا اعطينا كالكوثر) "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak." (QS. Al-Kautsar: 1)

2. Meninggalkan shalat dibalas dengan perintah untuk shalat dalam Surat Al-Kautsar, yang menyuruh kita untuk selalu melaksanakan shalat dengan penuh ketekunan. Allah berfirman:

   - "Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya." (QS. Al-Ma'un: 4-6) ترك الصلاة

Dijawab dengan;

   - "Maka dirikanlah shalat ..." (QS. Al-Kautsar: 2) فصل

3. Riya dalam ibadah dijawab dengan perintah untuk shalat “lirrabbika”, yang berarti hanya untuk Allah, bukan untuk pamer kepada manusia. Allah berfirman:

   - "Mereka yang berbuat riya dan enggan (memberikan) bantuan." (QS. Al-Ma'un: 6-7)الرياء

Dijawab dengan;

   - "...untuk Tuhanmu." (QS. Al-Kautsar: 2) لربك

4. Menahan zakat atau bantuan direspons dengan perintah untuk menyembelih kurban sebagai bentuk sedekah yang langsung bermanfaat bagi orang lain. Allah berfirman:

   - "...dan enggan (memberikan) bantuan." (QS. Al-Ma'un: 7) منع الماعون

Dijawab dengan; 

   - "...dan berkurbanlah (untuk Tuhanmu)." (QS. Al-Kautsar: 2) وانحر

Selanjutnya, Surat Al-Kafirun menegaskan kembali prinsip keyakinan yang telah diteguhkan dalam Surat Al-Kautsar. Setelah diperintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah SWT, dalam Surat Al-Kafirun, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir bahwa beliau tidak akan pernah menyembah apa yang mereka sembah, dan mereka pun tidak akan menyembah apa yang Nabi Muhammad SAW sembah. 

Pesan ini menggarisbawahi perbedaan mendasar antara ajaran Islam dengan kekafiran, meneguhkan perbedaan jalan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Allah berfirman:

- "Katakanlah: 'Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.'" (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Keterkaitan antara ketiga surat ini menunjukkan bagaimana Al-Qur'an saling melengkapi satu sama lain dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan keyakinan. 

Surat Al-Kautsar memberikan penguatan iman kepada Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi tantangan dari orang-orang kafir, yang kemudian diikuti oleh penegasan pemisahan yang jelas antara ajaran Islam dengan kekafiran dalam Surat Al-Kafirun. Dengan demikian, Surat Al-Ma'un, Al-Kautsar, dan Al-Kafirun menjadi satu kesatuan pesan yang menyampaikan konsekuensi moral dan spiritual dari iman yang tulus dan ibadah yang benar.

صدق الله العظيم
الله اعلم بالصواب
@sorotan

Selasa, 20 Agustus 2024

Ilmu Balaghah dan Bahasa Arab


Halimi Zuhdy

Ketika membaca kata "ra'du, petir" dalam bahasa Arab dan melafalkannya, serta  membayangkan bagaimana petir itu bergemuruh, menyambar, menghantam dan menggelegar.  Antara lidah dan tenggorokan, tersedot kedalam, dan membuat suara menghembus kuat keluar. Urutan suara petir menurut orang Arab. Dimulai dengan رعدت السماء (Langit menggelegar). Jika suaranya semakin keras, maka disebut أرعدت ودوت (bergemuruh dan berdentum). Ketika semakin kuat, suaranya menjadi قصفت وقعقعت (berderak dan berdetak). Pada akhirnya, ketika mencapai puncaknya, disebut جلجلت وهدهدت (bergemuruh dan bergetar).

Untuk mengkajinya butuh ilmu Balaghah, Maka belajar bahasa Arab tanpa mendalami ilmu balaghah ibarat menikmati taman yang indah namun tanpa memahami keindahan bunga-bunganya. 

