السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 27 Juli 2024

Menilik Kata "Memakmurkan Masjid" dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Sering banget kita mendengar kata memakmurkan masjid, dan yang terbayang adalah membangun masjid besar, menghias, menambah aksesoris, karpet, lantai dan segala macamnya yang bersifat material dicukupi. Dan meminta sumbangan tidak pernah selesai-selesai walau bangunannya sudah menjulang tinggi, bahkan sampai menembus langit (lebai banget, he). 
Toyyib. Mari kita telisik dasar kata "makmur". Kata ini berasal dari Bahasa Arab, adalah ism maf'ul dari kata a-ma-ra, ya'-mu-ru (-يعمر عمر). Kata memiliki berbagai makna, tergantung kata setelahnya, dalam Kamus Ma'ani di antara makna-makna tersebut adalah;  tempat yang dihuni orang (عمر المكان), bumi menjadi subur (عمرت الارض), manusia hidup lama (عمر الانسان), memperbaiki dan membangun (عمر المكان), membangun rumah (عمر المنزلا), Allah memanjangkan umur (عمره الله), kekayaan melimpah (عمر المال), tetap tinggal di rumah (عمر بيته) dan tinggal di suatu tempat.

Derivasi kata "Makmur", ada umroh, takmir, umur, imarat, isti'mar, dan lainnya. Dan lebih banyak lagi, bila dikaitkan dengan kata "ta'mir" yang diambil dari kata ammara-yu'ammiru (memakmurkan).  Dalam beberapa Mu’jam (kamus) kata Isti’mar memiliki beberapa arti, di antaranya adalah “memakmurkan, mensejahterakan, menghidupkan” kata ini diambil dari ‘Amara (عمر), dan derivasi yang sama dengan kata Imarah (bangunan, gedung), ta’mir (memakmurkan), amir (raja, pemakmur), umr (umur), amara (menetap, menempati). 

Terus, apa makna kata Memakmurkan masjid?. Mari kita lirik dalam Al-Qur'an;
إِنَّمَا یَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ یَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰۤ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَن یَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِینَ 
"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". 

Dalam tafsir Al-Alusi, kata "memakmurkan" (يعمر) dalam konteks ayat ini merujuk kepada segala bentuk peribadatan, perawatan, kesucian dan pemeliharaan masjid. Mencakup perbaikan, kebersihan, dan perawatan fisik masjid agar tetap layak digunakan. Juga menghiasi masjid, menghiasi masjid dengan cara yang tidak mengganggu kekhusyukan shalat, seperti penggunaan karpet dari bahan yang tidak mengganggu fokus. Memakmurkan, juga bermakna menerangi masjid. Menggunakan penerangan meskipun tidak ada orang yang menggunakan masjid pada saat itu. Memakmurkan, adalah melaksanakan Ibadah, menjaga agar masjid selalu digunakan untuk ibadah, zikir, dan pembelajaran ilmu-ilmu syariat.
Menjaga kesucian masjid. Menghindari penggunaan masjid untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan syariat, seperti pembicaraan duniawi dan kegiatan yang diharamkan. Kata "memakmurkan" dalam konteks ini mencakup semua usaha yang dilakukan untuk menjaga masjid tetap layak dan bermanfaat bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan aktivitas keagamaan.

Dalam tafsir Al Muharrar Al Wajiz karya Ibnu Athiyah, bahwa "memakmurkan masjid" memiliki makna yang dalam dan penting dalam Islam. Ayat tersebut menegaskan bahwa yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ayat ini menyiratkan perintah kepada orang-orang beriman untuk memakmurkan masjid. Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika kalian melihat seseorang yang terbiasa mengunjungi masjid, saksikanlah bahwa ia beriman." Ibnu Athiyah menjelaskan bahwa keimanan kepada Rasulullah ﷺ juga tercakup dalam Ayat tersebut, karena shalat dan zakat hanya dapat dipahami dan dilaksanakan melalui ajaran beliau. Ketakutan hanya kepada Allah menunjukkan ketundukan, pengagungan, dan ketaatan kepada-Nya.

Memakmurkan dalam konteks Ayat di atas, menurut Abi Hayyan dalam tafsir "Al Bahrul Muhith" memiliki beberapa penafsiran berdasarkan perilaku dan tindakan tertentu. Secara umum, "memakmurkan" di sini merujuk pada tindakan masuk dan berdiam di dalam masjid, sering mengunjunginya, memperbaiki bangunannya, memperbaiki yang rusak, melakukan ibadah di dalamnya, dan berkeliling di sekitarnya.

Bagaimana dengan orang yang membangun masjid (tukang), atau menyumbang sejumlah dana (miliader), tapi tidak pernah ke masjid, dengan pemahaman bahwa, memakmurkan adalah membangun? He. 

****
Yuk! Ikut kajian Masjid Untuk Siapa?
28 Juli 2024 Masjid At-Taqwa BTWI

Jumat, 19 Juli 2024

Menilik Asal Kata Demak dalam Bahasa Arab*


Halimi Zuhdy✒️

Mengulik nama suatu tempat butuh banyak pendekatan. Ada banyak pendapat tentang suatu  nama dan penamaan, tapi terkadang kita anggap tidak masuk akal, kadang kita tinggal meng-amini saja. Apa pun "nama" itu adalah sebuah sejarah panjang dari sebuah keadaan, peristiwa dan kondisi tertentu. 
Kata Demak, ketika saya ngulik dalam bahasa Arab di google ketemu dengan kata دماك (Demak),  kalau dicari dalam kamus bahasa Arab, maka ketemu kata مدماك dan المدماك yang bermakna "tali untuk meluruskan bangunan" dan  "jajaran batu pada bangunan". Mengapa saya cari dalam kamus bahasa Arab?, karena ada yang berpendapat bahwa kata "Demak" berasal dari bahasa Arab. Pendapat pertama dari "dama" yaitu mata air, tapi kalau kita baca lebih detail kamus Bahasa Arab kita tidak menemukannya dalam bahasa Arab kecuali kata "Manba'" dan beberapa kata lainnya, yang terdiri dari mim-nun-ain (نبع). Ada yang lebih mendekati makna di atas, adalah kata دماع yaitu cucuran air mata, luberan air, banjir air mata, hujan rintik-rintik, dan kata Na-Ba-A semua bermakna sumber air (dengan berbagai derivasinya). 

Sedangkan pendapat lainnya yang berpendapat bahwa demak berasal dari bahasa Arab adalah berasal dari kata dzimaa in yaitu sesuatu yang mengandung air (Kompas.com dengan judul "Asal Usul dan Sejarah Nama Demak", Sholihin Salam), saya juga belum menemukan dari beberapa kamus Arab dengan tulisan Arab ذماع atau ذماك atau ذما dengan huruf "dza" yang mendekati makna di atas, mungkin yang dimaksud adalah دمع yang lebih mendekati "kandungan air", tapi lebih kepada air mata dengan segala derivasinya. Kalau dipaksakan, maka tidak sesuai dengan makna aslinya. Dan dalam artikel tersebut, dijelaskan "Nama Demak yang berarti air bukan sebagai isapan jempol belaka, karena wilayah ini banyak mengandung air seperti rawa, payau, atau telaga untuk menampung air", berarti yang dimaksudkan adalah دماع tapi agak sedikit memaksa, kecuali ada perubahan vocal, atau pengucapan dari kata tersebut, sebagaimana lidah Jawa huruf "Ain" ke "Kaf". 
Dan pendapat yang ketiga, yang lebih medekati arti Arabnya, yaitu bahwa Demak berasal dari "kata dummu yang artinya mata air. Diibaratkan kesusahpayahan para muslim dan mubaligh saat menyiarkan dan mengembangkan agama Islam saat itu" (dikutip dari sumber Artikel di atas, Kompas), tapi kalau kita lebih detail lagi, maka bukan mata air tapi lebih kepada darah (دم). Maka, kalau kita baca dari berbagai pendapat di beberapa artikel tentang penamaan Demak, bahwa ia terkait dengan air, rawa, dan lainnya. 

Entah, mana yang benar, tapi semuanya pasti memiliki pendekatan sendiri, ada pula yang berpendapat bahwa Demak dari bahasa Jawa Kuno, yaitu "Anugerah". Yang kalau kalau kita tilik, masih mengandung arti yang mirip, bahwa air adalah anugerah sangat istimewa yang Tuhan berikat. 

Kata Dzima, Dhama, Dhima, Dema, dan yang terkait dengan Dal-mim-ain adalah air, yang lebih pada air mata. Sedangkan sumber air, dalam bahasa Arab na-ba-a (نبع). Kalau ditilik lebih jauh, beberapa kata "Air, Sumber Air, Rawa dan sejenisnya" lebih masuk akal, karena daerah tersebut "tanah bekas rawa alias tanah lumpur. Bahkan sampai sekarang jika musim hujan di daerah Demak sering digenangi air, dan pada musim kemarau tanahnya banyak yang retak, karena bekas rawa alias tanah lumpur. Karena tanah Demak adalah tanah labil, maka jalan raya yang dibangun mudah rusak, oleh karena itu jalan raya di Demak menggunakan beton" (wikipedia, dalam Etimologi Kabupaten Demak).

Apa pun nama itu, tetaplah sesuatu yang perlu dilirik, karena nama bukan sesuatu yang hampa, ia berada pada suatu waktu dan keadaan. 

Allahu'alam Bishawab

*Demak, 18 Juli 2024*

_Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya._

🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*

Rabu, 17 Juli 2024

Yuk Belajar pada Semut dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Semut terkadang dianggap hewan biasa, bahkan makhluk kecil yang tidak dilirik kedatangannya, ketika menggigit pun tidak dipedulikan, langsung dibunuh begitu saja. "Ah kayak semut", selalu dikecilkan keberadaannya, walau ia memang benar makhluk kecil. Tapi, terkadang orang melihat kecil bentuknya, tapi tidak melihat perannya. Sama dengan orang melihat kehebatan seseorang dari kaca mata lensa, tapi tidak melihat di balik lensa masih banyak orang-orang yang melebihinya, mengapa? karena terkadang meremehkan dan menganggap remeh yang tidak populer.  
Menarik kalau kita perhatikan Ayat Al-Qur'an, bagaimana ia menggambarkan semut, dan bagaimana Al-Qur'an menggambar kepemimpinan semut dalam kondisi-kondisi tertentu;

{ حَتَّىٰۤ إِذَاۤ أَتَوۡا۟ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةࣱ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُوا۟ مَسَـٰكِنَكُمۡ لَا یَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَیۡمَـٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا یَشۡعُرُونَ }
[Surat An-Naml: 18]

"Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”

Mari kita perhatikan pilihan "kata" dalam Ayat di atas. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menemui situasi yang berpotensi membahayakan  diri kita maupun orang lain. Dari hal ihwal semut dalam Surat An-Naml ayat 18, kita dapat mengambil beberapa pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya kita bertindak dalam situasi tersebut.

Pertama, berinisiatif memberikan nasihat (بادرت). Saat merasakan adanya bahaya, semut segera berinisiatif memberikan nasihat kepada kaumnya (kelompoknya, golongannya). Ini mengajarkan kita pentingnya bertindak cepat dan tidak menunda-nunda untuk menyampaikan nasihat baik kepada orang lain saat situasi mendesak. Dan yang paling mendesak hari ini adalah judi online, bagaimana anak muda, orang tua, dan bahkan anak-anak yang masih kecil untuk segera diberi peringatan keras, bahkan hal-hal yang mengarah kearah sana, agar segera diberi peringatan akan bahayanya, tidak hanya lewat media sosial, tapi harus masuk ke sekolah-sekolah dengan berbagai kebijakannya. 

