السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Jumat, 27 Juni 2025

Pesantren di Indonesia

Pesantren itu Unik 

Di Indonesia, ada sekitar 41 ribu pesantren. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran betapa kaya dan beragamnya wajah pendidikan Islam di negeri ini. Setiap pesantren punya warna sendiri. Kurikulumnya tak seragam, namun justru itulah kekuatannya saling melengkapi dalam keberagaman.
Ada pesantren yang fokus pada pengajian kitab kuning. Ada pula yang merintis pondok wirausaha, membekali santri dengan ketrampilan hidup. Sebagian lain membuka sekolah formal dengan pelajaran sains yang lengkap, bahkan tak sedikit lulusan pesantren yang melanjutkan studi ke universitas-universitas umum, termasuk di luar negeri. Ada pondok Al-Qur'an. Ada pula pondok menulis dan berkarya. Ada pondok yang mengajarkan ilmu kanuragan, ada pula yang menggabungkan tradisi tarekat, seni, dan budaya. Dan masih banyak sekali, dan semuanya unik.

Namun, di tengah keberagaman itu, ada satu benang merah yang menyatukan: jamaah dan ngaji. Dua hal ini adalah napas pesantren. Karena ilmu yang dipelajari di pesantren bukan sekadar pengetahuan dunia, tapi sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa itu, keberkahan bisa menjauh.
Expo Pesantren yang diadakan RMI NU kota Malang  Rmi Malang ini bekerjasama dengan Mahad Pusat Al-Jami'ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bukanlah ajang pamer. Ini adalah panggung untuk menunjukkan bahwa pesantren itu ada dan terus bergerak, meski kadang tanpa donatur tetap, apalagi sokongan besar dari pemerintah. Ia tetap berjalan—pelan tapi pasti—menyesuaikan dengan kemampuan yang ada. Bahkan dalam kondisi sulit, saat biaya hidup tinggi, harga kos dan kontrakan melambung, para santri tetap bertahan. Ada yang kuliah sambil nyantri, ada yang bekerja sambil tetap menjaga jadwal mengaji.

Pesantren bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya karakter, kesabaran, dan keteguhan hati. Dan di tengah dunia yang semakin bising dan cepat, pesantren hadir sebagai penjaga keseimbangan: tempat di mana ilmu, iman, dan akhlak diramu dalam kehidupan sehari-hari.

Ya, pesantren itu unik. Dan karena itu, ia layak untuk terus diperkenalkan, dicintai, dan didukung.

***
Semoga tambah berkah.  
Cc kyai Hodri Ariev Gus Achmad Shampton Masduqie Yai Ahmad Izzuddin

Apakah AI bisa menerjemahkan karya sastra?



Jawabannya, mungkin saja. Karena setiap karya tulis bisa diterjemahkan oleh AI, tapi untuk karya sastra terkadang ia bisa keliru dalam menangkap rasa.  AI bisa mengenali kosakata puitis dan struktur kalimat kompleks, tetapi sering kali gagal menangkap kedalaman rasa, ironi, sindiran halus, atau perasaan ambigu yang disengaja oleh penulis sastra. Ia memang tidak punya perasaan seperti manusia🤩. Kadang dimarah-marahi, ia tidak membalas, ia sabar banget. 
Setiap penulis punya gaya khas pilihan kata, ritme, atau metafora yang tidak selalu punya padanan langsung dalam bahasa lain. AI mungkin akan meratakan keunikan ini, menjadikannya terlalu netral atau kaku. Karena AI adalah mesin, yang sudah sangat rapi dan terstruktur dalam sistemnya. Kadang ia, tidak bisa meniru gaya setiap orang, kecuali mungkin diperintah untuk meniru karya seseorang, seperti  gaya Ahmed Hamed Al-Gohary, sastrawan Arab yang ia lahir Djibouti. Bisa, tapi tetap saja kaku. 

Dan, karya sastra sering kali mengandung referensi budaya, sejarah, atau lokalitas yang butuh pemahaman kontekstual yang lebih mendalam. AI bisa keliru menangkap makna jika hanya bergantung pada data linguistik sajo.he. 

Proposal di atas yang berjudul "Istirati Al-ta'lim fi mu'alajati tahaddiyat ta'allum al-tarjamah al-adabiyah bistikhdami al-dzaka' al-isthina'i fi jami'ati Maulana Malik Ibrahim Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Malang" ini akan mengulas tentang   problematika AI dalam menerjemahkan karya sastra Arab. 
 
AI adalah alat bantu atau mesin bantu atau khadim, bukan pengganti dalam menerjemahkan karya sastra. Untuk mempertahankan rasa, jiwa, dan keindahan bahasa, penerjemah manusia tetap tak tergantikan. Maka, yang mengambil prodi terjemah jangan pernah khawatir akan tergantikan oleh AI, walau AI bisa membantu terjemahan awal (draft kasar), juga bisa membantu mencari padanan kata, membantu mengecek konsistensi istilah atau struktur kalimat, menjadi mitra awal dalam proses kreatif, tetapi hasil akhir tetap perlu sentuhan manusia. Rasa manusia tidak akan tergantikan🤩

Dalam Al-Qur'an, Rahmat Allah Selalu Didahulukan dari MurkaNya


Halimi Zuhdy

Menarik bila kita telisik lebih dalam, bahwa struktur kata dan kalimat tentang rahmat (kasih sayang) lebih banyak didahulukan dari pada azab (siksa). Dan tambah menarik lagi bila struktur ini diterapkan dalam kehidupan beragama. Terkadang pesan-pesan agama kerap kali ditampilkan oleh sebagian (entah sebagian kecil atau sebagian besar.he) dengan nada ancaman, peringatan, dan penekanan pada murka Allah. Tak sedikit penceramah yang dengan lantang menggambarkan siksa neraka, azab kubur, dan kemarahan Allah atas dosa-dosa manusia. Padahal, dalam Al-Qur’an, "Rahmati wasi'at kulla syai'".
Dalam berbagai ayat Al-Qur’an, ketika rahmat dan azab disebut bersamaan, hampir selalu rahmat Allah disebut terlebih dahulu. Misalnya dalam firman-Nya
"يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ"
"Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Ma’idah: 18)

"إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٍ"
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan dan juga azab yang pedih."* (QS. Fushshilat: 43)

Tidak berhenti di situ, bahkan dalam hadits yang masyhur, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:  لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ، كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي  رواه البخاري (7453)، ومسلم (2751)

...Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku..