Balaghah, yang merupakan ilmu tentang keindahan bahasa dan seni retorika, adalah kunci untuk menyelami lautan makna yang dalam dari bahasa Arab, terutama dalam memahami Al-Qur'an. Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan keindahan yang sempurna, memiliki makna yang mendalam dan pesan yang kuat. Tanpa pemahaman balaghah, kita hanya akan meraba permukaan, kehilangan pesona dan kekuatan kata-kata yang telah dirangkai dengan keindahan dan ketelitian.

Bahasa Arab bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sebuah seni yang kaya dengan metafora, analogi, dan keindahan struktur kalimat yang tiada tanding. Ilmu balaghah mengajarkan kita untuk memahami dan merasakan keindahan tersebut, sehingga kita tidak hanya membaca, tetapi juga menikmati setiap ayat dan kata yang diucapkan. Yuk tilik, dalam web halimizuhdy. com

Menguasai bahasa Arab tanpa ilmu balaghah bisa dibandingkan dengan memiliki kunci tetapi tidak tahu pintu mana yang harus dibuka. Sebaliknya, dengan memahami balaghah, kita membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam, menghargai seni bahasa yang tersembunyi, dan menemukan hikmah yang terkandung di balik setiap lafaz. Bisa dilihat contoh-contohnya di IG, puisi_Arab

Inilah mengapa mempelajari bahasa Arab secara menyeluruh, dengan ilmu balaghah sebagai pemandunya, menjadi esensial untuk benar-benar menikmati dan merasakan keindahan bahasa Al-Qur'an. Wow, bisa sisimak di Youtube Lil Jamik
Asyiknya pembelajaran bahasa Arab, atau bahasa apa pun di dunia, seperti mempelajari budaya mereka, dan bagaimana kata-kata lahir dengan kebahagiaan dan kesusahan, dan bagaimana setiap kata itu punya sejarahnya sendiri. 

Insyallah, besok malam bersama Al-Wahyu

18 Agustus 2024

Deklarasi Malang: Aksi Alumni King Saud University untuk Dunia


Pada 17 Agustus 2024, di Villa Wopi Dau Malang, sebuah momen bersejarah tercipta dengan terbentuknya AKSI (Alumni King Saud University) Indonesia. Lebih dari sekadar pertemuan alumni, AKSI lahir dengan visi dan misi yang mulia. Deklarasi Malang, atau yang dikenal sebagai Watsiqah Malang, menjadi langkah awal untuk berkontribusi secara nyata terhadap isu-isu global. 
Tiga poin utama yang diusung oleh AKSI adalah: 

1. Mendukung kemerdekaan Palestina, sebuah seruan yang lantang untuk mendukung hak-hak bangsa Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka.

2. Menyerukan perdamaian di Timur Tengah, mengingat pentingnya stabilitas di kawasan tersebut, Aksi berkomitmen untuk mendorong terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.

3. Menyebarkan Islam moderat, sebagai alumni dari universitas terkemuka di dunia Islam, kami bertekad untuk menyebarkan nilai-nilai Islam moderat yang rahmatan lil alamin kepada masyarakat global.

Pembentukan AKSI bukanlah sebuah kebetulan. Selama ini, alumni King Saud University yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia hanya saling berinteraksi melalui grup WhatsApp, tanpa pernah bertemu secara langsung. Namun, kesadaran akan tanggung jawab sebagai akademisi yang berperan penting dalam kontribusi pada dunia memotivasi kami untuk akhirnya berkumpul dan bergerak bersama.
Kebanggaan terhadap almamater semakin bertambah ketika baru-baru ini King Saud University menjadi satu-satunya universitas di Saudi Arabia yang berhasil masuk dalam jajaran 100 universitas terbaik dunia, bahkan mungkin menjadi yang terbaik di Timur Tengah.