Kedua, memberikan peringatan dan tidak egois (أنذرت). Menariknya, ia tidak hanya menyampaikan kemudian meninggalkan teman-temannya, semut tidak egois, ia menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga memperingatkan kaumnya. Ini menunjukkan bahwa dalam keadaan bahaya, kita seharusnya tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga memperhatikan keselamatan orang lain.

Ketiga, menggunakan seruan yang nelas (نادت). Semut menggunakan seruan "يا أيها" untuk menarik perhatian kaumnya. Ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang jelas dan efektif untuk memastikan pesan kita diterima dengan baik. Ada banyak tujuan baik, tapi terkadang komunikasnya tidak jelas, perintahnya samar-samar, sehingga tidak tersampaikan dengan baik, bahkan ambigu. 

Keempat, memberikan peringatan yang bisa dipahami semua orang (نبهت). Semut menggunakan kata "ادخلوا" yang bisa didengar dari kejauhan dan dipahami oleh semua anggota kaumnya. Ini mengajarkan kita untuk menyampaikan pesan dengan cara yang mudah dipahami oleh semua orang. Pesan tidak usah dakik-dakik, apalagi menggunakan kalimat yang sulit dipahami, walau terkesan keren, tapi kadang tidak sampai. Maka, pesannya jelas, "masuklah". 

Kelima, menjelaskan alasan peringatan (بينت). Semut menjelaskan alasan peringatannya, yaitu agar kaumnya terhindar dari kebinasaan. Ini menunjukkan pentingnya memberikan penjelasan yang jelas tentang alasan dari peringatan atau nasihat yang kita sampaikan. Tidak sekedar menyuruh-nyuruh, tapi dijelaskan mengapa ia menyuruh?!. Ada perintah, ada alasan. 

Keenam, berprasangka baik (اعتذرت). Lah ini yang terkadang langka, kalau tidak suudhan pada orang lain (di luar golongannya), terkadang suudhan pada golongan sendiri. Semut berprasangka baik bahwa Nabi Sulaiman dan tentaranya tidak menyadari keberadaan mereka. Ini mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik terhadap orang lain, bahwa mereka mungkin tidak sengaja melakukan kesalahan.

Keberadaan semut di sekitar kita selalu mengajari hal-hal indah, walau ia terkadang datang tiba-tiba tanpa kita sadari, sebenarnya ia datang dengan cinta, walau tiba-tiba kita membunuhnya, karena kita tidak sadar bahwa ia didatangkan untuk mengajari kita hidup lebih indah. "Hukum membunuh semut itu haram", kata seorang ustadz, "benar, karena ia mendokan". Bukan hanya itu, kita harus belajar banyak pada makhluk kecil, walau kita seakan-akan menjadi makhluk paling sempurna di muka bumi, tapi terkadang tidak sadar, kita menjadi makhluk yang bukan siapa-siapa di hadapanNya, lemah. Kecuali yang sudah menjadi abdunNya.

Menikmati Hidup dalam Kendaraan Kehidupan



Halimi Zuhdy

"Tadz, dia kok tenang sekali" celetuk teman yang duduk di sebelah saya, memperhatikan teman lainnya yang melihat ke luar mobil, memandangi pemandangan, sesekali terlelap, dan sesekali menikmati camilan, seakan-akan ia tidak pernah khawatir apa yang akan terjadi, dan seakan-akan ia yakin, perjalanan akan sampai ke tempat tujuan, sesekali ia terbangun karena hentakan rem, kemudian tertidur kembali. Ia sekan tak punya beban, walau di luar jalanan penuh jurang dan terjal. 
"Demikian pula kita" saya berbisik ke teman di sebelah. "Ketika kita bayangkan berada di dalam kendaraan yang melaju kencang di jalan raya, atau naik pesawat dengan kecepatan tinggi, atau naik kereta api, atau naik perahu dengan ombak yang begitu dahsyat. Di balik kemudi, terdapat seorang pengemudi yang kita percayai sepenuhnya. Meskipun kita tidak dapat melihat wajahnya, kita akan merasa tenang dan aman, karena  yakin pengemudi (sopir, pilot, nakhoda) akan membawa kita ke tujuan dengan selamat, apalagi kita yakin pengemudinya profesional".  

Perjalanan hidup pun tak jauh berbeda. Kita bagaikan penumpang dalam kendaraan bernama kehidupan, dengan Allah sebagai Pengemudinya. Terkadang, jalanan yang dilalui terasa terjal, penuh tanjakan, dan berlubang. Ada kalanya rintangan dan badai menerpa, membuat perjalanan terasa berat dan penuh kekhawatiran.

Namun, bagi mereka yang memiliki iman yang kokoh, rasa tenang dan yakin menyelimuti hati. Mereka percaya bahwa Allah, sang Pencipta dan Pengendali alam semesta, memiliki rencana terbaik untuk setiap kehidupan hamba-Nya. Sama seperti pengemudi yang terpercaya, Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya tersesat atau terluka. Dan Allah, tidak pernah dhalim pada hamba-hambanya. 

Orang akan merasa tenang dalam hidupnya, bila memasrahkan padaNya pada yang memiliki semesta. Bukan, kemudian pasrah tidak melakukan apapun, tapi segala usahanya, adalah Allah yang menjalankannya. Ia pasrah atas gelombang yang menghempaskannya dan menikmati setiap selancar yang dilaluinya. 

..     وَمَن یَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَیۡءࣲ قَدۡرࣰا ....

......Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (At-thalaq, 3)

Bagi mereka yang beriman, setiap kesulitan dan rintangan dalam hidup adalah sebuah pembelajaran dan kesempatan untuk semakin dekat dengan Allah. Mereka yakin bahwa setiap tetes air mata dan setiap rasa sakit akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat ganda di akhirat kelak. 

Bagi orang yang percaya dan yakin (beriman) perjalanan hidup sebagai sebuah petualangan yang penuh makna. Setiap rintangan akan menikmatinya, karena yakin Allah selalu bersamanya, dan menikmati setiap momen dalam hidupnya dengan penuh rasa syukur.

Allah tidak seperti pengemudi kendaraan apa pun (dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya), Allah tidak punya kekurangan, ia Maha Kuasa, Maha Besar, Pengemudi terbaik dalam perjalanan hidup. Maka, bagi orang yang benar-benar percaya kepada-Nya akan menikmati setiap detiknya dengan penuh ketenangan dan keyakinan. 

Kalau ia menangis, bukan menangisi cobaan yang di hadapannya, tetapi karena terkadang tidak yakin atas apa yang dilaluinya.  

****
Catatan; penulis masih jauh dan jauh dalam hal di atas, hanya membayangkan betapa para ambiya',  para syuhada', para salaf sholeh, para mukmin, menikmati dalam hidup yang penuh onak dan duri. Semoga Allah, selalu memberikan keimanan dan takwa pada kita.

Semarang, 17 Juli 2024

Minggu, 30 Juni 2024

Makna Ziarah Haji, dan Keutamaannya

Halimi Zuhdy

Ziarah haji bukan niat cari oleh-oleh, kalau toh dapat oleh-oleh haji, itu bentuk dari bonus ziarah, dan bentuk rasa syukur pak/ibu haji dari kedatangannya dengan selamat. Di antara niat ziarah haji adalah meminta berkah doa dan silaturahim. 
Mengapa meminta doa, apakah ada dalam ajaran Islam?, Kegiatan ziarah haji sebenarnya sudah sejak lama ada, dan bukan hanya berada di nusantara tapi diberbagai belahan dunia, dengan tadisinya masing-masing. 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ 

Dari Abu Hurairah, Nabi Bersabda "Barang siapa yang telah berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, niscaya ia pulang (bersih, suci) seperti hari dilahirkan oleh ibunya".

Hadis Nabi di atas, adalah bentuk motivasi ziarah haji, karena orang yang telah datang dari tanah haram dan melaksanakan berbagai perjuangan (jihad), ia datang dengan penuh keberhasilannya dari berbagai cobaan dan godaan, maka ia datang dengan kesuciannya, maka mendatanginya dan meminta berkah doa adalah sesuatu yang dianjurkan. 

Lebih tegasnya lagi, sebuah hadis yang mengarah kepada hal tersebut adalah

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ فَإِنَّهُ مَغْفُورٌ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Nabi Rasulullah bersabda, "Jika kamu menjumpai orang yang baru berpulang dari haji, maka berilah salam (sampaikan) kepadanya, dan jabatlah tangannya, serta mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun buatmu sebelum ia memasuki rumahnya, sebab ia telah diampuni dosa-dosanya. 

Riwayat Imam Ahmad di atas, banyak dipraktikkan  oleh orang Islam di nusantara dengan istilah ziarah haji dan istilah lainnya. Ada yang menyambut di bandara, ada yang menunggu di jalan-jalan, bahkan di kampung saya diarak dan memeluk pak/ibu haji yang baru datang. 

Dan terkait dengan anjuran mendatangi (ziarah) haji itu sangat banyak, dan yang datang dari haji dianjurkan untuk mendoakan mereka yang belum haji atau dianjurkan untuk mendoakan orang-orang yang ditemui, walau tidak diminta. 

Dalam hadis yang lain; 

وعن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الغازي في سبيل الله والحاج والمعتمر وفد الله، دعاهم فأجابوه، وسألوه فأعطاهم» رواه ابن ماجه

Dari Ibnu Umar RA, Nabi Bersabda, "Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang beribadah haji, dan orang yang umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, kemudian mereka memenuhi panggilan itu. Sehingga jika mereka memohon kepada Allah, maka Allah akan memberinya" 

فعن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «الحجاج والعمار وفد الله، دعاهم فأجابوه، وسألوه فأعطاهم» رواه البزار.

Oh ia, ada yang tanya "bolehkah menggunakan kata ziarah haji, bukankah kata ziarah itu hanya digunakan untuk ziarah ke kuburan?!".

Toyyib. Pertama, harus dipahami dulu arti kata ziarah. Kedua, penggunaan kata ziarah dalam kalimat yang biasa digunakan orang Arab. Dan ketiga penggunaan kata serapan (yang lazim) dalam bahasa tersebut. 

Dalam bahasa Arab, kata "ziarah" berasal dari kata zara-yazuru yang bermakna seseorang yang  mendatangi suatu tempat, atau mengunjungi seseorang. Dan kata ziarah memiliki banyak arti, tergantung pada kalimat setelahnya. 

زار: فلانًا أتاه بقصد الالتقاء به، قصده لأنس أو حاجة

Ziarah: "Fulan mendatangi seseorang untuk menemuinya, dengan maksud tertentu". Dalam penggunaannya dapat digunakan secara umum, seperti ziarah kubur (زيارة القبر), ziarah tempat-tempat suci (زيارة الاماكن المقدسة), dosen tamu (استاذ زائز), ziarah pada orang sakit (زيارة المرض في المستشفى) dan lainnya. 

Dalam bahasa Arab, kata mengunjungi  banyak padanannya, ada yang menggunakan iyadah maridh (sambang orang sakit), dzihab, maji', khudur, ityan, ta'ziyah (ziarah orang meninggal) dan lainnya.

Dan dalam menyambut orang haji dalam bahasa Arab menggunakan kata "istiqbal" seperti dalam bab hukum menyambut orang haji.

