السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Jumat, 07 Februari 2025

Hewan dalam Al-Qur'an dan Pelajarannya


Halimi Zuhdy

Menarik kitab tentang "Al Hayawat fil Qur'an, min Ayatil I'jaz al-Ilmy" karya Dr. Zaghlul Raghib Muhammad Najhar, terbitan Al-Ma'rifah. 

Dalam bahasa Arab - asal dari kata hewan itu muncul- bahwa manusia juga adalah hewan, hewan itu ada dua; hewan yang berakal (حيوان ناطق) dan hewan yang tidak berakal (حيوان غير ناطق).
Maka, hewan adalah setiap  makhluk yang punya ruh, baik berakal atau tidak.
كل ذي روح من المخلوقات عاقلا أم غير عاقل.
Hewan berasal dari kata hayiya (حيي), hidup, kehidupan, yang hidup. Satu derivasi dengan kata hayah (حياة), kehidupan. Dan kata ini, tergantung penggunaannya. Dalam bahasa Indonesia, kata hewan khusus pada binatang, atau dalam bahasa Inggris adalah animal, yang bermakna "punya nafas", sedangkan dalam bahasa  Sansekerta adalah "satwa" yang bermakna makhluk hidup. 

 Berbeda lagi dengan kata Hayawan (حيوان) dalam Al-Qur'an, yang memiliki banyak penafsiran, di antaranya adalah kehidupan yang abadi.
 
وَمَا هَـٰذِهِ ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ إِلَّا لَهۡوࣱ وَلَعِبࣱۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَ لَهِیَ ٱلۡحَیَوَانُۚ لَوۡ كَانُوا۟ یَعۡلَمُونَ 

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Surat Al-Ankabut: 64).

Hewan dalam penggunaannya dalam bahasa Arab adalah setiap organisme eukariotik (هو كل كائن حي حقيقي النواة) yang termasuk dalam kerajaan animal. Sedangkan Hewan dalam undang-undang (no 41/2014) adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

Dalam bahasa Jawa hewan adalah kewan, bahasa Madura keben, mirip, dalam satu bentuk kata. Hewan adalah kehidupan. Maka, sesama makhluk hidup harus saling menghargai dan berkasih. 

Bagaimana dengan hewan dalam Al-Qur'an?

Hewan-hewan dalam Al-Qur’an bukan sekadar makhluk hidup, tetapi juga membawa pelajaran bagi manusia. Keberadaan mereka mengingatkan kita akan kebesaran Allah dan pentingnya mengambil hikmah dari setiap ciptaan-Nya.
Dalam Al-Qur'an, banyak hewan disebut sebagai tanda; kebesaran Allah, pelajaran bagi manusia, dan bagian dari kisah para nabi. Setiap hewan memiliki keunikan dan peran tersendiri dalam kehidupan. Maka, hewan yang ada dalam Al-Qur'an bukan hanya sebuah nama atau sebutan saja, tetapi ada banyak pelajaran yang bisa dilirik dan menjadi ibrah dalam lehidupan kita. 

Hewan ternak dianggap sebagai sumber kehidupan, misal unta adalah hewan yang tahan di padang pasir dan disebut dalam Al-Qur’an sebagai bukti kebesaran Allah (QS. Al-Ghashiyah: 17). Sapi menjadi bagian dari kisah Bani Israil (QS. Al-Baqarah: 67-73), sementara domba dan kambing bermanfaat untuk makanan dan pakaian.  

Dalam al-Qur'an, juga hewan sebagai kendaraan seperti; Kuda, Bagal, dan Keledai. Kuda disebut sebagai hewan yang gagah dan digunakan dalam peperangan (QS. Al-Adiyat: 1-5). Bagal dan keledai berguna untuk mengangkut barang (QS. An-Nahl: 8).  

Sedangkan, serigala dan anjing adalah hewan yang berlawanan dalam perannya. Serigala muncul dalam kisah Nabi Yusuf sebagai alasan bohong saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 17). Sebaliknya, anjing dalam kisah Ashabul Kahfi setia menjaga pemuda yang tidur di gua (QS. Al-Kahfi: 18).  

Ada juga dalam Al-Qur'an gajah, monyet, dan babi, hewan ini adalah hewan dalam kisah hukuman.  Pasukan bergajah yang hendak menghancurkan Ka’bah dihancurkan oleh burung Ababil (QS. Al-Fil: 1-5). Monyet disebut sebagai hukuman bagi kaum yang melanggar perintah Allah (QS. Al-Baqarah: 65). Sementara itu, babi diharamkan untuk dikonsumsi (QS. Al-Ma'idah: 3).  

Burung dalam kisah NlNabi. Burung hud-hud menjadi pembawa berita bagi Nabi Sulaiman tentang Ratu Saba' (QS. An-Naml: 20-28). Gagak mengajarkan Qabil cara menguburkan Habil setelah membunuhnya (QS. Al-Ma'idah: 31).  

Tidak yang hewan-hewan yang di darat yang diceritakan Al-Qur'an, tapi juga ikan dan katak dalam Mukjizat. Ikan menelan Nabi Yunus sebagai ujian dari Allah (QS. As-Saffat: 139-148). Katak menjadi salah satu azab bagi Fir'aun dan kaumnya (QS. Al-A'raf: 133).  

Ada juga ular sebagai cerita atau kisah dalam mukjizat Nabi Musa. Tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular besar sebagai mukjizat untuk menghadapi sihir Fir’aun (QS. An-Naml: 10). Kalau ular punya cerita sendiri, demikian juga dengan serangga kecil, tapi mengandung pelajaran besar. Seperti lebah yang menghasilkan madu yang bermanfaat (QS. An-Nahl: 68-69). Semut dalam kisah Nabi Sulaiman menunjukkan kecerdasan dengan memperingatkan koloninya akan bahaya (QS. An-Naml: 18-19). Lalat dan nyamuk dijadikan perumpamaan tentang kebesaran Allah (QS. Al-Hajj: 73, QS. Al-Baqarah: 26).  

Laba-laba dan rayap adalah tanda keagungan Allah. Laba-laba dijadikan perumpamaan tentang rumah yang rapuh bagi orang yang tidak bersandar pada Allah (QS. Al-Ankabut: 41). Rayap memakan tongkat Nabi Sulaiman, hingga wafatnya baru diketahui setelah jasadnya jatuh (QS. Saba: 14).  

Dalam Fawaid Al-Qur'aniyah. Bahwa terdapat 26 jenis hewan yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Berikut adalah daftar hewan-hewan tersebut beserta keistimewaannya; hewan ternak (Al-An'am) ada 4 Jenis; Unta (الإبل) Disebut dalam Al-Qur'an sebagai bukti kekuasaan Allah (QS. Al-Ghashiyah: 17). Unta memiliki keistimewaan dapat bertahan tanpa air selama berhari-hari di gurun.  Sapi (البقر)– Memiliki nilai ekonomi tinggi dan disebut dalam Surah Al-Baqarah sebagai bagian dari kisah Bani Israil. Domba (الضأن) & Kambing (الماعز) – Hewan yang banyak dimanfaatkan manusia untuk daging, susu, dan bulu.  Dan seterusnya. 

Sedang hewan berkaki empat untuk transportasi – 3 Jenis; kuda (الخيل) – Disebut dalam QS. An-Nahl: 8 sebagai hewan yang digunakan untuk perjalanan dan peperangan.  Bagal (البغال) & Keledai (الحمير) – Bagal adalah hasil persilangan kuda dan keledai yang kuat untuk mengangkut beban berat.  

Untuk melengkapi keterangan di atas, sedangkan hewan buas ada 2 Jenis; Serigala (الذئب) dan Anjing (الكلب). Ada pula Hewan liar lainnya, gajah (الفيل)– Disebut dalam QS. Al-Fil, tentang pasukan bergajah yang ingin menghancurkan Ka'bah tetapi dihancurkan Allah dengan burung Ababil.  Ini sudah dijelaskan di atas. Monyet (القرد) dan juga Blbabi (الخنزير)

Dalam Al-Qur'an Burung ada  2 Jenis;  Hud-hud (الهدهد) dan Gagak (الغراب) kisah tentang gagak mengajarkan Qabil cara menguburkan jenazah saudaranya, Habil.  

Hewan-hewan yang ada satu jenis, yang disebutkan dalam Al Quran, ada Ikan (الحوت). Hewan amfibi satu 1 Jenis; katak (الضفدع. Hewan melata ular (الثعبان). Sesangkan serangga tersadapat 9 Jenis;  Lebah (النحل), semut (النمل), belalang (الجراد), upu-kupu (الفراش), kutu (القمل), lalat (الذباب), nyamuk (البعوضة), laba-laba (العنكبوت), rayap (دابة الأرض). Semuanya punya kisah indah penuh ibrah, dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.

Allahu'alam bishawab.

Menilik Pergantian Kata "Peserta Didik" ke "Murid" (1)


Halimi Zuhdy

Saya masih ternyata-tanya tentang perubahan nama PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) ke SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru) oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Tapi, pertanyaannya bukan tentang kebijakannya dan perubahan sejumlah aturan baru yang akan memengaruhi proses seleksi siswa di SMP dan SMA. Tetapi, Tetang istilah kata "peserta didik" diganti dengan "murid".
Mengapa dalam beberapa tahun terakhir istilah untuk menyebut "mereka" yang tengah menempuh pendidikan sering berganti? Dari "siswa" menjadi "murid," lalu "peserta didik," dan mungkin masih ada istilah lain yang akan muncul. Apakah perubahan ini sekadar pergantian kata, atau ada makna yang lebih dalam di baliknya? Apakah istilah-istilah ini mencerminkan perubahan dalam cara pandang terhadap pendidikan, atau justru hanya mengikuti tren kebijakan tanpa dampak nyata? Jika benar ada pergeseran paradigma, bagaimana hal itu mempengaruhi metode pembelajaran dan hubungan antara pendidik dengan mereka yang dididik? Ataukah perubahan istilah ini hanyalah formalitas administratif tanpa implikasi signifikan dalam praktik pendidikan sehari-hari?

Kalau saya pribadi, senang sekali pergantian istilah dari peserta didik ke murid, mengapa?. 
Mari kita tilik beberapa istilah dari bahasa asal kata "murid" ini, seperti perbedaan Thalib dan tilmidz.

“Tilmidz” secara bahasa bermakna "Mengikuti’, “Membantu”, “Pelayan",  "Membantu mempelajari kerajinan, kesenian”. Sedangkan dalam Kamus Ma’ashir dan Mu’jam Wasit bermakna “Seorang anak yang belajar (yatalammadz) ilmu”, “Pembelajar yang menuntut ilmu kerajinan dan lainnya”.
Dan ulama bahasa mendefenisikan “Tilmidz” adalah “Pembelajar (siswa) yang belajar di tingkat bawah (ibtida’), menengah (mutawassit).

Maka “Tilmidz” adalah pembelajar yang umurnya sekitar 0-16 tahun, sedangkan setelahnya di sebut dengan “Thalib”. Maka, "Tilmidz" adalah pembelajar (siswa) yang masih membutuhkan arahan (taujih), bimbingan (irsyadat) untuk menuju kematangannya.
“Tilmidz” mereka yang masih dalam bimbingan dan arahan untuk memperbaiki jiwa (nafsiah), mentalitas (Aqliyah) dan perilaku (sulukiyah).

Sedangkan “Thalib” secara Bahasa bermakna “Pencari”, dan secara umum diartikan dengan penuntut ilmu, “thalib” adalah penuntut ilmu yang telah melampaui puber pertama dan memasuki tahap dewasa, serta kemampuan kognitifnya dan pola pemahamannya lebih kompleks daripada siswa (tilmidz).