Ternyata, sudah banyak alumni King Saud University yang telah berkontribusi besar di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta), Ustadz Nasir, pendiri Madrasah Alsun Sidoarjo (1988), KH. Idris Hamid (Pasuruan), Dr. Saiful Azhari (Sunan Ampel, 1987), dan masih banyak lainnya. Pada pertemuan kali ini, beberapa alumni hadir di Malang, di antaranya Prof. Uril Bahruddin, Prof. Abdul Hamid, Ustadz Junaidi Madura, Dr. Saiful Mustafa, Dr. Miftahul Huda, Dr. Saiful Amin, Ustadz Sirotol Mustaqim, Ustadz Abdul Wahid, Ustadz Azhar Muttaqin, Ustadz Mubassyir Munir, Ustaz Mustain, ustadz Faruq, ustadz Makhi Ulil, ustadz Imaduddin, ustadz Indra Alghahbani, ustadz Humaidi dan masih banyak tokoh lainnya.

Aksi tidak hanya berhenti pada pertemuan ini. Mereka berkomitmen untuk terus bergerak dan memberikan sumbangsih nyata bagi Indonesia dan dunia. Lulusan King Saud University tidak hanya berasal dari program studi Syariah, Tarbiyah, dan Adab, tetapi juga dari program studi umum seperti Teknik, Pertanian, Sains, TI, dan lainnya.
Atase Pendidikan KBRI Riyadh, Dr. Badrus Sholeh, sangat mengapresiasi pertemuan alumni KSU pertama ini. Begitu pula dengan dukungan dari Dr. Ayad Attowair (Mudir Minah) dan Dr. Abdullah Assahli, yang memberikan semangat bagi para alumni untuk terus berkarya.

Nama Aksi sendiri bukan hanya menggambarkan semangat untuk bergerak, tetapi juga diambil dari bahasa Arab “Aksa”, yang berarti memberi pakaian. Ini melambangkan komitmen mereka untuk memberi sumbangsih nyata kepada dunia, baik dalam bentuk ilmu pengetahuan maupun kontribusi sosial. (Penulis; Halimi Zuhdy)

Malang, 17 Agustus 2024

Kamis, 08 Agustus 2024

Mengurai Kata "Kalem", Kata Penting dalam Akhlak



Halimi Zuhdy

Kata "kalem" adalah kata yang sangat penting, dan menjadi bagian kunci dari kebaikan akhlak seseorang. Menulusuri kata ini, agak sedikit rumit, karena perbedaan huruf awal dengan beberapa kata yang ada dalam bahasa asing, baik bahasa Arab, Belanda, Inggris dan bahasa lainnya. 
Menelusuri asal-usul sebuah kata bisa menjadi proses yang sangat rumit karena banyak faktor yang mempengaruhi evolusi bahasa. Salah satu faktor utama adalah perubahan fonetik dan morfologi yang terjadi seiring waktu. Kata-kata sering kali mengalami perubahan bunyi dan bentuk, yang membuat jejak asal-usulnya menjadi sulit dilacak. Selain itu, pengaruh dari berbagai bahasa lain juga turut menambah kerumitan ini. Dalam sejarah, banyak bahasa saling meminjam kata dan mengadopsi istilah-istilah baru dari bahasa lain, sehingga asal mula sebuah kata sering kali tersembunyi di balik lapisan pengaruh linguistik yang kompleks.

Kalem, mendekati kata "hilem" dalam bahasa Arab, yaitu "حلم". Kalem dalam bahasa Indonesia diartikan dengan "tenang", "dalam keadaan tidak tergesa-gesa", dan "santai". Dalam bahasa Arab, kata "hilem" bermakna sabar, menyantuni, murah hati, toleransi. Dalam mu'jam, secara bahasa, kata "الحِلْمُ" berarti kesabaran dan akal, dengan bentuk jamak "أَحْلام" dan "حُلُومٌ". "الحِلْم lawan dari ketidaksabaran (الطيش). Dikatakan: "حَلُمْتُ عنه أحلُم، فأنا حليمٌ". Secara istilah, "الحِلْم" didefinisikan dengan beberapa pengertian, antaranya adalah menahan diri dan sifat dari kemarahan yang menggebu-gebu. Ada yang mengatakan, ketenangan saat marah, dan ada juga yang mengatakan menunda pembalasan kepada yang menzalimi. Ada juga yang mengatakan bahwa: "الحِلْم" adalah nama yang merujuk pada pengendalian diri dari keinginan yang berlebihan dan yang terlarang. Maka, "الحِلْم" mencakup pengetahuan, kesabaran, dan ketenangan.