في مسألة استقبال الحاج بفرحة ووليمة العودة من الحج، قال ابن عباس رضي الله عنهما:” لو يعلم المقيمون ما للحجاج عليهم من الحق لأتوهم حين يقدمون حتى يقبلوا رواحلهم لأنهم وفد الله في جميع الناس”.

Dan juga menggunakan kata talaqqi (menjumpai, menemui)

وقال ابن المنير: من الفقه جواز تلقي القادمين من الحج، لأنه عليه الصلاة والسلام لم ينكر ذلك بل سرته لحمله لهما بين يديه وخلفه.

Kata "Ziarah Haji" sangat benar dan dibenarkan, tidak menyalahi bahasa Arab dan juga tidak menyalahi bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam KBBI (mungkin perlu direvisi) makna ziarah, kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam dan sebagainya); kalau hanya dibatasi pda makan dan tempat keramat, maka ada penyempitan makna. 

Karena asal dari kata ini bermakna mengunjungi. Dan kata ziarah digunakan dalam banyak hal, seperti ziarah saudara, ziarah kubur, ziarah wali, ziarah madinah dan lainnya. 

ومن مكارم الأخلاق القيام للترحيب بالقادمين من بيت الله الحرم وتكريمهم بالزيارة والفرحة وتهنيئتهم بأداء مناسك الحج.

Di antara etika seseorang muslim yang baik adalah menyambut gembira orang yang baru datang dari ibadah Haji, dengan memuliakan mereka, mengunjungi (ziarah), bergembira, dan mengucapkan selamat atas ibadah yang telah ditunaikan. 

Wallahu'alab Bishawab

***
Gambar diambil dari web GoTrevel

Kesuksesan Nabi Ismail, dan Tarbiyah Siti Hajar

Halimi Zuhdy

Seringkali "sukses" adalah mereka yang berpangkat, sosok viral, kaya, mapan, dihormati masyarakat, setumpuk jabatan, dan lainnya. Tapi, terkadang dilupakan bahwa kesuksesan adalah mereka yang kuat, teguh imannya dan ketawaannya pada Allah. Sosok sukses itu adalah Nabi Ismail, seluruh kitab menyatakan bahwa Ismail adalah orang yang kuat imannya, tawakkal, dan sosok yang menjadi uswah bagi umat. 
Kesuksesan itu tidak berjalan sendiri, ia dididik oleh ibu yang tangguh, Siti Hajar dan seorang Nabi yang hebat, yang menjadi pendahulu tauhid, Nabi Ibrahim. Siapakah sosok ibu Hajar? Ini, yang menjadi kajian kali ini.

Dalam Al-Yaum, bahwa Siti Hajar wafat pada usia sembilan puluh tahun dan dimakamkan oleh Ismail, alaihissalam, di samping Baitullah (banyak pendapat terkait ini). Dia meninggalkan teladan luar biasa sebagai wanita beriman, istri yang patuh, dan ibu yang penyayang. Allah memenuhi janjinya kepadanya, memberinya banyak keberkahan, dan mengharumkan namanya serta menjadikannya dikenang selamanya. 

Siti Hajar, ibu bangsa Arab Kanaan dan ibu dari Ismail. Dia memberikan teladan luar biasa sebagai wanita beriman dan saleh. Dia menaati perintah Allah dengan iman dan kesabaran sehingga layak menerima pahala ilahi. Allah mengangkat derajatnya dari lapisan masyarakat biasa dengan menempatkan makamnya di samping Ka'bah yang mulia. Tempat perjalanannya dengan anaknya antara Safa dan Marwah menjadi salah satu rukun haji yang dikunjungi umat Islam setiap tahun dari seluruh penjuru dunia. Siti Hajar juga menjadi nenek moyang penutup para Nabi dan manusia terbaik, Nabi Muhammad, dari keturunan yang diberkahi.

Sosok Tangguh

Siti Hajar, seorang perempuan yang namanya terukir dalam sejarah agama-agama Samawi, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kisah hidupnya yang penuh dengan ujian dan rintangan, namun diwarnai dengan keteguhan iman, cinta kasih, dan kegigihan, menjadikannya teladan bagi para perempuan di seluruh dunia.

Di balik kisah inspiratifnya, tersembunyi sosok perempuan tangguh yang diuji dengan berbagai cobaan. Ia ditinggalkan di lembah tandus bersama Ismail, putranya yang masih bayi, atas perintah suaminya, Nabi Ibrahim. Dihadapkan pada situasi yang sulit, Siti Hajar tidak menyerah pada keputusasaan. Ia bertanggung jawab penuh atas Ismail, dengan penuh kasih sayang dan dedikasi.

Perjalanannya mencari air untuk Ismail menjadi simbol perjuangan dan kegigihannya. Ia berlari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah, berharap menemukan sumber air untuk putranya. Perjuangannya yang tak kenal lelah ini kemudian diabadikan dalam ritual Sa'i, salah satu rukun haji yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia.

Siti Hajar tidak hanya seorang ibu yang penuh cinta, tetapi juga seorang perempuan yang tegar dalam menghadapi berbagai kesulitan. Ia hidup dalam keterasingan, tanpa keluarga dan kerabat di sekitarnya. Ia tidak memiliki harta benda, tempat bernaung, dan bahkan terpinggirkan dari masyarakatnya. Namun, ia tetap tegar dan tidak pernah kehilangan harapan.

Keimanannya yang kuat menjadi sumber kekuatannya. Ia yakin bahwa Allah SWT selalu bersamanya dan akan memberikan pertolongan dalam setiap kesulitan. Keyakinan ini membuatnya selalu optimis dan penuh semangat dalam menjalani hidup.

Kisah Siti Hajar menjadi pengingat bagi kita semua bahwa meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan, kita harus tetap tegar dan penuh harapan. Cinta dan kasih sayang kepada keluarga, serta keimanan yang kuat, menjadi sumber kekuatan yang dapat membantu kita melewati masa-masa sulit.

Siti Hajar adalah contoh nyata dari seorang perempuan teladan yang patut ditiru. Ia mengajarkan kita tentang arti tanggung jawab, cinta kasih, kegigihan, dan kekuatan iman. Kisah hidupnya menginspirasi kita untuk selalu optimis dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.

Asal Siti Hajar

Sosok tangguh itu, berasal dari Mesir. Dalam Al-Yaum, "Hajar min Alfarma Ila Nubuah". Para sejarawan sepakat bahwa tempat kelahiran Hajar adalah di Mesir, di daerah Tel Al-Farma, yang terletak beberapa kilometer dari Provinsi Bursaid (بورسعيد). Menurut Ibnu Hisyam dalam biografinya, dia lahir di desa Farma, sebuah kota di ujung utara Delta yang dekat dengan Danau Tinnis. Orang Arab menyebutkan gerbang-gerbang terkenalnya, tentang Nabi Ya'qub berkata, "Wahai anak-anakku, janganlah masuk dari satu pintu tetapi masuklah dari berbagai pintu," menurut buku Ensiklopedia 1000 Kota Islam oleh Abdul Hakim Al-Afifi. Dalam bahasa Koptik, itu berarti Rumah Amun, dan disebutkan dalam Taurat dengan nama "Sin," yang berarti kekuatan Mesir. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Farma dan mengalami serangan dari Romawi Bizantium. Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil membangun benteng yang menghadap laut untuk melindunginya dari serangan tersebut pada tahun 239 H. (Terjemah dari Al-Yaum).

Ibnu Ishaq berkata, "Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Syihab Az-Zuhri memberitahuku bahwa Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'b bin Malik Al-Anshari, kemudian As-Sulami, memberitahunya bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian membuka Mesir, perlakukan penduduknya dengan baik, karena mereka memiliki hak dan hubungan rahim." Maka saya bertanya kepada Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Apa hubungan rahim yang disebutkan oleh Rasulullah SAW untuk mereka?' Dia menjawab: 'Hajar, ibu Ismail, berasal dari mereka.'"

Masih dalam Al-Yaum, bahwa berbagai riwayat sejarah mengenai status sosial Hajar. Beberapa tokoh Yahudi menyebutkan bahwa siti Hajar  adalah budak di istana Firaun, dan dalam Kitab Kejadian "Pasal 21" disebutkan bahwa dia adalah putri Firaun Mesir. Beberapa keterangan dari Nubia mengklaim bahwa tempat kelahirannya berada di Nubia, di selatan Mesir, dengan mendasarkan pada asal usul nama bahwa (Ha) dalam hieroglif berarti bunga teratai, dan kata (Jar) berarti tanah Mesir dalam makna Taurat, sehingga namanya berarti bunga teratai dan julukannya adalah Mesir. Nama Hajar juga memiliki pengucapan yang sama dalam bahasa Nubia yaitu "Haqar (هاقجر)" yang berarti duduk atau ditinggalkan, merujuk pada ditinggalkannya dia sendirian di Mekah. Selain itu, diketahui bahwa Hajar mengenakan pakaian panjang longgar untuk menyembunyikan jejak kakinya, deskripsi ini cocok dengan "jergar (الجرجر)" yang merupakan pakaian tradisional wanita Nubia yang masih digunakan hingga hari ini.

Namun, Ibnu Katsir dalam "Al-Bidayah wa An-Nihayah" meriwayatkan bahwa dia adalah seorang putri dari kaum Amaliq, dan juga ada yang berpendapat, bawa ia dari kaum Kanaan yang memerintah Mesir sebelum Firaun. Firaun mengangkatnya sebagai anak. Ketika Firaun berencana jahat terhadap Sarah, istri Nabi Ibrahim, Sarah berdoa kepada Allah dan tangan Firaun kemudian lumpuh. Kemudian, Firaun meminta Sarah untuk mendoakannya agar sembuh dengan janji tidak akan menyakitinya. Sarah berdoa dan Allah menyembuhkannya, maka Firaun memberikan putri Hajar sebagai penghormatan, bukan sebagai budak seperti yang diklaim oleh Yahudi. (Al-yaum). 

Kesuksesan seseorang, tidak lepas bagaimana seorang ibu yang mendidiknya, dan juga seorang ayah. Dua teladan di rumah, adalah kunci kesuksesan di dunia dan akhirat.

Ibu, dengan kekuatan imannya, mampu menjadi teladan kekuatan iman anaknya, mendidik dengan keimanan mengantarkan anaknya pada keimanan padaNya.

“Qaddukal Mayyas” Bukan Shalawat!

Halimi Zuhdy

Ada yang bertanya tentang kebenaran shalawat "قدك المياس يا عمري", yang dipopulerkan oleh Sabah Fahri ini. Apakah lagu tersebut benar-benar sebuah shalawat atau sekedar nyanyian biasa?!. Lah, ini pentingnya belajar bahasa Arab, tidak semua yang berbau bahasa Arab itu shalawat, doa dan Ayat-Ayat al-Qur’an.
Akhir-akhir ini banyak sekali lagu-lagu bahasa Arab yang dicampur adukkan dengan lagu-lagu relegi dan shalawat. Bahkan lagu-lagu nyanyian tempat ibadah, juga dianggap lagu-lagu relegi umat Islam, asalkan berbahasa Arab, maka dianggap shalawat. Saya lebih mentahlil (analisis) sedikit tentang latar belakang lagu di atas (Qaddukal mayyas ya Umari”), sedangkan beberapa lagu yang viral lainnya, semoga ada waktu menuliskannya. 

Pertama, coba dicek link Youtube yang menuliskan tentang lagu ini; Shalawat Viral Qaddukal Mayyas (Penma Musik), sholawatan Qadduka Mayyas (17 Record), Lirik Sholawat Qodduka Mayyas (Sang Perindu) dan masih banyak sekali chenel Youtube, istagram, tiktok dan lainnya yang menuliskan Qaddukal Mayyas sebagai shalawat Nabi. 