“Thalib” sering digunakan pembelajar di universitas yang disebut dengan “mahasiswa”, seperti “thalibul al-Jamiah”, atau dalam bahasa Inggris “student”, sedangkan “Tilmidz” dalam Bahasa Inggris sama dengan “pupils”.

“Thalib” juga digunakan untuk sekolah dasar “thalibul madrasah”. Karena kata ini, lebih umum dari “tilmidz”. Namun, penggunakan “tilmidz” khusus kepada pembelajar yang berada di usia anak-anak.

Sedangkan dalam Kamus Mughni, “Thalib” bermakna; (1) yang senang dalam mencari ilmu, (2) dua hal yang paling disenangi, mencari ilmu dan mencari harta (al-Jahidz), 3) suka mencarikan suami untuk anak perempuannya (thaliban lilzawaji mim ibnatiha).

Allah ‘alam bisshawab.
Maraji’; _Mu’jam al-Ma’ashir, Mu’jam al-Ma’ani, Mu’jam al-washit, al-furuq al-lughawiyah, Maqalah furuq lughawiyah lil dukthor Farhan, Mu'jam Mughni._

Bagaiman dengan kata Thalib?
Lanjut "Pergantian dari Kata Peserta Didik ke Murid? (2)"

Amalan Terbaik di sisi Allah



Halimi Zuhdy

"Ngapain rajin ke masjid, sholat dahinya sampai gosong, bawa tasbih kemana-mana, kalau tidak peduli kepada orang lain, tidak membantu kesusahannya, tidak membantu hajatnya, ke masjid dan ibadahnya hanyalah sia-sia" celetuk seseorang yang lagi sibuk membungkus nasi untuk fakir miskin
"Waduh, sibuk ngurus orang, sampai lupa kewajibannya sama Tuhan, sebaik apa pun membantu orang lain dan beramal terbaik, kalau tidak ingat Tuhan, maka akan sia-sia hidupnya, bukankah tujuan hidup itu beribadah" komentar Samsul pada Hamdan yang setiap harinya ia lihat jarang-shalat, bahkan tidak pernah kelihatan ke masjid. 

Dua komunikasi di atas seringkali terdengar dengan jelas. Satunya merasa benar dengan pendapatnya, karena sudah banyak membantu dan berkorban untuk bangsa dan umat, seperti sudah selesai dengan tugasnya sebagai manusia. Dan satunya juga merasa tugasnya sebagai khalifah adalah shalat dan shalat, sehingga kebutuhan orang lain, membantu orang dan berkorban untuk orang lain adalah sampingan saja, yang penting ingat Tuhan. 

Dan diskusi di atas tidak akan pernah selesai, apalagi dibawa kepada kepentingannya dan nalarnya saja, tapi bagi orang yang beriman narasi di atas adalah narasi yang tidak tepat, karena bagi orang yang beriman tidak pernah melepaskan pengorbanannya (membantu) kebutuhan saudaranya karena memprioritaskan Tuhan, demikian juga sebaliknya. Keduanya adalah perintah dari Allah, dekat pada Allah dan juga bersosial yang baik, sebagaimana kisah Isra' Mikraj, keseimbangan antara vertikal dan horizontal, yang tentunya semakin dekat denganNya, bukan kemudian menjauh dari berkhidmat untuk umat. 

Menarik hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini mengandung pesan penting tentang prioritas amal dalam Islam. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan tiga amal yang paling dicintai oleh Allah: "shalat pada waktunya", "berbuat baik kepada orang tua", dan "jihad di jalan Allah". Berikut adalah analisis mendalam terkait urutan amal ini, serta keterkaitannya dengan hadis-hadis lain yang menyebut amal-amal utama seperti iman kepada Allah, haji mabrur, dan lainnya. 
 
Toyyib, Rasulullah SAW menempatkan shalat pada waktunya sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa shalat memiliki posisi yang sangat penting dalam agama Islam. Shalat adalah "hubungan langsung antara hamba dan Allah" serta "simbol ketaatan yang paling nyata". Ada banyak Ayat dan hadis tentang keutamaannya, misalnya dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45)  

Shalat yang dilaksanakan tepat waktu menunjukkan komitmen seorang hamba kepada Allah. Ketepatan waktu menjadi indikator kepatuhan terhadap perintah Allah, yang mana setiap muslim dituntut untuk mengutamakan shalat di atas aktivitas lainnya. 

Menariknya, setelah hubungan vertikal kepada Allah (hablun minallah) melalui shalat, Rasulullah SAW menempatkan "berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain)" sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah:  "Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua..." (QS. Luqman: 14)  

Berbakti kepada orang tua adalah bentuk penghormatan kepada orang yang paling berjasa dalam kehidupan seorang manusia. Posisi orang tua sangat istimewa, karena mereka adalah sebab keberadaan anak di dunia. Dalam Islam, "berbuat baik kepada orang tua disandingkan dengan perintah bertauhid kepada Allah", seperti dalam QS. Al-Isra: 23. Dan banyak sekali Ayat dan hadis tentang ini.   

Lah, kita perhatikan tiga hal dari hadis Nabi di atas, setelah shalat dan birrul walidain, Rasulullah SAW menyebutkan jihad di jalan Allah sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Jihad adalah puncak pengorbanan seorang muslim, baik melalui jiwa, harta, maupun tenaga, untuk meninggikan kalimat Allah.  

Jihad menunjukkan kesiapan seorang muslim untuk memberikan segalanya demi agama. Dalam konteks ini, jihad tidak hanya berarti perang secara fisik, tetapi juga "usaha keras dalam menegakkan agama", seperti dakwah, pendidikan, dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas.  

Ada juga dalam hadis yang lain, amalan yang utama adalah beriman kepada Allah dan Rasulnya, kemudian haji, mabrur dan lainnya, sesuai dengan konteks yang disampaikan oleh Nabi. Tapi, hubungan vertikal dan horizontal tetap ada. 
Allahu 'alam bishawab.

Mitsaqan Ghalidha dalam Al-Qur'an

Halimi Zuhdy

Nikah secara bahasa adalah ad-dhammu, berkumpul, menjadi satu, menyatu. Untuk menjadikan satu, maka ia harus melakukan akad. Akad adalah ikatan. Kalau kita tilik lebih dalam, antara ikatan dan akad itu sangat dekat, baik secara lafal dan maknanya. Secara etimologis, kata "ikat" dalam bahasa Indonesia diduga berasal dari kata عقد (aqad) dalam bahasa Arab. Kata "aqad" memiliki arti dasar "mengikat" atau "menghubungkan", yang dapat digunakan baik dalam konteks fisik (seperti mengikat tali) maupun dalam konteks abstrak (seperti mengikat janji atau kontrak). 
Hal di atas, seperti dalam konteks pernikahan dalam bahasa Arab, akad nikah (عقد النكاح) adalah perjanjian atau ikatan antara dua pihak yang disahkan dengan ritual. Ini serupa dengan konsep "ikatan pernikahan" dalam bahasa Indonesia. Juga, kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, "aqad" juga dapat berarti kontrak atau perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan hukum atau sosial, mirip dengan bagaimana "ikatan" di Indonesia sering merujuk pada suatu hubungan formal, baik kontrak, kesepakatan, atau hubungan emosional.

Dalam pernikahan, Al-Qur'an menjadikan ikatan dengan sesuatu yang dahsyat sekali, yaitu mitsaqan ghalidah. Istilah "mitsāqan ghalīdhā" (perjanjian yang kokoh) digunakan untuk menggambarkan tiga jenis ikatan penting dalam Al-Qur'an: pernikahan sebagai ikatan suci yang harus dijaga dengan tanggung jawab (An-Nisa' 4:21), perjanjian Allah dengan para Nabi untuk menyampaikan risalah-Nya (Al-Ahzab 33:7), dan perjanjian Allah dengan Bani Israil untuk menaati syariat-Nya (An-Nisa' 4:154). Ketiganya mengajarkan pentingnya menjaga amanah, tanggung jawab terhadap komitmen, dan ketaatan kepada Allah sebagai bentuk ketakwaan.

Pernikahan itu bukan main-main, ia sangat sakral, ikatannya adalah kekuatan, maka yang melepaskannya sangat dibenci oleh Allah. Maka, yang menjadi saksi bukan hanya manusia, tapi juga malaikat. 

***
Tema Khutbah Nikah dalam Pernikahan 
Mbak Alfina Nur Isyrofi dan Mas Raihan

Mengapa Nabi Isa Memanggil Kaumnya dengan Ya Bani Israel?

Halimi Zuhdy 

Dalam Al-Qur'an ada banyak panggilan (nida') dengan berbagai kata/huruf panggilan yang variatif, seperti ya dan ya ayyatuha, sedangkan munada (yang dipanggil) seperti ya bunayya, ya ayyuhal insan, ya busyra, ya ayyuhannas, ya ayyuhannabi, ya Bani Israil, ya qaum dan lainnya. 
Dan tulisan ini, melirik perbedaan panggilan antara Nabi Musa dan Nabi Isa, yang keduanya adalah Nabi dari Bani Israil, tetapi mengapa mengapa Nabi Musa memanggil dengan "Ya Qaum" (wahai laum), sedangkan Nabi Isa dengan Ya Bani Israil. 

Dalam kajian naratologi, terdapat keindahan dan hikmah dalam penggunaan bahasa Al-Qur'an yang menyoroti perbedaan cara Nabi Musa dan Nabi Isa dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya, yaitu Bani Israil. Ketika Nabi Musa berbicara kepada mereka, ia menggunakan panggilan "يا قوم" (wahai kaumku), sedangkan Nabi Isa menggunakan panggilan "يا بني إسرائيل" (wahai Bani Israil). 

Ali As-Shalabi, dalam Isa Rasulun li Bani Israil, mengungkapkan bahwa perbedaan keduanya memberikan pesan mengenai hubungan personal dan asal-usul keduanya. Nabi Musa, sebagai keturunan langsung dari Bani Israil melalui ayahnya, secara alami menganggap mereka sebagai kaumnya. Oleh karena itu, ia menyapa mereka dengan panggilan "يا قوم" yang menunjukkan kedekatan kekerabatan. Sebaliknya, Nabi Isa tidak memiliki hubungan langsung seperti itu. Nabi Isa lahir tanpa ayah, dan karena itu ia tidak memiliki "kaum" dalam pengertian nasab. Oleh sebab itu, ia menyapa mereka dengan panggilan "يا بني إسرائيل," yang menegaskan bahwa ia adalah utusan Allah yang diutus khusus kepada Bani Israil, tanpa keterikatan hubungan nasab.

Dalam Tafsir Al-Zamakhsyari 4/525, Tafsir Ibnu ‘Athiyah 5/302, dan Tafsir Al-Qurthubi 18/83, bahwa Nabi Isa bin Maryam AS berasal dari Bani Israil dan diutus kepada mereka, tetapi beliau selalu memanggil kaumnya dengan seruan "Ya Bani Israil" (lihat QS. Al-Ma’idah: 72, QS. Ash-Shaff: 6) dan tidak menggunakan panggilan "Ya Qaumi" (wahai kaumku). Hal ini karena dalam tradisi bahasa Arab, istilah "kaum" merujuk kepada mereka yang memiliki hubungan nasab dengan seseorang melalui ayahnya, sedangkan Nabi Isa AS tidak memiliki ayah. Oleh karena itu, beliau menggunakan panggilan "Bani Israil" untuk menegaskan kedudukannya sebagai seorang nabi yang diutus kepada keturunan Nabi Ya’qub AS. 