Maka, kata "kalem", secara makna ada kesamaan dengan bahasa Arab, dan juga secara fonetik. Hanya saja, huruf pertamanya yang berbeda, karena perbedaan ungkapan yang sering berbeda. 

Ada pula yang mengatakan bahwa asal kata kalem berasal dari kata Belanda "kalm", dan juga ada yang berepndatan berasal dari bahasa Inggris "calm". calm down (tenang), calmly (dengan tenang), calmness (ketenangan). 

Dalam Hadis Nabi, al-hilmu bittahallum, bahwa menjadi sabar, tenang, santun, itu butuh untuk melajar menjadi tenang dan sabar. Tidak tiba-tiba menjadi orang yang tenang atau sabar, tapi butun waktu menjadi sabar. Seperti, al-ilmu bitta'allum, ilmu itu harus dengan belajar. 

Kesulitan menemukan asal kata, juga karena keterbatasan dokumentasi historis. Tidak semua kata terdokumentasi dengan baik dalam teks kuno, sehingga sering kali ada kekurangan bukti tertulis yang bisa digunakan untuk melacak perkembangan kata tersebut. Variasi dialek dan regional juga berperan dalam perubahan bentuk dan makna kata, membuatnya semakin sulit untuk menentukan asal-usulnya yang sebenarnya. Ditambah lagi, perubahan makna kata seiring waktu dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan antara arti awal dan penggunaan saat ini. Faktor-faktor ini, ditambah dengan transmisi lisan sebelum adanya tradisi tertulis yang kuat, menjadikan etimologi sebagai bidang yang menantang dan membutuhkan penelitian yang sangat teliti dan mendalam.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan membawa kita ada kebahagiaan dan ketenangan, dan tentunya bertambah pengetahuan.

Banyuangi, 7 Agustus 2024

Selasa, 06 Agustus 2024

Asal Kata Abu Lahab


Biasanya kalau didahului Abu, Abi, Aba, Um, Bin adalah Kunyah (nama panggilan), seperti Abu Bakar, Abi Nayif, ummu Salamah dan lainnya, nama panggilan ini bukan nama aslinya. Dan murakkab terdiri dari kata; Ummu Muhammad, Abi Amr. Berbeda dengan laqab, kalau laqab adalah julukan yang diberikan kepada seseorang berdasarkan sifat, karakteristik, atau ciri khas tertentu yang menonjol pada individu tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad SAW diberi laqab "As-Sadiq Al-Amin". Laqab bisa bersifat pujian, seperti "As-Siddiq" (الصدّيق) yang diberikan kepada Abu Bakar karena kejujurannya. Namun, laqab juga bisa bersifat negatif jika menggambarkan kekurangan atau cacat fisik seseorang, seperti "Al-A'mash" (الأعمش) yang berarti "yang rabun", atau "Al-A'raj" (الأعرج) yang berarti "yang pincang".
Loh, terus Abu Lahab itu kunyah atau laqab? Atau nama aslinya? 