Bahkan media seperti Kumparan, Teknozan, Surya, PanduanIslami, dan lainnya juga ikut-ikutan, seperti dalam kalimat, “Akhir-akhir ini, sholawat Qoddukal Mayyas sering digunakan sebagai backsound video di media sosial. Beberapa penyanyi pun berlomba-lomba membuat cover sholawat ini dan diunggah ke channel YouTube pribadi”. Terus apa salahnya, bila dianggap shalawat? 

Salahnya adalah ia bukan kalimat-kalimat pujian kepada Nabi, dan toh kalau pujian ia salah alamat. Pujian tuk kekasih/pacaran. Lirik lagu tidak mengandung unsur pujian atau penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Lirik lagu tersebut lebih fokus pada kecantikan dan pesona seorang wanita yang dicintai oleh sang penyanyi.

Lagu ini sering dinyanyikan dalam konser dan acara hiburan yang tidak pantas dikaitkan dengan konteks religi. Video-video di YouTube yang menampilkan lagu ini menunjukkan penampilan penyanyi yang membuka aurat dan tidak sesuai dengan norma agama.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa lagu "قدك المياس يا عمري" bukan sebuah shalawat dan tidak boleh disalahartikan sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai umat Islam, kita perlu berhati-hati dalam menyikapi berbagai informasi dan konten yang beredar, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat religius. Pastikan untuk selalu mencari informasi dari sumber yang terpercaya dan kredibel.

Toyyib; mari kita sedikit melirik beberapa kalimat yang ada dalam lagu tersebut;
قـدك الميــاس يـا عـمــــري
Tubuhmu yang ramping, wahai hidupku (bisa juga tubuhmu, atau pinggangmu yang indah gemulai) wahai kekasihku. 
لِغُـصـين الــبــان كــم يـُذري
Seperti dahan pohon willow yang melambai (goyangannya, gemulainya, seperti pohon kelor). Dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan “Your swaggering body oh my love, as lean as a moringa twig”. 

Dan seterusnya….

Dari awal sudah sangat tampak sekali bahwa ini bukan shalawat, tetapi rayuan dan ungkapan seorang laki-laki pada perempuan tentang tubuh gemulainya dan lainnya. maka, sangat tidak elok, kalau nyanyian di atas dinyanyikan diacara Dibaan, Shalawatan dan apalagi ditulis di berbagai chenel dengan Shalawat Quddakal Mayyas.

Maka, bila tidak tahu maknanya dan tidak jelas asal muasalnya, lebih aman baca shalatawat yang sudah masyhur😁

****
Lagunya seperti di link berikut.

Selasa, 21 Mei 2024

Sabang, Tidak Hanya Menawarkan 0 Kilometer, Ia Bisikan Sejarah Panjang Indonesia


Halimi Zuhdy

Sabang. Daerah paling ujung di Indonesia. Kilometer 0 Indonesia. Tempat ini, bukan hanya menawarkan "0" kilometer. Tapi, ia menwarkan berbagai keunikan dan keindahan. Dan yang unik, asal kata "Sabang" berasal dari Bahasa Arab, "Shabag". 

"Shabag," yang berarti gunung meletus. Ini mungkin karena dulu banyak gunung berapi aktif di sana, seperti yang terlihat pada gunung berapi Jaboi dan gunung berapi bawah laut Pria Laot. Sekitar tahun 301 SM, ahli geografi Yunani Ptolomacus berlayar ke timur dan berhenti di pulau Weh di mulut Selat Malaka, lalu menyebutnya Pulau Emas dalam peta pelaut (halaman resmi Sabangkota). Tapi, ketika saya menempuh perjalanan kemarin, bersama salah satu pegawai pemerintahan di Sabang, bu Zu, ia bercerita tentang sertifikat Sabang, dan bagaimana presiden Habibi mempopulerkan kembali dan juga meresmikan pulau Sabang. Dan kata beliau, "Sabang" artinya adalah "sama". Entah, apa yang maksud dengan "sama", belum saya tanyakan kembali lebih luas. 
"Sabang" pertama saya dengar dari sebuah nyanyian "dari Sabang sampai Merauki, berjajar pulau-pulau". Dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia. Semua orang kagum. Indonesia sangat keren dan luar biasa, apa yang tidak disyukuri oleh orang yang berada di negeri yang penuh dengan keindahan ini. "Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban, nikmat yang mana lagi yang kamu dustakan". 

Prof. Dr. Musthafa Al-Misri, sangat kaget. Ketika saya cerita, bahwa dari Aceh ke Jakarta saja, butuh waktu 3.39 menit, dan 45 jam (2.319,9 km)
lewat Jl. Lintas Sumatra. "Indonesia adhim", Indonesia itu sangat luar biasa dan besar. 

Dalam laman yang sama, bahwa Pada abad ke-12, pelaut Sinbad dari Sohar, Oman, berlayar melalui Maladewa, Kalkit (India), Sri Lanka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Ia berhenti di Pulau Emas, yang kini dikenal sebagai Pulau Weh. Nama "Weh" berasal dari bahasa Aceh yang berarti "pindah," mengacu pada legenda bahwa pulau ini pernah bersatu dengan Sumatra sebelum terpisah, kemungkinan akibat letusan gunung berapi. Sebagian warga Gampong Pie Ulee Lheueh juga mengisahkan bahwa Pulau Weh dulunya tersambung dengan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Pada awal 1900-an, Sabang adalah desa nelayan dengan pelabuhan yang berkembang setelah Belanda membangun depot batubara, memperdalam pelabuhan, dan meningkatkan infrastruktur, hingga mampu menampung 25.000 ton batubara. Kapal-kapal dari berbagai negara singgah di Sabang untuk mengisi batubara dan air segar. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang lebih penting daripada Singapura, namun dengan munculnya kapal bertenaga diesel, Sabang mulai terlupakan (berbagai marja').

Toyyib. Sabang juha dijuluki "Kota Seribu Benteng" karena terdapat banyak peninggalan benteng peninggalan Jepang dari masa Perang Dunia II. Benteng-benteng ini menjadi saksi bisu sejarah dan menambah daya tarik wisata Pulau Sabang, tapi saya tidak sampai berkeliling di tempat ini, hanya menyaksikan meriam-meriam yang masih utuh, seakan-akan siap memuntahkan rindu.he. 

Oh ia, perjalanan ke Sabang tak lengkap tanpa mengunjungi Tugu Kilometer Nol, ikon wisata yang menandakan titik paling barat Indonesia. Berdiri kokoh di atas bukit, tugu ini menjadi saksi bisu perpaduan lautan biru, sesekali terlihat hijau, ketika saya menyusuri pantai dengan sederhana, menghadirkan panorama yang memukau. Di sini, para wisatawan dapat merasakan sensasi berada di ujung barat Tanah Air, membangkitkan rasa cinta tanah air dan semangat untuk menjelajahi lebih jauh. Keren banget. 

Perjalanan sehari, memang tidak banyak yang bisa saya kunjungi, tapi ketika masuk di pulau Rubiah, saya banyak mendapati keindahan-keindahan luar biasa. Sesekali, mendengarkan nahkoida bercerita tentang pulau ini, "Pantai berpasir putih yang halus, air laut biru jernih bagaikan kristal, dan gugusan pulau karang yang menawan menghadirkan panorama yang memanjakan mata, coba bapak-bapak lihat ke bawah, ikan-ikan seperti damai sekali. Keindahan alam bawah lautnya pun tak kalah memukau, dengan terumbu karang yang masih terjaga dan berbagai spesies ikan yang berenang bebas. Bagi para pecinta diving dan snorkeling, Sabang adalah surga yang tak boleh dilewatkan" katanya, ia menambahkan "tapi, karang-karang ini rusak, karena tsunami, butuh 60-100 tahun lagi untuk kembali seperti semula". 

Saya diajak diving dan snorkeling oleh seorang Bapak yang membawa kita ke pulau Rubiah (tentang Rubiah, ada edisi khusus), tapi saya tidak mau, selain waktunya yang tidak cukup berlama-lama, ada yang paling penting untuk saya cari, yaitu; karantina haji, sejarah Siti Rubiah, dan dua makam panjang yang ada di pulau itu. Alhamdulillah, tujuan utama saya tercapai, asrama haji, karena kisah ini pernah saya tulisan dalam buku saya, Sejarah Haji dan Manasik. Tapi, ketika menatap asrama tersebut, sedih. Hanya nama dimonomen, dan bangunan yang tidak terawat, rusak sangat parah. Semoga, suatu saat nanti, ia menjadi cagar budaya dan dirawat reruntuhannya. 

Tadabbur Aceh, Part# 6 

Pulau Sabang, 19 Mei 2024

***
Maaf, menyimpan Foto sebagai dokumen juga🤩

Sabtu, 18 Mei 2024

Pembelajaran Sastra Arab bagi Non Arab

Halimi Zuhdy

Konferensi ADIA (Asosiasi Dosen Ilmu Adab) 2024 di Aceh mengundang beberapa pemateri dari luar negeri, di antarnya adalah Prof. Dr. Mustofa dari Mesir. Kebetulan, Prof. Mustafa pernah juga di undang seminar Sastra Arab di UIN Malang, dan pernah satu forum sastra di Universitas Syarif Ali Brunai Darussalam. Beliau setiap hari menulis di WAG Muhibbul Lughah Al-Arabiyah tentang Baitul Maqdis, menarik sekali. 

Dalam konferensi ini beliau menyampaikan tentang "Tadris al-Adab al-Arabi lin natiqina bighair al-Arab, muqarabah intiqaiyyah takamiliyaj" yaitu tentang pembelajaran Sastra Arab bagi non Arab dengan pendekatan eklektif integratif. 

Kata beliau, sastra secara umum merupakan nilai kemanusiaan, peradaban, dan pengetahuan yang sangat tinggi. Kekayaan sastra tercermin dalam jiwa penulis, harapan, dan minatnya. Sastra adalah buku, di mana ide, visi, dan mimpi penulis terwujud dalam barisannya. 

Menariknya, sastra adalah mimbar di mana seruan pembaruan dan reformasi dikumandangkan. Sastra adalah pemandu yang membawa penerima ke apa yang bermanfaat bagi mereka. Sastra adalah obor yang menerangi jalan kebebasan dan keadilan bagi manusia. Sastra adalah panggung di mana seni hiburan yang murni dan relaksasi yang bertujuan dipamerkan. 

Sastra adalah sayap kedua yang membantu sayap material untuk membawa manusia terbang di atmosfer kehidupan ini. Manusia memiliki tubuh dan jiwa, dan fokus pada aspek material saja hampir mengubah manusia menjadi roda gigi kaku dalam mesin bisu. Sedangkan fokus pada aspek spiritual saja akan menyebabkan hilangnya peradaban. Demikian kata Prof Mistafa, dalam pengantar sebelum masuk pada pendekatan eklektik. 

Terus, apa manfaat mempelajari bahasa Arab?, beberapa yang beliau sampaikan, saya simpulkan dari ppt dan juga orasi beliau. 

1. Mengembangkan kemampuan berbahasa Arab. Mempelajari sastra Arab membantu meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berbicara bahasa Arab. Hal ini karena sastra Arab menggunakan bahasa yang kaya dan beragam, serta struktur kalimat yang kompleks.

2. Meningkatkan gaya bahasa, dengan mempelajari tingkat bahasa yang tinggi yang ditandai dengan kefasihan dan kreativitas, para pelajar dapat memenuhi syarat untuk berkreasi di masa depan.