Hal ini tidak menunjukkan pengurangan dalam kedudukan Nabi Isa atau misinya. Dalam Al-Qur'an, semua nabi disebutkan diutus untuk kaumnya masing-masing. Firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 47 menegaskan, "Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum engkau kepada kaum mereka...". Namun, ada satu pengecualian, yaitu Nabi Muhammad, yang diutus untuk seluruh umat manusia.

Allah dengan bijaksana mengatur setiap risalah para nabi sesuai dengan waktu dan tempat mereka diutus. Nabi-nabi dari kalangan Bani Israil, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa, diutus hanya kepada mereka dan dakwah mereka tidak melewati batas geografis wilayah Irak, Syam, dan Mesir. Hal ini sejalan dengan rencana Allah, di mana syariat para nabi sebelumnya akan disempurnakan dan digantikan oleh risalah universal Nabi Muhammad.

Nabi Isa telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Ia menyeru Bani Israil untuk menyembah Allah semata, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Maidah ayat 72: "Dan Al-Masih berkata, 'Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.'"

Dengan demikian, perbedaan dalam sapaan antara Nabi Musa dan Nabi Isa adalah refleksi dari kebijaksanaan Allah, yang memilih setiap nabi untuk misinya masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan umatnya. 

Allahu'alam Bis Shawab

Memahami Kata Wafat dan Maut dalam Linguistik Arab


Halimi Zuhdy

Bahasa adalah cerminan dari budaya suatu bangsa, dan setiap bahasa memiliki keistimewaan dan karakter sendiri. Bahasa yang digunakan dalam suatu bangsa, dianggap mewakili karakter dari bangsa tersebut.

Misalnya, dalam mengungkapkan kata “kematian”, antara suatu bangsa dan bangsa lainnya berbeda, baik dari ungkapannya atau perlakuannya.
Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” memiliki banyak sinonim (al-mutaradifat), di antaranya; berkalang tanah, berkubur, binasa, bobrok, buang nyawa, gugur, hilang hayat, hilang jiwa, hilang nyawa, jangkang, kaku, kembali ke pangkuan Allah Swt, koh, mampus, mangkat, maut, melayang jiwanya, membaham tanah, meninggal, menutup mata, modar, musnah, padam hayat, padam nyawa, punah, putih tulang, putus jiwa, putus napas, putus nyawa, putus umur, tenang, terjengkang, tersekat, tersumbat, tertutup, tetap, tewas, tumpar, tumpas, wafat, dan masih ada kosakata lainnya, dengan penggunaannya yang berbeda.

Dalam tradisi Nusantara, kematian adalah sesuatu yang sangat sakral, bukan hal yang sederhana, sehingga muncul dengan istilah-istilahnya yang bervarian. Karena kematian merupakan hal yang penting, sebagaimana kelahiran, maka banyak memunculkan ungkapan-ungkapan atau kosakata yang tidak sedikit.

Dampak dari kesakralan tersebut, orang yang meninggal tidak cukup dikebumikan, tetapi ada tahapan-tahapannya, dan setelah dikebumikan dibuatkan kijing, diberi nama, tanggal lahir dan tanggal kematiannya, ada pula yang dibangunkan rumah di atasnya. Sedangkan beberapa negara di Arab, bahkan mayoritas, kijing juga jarang didapatkan, dan tidak terdapat nama dan tanggal kematiannya. Seperti pekuburan Baqi’ dan Ma’la.

Semakin banyak kosakata (sinonim) dari sesuatu hal atau barang, maka semakin penting sesuatu hal tersebut dalam sebuah komunitas atau bangsa, semisal kata “unta” yang memiliki banyak kosakata, ada sekitar 1000 kosakata terkait dengan kata “ibil, unta” dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan kata “pedang” atau saif yang memiliki banyak sinonim. Mengapa? Karena orang Arab sangat memperhatikan dua hal tersebut di atas.

Kata “wafat” dan “mati”, adalah serapan dari bahasa Arab “wafatun” dan “mautun” yang bermakna mati. Kedua kata tersebut, dalam bahasa Arab memiliki perbedaan fungsi, walau memiliki kesamaan makna.

Kata “wafat” dan “maut” tersebar dalam Ayat Alquran, bila ditilik lebih dalam, keduanya memiliki fungsi yang berbeda, kata “maut” adalah keluarnya ruh dari makhluk hidup, apakah itu manusia, hewan atau tumbuhan. Setiap organisme yang hidup di muka bumi ini memiliki kehidupan, apabila ruh tersebut keluar pada waktunya (ajal) dan berhenti aliran darah tubuh, maka dikatakan “mati”.

Demikian menurut al-Adnan, “Tercerabutnya ruh dari tubuh dan berhentinya aliran darah yang mengalir dari anggota tubuh, dan tidak terdapat tanda-tanda kehidupan.”

نْتِزَاعُ رُوْحُ الْكَائِنِ الْحَيِّ مِنْ جَسَدِهْ فَيَتَوَقَّفُ الدَّمُ عَنِ الجَرَيانِ فِيْ أعْضَائِهِ وتَنْتَفِيْ عَنْهُ الْحَيَاة وَعَلاَمَاتِهَا، ويَقَعُ المَوْتُ حَتْماً عَلَى كُلِّ حَيِّ بَشَراً كَانَ أوْ سِوَاهْ

Sedangkan “Wafat” adalah berhentinya catatan amal seorang hamba yang sudah mukallaf dan dinyatakan selesai, serta mendapatkan semua balasannya dari Allah atas apa yang telah dilakukan, dan dikeluarnya ruh dari jasadnya.

وَقُّفُ جَرَيَانِ الْقَلَمِ وَ انْقِطَاعُ عَمَلِ العَبْد العَاقِلِ الْمُكَلَّفِ وَوَفاءَهُ وَتَمَاَمه، وَجَزَاءُ أجْرِهِ مِنَ الله واسْتِيْفَاءهِ بِخُرُوْجِ نفَسِهِ مِنْ جَسَدِهِ

Secara umum keduanya bermakna meninggal dunia, namun berbeda dalam penggunaannya, kata “maut” digunakan untuk semua makhluk yang memiliki ruh atau nafas, baik hewan atau manusia, atau mungkin makhluk lainnya. sedangkan “Wafat” hanyalah untuk mereka yang dikenai perintah atau larangan (mukallaf) oleh Allah dan dari perintah dan larangan itu mengalirlah catatan-catatan itu, dan makhluk yang dikenahi perintah itu, adalah manusia.

Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, “al-Wafat” adalah “Maut”, dan wafat itu ada dua; wafat shugra (kecil) dan wafat kubra (besar), wafat Sughra adalah tidur, sedangkan wafat kubra adalah mati (maut) sebagai dalam ayat 42, surat Azzumar

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى (الزمر، 42).

Ibnu Katsir tentang ayat di atas juga menafsirkan sebagaimana dalam Lisan al-Arab, bahwa wafat ada dua; Wafat kubra (kematian besar) dan wafat shugra (kematian kecil), “An-naum” bermakna “al-maut”.

Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” bersifat umum, dan bisa digunakan untuk semua makhluk hidup, sedangkan “wafat” hanya untuk manusia, itupun digunakan untuk orang-orang yang terhormat.

***
Lanjut makna Al-wafat dalam Al-Qur'an

Mengapa "Afwan" sebagai Jawaban "Syukran"?



Halimi Zuhdy

Sering sekali kita dengar, ketika ada orang yang berterima kasih dengan menggunakan bahasa Arab, seperti kata "syukran/شكرا", maka dijawab dengan kata "Afwan/عفوا". Dan tidak sedikit yang protes dengan jawaban "afwan" tersebut, karena dianggap kurang tepat. Bukankah kata "afwan" artinya "maaf", masak menjawab "mohon maaf" ketika diberi ucapan terima kasih?. Lah, tidak sedikit yang menyalahkan kata ungkapan tersebut. 
Toyyib. Dalam bahasa Indonesia, jawaban kalimat "terima kasih" sangat variatif, ada yang menggunakan; sama-sama, terima kasih kembali, dengan senang hati,  dan ungkapan lainnya. Maka, jawaban tersebut mirip sekali dengan bahasa daerah, seperti Jawa, Madura dan daerah lainnya, sami-sami, depadeh, nuwun pisan. Dari berbagai ungkapan itu, kita tidak menemukan kata "mohon maaf", "ngapunten", "saya salah" dan yang mengarah kepada permohonan maaf. 

Loh, kenapa bahasa Arab menggunakan permohonan maaf?. Lah ini yang menarik.wkwkw. Sebelum protes, kita harus paham dulu arti katanya, kemudian penggunaannya. Ini pentingnya memahami kata lughatan (secara bahasa, literal), dan kata istilahan (istilah, terminologi). "Afwan", menurut Ibnu Mandhur bermakna at-tamsu wal mashu (meninggalkan, menghapus). Dalam Ad-Darar, "Afwan" secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata kerja عفا يعفو عفواً yang bermakna "melewatkan kesalahan" dan "tidak menjatuhkan hukuman atasnya." Kata ini juga berakar dari arti "menghapus" atau "menghilangkan." Dalam pengertian lain, عفوت عن الحق berarti "aku membebaskan hak tersebut," seolah-olah hak itu telah dihapus dari pihak yang bertanggung jawab. Al-Khalil menjelaskan bahwa setiap orang yang pantas menerima hukuman, tetapi dibiarkan begitu saja, berarti telah diberi العفو. Lebih lanjut, العفو juga digunakan dalam konteks "meninggalkan sesuatu" tanpa harus ada kaitannya dengan hak atau hukuman (Al-Khalil, Kitab al-'Ayn).

Secara istilah, al-'afu sering diartikan sebagai pengampunan. Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikannya sebagai "mengabaikan dosa" (Mufradat Alfaz al-Qur'an). Ibn Malik mengartikan sebagai "melewatkan kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman" (Sharh al-Tashil).  

Toyyib. Sedangkan "Afwan" yang digunakan sebagai jawaban "Syukran" adalah bermakna "ziyadah", "al-fadl", jug bermakna "atha'. Dalam "Al-Arabiyah" bahwa dalam konteks ini, ucapan "afwan" mencerminkan bahwa seseorang memberikan sesuatu dengan "mudah dan lapang", dari kelebihan atau keutamaan yang dimilikinya, tanpa merasa dirugikan. Pemaknaan ini selaras dengan penggunaan kata "afwan/العفو" dalam Al-Qur'an, seperti dalam ayat "وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ" (QS. Al-Baqarah: 219), yang berarti "kelebihan" atau "apa yang tersisa" setelah kebutuhan terpenuhi.

Dengan demikian, ketika seseorang mengucapkan "Afwan/عفواً" sebagai respons atas "Syukran/شكراً", hal ini menunjukkan bahwa "pemberian atau bantuan yang telah dilakukan berasal dari kelebihan dan dilakukan dengan kelapangan hati." Makna ini juga tetap hadir dalam berbagai dialek Arab modern. Misalnya, dalam bahasa Arab Mesir, ungkapan "إيه اللي فاضل" berarti "apa yang tersisa?" Sedangkan dalam dialek Suriah, frasa "فاضلّك كذا وكذا" berarti "tersisa untukmu sekian dan sekian." Dengan kata lain, "عفواً" bukan sekadar ungkapan formal, tetapi menggambarkan kedermawanan dan kelapangan dalam memberikan sesuatu.

Dan asyik-nya kata afwan itu bentuk dari keramahan, kerendahan hati, dan memasrahkan pada Allah yang pantas untuk diberikan ungkapan terindah itu. Maka, tidak salah menggunakan kata "Afwan", untuk jawaban dari Syukran. Oh Ia, lebih lengkapnya dapat disimak di TikTok🥰

Allahu'alam bishawab.