Kalau hari ini banyak yang dijuluki dengan Abu Lahab, apakah keturunannya juga bin Abi Lahab?  atau hanya sekedar sifatnya? 
https://youtu.be/fAxtUQEItCw?si=nRtaYcBEId75j6c6

Mengapa Celaka Orang-orang yang Shalat?,


(Perbedaan An dan Fi Shalatihim)

Halimi Zuhdy

Menilik Ayat tentang "Wailun Lil Mushallin, celaka bagi orang yang shalat". Serasa hati dan pikiran ini diliputi rasa takut dan khawatir. Betapa banyak rakaat yang telah dilakukan, dan tidak pernah tahu, apakah shalat itu diterima atau tidak?!. Tapi, kemudian Ayat tersebut dilanjutkan dengan "Alladzina hum 'an shalatihim sahun,  (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya". Kata sahun (lalai), apakah mereka yang lupa atau melupakan, dan atau mereka tidak menyadari terhadap apa yang mereka lakukan dalam shalat, dan mereka tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, atau mereka yang tidak khusyuk, atau mereka tidak melaksanakan shalat?
Menarik apa yang disampaikan Atha' ibn Yasar yang dikutip oleh Ibnu Athiyah dalam tafsir Al-Muharar Al-Wajiz;
وقالَ عَطاءُ بْنُ يَسارٍ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي قالَ "عن صَلاتِهِمْ"، ولَمْ يَقُلْ: "فِي صَلاتِهِمْ"
Alhamdulillah, dalam Ayat menggunakan kata A'n Shalatihim (عن صلاتهم) tidak menggunakan kata Fi shalatihim ( في صلاتهم). 

Ternyata konsekuensi "huruf" setelah alladzinahum dan sebelum shalatihim, sangat memberikan warna dalam banyak kajian tafsir.  Mari kita perhatikan, salah satu perbedaannya antara " 'an" dan "fi"? Huruf "An, عن" kalau kita maknai dalam bahasa Indonesia adalah "عَنْ : dari, mulai, jauh dari, keluar dari, karena, didorong oleh, termotivasi oleh, sekitar, di, di atas, mengenai, tentang, berkenaan dengan, untuk atas nama dan makna lainnya. Sedangkan "Fi,في" bermakna: di, dalam, di dalam, tentang, selama, di antara, dan lainnya. 

Dalam Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari, perbedaan keduanya adalah; makna "عن" adalah bahwa mereka lalai dari shalat itu sendiri, seperti perbuatan orang munafik atau orang fasik yang lalai mengerjakan shalat. Sedangkan makna "في" adalah kelalaian yang dialami dalam shalat itu sendiri, seperti godaan setan atau bisikan dalam hati yang hampir tidak ada orang yang selamat darinya.

Dalam Al-Maudhu' juga membedakan antara An dan Fi, para ahli fikih membedakan antara lalai "dalam" salat dan lalai "dari" salat, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Lalai dalam salat sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kurangnya kekhusyukan dalam salat. Dalam  lalai "dalam" salat, seorang muslim berusaha untuk melaksanakan salat, tetapi mungkin kehilangan konsentrasi tanpa sengaja atau tanpa disadari. Berbeda dengan mereka yang lalai "dari" salat, yang dicela oleh Allah - "Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya," (Al-Ma'un: 4-5). Mereka dengan sengaja dan sadar meninggalkan salat (tarkus sholah).

Tapi, terkait dengan perbedaan di atas, ada ulama yang mengatakan bahwa sahun (lalai, lupa), yang kemudian celaka, adalah mereka yang tidak sadar dalam shalatnya. Kalau yang meninggalkan shalat, mereka adalah kafir. 
Dalam tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz, bahwa surat Al-Ma'un turun mengenai beberapa orang yang berada dalam kondisi tertekan di Makkah, yang tidak teguh dalam Islam, sehingga mereka tergoda dan menjadi lemah. Mereka dikenal karena sifat kasar, kejam, dan keras terhadap orang miskin. Mungkin di antara mereka ada yang kadang-kadang shalat bersama kaum muslimin karena tekanan dan kebingungan mereka. Maka Allah Ta'ala berfirman tentang mereka: "Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." 

Masih dalam Al-Wajiz, bahwa Ibn Juraij berkata bahwa Abu Sufyan setiap minggu menyembelih unta, kemudian datang seorang yatim dan dipukulnya dengan tongkat, lalu turunlah surat ini mengenai dirinya. Sa'ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه berkata: "Aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, beliau menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya'." Dan adalah mereka menunda shalat dengan sengaja dan lalai. Mujahid juga berpendapat demikian. Qatadah berkata, "Lalai" artinya orang-orang yang meninggalkan shalat atau orang-orang yang lalai yang tidak peduli apakah mereka shalat atau tidak. 