3. Mendalami budaya Arab, sastra adalah wadah budaya. Abdullah bin Abbas mendefinisikan puisi sebagai diwan orang Arab, yaitu catatan kehidupan mereka dengan segala dimensinya, politik, dan sosial.

4. Memperkuat hubungan budaya, sastra Arab dapat memperkuat hubungan budaya antara orang Arab dan bangsa lain yang berbicara bahasa non-Arab, baik Muslim maupun non-Muslim.

Sedangkan tantangan dalam Mengajarkan Sastra Arab, juga tidak sedikit, di antaranya, kata beliau; 

1. Tidak adanya kurikulum, atau kurikulum yang kurang tepat, scara umum, kurikulum pengajaran bahasa Arab di banyak institusi tidak dirancang khusus untuk pengajaran sastra Arab. Hal ini menyebabkan kurangnya materi yang relevan dan menarik bagi pelajar non-Arab.

2. Penggunaan materi yang tidak tepat, dalam beberapa institusi, terdapat perbedaan besar antara pengajaran sastra Arab untuk orang Arab dan non-Arab. Bahkan, seringkali menggunakan materi yang sama tanpa membedakan.

3. Melibatkan pelajar Non-Arab dalam Isu yang tidak relevan, terkadang, pelajar non-Arab dipaksa untuk mempelajari masalah sejarah, konspirasi politik, dan perselisihan agama dan sektarian yang tidak relevan dengan mereka.

4. Penggunaan pendekatan lama, pengajaran sastra Arab sering kali didasarkan pada pendekatan sejarah dan geografis yang sudah usang, tanpa memperhatikan kritik yang banyak diajukan terhadapnya.

Lanjut #2 PembelajaranSastraArab Prof Musthafa

Aceh, 18 Mei 2024

Jejak Sejarah Haji di Nusantara, Serambi Makkah dan Pelabuhan Ulee Lheue


Halimi Zuhdy

Beberapa hari ini, calon jamaah haji Indonesia sudah menjejekkan kakinya di Makkah. Tempat yang paling dirindu oleh kaum muslimin di seluruh dunia, dan tempat yang paling banyak dikunjungi oleh umat Islam. Makkah (Bakkah), bukan tempat biasa, ia tempat penuh berkah, dan tempat syiar keindahan ajaran Islam. Dan, walau tahun ini saya belum menginjakkan kaki di Makkah (semoga tahun depan, biidznillah), tapi saya menginjakkan kaki di serambi Makkah (julukan Aceh Darussalam). He. 
Beberapa paragraf dalam buku "Sejarah Haji dan Manasik" yang pernah saya tulis, dan sudah naik cetak beberapa kali. Bahwa haji di Nusantara tidak lepas dengan jejek-jejak kaki jamaah haji di Serambi Makkah, Aceh. Julukan Serambi Makkah (syarafat Makkah) bukan tanpa alasan, karena Aceh memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan ibadah haji.

Sejak berabad-abad silam, Aceh menjadi gerbang utama bagi jamaah haji dari berbagai wilayah di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Mereka singgah di Aceh sebelum melanjutkan perjalanan ke tanah suci Makkah. Nanti, kita bisa telusuri di Sabang. 

Salah satu bukti sejarahnya adalah Pelabuhan Ulee Lheue di Sabang. Pelabuhan ini telah berdiri sejak abad ke-17 M dan menjadi saksi bisu perjalanan haji di Nusantara. Di sinilah para jamaah berkumpul, bersiap untuk memulai perjalanan spiritual mereka ke tanah suci.

Ada beberapa versi tentang asal mula julukan Serambi Makkah bagi Aceh. Versi yang paling terkenal adalah karena Aceh menjadi tempat persinggahan jamaah haji sebelum melanjutkan perjalanan ke Makkah. Aceh bagaikan ruang tamu atau serambi sebelum memasuki rumah utama, yaitu Makkah.

Versi lain mengaitkannya dengan kesamaan budaya dan tradisi antara Aceh dan Makkah. Penerapan syariat Islam yang kuat dan tradisi dakwah yang marak di Aceh menjadikannya miniatur Makkah di Nusantara.

Peran Aceh dalam penyebaran Islam di Indonesia sangatlah signifikan. Selain menjadi pintu gerbang haji, Aceh juga menjadi pusat pendidikan Islam dan melahirkan banyak ulama ternama. Pengaruh Islam dari Aceh menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara melalui perdagangan, dakwah, dan interaksi budaya.

Sejarah haji di Nusantara tak lepas dari peran penting Aceh. Bukan hanya sebuah persinggahan jamaah haji, tetapi bagaimana haji menjadi perjalanan panjangnya. Hari ini kita saksikan, betapa calon (yang juga sudah mendaftar) menjadi jamaah haji di seluruh Indonesia, sangat banyak, sampai harus antri puluhan tahun. Dan, menjadi jamaah terbesar di dunia. 

Julukan Serambi Makkah menjadi inspirasi di beberapa daerah di Indonesia, dengan memberikan julukan untuk daerahnya; Gerbang Salam, Kota Santri, dan lainnya. Oh ia, dan pelabuhan Ulee Lheue menjadi saksi bisu perjalanan para jamaah, dan Aceh memberikan kontribusi besar dalam penyebaran Islam di Indonesia.
@sorotan 

****

Kali ini hadir ke Aceh dalam rangka menghadiri Annual Internasional Conference ADIA (ASOSIASI DOSEN ILMU-ILMU ADAB SE INDONESIA 2024.

Ta'dhim ila 'Amid Kulliyah Agam Syarifuddin

Selasa, 14 Mei 2024

Menilik Polemik Musik dan Syi’ir Arab


#3 PolemikMusikSyiir

Halimi Zuhdy

Terkait dengan polemik musik dan syi'ir yang masih terus bergulir, penulis tidak akan masuk ke subtansi pembahasan dan kemudian masuk pada ranah hukumnya, hanya melihat sepintas, mengapa terjadi perdebatan tersebut?, karena penulis perhatikan dari berbagai tanggapan,perbedaan, dan perdebatan adalah pada berbedaan definisi musik dan syi’ir itu sendiri. Andai, definisi musik dan syi'ir Arab sudah dibatasi dan disepakati oleh mereka, maka akan menemukan titik temu yang jelas. Kalau terkait hukum musik mulai dulu sudah jelas, terdapat perbedaan padangan ulama,; haram, mubah, dan halal. Itu pun masih diperselisihkan, kapan menjadi halal, kapan menjadi haram, demikian juga dengan mubah.? 
Tulisan ini, penulis tertarik untuk memulainya dengan sebuah hadis tentang syi'ir, riwayat Muslim nomor 4193

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ يُحَنِّسَ مَوْلَى مُصْعَبِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ نَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ إِذْ عَرَضَ شَاعِرٌ يُنْشِدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذُوا الشَّيْطَانَ أَوْ أَمْسِكُوا الشَّيْطَانَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Telah menceritakan kepada kami (Qutaibah bin Sa'is Ats Tsaqafi); Telah menceritakan kepada kami (Laits) dari (Ibnu Al Had) dari (Yuhannas) budak Mush'ab bin Az Zubair dari (Abu Sa'id Al Khudri) dia berkata; "Ketika kami sedang berjalan bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di 'Arj, tiba-tiba datang seorang penyair bersenandung. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tangkap setan itu! Sesungguhnya perut orang yang dipenuhi muntah lebih baik daripada perut yang penuh dengan sya'ir (sajak)." Pengambilan hadis ini, terinspirasi dari status KH. Ma'ruf Khozin 

Lah, terkait dengan kata “syi’ir” pada hadis di atas, apa yang kita pikirkan?, kalau kita artikan syi'ir Arab (puisi) secara istilah dan itupun masih menurut pendapat salah satu penyair (ulama), yaitu syi’ir adalah suatu kalimat yang berirama dan bersajak, yang diungkapkan tentang suatu khayalan yang indah dan juga melukiskan sebuah kejadian. Atau dalam bahasa Arabnya;

الشعر هو الكلام الموزون المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصور المؤثرة البليغة

Dan masih banyak definisi lainnya tentang syi’ir Arab dalam buku-buku sastra Arab, itu pun masih tergantung pada pembagiannya; ada syi'ir mursal, hurr, syi'ir multazim.

Apa yang dimaksud "syi’ir" dalam hadis di atas? Kalau kita benar-benar konsisten dengan kata “syi’ir” di atas, maka hukum dari syi’ir adalah haram. Syi’ir apa pun itu. Menulis, membaca, mendendangkannya juga haram. Kalau kita hanya terpaku pada sebuah kata lo! “Syi’’ir”. Dan, apalagi ada yang mengartikan syi'ir di atas dengan nyanyian atau musik, maka pasti berdampak hukumnya dan pasti akan diperdebatkan. 

Apa yang akan terjadi, maka semua kata yang ditulis indah dan masuk katagori syi’ir maka hukumnya adalah haram. Atau sesuatu yang terkait dengan syi'ir adalah haram. Tapi, benarkah kata syi'ir itu adalah syi'ir yang hanya sebuah tulisan dan berqafiyah (irama) itu masuk katagori haram?. Lah, ini kemudian berkembang, bukan ada syi'irnya tetapi ada aktifitasnya (dampaknya). Sama dengan "sikkin" (pisau), misalnya ada kalimat "lebih baik memakan darah, dari pada memegang pisau!" Kalau kita artikan pisau secara harfiah, maka semua pisau jelek. 

Bagaimana dengan syi'ir, buktinya tidak ada ulama yang mengharamkan syi’ir secara definisi. Beda lagi dengan syi’ir yang ditarik pada ranah lainnya, mengapa hadis itu muncul. Dalam maktabah syamilah, mengapa syi’ir kemudian tidak baik (buruk, haram), maka dijelaskan demikian;

“Oleh karena itu, ketika kalian melihat seseorang yang sangat menyukai syi’ir (puisi)- bahkan syi’ir itu sangat bagus – tapi dia menghabiskan waktunya, siang dan malam untuk membaca dan menulis puisi, menghadiri pertunjukan, membuat rima, dan sebagainya. Dan hidupnya siang dan malam, dan mungkin bertahun-tahun telah berlalu dalam hidupnya seperti ini, dan dia tidak pernah berpikir untuk mengambil Al-Qur’an di tangannya dan membacanya. Maka, orang ini, meskipun kita akui bahwa dia menulis puisi yang bagus, dia tercela karena hal itu membuatnya lalai dari mengingat Allah, dan lalai dari firman Allah SWT. Maka kejelekkan itu datang di sini - dan saya katakan: hanya kejelekkan - karena puisi ini, meskipun bagus, telah membuatnya lalai dari Kitab Allah dan dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan jika puisi itu jelek, maka itu haram; karena pertama, itu jelek dalam dirinya sendiri, dan kedua, itu membuatnya sibuk - dari mengingat Allah.Dan saya telah mengatakan di awal ceramah: para ulama berbeda pendapat tentang puisi: ada yang memujinya secara mutlak, dan ada yang mencelanya secara mutlak. Tapi yang benar adalah apa yang akan datang”.(Maktabah Syamilah). 

Ini yang penulis maksud, maka kata “syi’ir” saja masih terus menjadi perdebatan, ini belum masuk kepada definisi secara luas, yang kemudian ada yang mengartikan atau menyamakan, atau memasukkan iqa’ (musik) dalam syi’ir, belum lagi perbedaan iqa’ dan musik (apakah sama?), belum lagi macam-macam syi'ir yang ada 15 macam (bahkan lebih), belum lagi syi'ir dengan sinonimnya (rujuk tulisan sebelumnya).