Kamis, 16 Januari 2025

Gelora Imam Jurjani pada Putranya, untuk Tholabul Ma'ali


Halimi Zuhdy

Syair indah sang ayah, Al-Syarif Al-Jurjani buat putra tercintanya, Muhammad Syamsuddin dalam meraih cita-cita tertingginya. 

Sebuah kisah inspiratif tentang Al-Syarif Al-Jurjani dan putranya Muhammad Syamsuddin menggambarkan pentingnya semangat dalam meraih cita-cita tinggi dalam hidup. Tinggi cita-cita dan keinginan untuk mengejar kemuliaan selalu menjadi fondasi utama dalam membangun keberhasilan individu maupun masyarakat. Menarik melirik semangat sang anak untuk mencontoh ayahnya. Ayahnya menjadi idola, mungkin dalam pandangannya, ayahnya bukan hanya ayah, tapi adalah seorang alim yang pantas untuk diteladani. Tapi, bagaimana keinginan putranya dan tanggapan ayahnya?
Diceritakan bahwa Muhammad Syamsuddin (838 H), putra dari al-Syarif Al-Jurjani (816 H) ingin meneladani ayahnya untuk mencapai derajat keilmuan yang tinggi (siapa yang tidak tahu, Al-Syarif Al-Jurjani?,  ulama hebat, linguis, faqih, filosof ). Suatu hari, sang ayah bertanya kepadanya, "Derajat ulama mana yang ingin kau capai?" Muhammad menjawab, "Derajatmu." Mendengar hal itu, sang ayah berkata, "Cita-citamu kurang tinggi. Aku dahulu menginginkan kedudukan seperti Ibnu Sina, hingga usahaku membawaku pada derajat seperti sekarang ini. Sedangkan dengan tujuanmu yang terbatas, engkau hanya akan mencapai derajat yang kurang sempurna. Maka, hendaknya engkau memiliki cita-cita yang tinggi dan keinginan untuk meraih kemuliaan."

وذات يوم سأل الوالد (الشريف الجرجاني) ابنه (محمد شمس الدين): (تطلبُ درجةَ أيِّ فاضلٍ من العلماءِ؟ قال: درجتَك، فقال: أنت قصيرُ الهمّةِ، أنا طلبتُ رتبةَ ابنِ سينا، فبلغَ بي السعيُ إلى هذه الدّرجة، وأنت فيما تطلبُ لا تصلُ إلا إلى درجةٍ ناقصةٍ، فعليك بعلوّ الهمّةِ وطلبِ المعالي).

Kisah ini menyiratkan pesan penting bahwa cita-cita yang besar akan mendorong seseorang untuk mencapai potensi terbaiknya. Kemudian, Al-Syarif Jurjani, yang mempunyai nama lengkap Ali bin Muhammad bin Ali Al-Syarif Al-Hasani Al-Jurjani, beliau menuliskan pesan cantik dan motivasi kuat pada sang putranya melalui syairnya; 

طريقُ المعالي عامرٌ ليَ قيّمُ        
       وقلبي بكشفِ المُعضلاتِ مُتَيَّمُ
ولي همّةٌ لا تحملُ الضّيمَ مرةً       
      عزائمُها في الخطبِ جيشٌ عرمرمُ
أريدُ من العلياءِ ما لا تَنالُه ال    
      سيوفُ المواضي والوشيجُ المقوّمُ
وأُوردُ نفسي ما يُهاب ورودُه          
           ونارُ الوغى بالدّارِعين تَضَرَّمُ

Jalan menuju kemuliaan terbentang terang untukku, dan hatiku terpaut tuk memecahkan masalah-masalah pelik

Aku memiliki gelora yang tak pernah menerima kehinaan, tekadnya bak pasukan besar yang tak terkalahkan dalam berbagai kesulitan

Aku menginginkan dari kemuliaan apa yang tak dapat diraih, oleh pedang-pedang tajam atau tombak-tombak yang kokoh

Aku membawa diriku ke medan yang ditakuti banyak orang, saat api peperangan menyala di tengah perisai yang membara

Bait-bait syair indah ini mencerminkan ambisi yang melampaui batas material, menuju puncak-puncak yang hanya dapat diraih dengan tekad yang kuat dan usaha yang tak henti, thalbul ma'ali. 

***
Kisah dan bait-bait puisi ini diriwayatkan oleh Al-Khuwansari dalam kitabnya Rawdhât Al-Jannât (jilid 5, halaman 291) dari Sayyid Ni'matullah Al-Jaza'iri (wafat tahun 1112 H). Kisah tersebut kemudian dikutip dari Rawdhât oleh Syaikh Abbas Al-Qummi dalam kitabnya Al-Kunâ wa Al-Alqâb (jilid 2, halaman 360), yang dikutip Dr. Muhammad Nouri Al-Mousawi.

TAHUN, YEAR, SANAH. Perbedaan "SANAH" & " 'AAM" dalam Bahasa Arab


Halimi zuhdy

Kata selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan para ahli bahasa, apalagi terkait dengan "taraduf" yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sinonim, walau jenis "taraduf" ini sangat banyak macamnya. 

Para ahli bahasa Arab ada yang sepakat dengan adanya sinonim, diantaranya:  Sibawaihi, Asma'i, Abu al-Hasan Rummani, Ibnu Khalawiyah, Hamza bin Hamza al-Isfahani,  Al-Fairuzabadi,  Al-Tahanawi, serta mayoritas ahli bahasa Arab modern mengakui adanya sinonim dalam bahasa Arab. Sedangkan yang tidak sepakat adanya sinonim, seperti: Tsa'lab, Ibnu Faris, Abu Hilal Al'askari, Baidhawi dan beberapa Ahli Bahasa lainnya.
Kita mengenal kata "tahun", diartikan dengan masa yang lamanya dua belas (12) bulan, juga 
masa planet berputar mengelilingi bintang selama satu putaran. Atau bilangan yang menyatakan tarikh (tanggal). Sedangkan asal usul kata "tahun" itu sendiri belum saya temukan (mungkin ada referensi tentang asal kata ini, bisa ditambahkan).

Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Year. Pertama kali tercatat sebelum tahun 900; Bahasa Inggris Pertengahan menggunakan kata "yeer", Bahasa Inggris Kuno gēar; serumpun dengan Bahasa Belanda jaar, Bahasa Jerman Jahr, Bahasa Norwegia Kuno ār, Bahasa Gotik jēr, Bahasa Yunani hôros “tahun,” hṓrā “musim, bagian dari hari, jam” (dictionarycom). 

Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa kata, di antaranya adalah "Sanah" dan "aam". 
Adanya perbedaan "Sanah" dan "Aam", adalah yang bermadzhab mengingkari sinonim, sedangkan yang bersepakat, maka tiada perbedaan keduanya. 

Tahun dalam bahasa Arab dikenal dengan kata "Aam" dan "Sanah", yaitu waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari dengan siklus penuh, dalam jangka waktu 365 hari (12 bulan), dan sudah jamak bahwa "aam" dan "sanah" yang berarti tahun adalah  dianggap kata-kata sinonim dalam bahasa Arab, tapi kemudian muncul perbedaan, ketika membincang keduanya dalam al-Qur'an. 

Dalam aspek maknanya, sebagaimana dalam "Mau'dhu' ", kata "Sanah" adalah muannast (perempuan), jamaknya (plural) adalah "sanawat", kata Sanah ini menunjukkan arti; sangat atau keras (syiddah), kelaparan (jadbi), jahat (syar), kekeringan (Qahth). Hal tersebut dapat dilihat pada kata "sanah" yang sering digunakan pada kata yang kurang baik, seperti "Negeri, tahun ini dihantam musibah" (Ashabat Albaladah Sanah). 

Kata "Aam", adalah kata tunggal dan menunjukkan maskulin (Mudzakkar),  jamaknya adalah "'Awam", dan kata ini kebalikan dari "Sanah", yang bermakna; kemakmuran (rakha'), kenyamanan (rahah), kebaikan (khair), dan kesejahteraan (rafahiyah).

Kata "Sanah" digunakan dalam bentuk dasar, seperti: umur, tanggal, jangka waktu tertentu. Sedangkan kata "Aam"  digunakan untuk merujuk pada tahun tertentu yang berhubungan dengan hal khususan (al am dirasi dll), dan kata "Aam" lebih khusus dari pada "Sanah". 

Untuk memahami perbedaan lebih luas terkait dengan "Aam" dan "Sanah", maka penulis akan rujuk beberapa pendapat yang membedakan antara keduanya, dan juga sebagai contoh atas makna keduanya, yang secara umum "Aam" untuk hal kebaikan, sedangkan "sanah" berkaitan dengan keburukan. Maka, berikut perbedaan keduanya dalam Al-Qur'an. 

Kata "Sanah" disebutkan lebih dari satu tempat dalam Al-Qur'an, ada 7 kata dengan bentuk tunggal, dan 12 kata dengan bentuk jamak. Sedangkan kata "Aam" hanya dengan bentuk tunggal dan terdapat pada 7 tempat saja, Ini menunjukkan bahwa tahun-tahun yang baik (a'wam al khair) hanya sedikit. Di mana Kata "amm" dalam ayat  mendorong orang untuk bersabar dalam kesulitan, mengingatkan manusia untuk melakukan perbuatan baik, memotivasi  dan mendapatkan pahala, dan  hal-hal baik lainnya.

Kata "Sanah" digunakan untuk merujuk pada hari-hari yang keras dan menyedihkan, sementara kata "Aam" digunakan untuk menunjukkan kelapangan hati, kebaikan dan kesenangan. Sebagaimana dalam surat Yusuf, 47 _"Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh "tahun" (sanah) (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. yaitu, Tujuh tahun penderitaan, kesedihan, kepayahan yang telah dilalui. 

Kemudian penggunaan "Aam" dalam surat Yusuf, ayat 79: "Kemudian setelah itu akan datang "tahun" (Aam) yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur". yaitu telah usai penderitaan, dan tujuh tahun berikutnya adalah keindahan dan kebahagiaan. 

Kejelian al-Qur'an dalam penggunaan kata, maka merujuk pada ulama bahasa Arab yang menolak adanya taraduf (sinonim), akan semakin terlihat, bahwa setiap kata yang hadir ke dunia memiliki artinya sendiri.

Rujukan; Al Furuq al-lughawiyah, Mawaqi'; Maudhu',  al fikr, dan lainnya.

Kata "Wawasshoina" dan "Uff" dalam Al-Qur'an


Halimi Zuhdy

Al-Qur'an selalu memilik kata yang unik dan menarik. Dalam berbuat baik pada orang tua, Al-Qur'an menggunakan beberapa kata di antaranya "ihsana" dan "husna", dan menariknya  di dahului dengan kata Wawashoina, wasiat. 

Dalam Al-Qur'an, Allah menggunakan kata "wawasshoina/ووصينا" (dan Kami wasiatkan) untuk memberikan penekanan khusus pada hakikat hubungan anak dengan orang tua. Wasiat ini tidak hanya sekadar perintah, melainkan pesan luhur yang memuat pengingat mendalam tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, terutama dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
Frasa ini menunjukkan bahwa hubungan anak dan orang tua tidak bersifat transaksional, melainkan penuh makna spiritual dan emosional. Misalnya, dalam Surah Luqman (31:14), Allah menyebutkan perihal kesulitan seorang ibu yang mengandung dan menyusui sebagai bukti pengorbanan tanpa syarat yang harus disyukuri oleh setiap anak. Dengan kata "wawashoina", Allah seolah mengingatkan bahwa wasiat tersebut adalah bentuk kasih sayang ilahi, agar manusia tidak melupakan dasar hubungan ini di tengah kesibukan duniawi.  