Dan terkait dengan "An" dan "Fi", juga tentang kata "sahun, lalai" masih banyak perbedaan ulama, semoga kita tidak masuk katagori Sahun (lalai,lupa) baik dari Fi (dalam) dan juga An (dari). Amin.

Malang, 28 Juli 2024

Menilik Keterkaitan Miskin, Sakinah dan Sukun


Halimi Zuhdy

"Jadilah sakinah!" Tema yang pernah saya sampaikan dalam kajian tentang keluarga harmonis. Kenapa sakinah?, karena sakinah menjadi kata yang mengawali dua kata selanjutnya, mawaddah dan rahmah. 
Asal kata "Sakinah" secara bahasa, dalam Al-Daror, dasar dari kata ini menunjukkan kebalikan dari kegelisahan (الاضطراب) dan gerakan (الحركة). Jadi, "diam/sukun" lawan dari gerakan/harlah; dikatakan: "sakan asy-syai'u yaskunu sukunan" ketika gerakannya berhenti, dan segala sesuatu yang tenang disebut "sakan," seperti angin, panas, dingin, dan semacamnya, dan "sakan ar-rajulu" berarti dia diam. "Sakinah" berarti ketenangan (at-tuma'ninatu), kestabilan (al-istiqrar), ketenangan, keteguhan (razanah), dan ketenangan, kehormatan (waqar).

Menurut Abdul Rahman Al-Sa'di "sakinah (Ketenangan) adalah sesuatu yang Allah masukkan dalam hati seseorang pada saat gelisah, galau, dan ketakutan yang mengerikan, kemudian diberikan keteguhan hati, tenang, dan membuatnya tenteram. Itu adalah salah satu nikmat besar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya." Sakinah, bukan keluarga yang tidak bergerak, kemudian menjadi tenang. Tapi, keluarga sakinah adalah keluarga yang oleh Allah diberikan rasa damai, tenteram, bahagia, dan tenang. Kata "tenteram" (sakinah) menunjukkan tujuan utama pernikahan, yaitu menciptakan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Bagaimana dengan miskin?. Miskin, sering kita simpulkan adalah mereka yang tidak punya harta, atau mereka yang kekurangan, atau antara pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang, lebih banyak pengeluarannya. Kata, miskin, ini satu derivasi dengan sakinah (tenang), sikkin (pisau), sukun (diam, tenang), sakan (tempat tinggal). Dalam Ad-dhurar dan Jamharah, asal miskin dari kata "sukun," yang berarti ketenangan dan keteguhan, dan darinya disebut "miskin" karena ketenangannya pada orang lain, atau karena kemiskinan mengurangi gerakannya. Bentuk jamaknya adalah "masakīn." Dan masih dalam Jamhara,  "miskin", adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau tidak memiliki cukup untuk kebutuhannya. Dikatakan: "tamasakana rajul," artinya orang itu menjadi miskin. Miskin juga berarti rendah diri, tunduk, dan lemah. "Tamasakana rajul lirabbihi" ketika seseorang merendahkan diri dan tunduk kepada Tuhannya. Masakana, kemiskinan dan kebutuhan. 

Maka, sakinah, miskin dan sukun, berasal dari satu derivasi "sakana", tenang, diam, damai. Loh, kok banyak orang miskin yang tidak tenang?

Tunggu jawabannya ya☕😁
@sorotan @pengikut

Senin, 05 Agustus 2024

Suara Ayat Lautan, Menggambarkan Realitas Gelombang

Halimi Zuhdy

Bunyi Ayat-ayat Al-Qur'an itu menggambarkan realitas, bila ada kata Layubatiianna (lambat), maka membacanya lambat, kalau dipaksa cepat, maka akan tergelincir dan tidak elok didengar. Ah, "ngarang", kata suara lain yang mencoba untuk tidak mempercayai tentang suara-suara Al-Qur'an. Biarlah, agar ia coba membaca, merenungkan, dan menikmati setiap bunyi-bunyi Al-Qur'an. 