Terus definisi syi'ir yang tepat, benar dan jelas seperti apa?, lah disinilah membutuhkan pembacaan hati dan pikiran yang luas (tidak merasa paling dahsyat). 

Sebelum penulis menjelaskan musik, mari kita lihat sekilas dua perbedaan mendasar, walau hal ini masih menjadi perbedaan;

Secara umum syi’ir (puisi) dan musik merupakan dua bentuk seni yang sama-sama indah dan mampu membangkitkan emosi pendengarnya. Meskipun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran, keduanya memiliki perbedaan yang jelas dalam cara penyampaiannya. Berikut adalah beberapa poin penting yang membedakan puisi dan musik (ini secara umum lo). 

Medium (al-wasilah)
1. Syi'ir, menggunakan kata-kata yang tersusun rapi dan penuh makna.
2. Musik, menggunakan nada, melodi, dan irama yang disusun untuk menghasilkan bunyi yang indah.

Struktur (al-bunyah)
1. Syi'ir, memiliki struktur yang lebih terdefinisi, seperti bait, rima, dan irama.
2. Musik, memiliki struktur yang lebih fleksibel, tidak terikat pada aturan baku.

Penyampaian (taqdim)
1. Syi'ir, biasanya dibaca atau dideklamasikan dengan suara.
2. Musik, biasanya dimainkan dengan menggunakan alat musik atau dinyanyikan dengan suara.

Penafsiran (ta’wil, at-tafsir)
1. Syi'ir, maknanya lebih spesifik dan mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang lugas.
2. Musik, maknanya lebih ambigu dan terbuka untuk interpretasi karena tidak terikat pada bahasa.

Fungsi (al-wadhifah)
1. Syi'ir, dapat digunakan untuk bercerita, melukiskan gambaran, menyampaikan pesan moral, atau membangkitkan emosi.
2. Musik, dapat digunakan untuk menghibur, menari, mengiringi ritual, atau mengekspresikan emosi.

Syi'ir dan musik adalah dua bentuk seni yang indah dan memiliki kekuatannya sendiri. Syi'ir lebih fokus pada makna dan penyampaian pesan melalui kata-kata, sedangkan musik lebih fokus pada melodi dan irama untuk membangkitkan emosi. Keduanya dapat dinikmati dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda-beda oleh setiap individu.

Lah, karena ketidakjelasan definisi, maka syi’ir, dianggap maknanya luas, bisa merujuk pada puisi, syair, nyanyian, dan bahkan teks dengan rima dan irama. Sedangkan musik, sering disalahartikan sebagai alat musik, padahal merujuk pada bunyi yang dihasilkan. Dan, selama mempunyai definisi sendiri-sendiri, dengan rujukan masing-masing, maka tidak akan pernah ditemukan titiknya. Ia akan terus berhadapan dengan koma dan koma. 

Lanjut #4 Polemik Musik dan Syi’ir

*Guru Ilmu Arudh dan Qawafi, penulis Fann Kitab al-Syi'ir al-Arabi.

Menguak Istilah Syair, Syi’ir, Puisi dan Musik


Part #2

Halimi Zuhdy

Terpaksa menguak tulisan lama, karena ada yang memaksa untuk menjelaskan tentang perbedaan syi'ir (puisi) dan musik. Ada yang menganggap bahwa syi'ir itu adalah musik, dan musik itu adalah syi'ir, sehingga ada kata "surat musik". Tapi, saya tidak masuk pada perdebatan yang seru tersebut, hanya saja, sedikit akan mengurai perbedaan mendasar, minimal menurut bahasa (lughatan), dan yang saya ketahui dan saya pahami. Tujuannya, agar masyarat bahasa Arab (yang saya ajar), mampu membedakan mana istilah syi'ir dan mana istilah musik. 
Pernah saya ditegur, ketika ada mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang, ketika tampil memainkan musik dengan melagukan syi'ir (puisi Arab), istilahnya musikalisasi puisi. "Tadz, saya gak suka ada istilah musikalisasi puisi, puisi ya puisi, musik yang musik, gak usah dicampur", kata salah satu dosen M, dan kemudian pergi. Musikalisasi berbeda dengan puitisasi lo! Apa bedanya. Terus baca tulisan ini. 

Kata “puisi” dan “syair” sudah sangat mashur di telinga orang Indonesia. “Puisi” di antara pengertiannya adalah bentuk karya sastra yang terikat oleh irama, rima dan penyusun bait dan baris yang bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Sedangkan “syair” dalam banyak buku pembelajaran bahasa Indonesia adalah salah satu jenis puisi, dan jenis ini, dikatagorikan pada puisi lama, seperti; mantra, pantun, karmina, seloka, gurindam, dan talibun. 

Dan syair adalah tiap bait terdiri atas empat baris yang berakhir dengan bunyi sama. Menurut Hooykaas, syair merupakan jenis puisi lama yang berkembang di Indonesia, hanya saja namanya merupakan serapan dari bahasa Arab, syi'ir (الشعر). 

Keduanya memiliki kemiripan namun berbeda, istilah puisi sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sedangkan syair digunakan dalam bahasa Arab, walaupun istilah syair juga sudah menjadi bagian dari puisi, namun dalam bahasa Arab tidak dibaca Syair, tetapi Syi’ir. Kalau Syair adalah penulisnya, sedangkan Syi’ir adalah karangannya. Kalau “syair” berarti rambut, bukan puisi. He. Tetapi kesalahan itu akan menjadi sebuah kebenaran, bila sudah menjadi kesepakatan bersama. Maka, anggaplah, syair itu syi'ir. 

Banyak yang salah memahami, seakan-akan syair itu puisi dan puisi itu adalah syair, bukan hanya syair dan puisi yang melebur dan kabur, tapi istilah yang lain juga demikian, seperti menulis dan mengarang. Menulis dan mengarang pada dasarnya berbeda, kalau menulis seringkali menyelipkan pemikiran orang lain dalam tulisannya, dengan mengumpulkan data dan kemudian menganalisisnya, atau sekedar mengumpulkan yang kemudian mengkompelasikan dengan tulisan-tulisan lain, seperti makalah popular, artikel, opini. Sedangkan mengarang, murni dari pemikiran sendiri seperti novel, cerpen, dan puisi. Namun, mengarang dan menulis sudah dianggap tidak ada bedanya, ya..menulis. menulis karangan.wkwkwk. untung tidak karangan menulis. 

Mari kita lihat asal kata syair yang dianggap dari bahasa Arab, secara etimologis, kata syi’ir (bukan syair) berakar dari kata شعر- يشعر- شعرا- شعورا yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengkomposisi, atau menggubah sebuah syair (Abu al-Fadl, 1990: 409). Menurut Jurji Zaidan, syair berarti nyanyian (al-ghina`), lantunan (insyadz), atau melagukan (tartil). Asal kata ini telah hilang dari bahasa Arab, namun masih ada dalam bahasa-bahasa lain, seperti شور dalam bahasa Ibrani yang berarti suara, bernyanyi, dan melantunkan lagu. Diantara sumber kata syi`r adalah شير (syir) yang berarti kasidah atau nyanyian. Nyanyian yang terdapat dalam kitab Taurat juga menggunakan nama ini. (Muzakki)

Sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi lebih dahulu berkecimpung dalam dunia nazham daripada orang-orang Hijaz. Dengan demikian, pengalaman dan kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan kata syi’ir yang berkaitan dengan kasidah atau nyanyian. Berdasarkan sumber itu, orang-orang Arab dipandang kuat telah mengambil kata syi`ir dari orang Yahudi untuk menyebut istilah kasidah. Kemudian mereka mengganti huruf ya` dalam kata شير dengan huruf `ain, maka jadilah kata syi`ir (شعر ), dan selanjutnya kata ini dipergunakan pada pengertian syair secara umum (Ahmad Husein al-Thamawi, 1992: 46).

Berbeda dengan al-`Aqqad, ia memandang kata syi`ir harus dikembalikan kepada bahasa aslinya, yaitu bahasa Semit. Karena itu, kata شيرو pada suku `Aqqadi kuno merujuk kepada suara nyanyian di gereja. Dari kata ini, kemudian berpindah ke dalam bahasa Ibrani (شير) dengan arti melagukan (insyadz) dan ke dalam bahasa Aramiyah yang bersinonim dengan kata شور , ترنم (menyanyikan) dan ترتيل (melagukan) (Ahmad Husein al-Thamawi, 1992: 47).

Bagi orang Arab, kata syi`ir mempunyai arti tersendiri sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka, syi`ir berarti pengetahuan atau kepandaian (`ilm/fathanah), dan penyair itu sendiri disebut dengan al-fathin (cerdik pandai). Pendapat ini ada kemiripan dengan pengertian poet dalam bahasa Yunani, yang berarti membuat, mencipta (dalam bahasa Inggris padanan kata poetry erat berhubungan dengan kata poet dan poem). Poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, dan orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Henry Guntur Tarigan, 1984: 4). Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, mereka meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis, karena itu mereka dikenal sebagai “ahl al-ma’rifah” , yaitu sekelompok orang yang dapat memprediksi kehidupan dan kejadian di masa yang akan datang (Ahmad Amin, 1975: 55).

Secara terminologis, para Ahli `Arudh mengatakan bahwa pengertian syi`ir itu sama (muradif) dengan nadzam. Mereka mengungkapkan: Kata-kata yang berirama dan berqafiah yang diciptakan dengan sengaja. Dan masih banyak pendapat-pendapat yang lain terkait dengan kata-kata syair (insyallah buat buku dulu, syair dalam kajian sastra Arab).

Sedangkan istilah Puisi, sebagaimana yang penulis temukan dalam beberapa buku, kata “puisi” berasal dari kata Yunani kuno yaitu : ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) diartikan sebagai seni tertulis yang mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Atau berasal dari poesis yang berarti penciptaan.

Kemudian puisi diartikan suatu ciptaan tentang sesuatu keindahan dalam bentuk berirama. Citarasa adalah unsur yang diutamakan. Hubungan dengan budaya intelek atau dengan suara hati hanya merupakan hubungan yang selari. Jika bukan secara kebetulan, ia tidak ada kena mengena langsung sama ada dengan tugasnya atau dengan kebenaran, demikian menurut Edgar Allan Poe. Sedangkan menurut H.B Jassin H. B. Jassin, Puisi merupakan pengucapan dengan perasaan yang didalamnya mengandungi fikiran-fikiran dan tanggapan-tanggapan

Kalau kita tangkap dari beberapa definisi dari syair Arab , dipahami bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan kepada karya sastra genre syair apabila ungkapan tersebut memenuhi enam kriteria: 1) kalam (bahasa), 2) ma`na (gagasan), 3) wazan (irama), 4) qafiah (sajak), 5) khayal (imajinasi), dan 6) qasd (sengaja).

Dan tidak terlalu jauh dengan definisi puisi dalam bahasa Indonesia yang puisi tersebut tidak lepas dari imaginasi, pemikiran, idea, nada, irama, kesan pancaindera, susunkata, kata-kata kiasan, kepadatan, perasaan, perasaan yang bercampur-baur dan sebagainya.