Selain itu, kata wawasshoina (ووصينا) menggambarkan urgensi dan kesinambungan pesan ini melintasi generasi. Ayat-ayat tersebut menanamkan bahwa hakikat wasiat kepada orang tua adalah fondasi nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, ia menjadi bagian dari akhlak yang harus tertanam dalam setiap individu Muslim. Wasiat ini diulang dalam berbagai konteks Al-Qur'an untuk menunjukkan bahwa birrul walidain (berbakti kepada orang tua) adalah landasan moral yang melengkapi keimanan kepada Allah. Namun, jarang dibahas bahwa bentuk wasiat ini juga mengandung peringatan agar seorang anak tidak hanya bersikap baik secara lahiriah, tetapi juga menjaga hati dari rasa dendam, kecewa, atau prasangka buruk terhadap orang tua, meskipun terkadang mereka bisa saja tidak sempurna. Hal ini menunjukkan kedalaman spiritual dari pesan ini, bahwa hakikat bakti bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah.

**** 
Bagaimana dengan "Uff"? 

Huruf paling ringan dalam bahasa Arab adalah huruf "Fa’" (الفاء), maka huruf ini yang digunakan al-Qur’an ketika Allah melarang manusia mendurhakai orang tua, dengan mengatakan “Wala Taqul Lahuma Uff, ولاتقل لهما أف", maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan "Uff" (dalam terjemahan bahasa Indonesia “Ah”).

Ketika saya membaca beberapa referensi (maraji’), saya menemukan bahwa huruf Hijaiyah ada yang ringan/lemah (dhaif) dan ada yang berat/kuat (qowi), dan huruf yang paling berat pengucapannya adalah huruf “Tha”! karena di dalam huruf Tha’ tidak ditemukan sifat huruf; hams (desis, samar), rakhawah (lembut, lunak, tidak ditahan), laiin dll. Sedangkan dalam huruf “Fa’” tidak terdapat sifat huruf; Jahr (terang, nyaring, jelas), Syiddah (kuat, ditahan), Ithbaq (melekatkan lidah ke langit-langit, lekat) dan lainnya. 

Ini adalah kemu’jizatan bahasa Al-Qur'an, bahwa kita dilarang untuk mengungkapkan kata “Uff, ah” kepada orang tua walau pun huruf tersebut adalah huruf yang paling paling lembut dan paling ringan, apalagi kita menggunakan dengan kata yang kasar, yang kuat dan membentak. (Sumber, Fatayat)

Perbedaan Konsep الفعل, العمل, dan الصنع dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Menilik istilah-istilah dalam Al-Qur'an tidak pernah selesai, sangat banyak kata yang dianggap mutaradifat (sinonim), tapi sebenarnya banyak perbedaan antara satu dengan lainnya, sehingga dikenal dengan furuq lughawiyah dalam istilah kajian bahasa Arab.
Dalam Al-Qur'an, terdapat istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan atau tindakan, yaitu الفعل (al-fi'l), العمل (al-'amal), dan الصنع (ash-shan'). Ketiga kata di atas memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, meskipun sering dianggap serupa. 

Pertama kata al-fi'il (الفعل) adalah istilah umum yang mencakup semua bentuk tindakan atau perbuatan, baik dilakukan dengan ilmu maupun tanpa ilmu, dengan niat atau tanpa niat. Bahkan, fi'il (الفعل) juga mencakup perbuatan yang terjadi dari makhluk selain manusia, seperti hewan atau benda mati. Misalnya, dalam firman Allah:

{ كَانُوا۟ لَا یَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرࣲ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَفۡعَلُونَ }

"Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat". [Surat Al-Ma'idah: 79]

Ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan (mungkar) yang disebutkan dapat terjadi tanpa kesadaran atau niat. الفعل menggambarkan tindakan dalam pengertian yang sangat luas.

Kedua al-'amal (العمل), kata ini lebih spesifik karena mengacu pada perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran, ilmu, dan niat. Al-amal melibatkan maksud tertentu dari pelakunya, sehingga lebih bernilai dibandingkan al-fi'il yang bisa terjadi tanpa kesadaran. Sebagai contoh, Allah berfirman:

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِّنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Kamu melihat banyak di antara mereka tolong menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sungguh, sangat buruk apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah, dan mereka akan kekal dalam azab". (QS Al-Ma'idah: 62). 

Ayat ini menunjukkan bahwa al-'amal adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, meskipun dalam konteks negatif.

Ketiga adalah al-shon'u (الصنع) adalah tindakan yang lebih spesifik lagi karena melibatkan keahlian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Al-shona' sering kali digunakan untuk menggambarkan proses penciptaan sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Sebagai contoh, Allah berfirman:

{ لَوۡلَا یَنۡهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّـٰنِیُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوۡلِهِمُ ٱلۡإِثۡمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَصۡنَعُونَ }

"Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat." [Surat Al-Ma'idah: 63]

Ayat ini menjelaskan bagaimana perbuatan itu dari ulama, atau dilakukan oleh ulama, dan menggambarkan keahlian mereka.

Memahami perbedaan ini membantu kita untuk lebih menghargai makna mendalam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan memperkuat pemahaman kita tentang bagaimana setiap kata digunakan dengan sangat tepat dalam bahasa Arab. 

Insyallah, kajian berikutnya adalah ja'ala dan khalaqa

Al-Mar'ja;
Fawaid Qur'aniyah dari Al-Mufrodat fi gharibil al-Qur'an li Ashfahani.

Asal-usul Kata Jin, Majnun, Janin, dan Jannah



Halimi Zuhdy

Bahasa Arab disinyalir sebagai bahasa tertua dan satu-satunya bahasa yang tidak punah, dari bahasa-bahasa yang pernah hidup semasa dengannya. Ia tidak hanya berumur 1400 tahun ketika Alquran diturunkan, tapi sudah ribuan tahun sebelumnya, bahkan dianggap menjadi bahasa Nabi Adam AS.
Ketika banyak bahasa Ibu sudah tergantikan, seperti; Bahasa Afrika, Asia Fasifik, Amerika Selatan, Amerika, Ethiopia dan bahasa yang berada diberbagai belahan negara atau benau lainnya hanya tinggal cerita, dan dimuseumkan. Namun, bahasa Arab, terutama yang digunakan oleh Alquran masih utuh, tidak ada perubahan, bukan kemudian kaku, namun ia terus berkembang dengan indah sesuai dengan kadar lerubahannya.

Dan bahasa Arab, bukan hanya sebagai bahasa biasa, yang tumbuh dan berkembang satu persatu sesuai kebutuhan, tapi bahasa ini (Arab) adalah bahasa yang ilmiah (saintifik), yang dapat dirunut sampai ke kata awal, dan kata paling awal, dan setiap kalimat-kalimat yang muncul dapat merujuk pada akar (judzur) kata yang sama atau kata tertentu.

Lihatlah kata seperti Din (Agama), Dain (Hutang), Dunya (Dunia), Madinah (kota), Dayyan (hakim), dan kata yang berdekatan lainnya. Kata-kata tersebut di atas, tidak hanya memiliki makna tersendiri, namun memiliki keterkaitan makna dan maksud. Insyallah, akan penulis analisis pada kajian berikutnya.

Kali ini, penulis hadirkan empat kata, “Janin (Janin), Jin (Jin), Majnun (Gila), dan Jannah (Surga)”. Kata yang lain yang memiliki satu akar adalah; Jan, Majjanan, Jani, Jinayah, Majun, junun dan lainnya.

Dalam kitab Mufrodat (kata-kata), Raghib al-Ashfahani, bahwa kata, “Jan” adalah tutup (satr) atau tertutupnya sesuatu dari panca indra, maka, kata “Jannah (Surga, kebun)” maknanya “tertutup”, ia tertutup oleh rerimbunan pohon, karena banyaknya pepohonan, bunga-bunga dan lainnya yang berada di dalamnya. Kata “Janin (Janin)” juga bermakna “tertutup”, karena ia tidak mampu dilihat oleh mata telanjang, bahkan oleh alat canggih pun, ia masih samar, walau kadang bisa ditebak.

Kata “Majnun (Gila)”, adalah orang yang pikirannya “tertutup” atau terhalang, tidak mampu berfikir dengan baik, bahkan tertutup oleh apapun dari luar dirinya dan dari dalam dirinya.

Sedangkan kata “Jin (Jin)” berasal dari “Jann” yang juga tertutup, tertutup dari pandangan manusia, ia tidak mampu dilihat oleh siapa pun, kecuali Allah tampakkan, dan ia masuk pada makhluq ghaib. Dalam kitab “Tadzhib al-Lughah lil Harwi” ia bermakna bersembunyi, menahan diri, atau menutupi dirinya dari manusia.

وجاء في تهذيب اللغة للهروي: الجِنُّ: جماعةُ ولد الجانّ، وجَمْعُهُم: الجِنَّةُ، والجانُّ، وَإِنَّمَا سُمُّوا جناً لأنّهُمُ اسْتَجنُّوا من النَّاس، فَلَا يُرَوْنَ، والجانُّ هُوَ أَبُو الجِنِّ خُلِقَ من نارٍ، ثمَّ خُلِق مِنْهُ نَسْلُه.

Dan ada yang memaknai kata-kata, “Jin, Janin, Jan, Jannah, Majnun, dan Majjnan” dengan “Hubungan dua arah, yang saling membutuhkan, saling memberi, saling bersinergi”. Misal; kata “Janin” ia memiliki dua huruf nun, “Tabaduliyyah Fa’aliyah al-ihtiwa'”.

Janin dan Ibunya memiliki hubungan yang kuat (yatabadaalani), Janin membutuhkan atau mengambil oksigen dari Ibunya, dan Janin memberi oksigen karbon. Demikian dengan kata-kata yang lain di atas. Allah ‘alam bishawab

***
Repost 2019

Semua Akan Berganti



Halimi Zuhdy

Dulu, Fulan artis viral, menghiasi layar televisi dan media sosial, kini hanya menyisakan kenangan. Ustadz Fulan yang ceramahnya membahana, kini suaranya tak lagi terdengar. Konten kreator, namanya si Fulan yang dulu mencuri perhatian dengan kreativitasnya, kini tertutup oleh gelombang nama baru. Pejabat dengan nama tenar Fulan yang pernah dielu-elukan sebagai simbol kekuasaan, kini menghilang tanpa bekas. Bahkan tren viral lainnya ada; lagu, tarian, atau jargon yang sempat membuat semua orang tergila-gila, kini terkubur oleh sesuatu yang lebih baru. 
Aha, memang dunia ini berjalan cepat, meninggalkan apa saja yang tak mampu bertahan melintasi waktu. Waktu seperti badai yang menghapus jejak di pasir pantai. Itulah ketidak abadian. Matahari tidak akan selalu bersinar terang, ia akan tenggelam di ufuk barat. Akan datang berikutnya senyum rembulan.he

Memang, daun tua yang gugur tidak perlu disesalkan, karena ia akan berganti daun muda yang lebih segar. Karena waktu terus bergulir, tidak ada yang abadi. Semuanya bisa berbalik. Demikian dengan kehidupan. “Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainannas”, Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami dipergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). QS. Ali Imran, 140.

Bagi yang sedih, tidak perlu berlama-lama menangis. Karena jarum jam terus berdetak. Menjauh dari kesedihan. Meninggalkan segala masa. Menatap masa depan yang lebih indah, adalah lebih baik. Dari pada menyesalkan sejarah keterpurukan. Yang tidak akan pernah usai.  Mengingat-ingat masa kejayaan hanyalah untuk motivasi hidup, bukan untuk sebuah alasan, yang pernah hebat. 