Suara Ayat yang indah, sesuai dengan realitas bunyi gelombang, dalam surah An-Nur (40) dalam Al-Qur'an. 

كظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ ۚ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ

"Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, di atas ombak itu (ada) lagi ombak, di atasnya (lagi) awan. Gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun."
Ayat ini menggambarkan keadaan orang yang jauh dari petunjuk Allah, yang berada dalam kegelapan bertumpuk-tumpuk, seperti di dalam lautan yang sangat dalam, diliputi oleh ombak dan awan. Ayat ini menggunakan metafora untuk menggambarkan kebingungan dan kegelapan hati orang yang tidak beriman. Belum lagi kata "Lujjiyi", bayangkan bunyinya, seperti menelusup jauh ke dalam. Bukan "lujjiya", karena ia membincang kedalamannya. 

Rahasia Al-Qur'an tentang suara atau bunyi yang tercermin dalam Ayat ini dapat dipahami dari perspektif ilmiah dan spiritual. Dalam perspektif Ilmiah, bahwa lautan dalam disebutkan sebagai tempat yang sangat gelap, dan ini sesuai dengan penemuan ilmiah modern bahwa di kedalaman tertentu, sinar matahari tidak bisa menembus sehingga menciptakan kegelapan total. 

Asyik sekali, selanjutnya lapisan ombak yang disebutkan di atas (as-shathu) ombak juga menggambarkan fenomena ombak internal dan eksternal yang ada di lautan. Suara di lautan dalam juga dapat merujuk pada keheningan yang luar biasa karena tekanan air yang sangat tinggi dan kurangnya cahaya yang membuat lingkungan ini sangat sepi dan mencekam. Mengerikan. Tidak bisa dibayangkan. 

Dalam perspektif spiritual, Ayat di atas menggambarkan kegelapan spiritual yang dialami oleh orang yang tidak memiliki petunjuk dari Allah. Mereka bagaikan berada di lautan yang dalam dan gelap, tanpa panduan, tidak mampu melihat atau menemukan jalan keluar. Suara atau bunyi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai "suara hati" atau "panggilan jiwa" yang terpendam dalam kegelapan, yang hanya dapat didengar dan dipahami dengan cahaya dan petunjuk dari Allah.

Dalam konteks tafsir Al-Qur'an, ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya petunjuk ilahi untuk keluar dari kegelapan spiritual dan menemukan cahaya kehidupan yang sebenarnya.

Semoga Ayat-ayat menjadi pelajaran buat al-faqir khsuusnya, dan juga pada para pembaca. Allahumanfa'na bil Qur'an.

Malang, 31 Juli 2024

Sabtu, 27 Juli 2024

Menilik Kata "Memakmurkan Masjid" dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Sering banget kita mendengar kata memakmurkan masjid, dan yang terbayang adalah membangun masjid besar, menghias, menambah aksesoris, karpet, lantai dan segala macamnya yang bersifat material dicukupi. Dan meminta sumbangan tidak pernah selesai-selesai walau bangunannya sudah menjulang tinggi, bahkan sampai menembus langit (lebai banget, he). 
Toyyib. Mari kita telisik dasar kata "makmur". Kata ini berasal dari Bahasa Arab, adalah ism maf'ul dari kata a-ma-ra, ya'-mu-ru (-يعمر عمر). Kata memiliki berbagai makna, tergantung kata setelahnya, dalam Kamus Ma'ani di antara makna-makna tersebut adalah;  tempat yang dihuni orang (عمر المكان), bumi menjadi subur (عمرت الارض), manusia hidup lama (عمر الانسان), memperbaiki dan membangun (عمر المكان), membangun rumah (عمر المنزلا), Allah memanjangkan umur (عمره الله), kekayaan melimpah (عمر المال), tetap tinggal di rumah (عمر بيته) dan tinggal di suatu tempat.