Puisi dan syi'ir pada akhirnya adalah sebuah ungkapan imajinatif, yang berirama dengan susunan kata yang tersusun dengan penuh kiasan, kepadatan dan perasaan. Ada kesamaan dalam macam/jenis keduanya. Dalam syair menurut Thaha Husein dan Ahmad al-Syayib membagi syair dari segi isinya menjadi tiga macam: 1) syair cerita/epic poetry (syi`r qishashi), 2) syair lirik/liric poetry (syi`r ghina`i), dan 3) syair drama/dramatic poetry (syi`r tamtsili). Sementara `Abd al-Aziz bin Muhammad al-Faishal menyebut syair cerita dengan istilah syi`r malhami, walaupun pengertiannya tidak ada perbedaan, dalam puisi tidak jauh berbeda.

🎥 Dosen Sastra Arab UIN Malang

Berikutnya; #3
Asal Kata Musik, dan Perbedaannya dengan Syi'ir

Kajian Al-Qur'an, Sastra Arab, dan Mutiara Hikmah 👇🏻

🌎 www. halimizuhdy. com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  FB *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy* 
🗜️ Tiktok  *ibnuzuhdy*

Mohon masukannya poro suhu; Prof Djoko Saryono K. M Faizi Binhad Nurrohmat Akhmad Taufiq Sosiawan Leak Malkan Junaidi dan lainnya

@sorotan

Selasa, 07 Mei 2024

Kisah Nabi Sulaiman dan Kudanya


(Asyiknya dunia, tak Seasyik Beribadah)

Halimi Zuhdy

رُدُّوهَا عَلَیَّۖ فَطَفِقَ مَسۡحَۢا بِٱلسُّوقِ وَٱلۡأَعۡنَاقِ 
"Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku." Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu (Surat Shad, Ayat 33)

Surah Sad, Ayat 33 menjadi salah satu ayat Al-Qur'an yang menarik untuk ditelusuri maknanya. Ayat ini menceritakan kisah Nabi Sulaiman dan kudanya yang menjadi perbincangan hangat di kalangan ahli tafsir. 
Perbedaan interpretasi tentang makna "مسح" (masḥ) dan sikap Nabi Sulaiman terhadap kudanya mewarnai pemahaman dan pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini. Apa yang dilakukan Nabi Sulaiman bukan hal yang aneh untuk "kebanyakan manusia", bahkan mungkin sangat banyak umat yang melakukannnya. Tapi, ini merupakan palajaran penting bagi umat, ada hal yang lebih penting untuk didahulukan, dan hal-hal yang dianggap penting. 

Siapa yang tidak kenal dengan Nabi Sulaiman, sangat banyak kisah yang menceritakan kekayaan beliau dan mukjizat beliau dengan hewan dan jin. Dan kisah kekuasaan yang pernah ada di muka bumi. Dan keindahan akhlak beliau dalam pemerintahan, serta dalam mempimpin umat. 

Ayat, 33 Surat Shad, menceritakan kisah Nabi Sulaiman yang terlena dengan kekayaannya, termasuk kudanya yang indah dan banyak. Ia tergoda dengan kekayaannya tersebut dan lupa diri dari waktu sholat Ashar, ketika matahari telah terbenam, Nabi Sulaiman tersadar dan menyesali kelalaiannya. Ia pun segera kembali ke istananya dan memerintahkan untuk membawa kembali kudanya.

Gegara terlena dengab kudanya, dan hanya sekali saja. Maka, kuda itu disembelih (dan terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam hal ini). 
Ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna "مسح" dalam ayat ini. Ada yang berpendapat disembelih, pendapat ini didasarkan pada riwayat bahwa Nabi Sulaiman menyembelih kudanya karena telah membuatnya lalai dari sholat. 

Ada juga yang berpendapat dipotong, pendapat ini menyatakan bahwa Nabi Sulaiman memotong urat kakinya untuk mencegahnya berlari kencang dan membuatnya lalai lagi. Dan ada pula, yang berpendapat bahwa kat "masaha" adalah membelai, pendapat ini meyakini bahwa Nabi Sulaiman membelai kudanya dengan penuh kasih sayang sebagai tanda penyesalan dan pertobatannya.

Terlepas dari perbedaan tafsir tentang kata "masaha" para ahli tafsir sepakat bahwa Nabi Sulaiman menunjukkan sikap yang tegas dan penuh penyesalan atas kelalaiannya. Ia tidak tergoda untuk mempertahankan kudanya yang telah membuatnya lalai, dan ia rela mengorbankan kenikmatannya demi ketaatan kepada Allah SWT.

***
Hal ini sangat menarik, bahwa jangan sampai harta kekayaan, peliharaan, kendaraan, atau apa pun mengalahkan ibadah (kewajiban) pada Allah SWT. Seperti shalat, sholat adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan demi kesibukan atau kesenangan duniawi. Cinta yang berlebihan terhadap harta dan kenikmatan duniawi dapat menjerumuskan kita ke dalam kelalaian dan dosa. Dan bertobat ketika melakukan kesalahan, kita harus segera bertobat dan berusaha untuk memperbaiki diri. Dan pelajaran berikutnya adalah sikap rela berkorban demi ketaatan kepada Allah SWT, harus rela berkorban, bahkan jika itu berarti melepaskan hal-hal yang kita cintai.

Berat, memang berat, butuh waktu dan belajar. Maka dalam Ayat yang lain, mengapa Allah mendahulukan dalam berjihad adalah dengan harta (bi amwalikum), baru kemudian diri/jiwa (waanfusikum). 

Allahu'alam bishawab.

Kamis, 02 Mei 2024

Menilik Makna "Maskan" dan "Sakinah"


(Rumah itu mencipta ketenangan)

Halimi Zuhdy

 وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُیُوتِكُمۡ سَكَنࣰا 
"Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagimu sebagai tempat tinggal"

Menarik, menilik kata maskan (tempat tinggal) dan kata sakinah (ketenangan). Keduanya, saling menguatkan. Cinta itu dibangun dari sebuah rumah, tinggal di dalam rumah, dan menjadi indah dan tenang di dalamnya. 
Kata "rumah" dalam bahasa Arab memiliki dua kata yang menarik. Pertama, "bait" (بَيْتٌ), yang secara khusus merujuk pada tempat tinggal, seperti rumah atau tempat berlindung lainnya. Kata ini memiliki konotasi keintiman, kehangatan, dan rasa aman.

Kedua, "maskan" (مَسْكَنٌ), yang memiliki makna lebih luas sebagai tempat tinggal. Kata ini berasal dari kata "sakana" (سَكَنَ), yang berarti "tinggal" atau "berdiam". Derivasi dari kata ini, seperti sakana, sikkīn, sukun, sakan, maskan, dan miskin, menunjukkan berbagai makna yang berkaitan dengan ketenangan dan diam, seperti "tenang", "diam", "tenang", "penghuni", "tempat tinggal", dan "miskin". 

Menariknya, terdapat hubungan erat antara maskan dan ketenangan. Seseorang yang memiliki maskan (tempat tinggal) yang nyaman dan aman akan merasakan ketenangan jiwa. Rumah bukan hanya tempat berlindung dari unsur-unsur alam, tapi juga menjadi tempat untuk menemukan kedamaian dan ketenangan batin. 

Di dalam rumah, kita dapat melepaskan stres dan penat dari dunia luar. Kita dapat berkumpul bersama keluarga dan orang terkasih, membangun kenangan indah, dan menciptakan rasa aman dan nyaman. Rumah yang harmonis dan penuh kasih sayang dapat menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi penghuninya.

Oleh karena itu, memiliki maskan(tempat tinggal) yang baik bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan mental dan spiritual. Rumah yang nyaman dan aman dapat memberikan ketenangan jiwa dan menjadi fondasi bagi kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Dalam Al-Qur'an terdapat Ayat "wallah ja'ala lakum min biyutikum sukana" (QS. An-Nahl: 80), memiliki makna yang mendalam tentang peran rumah sebagai tempat tinggal yang penuh ketenangan. 

Kata "sakan" berasal dari kata "sakana", yang berarti "tinggal" atau "berdiam". Dalam ayat ini,  rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman dan aman bagi manusia.

Sedangkan kata "sakinah" (سَكِينَةٌ) memiliki arti yang luas dan sering dikaitkan dengan pernikahan. "Sakinah" berarti ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan. Dalam konteks pernikahan, "sakinah" menjadi tujuan utama yang ingin dicapai oleh pasangan suami istri.

Rumah yang penuh "sakinah" adalah rumah yang diliputi rasa cinta, kasih sayang, saling menghormati, dan saling pengertian antara suami istri. Pasangan suami istri yang hidup dalam rumah yang "sakinah" akan merasakan ketenangan jiwa, kebahagiaan, dan rasa aman.

Hubungan antara Sakan (tempat tinggal) dan sakinah (pernikahan)

Rumah (maskan) menjadi tempat bagi pasangan suami istri untuk membangun cinta dan kasih sayang. Di dalam rumah, mereka dapat saling berbagi cerita, perasaan, dan impian. Rumah yang penuh cinta akan menciptakan suasana yang "sakinah" dan nyaman bagi penghuninya.

 Rumah (maskan) menjadi tempat berlindung bagi pasangan suami istri dari berbagai masalah dan cobaan hidup. Di dalam rumah, mereka dapat saling menguatkan dan memberikan dukungan satu sama lain. Rumah yang aman dan nyaman akan memberikan rasa "sakinah" dan ketenangan jiwa bagi penghuninya. Rumah yang penuh kasih sayang dan pendidikan yang baik akan menumbuhkan rasa "sakinah" dalam diri anak-anak.

Rumah dan pernikahan yang "sakinah" saling terkait erat. Rumah yang penuh cinta, kasih sayang, dan rasa aman akan menjadi fondasi bagi pernikahan yang "sakinah". Pasangan suami istri yang hidup dalam rumah yang "sakinah" akan merasakan ketenangan jiwa, kebahagiaan, dan rasa syukur atas karunia Allah SWT.

Malang, 2 Mei 2024
@sorotan

Senin, 29 April 2024

Menilik Makna An-Nar (Neraka/Api) secara Linguistik

Halimi Zuhdy

Neraka dalam bahasa Arab dinamakan An-Nar. Sedangkan An-Nar, memiliki arti dasar, api. Api, sebuah elemen familiar yang memiliki peran krusial dalam peradaban manusia. Namun, api tak hanya sebatas alat penghangat atau penerang, api juga memiliki makna simbolik yang mendalam, terutama dalam konteks agama. Dalam Al-Quran, api dibahas dalam berbagai ayat, dengan makna yang merentang dari dimensi duniawi hingga dimensi akhirat.
Makna Linguistik An-Nar (neraka/api)

Secara linguistik, api dalam bahasa Arab (النار) disusun dari huruf nun (ن), wawu (و), dan ra (ر). Kata ini memiliki makna fundamental yang merujuk pada "cahaya" dan "ketidakstabilan". Api dihubungkan dengan "cahaya" karena sifatnya yang mampu menerangi dan menyingkirkan kegelapan. Sedangkan "ketidakstabilan" merujuk pada pergerakan api yang tak menentu dan panasnya yang membakar.

Kata-kata turunan dari An-Nar (api), seperti "نور" (cahaya), "نار" (api), "نوير" (membakar), "تنوير" (menerangi), dan "نار" (nyala api), menunjukkan kesamaan makna dalam aspek "cahaya".

Dalam At-tafsir al-Maudhui,  An-Nar (neraka) adalah "tempat yang Allah sediakan bagi orang-orang yang kufur kepada-Nya, yang memberontak terhadap syariat-Nya, yang mendustakan para rasul-Nya. Neraka adalah siksaan-Nya yang Dia gunakan untuk menyiksa musuh-musuh-Nya, penjara-Nya yang Dia gunakan untuk memenjarakan para penjahat. Neraka adalah kehinaan terbesar, dan kerugian teramat besar yang tak ada kehinaan yang lebih besar darinya, dan tak ada kerugian yang lebih besar darinya." 