Memang sejarah akan selalu berubah. Tiada yang abadi dan kekal, kecuali yang Maha Kekal. Tetapi, berusaha mengabadikan kebaikan adalah sebuah anjuran. Bukan kemudian harus terulang, tetapi usaha dari sebuah kebaikan adalah kebaikan, urusan hasil hanyalah Allah yang menentukan.

“Belajar pada sejarah”, karena sejarah akan selalu berulang. Seperti sejarah Qabil dan Habil akan terus terulang setiap masa, tetapi berusaha untuk tidak menjadi Qabil adalah bagian dari ikhtiyar terbaik. Masihkan tidak percaya takdir?!.

Terus harus bagaimana?! 
Terus istiqamah membuat jejak-jejak kebaikan. Karena jejak adalah bagian dari sejarah kehidupan manusia. Saking pentingnya jejak, maka tergambar indah falsafah maqam Ibrahim. Bagaimana Nabi Ibrahim pernah membangun Ka'bah. Maqam Ibrahim. Adalah pelajaran yang luar biasa. Bahwa setiap manusia itu harus berkarya. Berkarya sesuai dengan kapasitasnya. Ada yang berkarya dengan membangun masjid, istana, Piramida, Borobudur, sekolah, pesantren, dan lainnya. Ada yang membuat jejak-jejak dengan karya lainnya, seperti menulis buku, melukis, mengukir, dan jejak-jejak lain yang terekam dadi masa ke masa. 

Media sosial. Yang pernah manusia isi di dalamnya berupa vedio, foto, tulisan, dan lainnya. Adalah jejak-jejak karya mereka. Bila mereka isinya berupa kebaikan, maka akan terekam terus sebagai kebaikan, dan demikian sebaliknya. 

Tidak hanya rekam dan jejak yang dibaca dan dilihat oleh manusia. Tetapi, ia juga akan dihisab, sekarang dan nanti di akhirat. Hari ini akan dihisab dan dipertanggungjawabkan di hadapan para pembaca, bila tidak sesuai akan dicemooh, bila sesuai dengan hati dan pikiran pembaca, ia akan dipuji dan dilike, tatapi hisab ini masih dalam kaca mata manusia. Selera manusia. Tetapi, di hadapanNya akan ada hisab menurutNya. Allahu'alam.

Hubungan antara Sumpah, Tempat dan Diutusnya Nabi dalam Surat At-Thin


Halimi Zuhdy

Beberapa tahun lalu saya mengunjungi benteng Ajloun. Benteng ini dikenal pula dengan benteng Shalahuddin Ayyubi dan Benteng Ribdhi. Berada di atas puncak bukit Bani Auf propinsi Ajloun Yordania. Benteng ini di kelilingi kebun-kebun Zaitun, dan termasuk kebun Zaitun terbesar di Yordania. Ketika berada di kebun ini, seakan-akan saya membaca surat At-Thin yang di dalamnya terdapat kalimat - At-Thin, Zaitun dan Turisinin. 
Ayat ini sangat menarik ketika dikaji dari beberapa aspek; aspek kemu’jizatan matematis, aspek kemu’jiztan Bahasa, dan aspek I’jaz Ilmi (Keilmuan, kesehatan). Saya tidak akan mengurai ketiganya, dan insyallah pada kesempatan yang lain penulis akan mengurai dengan beberapa rujukan yang lebih lengkap.

Menurut Dr. Thaha Ibrahim, Salah satu kisah terbaik tentang mukjizat ilmiah Al-Qur’an adalah tentang materi metalonides, Zat ini sangat penting untuk tubuh manusia (pengurangan kolesterol, metabolisme, kekuatan jantung, dan kontrol pernapasan). Zat ini adalah zat yang mengekskresikan tulang manusia dan hewan dalam jumlah kecil. Zat ini adalah zat protein dengan sulfur sehingga dapat dengan mudah bergabung dengan seng, besi dan fosfor.

Dari penelitian Dr Taha Ibrahim, bahwa dalam Al-Qur’an kata Tin disebutkan hanya sekali, sedangkan kata Zaitun disebutkan 6 kali dan 1 kali secara tersirat dalam Surat Al-Mu'minin, “Wa syajarotan Takhruju min Tur Saina’ Tanbutu Biduhni wa Shibghin lil Akilin,  dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. 

Sedangkan dalam I’Jaz Lughawi, Pertama dalam aspek urutannya, beberapa Mufassir menyebutkan, al-Zaitun disebutkan setelah At-Tin, karena Zaitun lebih mulia (Asyraf) dan lebih utama (afdal) dari at-Tin , sebagaimana dalam QS An-Nur; 35.

Selanjutnya adalah Tur Sinin (Tur Sina), dan hal ini disebutkan setelahnya, karena ia lebih utama dari At-Tin dan al-Zaitun. Dan mengapa kata Zaitun, dekat dengan kata Tur Sinin, tidak dengan at-Tin, dan hal ini disebutkan dalam Ayat; “dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. QS Al-Mu’minun; 20. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Zaitun.

Kemudian, setelah beberapa ayat tadi disebutkan, maka Ayat berikutnya adalah kata “Balad Amin”, yang dimaksud dengan “Balad Amin” adalah Makkah Mukarramah, tempat lahirnya pembawa risalah Rahmatan Lil Alamain, Nabi Muhammad saw. Dan ini tempat yang paling dimuliakan oleh Allah dan tempat yang paling dicintai. (Dan juga sangat menarik adalah ayat setelahnya, namun penulis hanya mengkaji Tin Zaintun, Insyallah akan dikaji setelahnya).

Dan yang menarik adalah bila “At-Tin, Zaitun, Tur Sinin dan Balad Amin” dikaji dari tempat tumbuhnya, dan terkait dengan pembawa risalah dari masing-masing tempat tersebut, menurut mufassir tempat tembuhnya Tin dan Zaitun adalah Syam (Palestina, dll) dan yang lahir dari tempat ini adalah Nabi Isa As. Sedangkan terkait dengan Tur Sina adalah Musa AS, dan berikutnya yang disebutkan Balad Amin, adalah Negeri Makkah yang di tanah sucinya lahirlah Nabi Muhammad saw. Dan urutan ini pun sangat menarik, serta peran ketiganya dalam membawa risalah Allah. [Allah a’lam bishawab]

Marja’: Lamasat Bayaniyyah lil Thaha Ibrahim, Tafsir Ibnu Kasir, Tafsir Fathul Qadir lil Syaukani, Ruh Ma’ani.

Kita Lagi Menciptakan Dunia Serba Cepat, dan Stres Juga Cepat 🤩


Halimi Zuhdy

Pagi-pagi saya ditanya oleh supir masjid Jamik, "Ustadz, kok sepertinya, dunia ini bergerak dengan cepat, dan waktu seperti sangat singkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?". 
Saya sedikit termenung. Mencoba membaca dunia yang lagi bergerak dengan cepat, walau sebenarnya kecepatannya mungkin sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, memang seakan-akan ada percepatan yang terkadang kita ikut arus, bahkan menciptakan arus atau gelombang percepatan itu. Dan kecepatan sudah jadi bagian dari gaya hidup kita hari ini. Apa-apa harus cepat, sigap, dan nggak boleh nunda-nunda. Kita sering banget denger atau bahkan ngomong sendiri kata-kata kayak "sat set," "cepat lebih bagus," atau "buruan dong." Rasanya kalau segala sesuatu nggak selesai dalam waktu singkat, jadi ada yang kurang, atau malah bikin stres.  

Misalnya, pas lagi di tempat kerja, sering banget ada yang bilang, "Kerjain secepat mungkin, ya," atau, "Gas terus, jangan nunggu-nunggu." Semua orang pengen hasil instan, tanpa mikirin apakah keputusan yang diambil udah benar-benar matang. Di sisi lain, di rumah atau dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan kayak "langsung action" atau "shortcut aja" juga sering banget keluar. Intinya, nggak ada tempat buat sesuatu yang lambat atau penuh pertimbangan.  

Bahasa gaul atau bahasa sehari-hari kita, yang sering kita pake juga mencerminkan budaya ini. Contohnya, pas ada yang lambat, kita mungkin nyeletuk, "Duh, lama banget sih, buruan dong!" Atau kalau lagi buru-buru, ada yang bilang, "Ngebut aja, biar cepet sampai." Bahkan dalam urusan kecil kayak makan, nggak jarang orang bilang, "Instan aja, yang penting kenyang."  Atau ketika teman mau shalat, "sebentar ya, saya mau shalat". Shalat kok sebentar, dan ingin cepat-cepat selesai.🤩

Ungkapan "waktu adalah uang" makin mempertegas pandangan masyarakat kalau lambat itu nggak ada tempatnya di dunia modern. Kalau ada yang terlalu lama mikir, sering dibilang, "Jangan kelamaan mikir, langsung jalan aja!" Padahal, cepat itu nggak selalu berarti baik. Ada kalanya kita perlu berhenti sejenak, mikir matang-matang, dan nggak asal grusah-grusuh. Rugu kalau lambat🤩

Siapa yang menciptakan cepat? Bukankah kita lagi ingin serba cepat?! Kira-kira kita mengejar apa? 

Buset, "lola banget", "telmi terus"! Ini kata-kata, sering juga digaungkan untuk orang yang seakan-akan berjalan lambat. Kita benar-benar lagi menciptakan kereta cepat, dokar cepat, mobil cepat, nulis cepat, baca cepat, dengar cepat, jalan cepat, kaya cepat, pangkat cepat, jabatan cepat, bahagia cepat dan cepat cepat yang lain, dan tidak ada yang ingin masuk surga dengan cepat?! Kenapa, karena harus mati dulu. Ah ini guyon🤩🥰. Sedangkan, pertemuan yang paling dirindukan oelh orang shaleh adalah kematian. 

Tapi ya, nggak bisa dipungkiri juga kalau budaya ini bikin kita sering banget lupa sama sesuatu yang butuh tenang. Yang penting cepat selesai, nggak peduli hasilnya gimana. Kalau ada orang yang lebih santai atau lambat tapi teliti, malah dibilang "lemot" atau "nggak bisa kerja cepat." Sementara yang kerja cepat tapi asal-asalan sering diapresiasi lebih karena kelihatan produktif.  Benar tidak? Wkwwkwk

Padahal, kalau kita ingat lagi hadis Rasulullah SAW, "At-ta'ajjul minasy-syaithan, wa at-ta'anni minar-Rahman" (Ketergesaan itu dari setan, sedangkan ketenangan itu dari Allah), kita bisa belajar bahwa nggak semua yang cepat itu baik. Ada nilai-nilai keberkahan yang sering hilang karena kita terlalu fokus sama kecepatan.  

Jadi, meskipun dunia ini terus menuntut kita buat bergerak cepat, kita tetap harus belajar buat nge-rem sedikit. Ada kalanya lambat itu lebih baik, selama kita teliti dan penuh pertimbangan. Yang penting bukan soal cepat atau lambat, tapi soal hasil yang berkualitas dan tetap membawa kebaikan, baik buat diri sendiri maupun orang lain. Karena kalau terus-terusan ngebut tanpa arah, ujung-ujungnya cuma capek sendiri tanpa hasil yang memuaskan.

Mari kita lihat! Dunia saat ini bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Segala aspek kehidupan, mulai dari makanan, pendidikan, transportasi, hingga pekerjaan, didesain untuk memenuhi tuntutan efisiensi waktu. Makanan cepat saji menjadi pilihan utama banyak orang karena dianggap praktis, meski sering kali mengorbankan kesehatan. Di bidang pendidikan, program fast track dirancang untuk mempercepat proses belajar dan menghasilkan lulusan dalam waktu singkat. Bahkan dalam perjalanan sehari-hari, mobil tercepat, kereta cepat, dan pesawat modern terus dikembangkan untuk memangkas waktu tempuh, meski hal ini menciptakan tekanan untuk selalu bergerak tanpa henti.  