Derivasi kata "Makmur", ada umroh, takmir, umur, imarat, isti'mar, dan lainnya. Dan lebih banyak lagi, bila dikaitkan dengan kata "ta'mir" yang diambil dari kata ammara-yu'ammiru (memakmurkan).  Dalam beberapa Mu’jam (kamus) kata Isti’mar memiliki beberapa arti, di antaranya adalah “memakmurkan, mensejahterakan, menghidupkan” kata ini diambil dari ‘Amara (عمر), dan derivasi yang sama dengan kata Imarah (bangunan, gedung), ta’mir (memakmurkan), amir (raja, pemakmur), umr (umur), amara (menetap, menempati). 

Terus, apa makna kata Memakmurkan masjid?. Mari kita lirik dalam Al-Qur'an;
إِنَّمَا یَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ یَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰۤ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَن یَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِینَ 
"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". 

Dalam tafsir Al-Alusi, kata "memakmurkan" (يعمر) dalam konteks ayat ini merujuk kepada segala bentuk peribadatan, perawatan, kesucian dan pemeliharaan masjid. Mencakup perbaikan, kebersihan, dan perawatan fisik masjid agar tetap layak digunakan. Juga menghiasi masjid, menghiasi masjid dengan cara yang tidak mengganggu kekhusyukan shalat, seperti penggunaan karpet dari bahan yang tidak mengganggu fokus. Memakmurkan, juga bermakna menerangi masjid. Menggunakan penerangan meskipun tidak ada orang yang menggunakan masjid pada saat itu. Memakmurkan, adalah melaksanakan Ibadah, menjaga agar masjid selalu digunakan untuk ibadah, zikir, dan pembelajaran ilmu-ilmu syariat.
Menjaga kesucian masjid. Menghindari penggunaan masjid untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan syariat, seperti pembicaraan duniawi dan kegiatan yang diharamkan. Kata "memakmurkan" dalam konteks ini mencakup semua usaha yang dilakukan untuk menjaga masjid tetap layak dan bermanfaat bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan aktivitas keagamaan.

Dalam tafsir Al Muharrar Al Wajiz karya Ibnu Athiyah, bahwa "memakmurkan masjid" memiliki makna yang dalam dan penting dalam Islam. Ayat tersebut menegaskan bahwa yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ayat ini menyiratkan perintah kepada orang-orang beriman untuk memakmurkan masjid. Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika kalian melihat seseorang yang terbiasa mengunjungi masjid, saksikanlah bahwa ia beriman." Ibnu Athiyah menjelaskan bahwa keimanan kepada Rasulullah ﷺ juga tercakup dalam Ayat tersebut, karena shalat dan zakat hanya dapat dipahami dan dilaksanakan melalui ajaran beliau. Ketakutan hanya kepada Allah menunjukkan ketundukan, pengagungan, dan ketaatan kepada-Nya.

Memakmurkan dalam konteks Ayat di atas, menurut Abi Hayyan dalam tafsir "Al Bahrul Muhith" memiliki beberapa penafsiran berdasarkan perilaku dan tindakan tertentu. Secara umum, "memakmurkan" di sini merujuk pada tindakan masuk dan berdiam di dalam masjid, sering mengunjunginya, memperbaiki bangunannya, memperbaiki yang rusak, melakukan ibadah di dalamnya, dan berkeliling di sekitarnya.

Bagaimana dengan orang yang membangun masjid (tukang), atau menyumbang sejumlah dana (miliader), tapi tidak pernah ke masjid, dengan pemahaman bahwa, memakmurkan adalah membangun? He. 

****
Yuk! Ikut kajian Masjid Untuk Siapa?
28 Juli 2024 Masjid At-Taqwa BTWI