Kedua definisi ini saling berdekatan dan memiliki persamaan dalam beberapa hal. Hubungan antara makna terminologis dan makna linguistiknya tampak jelas dalam aspek penerangan (cahaya, nur).

Secara terminologis, neraka dalam Al-Quran didefinisikan sebagai, tempat yang Allah sediakan bagi orang-orang kafir, pemberontak, dan pendusta rasul. Tempat azab dan kehinaan bagi musuh-musuh Allah. Siksaan dan penjara bagi para penjahat. Kehinaan terbesar dan kerugian teramat besar.

Makna Linguistik

Kata "النار" (api/neraka) api dihubungkan dengan "cahaya" karena sifatnya yang mampu menerangi dan menyingkirkan kegelapan. Sedangkan "ketidakstabilan" merujuk pada pergerakan api yang tak menentu dan panasnya yang membakar.

Hubungan antara makna terminologis dan makna linguistik api neraka tampak jelas dalam aspek penerangan (nur). Api neraka digambarkan sebagai tempat yang gelap dan penuh asap, namun api itu sendiri tetap memancarkan cahaya, meskipun cahaya tersebut bukanlah cahaya yang menyenangkan, melainkan cahaya yang menyakitkan dan menyiksa.

An-Nar (neraka/api) dalam Al-Qur'an

Api dalam Al-Quran tak hanya merujuk pada elemen fisik, namun juga memiliki makna simbolik yang mendalam. Api sering digunakan untuk menggambarkan kekuatan Allah SWT, keadilan ilahi, dan siksaan bagi orang-orang yang berdosa. Contohnya, api digunakan untuk menggambarkan kekuasaan Allah SWT dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang dilemparkan ke dalam api (QS. Al-Anbiya': 68-69). Api juga digunakan untuk menggambarkan siksaan bagi orang-orang yang berdosa di neraka.

Kata-Kata Berkaitan dengan api/naraka dalam Al-Quran

Selain kata "النار" (api), Al-Quran juga menggunakan beberapa kata lain yang berkaitan dengan api, seperti "السعير"(api yang membakar), digunakan untuk menggambarkan api neraka yang membakar dengan sangat panas. "الجحيم" (neraka), digunakan untuk menggambarkan tempat siksaan bagi orang-orang yang berdosa.  "اللظى" (nyala api): Digunakan untuk menggambarkan api neraka yang berkobar-kobar,  "الهاوية" (jurang neraka): Digunakan untuk menggambarkan tempat siksaan yang dalam di neraka.

Nama-nama Neraka dalam al-Qur'an, dan sebab disebutkan nama tersebut dapat dibaca dalam gambar berikut 👇

Minggu, 28 April 2024

Satu Ayat Menghimpun Kemahiran dalam Kepemimpinan dan mengelola Tim

(Tadabbur Surah Al-Imran Ayat 159)

Halimi Zuhdy

Ayat 159, Surat Al-Imran, menarik untuk ditadabburi lebih dalam, terutama terkait dengan kemahiran dalam qiyadah (kepemimpinan) dan bagaimana mengelola tim. 

{ فَبِمَا رَحۡمَةࣲ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِیظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِی ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِینَ }

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal."
Ayat ini, bagaikan sebuah kompas yang menuntun kita pada keahlian-keahlian esensial seorang pemimpin, seorang pemimpin tidak cukup hanya orang yang pinter, punya ide-ide cemerlang, tapi emosian. Atau ada yang penuh kasih, tapi tidak mampu mengelola tim dengan baik. Atau pinter mengelola tim dengan hebat, tapi tidak punya rasa dan perasaan. Lah, Ayat al-Qur'an 159 dalam Surat Al-Imran ini sangat menarik untuk kita renungi. (Gambaran berikut, diambil dari Faraid wa Fawaid min Al-Qur'an Al-karim)

1. Keteladanan dan Rendah Hati

فَبِمَا رَحْمَةٍ منَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

 "Maka berkat rahmat Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati keras, tentulah mereka akan menjauh daripadamu" 

Ayat ini menekankan pentingnya keteladanan dan kerendahan hati seorang pemimpin. Pemimpin yang penuh kasih sayang dan rendah hati akan dihormati dan dicintai oleh pengikutnya.

Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pemimpin yang sederhana dan bersahaja. Ia tidak pernah menunjukkan sikap arogan atau superioritas, dan selalu bersedia untuk duduk bersama dan mendengarkan para pengikutnya. Kesederhanaan ini membuatnya mudah dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.

2. Kemauan untuk Memaafkan

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
 "Maka maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka"

Kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Pemimpin yang bijaksana mampu memaafkan kesalahan anggotanya dan membantu mereka untuk berkembang.

3. Musyawarah/Membangun Kerjasama
وَشَاوِرُهُمْ فِي الْأَمْرِ

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"

Pemimpin yang bijak selalu melibatkan anggotanya/ timnya dalam proses pengambilan keputusan. Konsultasi dan musyawarah akan menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan memperkuat rasa kebersamaan dalam tim.

Nabi Muhammad SAW selalu melibatkan para sahabatnya dalam pengambilan keputusan. Beliau selalu terbuka terhadap saran dan masukan dari mereka, dan tidak pernah bertindak secara sepihak.

4. Ketegasan dan Keteguhan Pendirian

فَإِذَا عَزَمْتَ

 "Maka apabila engkau telah mengambil keputusan, .."

Ketika seorang pemimpin telah membuat keputusan yang matang dan penuh pertimbangan, ia harus berani dan teguh dalam melaksanakannya. Ketegasan dan keteguhan pendirian ini akan membawa tim ke arah kesuksesan.

5. Berserah Diri kepada Allah
فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِینَ

"maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh.."
Kesuksesan sejati datangnya dari Allah SWT. Pemimpin yang beriman selalu berserah diri kepada Allah dan senantiasa berusaha untuk melakukan yang terbaik.

Pemimpin yang optimis dan penuh keyakinan akan menumbuhkan semangat yang sama pada timnya. Ia selalu percaya pada potensi anggotanya dan senantiasa berusaha membawa mereka menuju kesuksesan.

Minggu, 21 April 2024

Sepuluh (10) Kunci Memahami Al-Qur'an



Berikut saya terjemahkan 10 kunci memahami Al-Qur'an dari tulisan Dr. Khalid bin Abdul karim yang berjudul asli "mafatih tadabbur al-Qur'an  wan najah fi al-Hayah" dari Faraid fi Fawaid min Al-Qur'an Al-Karim. Dan beberapa tambahan sebagai penjelasan terkait dengan poin-poin penting. 

1. Mencintai Al-Quran

Hati yang mencintai sesuatu akan selalu terikat dan ingin senantiasa bersamanya. Begitu pula dengan Al-Quran, rasa cinta akan mendorong seseorang untuk sering membacanya, sehingga ia akan mendapatkan pemahaman dan tadabbur yang mendalam. Tanda cinta seseorang terhadap Al-Quran adalah kerinduan untuk membacanya, meluangkan waktu lama untuk bersamanya, serta mengikuti perintah dan aturan yang terkandung di dalamnya.

2. Menetapkan tujuan dalam membaca Al-Quran

Terdapat 5  tujuan utama dalam membaca Al-Quran: a). Ilmu, memperoleh pengetahuan dan wawasan baru. b). Amal, menerapkan ajaran Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. c). Munaajah, berkomunikasi dan berdialog dengan Allah SWT. d). Tsawab, mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah SWT. e). Istifa', mencari kesembuhan dan ketenangan jiwa

Dengan memahami kelima tujuan ini, seseorang akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari Al-Quran dan mendapatkan pahala yang lebih berlipat ganda.

3. Menghafal Al-Quran

Menghafal Al-Quran akan membantu seseorang untuk selalu dekat dengan kalam Allah SWT. Hafalan Al-Quran juga akan mempermudah seseorang untuk memahami dan mentadabbur maknanya. Hati yang dipenuhi dengan Al-Qur’an tidak akan didekati setan. Nabi bersabda: (Barangsiapa yang dalam dirinya tidak ada satu bagian pun dari Al-Qur’an, ibarat rumah yang hancur.)

4. Membaca Al-Quran dalam Shalat

Membaca Al-Qur'an dalam shalat berarti melepaskan diri dari kesibukan dan gangguan, dan ini membantu dalam kontemplasi dan membawa kedamaian dalam hati. Nabi bersabda "Siapa yang membaca Al-Qur’an siang dan malam maka ia akan mengingatnya, dan jika ia tidak membacanya maka ia lupa".

5. Membaca Al-Quran di Malam Hari

Keheningan dan ketenangan malam hari membantu seseorang untuk lebih mudah merenungkan dan memahami makna Al-Quran. Selain itu, waktu malam, khususnya di sepertiga terakhir malam, merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa dan memohon kepada Allah SWT.

6. Membaca Al-Quran dengan Jelas dan Merdu

Membaca Al-Quran dengan jelas dan merdu akan membantu seseorang untuk lebih mudah memahami maknanya. Selain itu, suara yang indah saat membaca Al-Quran akan menarik perhatian para malaikat dan mengusir setan.

7. Membaca Al-Quran dengan Tartil

Tartil berarti membaca Al-Quran dengan perlahan dan penuh pertimbangan. Membaca dengan tartil membantu seseorang untuk lebih memahami makna ayat-ayat Al-Quran dan merenungkan kandungannya."Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil"

8. Mengulang dan Berhenti Saat Membaca

Mengulang ayat-ayat tertentu yang sulit dipahami akan membantu seseorang untuk lebih memahaminya. Berhenti di akhir ayat juga membantu seseorang untuk merenungkan maknanya sebelum melanjutkan ke ayat berikutnya. Ini membantu mengingat makna dan memperdalam pemahamannya. Dan demikian Nabi membaca Al-Qur'an. Beliau membaca, dan ketika beliau membaca/mendapatkan ayat pujian, dia memuji, dan ketika dia mendapatkan Ayat permohonan, beliau memohon, dan ketika beliau membaca tentang perlindungan, beliau memohon perlindungan.

9. Membagi Al-Quran Menjadi Bagian-Bagian

Membagi Al-Quran menjadi bagian-bagian tertentu membantu seseorang untuk lebih konsisten dalam membacanya setiap hari. Membaca Al-Quran secara rutin, meskipun hanya sedikit, lebih bermanfaat daripada membacanya dalam jumlah banyak sekaligus namun tidak rutin. Mengaji Al-Qur’an itu ibarat pengobatan, harus dalam jumlah tertentu, dengan konsistensi di dalamnya. Nabi Muhammad SAW mengkhatamkan Al-Qur’an dari tujuh hari menjadi satu bulan, dan melarang kurang dari tiga hari.

10. Menghubungkan Makna Al-Quran dengan Kehidupan Sehari-hari atau antara kata dengan makna

Yakni mengaitkan kata dan makna, kemudian menghubungkannya dengan realitas dan penerapannya, sehingga Al-Qur'an tetap hidup di hati, dan diambil jawaban serta penjelasan kehidupannya. Memahami makna Al-Quran tidak cukup hanya dengan membacanya. Seseorang harus berusaha untuk menghubungkan makna Al-Quran dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Al-Quran akan menjadi pedoman hidup yang nyata dan memberikan dampak positif bagi kehidupan seseorang.

Halimi Zuhdy (Mutarjim)