Dampak budaya serba cepat ini jelas terlihat. Banyak orang mengalami stres, kelelahan, dan kehilangan momen untuk merenung. Kehidupan yang penuh tekanan ini mengancam keseimbangan fisik, mental, dan spiritual manusia.  

Pada akhirnya, kita harus belajar mencari keseimbangan. Kecepatan memang dibutuhkan untuk efisiensi, tetapi kecepatan yang tidak terkendali akan mengorbankan nilai-nilai esensial kehidupan. Seperti prinsip yang diajarkan Islam, kita harus mengutamakan "tepat waktu" daripada "tergesa-gesa." Dunia boleh saja terus bergerak cepat, tetapi manusia harus tetap menjaga ketenangan, kehati-hatian, dan keberkahan dalam setiap langkahnya.

Yang menarik! Mari kita perhatikan ajaran agama. 
Indah sekali ajaran Islam, dalam setiap gerak ibadahnya, ada hening, senyap, dan harmoni. Dalam gerak hidupnya ada puasa, dalam puasa terselip i'tikaf, dalam i'tikaf tersua tuma'ninah. 

Dalam Shalat, ada gerak; takbir, rukuk, sujud, i'tidal dan tahiyyat, tapi dalam geraknya terselip tuma'nina.

Dalam haji, ada gerak; thawaf, jumrah, dan sa'i, tapi ia harus berhenti (wuquf), berlanjut mabit (bermalam dan diam) di muzdalifah dan mina, semuanya harmoni gerak dan diam. Indah sekali. 

Untuk menjadi kupu-kupu yang membunga warna, terbang mengejar kumbang, ia bermula puasa, beri'tikaf dalam kepompong, bertafakkur dalam dengkur, melihat alam dalam senyap. Dari menjijikkan ketika meng-ulat, menghilang (i'tikaf) tuk bertadaabur, kemudian bertebar ke alam menemui bunga-bunga (takbir kemenangan). 

I'tikaf, tidak hanya diam dalam masjid, tapi dia berfakkur, mentuma'ninakan hati, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kefanaan harta, jabatan, dan kemeriahan dunia. 

Ia i'tikaf, diam, mensucikan mulut dengan dzikir dan Al-Qur'an, menirmalakan hati dari; iri, dengki, sombong, riya', suud dhan, dan syahwat.

***
Tidak salah Sat-Set, tapi harus mampu belajar untuk tumakninah, iktikaf, thawaf. 

Kira-kira terus berburu dengan cepat, apa yang kita cari?!

Senin, 13 Januari 2025

IKHTILAF atau TAFARRUQ?


(Berbedaan atau Perpecaha) 

Halimi Zuhdy 

"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah, tapi jangan kau....."

Pisau, jika lama tidak digunakan, akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, ia akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".

Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya. 

Para sahabat, tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata Al-Quru', pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal siyayah, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah. 

Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim. 

Ikhtilaf, bukanlah berangkat dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka, di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh. 

Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini, bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi iktilaf ummah rahmat yang selalu berdasar pada dalil, tetapi tafarruq yang tercela. 

Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri. 

Suatu kali

 "أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ  ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ  أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
 “Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”

"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah. 

permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena ikhtilaf adalah kecantikan; 

"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"

"Kayu tambah indah, jika diamplas"

Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian. 

Apa contoh perbedaan ikhtilaf dan tafarruq dalam suatu benda? Seperti "kunci pas" memiliki berbagai ukuran, masing-masing dirancang untuk menangani mur atau baut tertentu. Walaupun ukurannya berbeda, semua kunci pas memiliki tujuan yang sama, yaitu mengencangkan atau melonggarkan baut. Ini melambangkan ikhtilaf karena meskipun terdapat perbedaan dalam metode (ukuran alat), semuanya tetap bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara yang saling melengkapi.

Sedangkan "tafarruq", seperti "gelas pecah", ketika sebuah gelas pecah menjadi beberapa bagian, setiap pecahan menjadi tajam dan berbahaya. Selain itu, pecahan-pecahan tersebut kehilangan fungsinya sebagai gelas utuh yang dapat menampung air. Ini melambangkan tafarruq, di mana perpecahan tidak hanya menyebabkan kehilangan fungsi utama tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi sekitarnya.

Kembali kepada Ikhtilaf atau tafarruq?

Ikhtilaf dan tafarruq memiliki perbedaan mendasar yang penting untuk dipahami. Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat yang berlandaskan dalil-dalil syar’i dan bertujuan mencari kebenaran serta maslahat. Perbedaan ini terjadi dalam ruang lingkup yang diperbolehkan oleh syariat, seperti dalam masalah fiqih atau ijtihad ulama. Ikhtilaf memiliki ciri-ciri yang positif, seperti adanya penghormatan terhadap pendapat lain, dialog yang sehat, dan kontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam. Contohnya adalah perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, yang tidak menyebabkan permusuhan antarumat. Dengan demikian, ikhtilaf menjadi bagian dari rahmat Islam yang menunjukkan keluasan ajarannya.  

Sebaliknya, tafarruq adalah perpecahan yang merusak persatuan umat. Tafarruq sering kali terjadi karena fanatisme golongan, hawa nafsu, atau sikap keras kepala yang tidak berlandaskan dalil. Perpecahan ini berbahaya karena menimbulkan permusuhan, melemahkan kekuatan umat, dan menghilangkan keberkahan persatuan. Akibatnya, umat Islam menjadi rentan terhadap ancaman eksternal dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama. Dalam Islam, tafarruq sangat dilarang karena bertentangan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan menjaga persatuan (Ali Imran: 103). Oleh karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi toleransi dalam perbedaan dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang memicu perpecahan.

Salam ukhuwah islamiyah

Sabtu, 11 Januari 2025

Berbeda dalam Madzhab Rindu


Halimi Zuhdy

Akhir-akhir ini banyak sekali da'i atau ustadz yang muncul di televisi, radio, YouTube, Instagram, Facebook, dan media lainnya. Mereka hadir silih berganti dengan berbagai genre dan gaya yang khas. Ada yang melucu, puitis, tegas, menggunakan rumus-rumus indah, argumentatif, falsafi, lembut, informatif, memiliki hafalan yang kuat, penuh dalil, tasawuf, dan lainnya.  
Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda, bahkan ada yang independen tanpa keterikatan organisasi. Dari kampus, madrasah dan pesantren yang juga berbeda. Setiap dai mengisi ruang kosong dengan cara mereka sendiri, dengan musik dakwah yang memiliki tabuhan berbeda. 

Mereka unggul dalam bidang masing-masing dan memiliki pengikut setia. Seperti orkestra, keindahan musik terletak pada harmoni di antara alat-alatnya. Bukan pada siapa yang lebih keras atau lebih lambat, tetapi bagaimana ritme itu menyatu dalam kemistisan. Layaknya piano dengan notasi yang beragam, harmoni menghasilkan suara yang luar biasa indah. Sebaliknya, jika setiap alat musik egois dan tidak sinkron, alunan suara akan menjadi buruk dan pecah.  

Namun, sangat disayangkan dan menyedihkan ketika sebagian oknum di antara para dai saling tahdzir (peringatan keras), mengolok, menyudutkan, mencari kelemahan, atau melabeli yang lain dengan sebutan bid'ah, paling sunnah, antek liberal, fundamentalis, kafir, dan berbagai cap lainnya. Mereka sering lupa untuk bercermin pada diri sendiri.  

Belum lagi perilaku para pengikut mereka di media sosial, yang saling menyerang, membuat akun untuk mengklaim bahwa gurunya paling benar, atau menciptakan fanatisme kelompok. Ada yang bahkan membentuk "jihadis" di dunia maya, dengan tujuan menjatuhkan dai atau kelompok lain agar mereka tidak lagi populer.  

Mari kita meneladani para ulama besar yang tak hanya hebat dalam keilmuan, tetapi juga penuh penghargaan terhadap perbedaan. Mereka saling berguru, saling tawadhu’, dan tetap menjaga ukhuwah meskipun berbeda pandangan. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala', diceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah berdebat sengit dengan Yunus bin Abdil A'la. Setelah itu, Imam Syafi’i mendatanginya dan berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah kita lebih indah dan tetap menjadi saudara walaupun berbeda pendapat dalam satu masalah?”  

Banyak kisah teladan dari para imam besar yang menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan, mereka tetap menuju dermaga yang sama: Ridha Allah.  

Biarkanlah mereka yang sudah terkenal tetap terkenal, menjadi dai kondang yang menyebarkan manfaat. Kita tidak perlu mengganggu mereka, bahkan jika memungkinkan, dukunglah. Namun, jangan pernah meremehkan yang belum dikenal.  

Bagi yang belum populer, hindarilah fitnah dan upaya menjatuhkan orang lain demi meraih dukungan. Jangan pula merendahkan atau terus-menerus membully. Jika hanya bisa diam, maka lebih baik diam daripada berbicara yang menyakitkan dan menambah dosa.  

Surga dan ridha Allah bukan milik mereka yang terkenal semata. Surga adalah milik siapa saja yang tulus mencari ridha-Nya: dalam ibadahnya, pekerjaannya, dakwahnya, bahkan diamnya.  

Mari kita bersama menuju dermaga Islam yang satu, tanpa melubangi bahtera saudara kita. Indahnya dakwah adalah ketika kita saling mendukung dan menguatkan.

Kamis, 26 Desember 2024

Tanda-tanda Orang sombong


Halimi Zuhdy

Menilik Ayat Al-Qur'an, tentang dua kata "mukhtal" dan "fakhur", keduanya bermakna sombong. 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالࣰا فَخُورًا

"Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri"
Ada yang berpendapat bahwa mukhtal (مختال), adalah membanggakan dirinya, kebanyakan dengan sikap atau perilaku. Sedangkan fakhur (فخور), adalah meremehkan orang lain, menganggap orang lain lemah, tidak punya kemampuan, dan ini biasanya dengan ucapan. Maka, ada kesombongan gestur dan kesombongan ucapan. 

Tapi, terkadang sulit mendeteksi orang-orang sombong, kecuali mengenali ciri-cirinya. Apalagi di dunia maya seperti sekarang, tidak sedikit yang menganggap remeh orang lain, dan seakan-akan dirinya paling benar, maka tinggal melihat bagaimana narasi yang ia tulis dalam setiap kalimatnya. 

Beberapa kitab menuliskan beberapa tanda-tanda kesombongan seseorang (takabbur), di antara tandanya adalah; 

1. Sering memotong pembicaraan orang lain, karena menganggap pendapatnya lebih penting.  

2. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain, baik dalam penampilan maupun kecerdasan, sehingga ingin diperlakukan lebih istimewa.  

3. Enggan mengakui kesalahan dan berusaha keras membuktikan dirinya selalu benar.  

4. Meragukan kemampuan orang lain dalam menyelesaikan tugas, karena merasa hanya dirinya yang mampu melakukannya.  

5. Senang membicarakan dirinya sendiri dan ingin perhatian semua orang terfokus padanya.  

6. Menghindari berinteraksi dengan orang yang dianggap lebih rendah darinya, serta sulit berbicara positif kepada mereka.  

7. Menolak kebenaran, yaitu tidak mau menerima pendapat yang benar.  

8. Meremehkan orang lain dan memandang rendah mereka.  

9. Senang jika orang lain berdiri menghormatinya saat ia datang atau berada di hadapannya, seperti kebiasaan para tiran.  

10. Tidak berjalan di luar rumahnya, terutama di pasar, kecuali ditemani orang lain yang berjalan di belakangnya atau ia naik kendaraan sementara yang lain berjalan.  

11. Enggan mengunjungi orang lain, terutama yang setara dengannya.  

12. Merasa rendah jika duduk dekat dengan orang lain karena takut dianggap setara kedudukannya.  

13. Menghindari duduk bersama orang sakit, bukan karena takut tertular, melainkan karena merasa terganggu.  

14. Tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri.  

15. Enggan membawa barang belanjaannya sendiri ke rumah.  

16. Tidak mau memakai pakaian sederhana.  

17. Tidak mau memenuhi undangan orang miskin atau menghadiri jamuan mereka.  

18. Enggan membantu memenuhi kebutuhan kerabat atau teman di pasar, terutama dalam membeli barang-barang murah seperti sabun, pacar, atau kapur.  

19. Merasa tidak nyaman jika rekan sejawatnya lebih dulu berjalan atau duduk di depannya. 
 
20. Tidak mau menerima kebenaran dalam diskusi dengan rekan sejawat, agar orang tidak menganggap dirinya kurang berilmu.  

21. Tidak mengakui kesalahannya meskipun ia tahu dirinya salah, serta tidak berterima kasih kepada orang yang menunjukkan kebenaran atau mengarahkannya.

Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat tersebut, dan dijauhkan menjami mukhtal dan fakhur.

Selasa, 26 November 2024

"Bersegera" dalam Kebaikan! Bahasa Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Keren banget. Kalimat yang kelihatan sederhana, tapi sangat kuat. Kalau ditilik lebih dalam, sebenarnya tidak sederhana, kalimat tentang "segera" adalah pilihan istimewa, betapa urusan kebaikan harus secepat kilat. Perhatikan, dalam kebaikan menggunakan fi'il amr, perintah. Seakan-akan mendorong untuk terus, cepat, segera, lari terus lari, jangan menyerah!. 
Yuk, kita perhatikan beberapa kata yang menjadi pilihan Al-Qur'an dalam kata "segera" untuk melakukan kebaikan. Kata-kata seperti sari'u/ سارعوا (bersegeralah), sabiqu/سابقوا (berlombalah), fastabiqu/ فاستبقوا (berlomba-lombalah), dan ففروا إلى الله (maka larilah kepada Allah) dan beberapa kata dalam hadis seperti "badiru!" menjadi bukti kuat betapa Islam menghargai waktu dan urgensi amal saleh. Setiap kata ini, meskipun serupa, membawa pesan unik yang memperkaya pemahaman kita tentang pentingnya tindakan cepat dalam kehidupan sehari-hari.  

Dan uniknya, ada hubungan dengan pilihan huruf yang menjadi pilihan kata, seperti huruf "sin", dalam sari'u dan sabiqu, dan juga fastabiqu. 
Kata sariu'/سارعوا, misalnya, mengandung makna ajakan kolektif untuk segera bergerak menuju ampunan Allah, seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran: 133. Kata ini tidak hanya mengajak untuk bertindak cepat, tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan dalam menjalankan kebaikan. Dan, mengandung dorongan emosional yang kuat untuk tidak menunda-nunda. Tindakan cepat. Bukan dalam kontek kompetisi. 

Berikutnya, kata sabiqu/سابقوا dalam QS. Al-Hadid: 21 menekankan semangat kompetisi sehat. Kata ini mengajarkan umat Islam untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam mencari ridha Allah, menjadikan amal saleh sebagai ajang persaingan yang penuh keberkahan. Bagaimana jiwa digerakkan untuk berlomba-lomba mendekat padaNya. Dan ini berbeda dengan kata fastabiqu, walau dari akar yang sama. Kata ini mengajak untuk kompetitif, bukan hanya segera atau cepat, urusan kebaikan tidak hebat dan cepat sendiri, tapi bersaing. Loh, tujuannya kan sama ampunan? Apa perbedaan dengan sari'u!?. (Kajian berikutnya, insyallah).

Fastabiqu/فاستبقوا menggambarkan perlombaan dalam kebaikan, tetapi dengan fokus lebih besar pada hasil daripada persaingan. Perlombaan adalah kebersamaan, tapi bukan hanya untuk bersama tetapi untuk menemukan dan meraih kebaikan. 

Berikutnya fafirru/ففروا إلى الله dalam QS. Adz-Dzariyat: 50. Kata ini menggambarkan urgensi spiritual yang lebih mendalam, yaitu "lari" kepada Allah. ففروا berasal dari akar kata ف-ر-ر, yang berarti lari cepat, biasanya untuk menghindari bahaya atau mencari keselamatan. Dalam konteks ayat ini, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk segera meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan, lalu menuju perlindungan dan kasih sayang-Nya. Seruan ini menunjukkan bahwa kecepatan bukan hanya dalam amal fisik, tetapi juga dalam memperbaiki hubungan dengan Allah. Lari bersama?! Ia, bersama, kolektif, menuju Allah. 

Kalau kita pilah dari empat kata di atas. Makna utamanya, sari'u (bersegeralah!), sabiqu (beelombalah!), fastabiqu (berlomba-lombalah dengan usaha!), dan fafirru (larilah segera!). Pertama, kolektif dan segera, urgensi temla kompetisi. Kedua, kompetisi sehat, fokus pada mendahului. Ketiga, Fastabiqu! Berlomba secara intensif, fokus pada usaha keras. Dalam setiap seruan tersebut, terdapat nilai-nilai kebersamaan, kompetisi, kesadaran individu, usaha maksimal, dan kepasrahan kepada Allah, yang semuanya berpadu untuk membentuk kehidupan yang lebih bermakna

Ada kata unik, yaitu "badiru", tapi ini tercantum dalam hadis , yaitu بادروا, yang memiliki makna lebih personal dan mendalam. Rasulullah SAW menggunakan kata ini dalam sabdanya, "Bergegaslah melakukan amal saleh sebelum datangnya fitnah" (HR. Muslim). Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda, karena kesempatan untuk berbuat baik bisa saja hilang kapan saja. Dalam konteks ini, badiru/بادروا tidak hanya berbicara tentang kecepatan, tetapi juga tentang kesadaran individu untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. (Berikutnya, akan dikaji dengan mutaradifat yang lain, insyallah).

Hebat kok sendirian, ngajak-ngajaklah! 🤩 

Malang, 26 Nov 2024

Melirik Makna "Dzalim" dan Pembagiannya



Halimi Zuhdy

Kedzaliman itu kapan pun dan dimana pun selalu ada. Dzalim satu akar kata dengan dzulmah (kegelapan), dzulm (aniaya), midzallah (payung), adzlal (bayangan), zhulm (kezaliman), dan zhulmah (kegelapan pekat) yang memiliki makna dasar "hitam pekat." Jika kegelapan secara kiasan dapat menyebabkan kebutaan fisik karena menghalangi pandangan dan penglihatan, maka zhulm (kezaliman) mencerminkan kebutaan hati dan mata batin pelakunya.
والظلم والظلام والظلمة ذات مصدر لغوي واحد، ومعنى هذا المصدر السواد الداكن، وإذا كان الظلام يسبب عمى البصر مجازاً؛ لأنه يمنع الرؤية والإبصار، فإن (الظلم) يعكس عمى القلب والبصيرة عند فاعله.

Kata dzalim itu sangat sederhana, tapi ia sangat berat akibatnya. Mari, kita tilik arti kata "dzalim" dalam bahasa Arab. 
الظُّلمُ: الجَورُ ومُجاوزةُ الحَدِّ والمَيلُ عن القَصدِ، وأخذُ حَقِّ الغَيرِ، يُقالُ: ظَلمه يَظلِمُه ظَلْمًا وظُلمًا، ومَظلَمةً، فالظَّلمُ مَصدَرٌ حَقيقيٌّ، والظُّلمُ الاسمُ، وهو ظالمٌ وظَلومٌ. وأصلُ الظُّلمِ: وَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له

Kezaliman dalam bahasa Arab memiliki makna sebagai tindakan ketidakadilan, melampaui batas, menyimpang dari tujuan yang benar, atau mengambil hak orang lain tanpa izin. Secara esensial, kezaliman berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, seperti merampas hak orang lain atau melanggar batas yang telah ditentukan. 

Kembali pada akar kata dzalim, kegelapan. Bahwa orang yang berbuat dzalim adalah mereka yang gelap, yang tertutup, tidak menemukan jalan, tidak ada cahaya yang menyinarinya. Maka, gelap (sawad) itu tidak hanya berdampak pada kegelapan dirinya, tapi ia akan menggelapkan orang lain, atau mencelakakan orang lain. Dan makna lainnya, orang dzalim adalah mereka yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ini contohnya sangat banyak sekali. Memberikan amanah (kepemimpinan) pada orang yang tidak layak. Guru memberi nilai baik pada muridnya yang tidak memenuhi standar. Meluluskan seseorang yang tidak masuk kualifikasi, karena ada hubungan teman atau kerabat. Memberikan penghargaan kepada yang tidak berhak menerimanya. Dalam agama, misalnya berbuat maksiat dan lainnya. 

Dalam Al-Qur'an, zalim disebutkan sebanyak 289 kali. Allah SWT melarang umat-Nya untuk berbuat zalim, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali manusia tidak menyadari bahwa setiap perbuatan, baik ataupun buruk, akan tercatat dengan rapi. Di Hari Kiamat nanti, catatan amal ini akan menjadi saksi yang tak terbantahkan. Salah satu catatan penting yang akan diperiksa adalah tentang kezaliman, atau ketidakadilan yang dilakukan manusia. Ada tiga jenis kezaliman yang akan dipertanggungjawabkan kelak, masing-masing memiliki hukumnya sendiri di sisi Allah.
 
Kezaliman pertama dan paling besar adalah syirik, yakni menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Syirik tidak hanya melukai iman seorang hamba, tetapi juga merupakan penghinaan terbesar terhadap keesaan Allah. Dosa ini begitu besar hingga Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Dia tidak akan mengampuni syirik jika pelakunya tidak bertaubat. 

Jenis kezaliman kedua adalah dosa-dosa pribadi yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti meninggalkan kewajiban agama atau melakukan perbuatan maksiat. Namun, Allah yang Maha Pengasih meletakkan dosa ini di bawah kehendak-Nya. Jika Dia berkehendak, dosa tersebut dapat diampuni, asalkan hamba-Nya bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dalam firman-Nya, Allah berjanji: "Dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki." Ini adalah bentuk kasih sayang Allah, memberikan harapan bagi mereka yang berusaha memperbaiki diri.

Kezaliman terakhir adalah yang paling berat untuk diselesaikan, yaitu kezaliman terhadap orang lain. Dalam hal ini, Allah tidak akan membiarkannya begitu saja. Hak-hak orang yang dizalimi akan dikembalikan di Hari Kiamat. Rasulullah mengingatkan bahwa setiap hak akan ditunaikan, hingga orang yang tertindas mendapatkan keadilannya. Tak ada jalan lain bagi pelaku kezaliman selain meminta maaf dan memperbaiki kesalahan kepada orang yang ia zalimi selama masih di dunia.  

Kezaliman, dalam bentuk apapun, adalah beban yang harus kita hindari. Syirik kepada Allah merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dosa kepada diri sendiri menodai jiwa kita, sementara kezaliman terhadap sesama melukai hubungan sosial yang harusnya dijaga.  

Zalim suatu sisi dianggap berat, tapi sisi yang lain sadar bahwa ia telah berbuat zalim. 

Malang, 19 Nov 2024