Ini adalah pesan yang sangat kuat dan relevan untuk terus digaungkan, bahwa kasih sayang Allah jauh melampaui murka-Nya. Maka dari itu, para pendakwah, penceramah, dan guru agama sebaiknya lebih banyak menonjolkan sisi rahmat dan cinta Allah dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Bukan untuk mengabaikan peringatan dan ancaman, tetapi agar umat merasakan bahwa agama ini dibangun atas cinta, bukan ketakutan semata.

Azab dan murka Allah tentu ada dan nyata. Namun Al-Qur’an sendiri hanya menampilkan keduanya secara tegas dalam konteks tertentu seperti terhadap pelaku kriminal, perusak tatanan, dan mereka yang keras kepala dalam penentangan terhadap kebenaran. Dalam konteks itulah terkadang azab disebut lebih dulu, seperti dalam:

"يُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ"
(QS. Al-Ma’idah: 40) karena sedang membahas tentang para perampok dan penjahat yang mengganggu ketenteraman masyarakat.

Namun untuk umat secara umum, dan terlebih untuk para pencari kebenaran, semestinya yang dikedepankan adalah pengharapan kepada rahmat-Nya, bukan ketakutan semata terhadap hukuman-Nya.

Allah tidak menciptakan manusia untuk disiksa, tapi untuk mendapatkan rahmat dan ampunan. Dalam banyak kesempatan, Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya, bahkan untuk dosa yang sebanyak buih di lautan. Maka tugas utama para pendidik dan pendakwah adalah menghadirkan Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pemaaf. Sebab manusia akan lebih terdorong untuk berubah menjadi lebih baik ketika ia merasa dicintai dan diberi harapan.

Narasi keagamaan yang mendidik adalah yang menggabungkan antara harapan dan ketakutan, namun tetap dengan porsi yang seimbang dan dalam konteks umum, harapan hendaknya lebih dominan. Itulah yang diajarkan Al-Qur’an dan itulah yang lebih sesuai dengan fitrah manusia bahwa harapan adalah bahan bakar perubahan.

Kebencian Melahirkan Kebencian


Halimi Zuhdy

Sedih membaca banyak komen dengan berbagai emot dan ucapan "tolol, anjing, janxxk, gomblok, celeng", dan masih banyak kata-kata kasar lainnya, bahkan diucapkan pada guru yang pernah mengajarikannya, dan juga pada saudaranya. Bila kalimat-kalimat kebencian terus dijaga dan dipelihara, bahkan menjadi pembenaran dan syiar, bagaimana dengan generasi berikutnya? 
Kebencian itu seperti api kecil yang dibiarkan menyala. Awalnya hanya menghanguskan ranting di sekitarnya, tapi jika tak dipadamkan, ia akan menjalar, membakar rumah, dan pada akhirnya meninggalkan puing-puing yang menyakitkan. Terkadang tidak hanya rumahnya yang terbakar, tapi yang membakar pun juga ikut hangus. 

Kita mungkin pernah merasa disakiti, dihina, atau diabaikan. Tapi ketika kita memilih membalas dengan kebencian, kita sedang memberi pupuk pada benih kebencian itu sendiri. Hati yang semula hanya terluka, kini berubah menjadi sumber luka bagi orang lain. Dan tanpa sadar, kita ikut menciptakan “pertamanan kebencian” lingkungan yang tumbuh dan berkembang di atas dendam, amarah, dan saling curiga.

Di media sosial, seseorang mengunggah pendapat yang berbeda. Karena merasa tersinggung, kita menanggapi dengan kata-kata kasar. Orang lain membaca, ikut marah, lalu membalas lebih kasar lagi. Yang terjadi? Satu unggahan berubah menjadi lahan subur bagi caci maki dan kebencian berjamaah. 

Di tempat kerja atau kampus, ada rekan yang melakukan kesalahan. Daripada menegur dengan baik, kita memilih untuk menyindir, membicarakan di belakang, atau bahkan menghasut orang lain agar tidak menyukainya. Kebencian yang kita tanam mulai tumbuh di hati orang lain, dan akhirnya, suasana kerja menjadi tegang, tidak nyaman, dan penuh prasangka. Dan akan terus menyebar dan menjadi sebuah kebenaran. 

Satu lagi, misalnya dalam keluarga, terkadang karena hal kecil seperti perbedaan pendapat, kita menyimpan rasa kesal. Lama-kelamaan, tanpa disadari, kita menjadi dingin, menjaga jarak, dan menghindari komunikasi. Anak-anak yang menyaksikan ini belajar bahwa kebencian itu boleh, bahkan perlu, jika merasa benar. Maka lahirlah generasi yang sulit memaafkan.

Ada pesan Nabi kita, Muhammad SAW

لا تَباغَضوا، ولا تَحاسَدوا، ولا تَدابَروا، وكونوا عبادَ اللَّهِ إخوانًا

"Jangan saling membenci, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." HR. Bukhari dan Muslim

Asyik sekali membaca hadis ini, dan hadis ini bukan sekadar larangan, tapi sebuah obat, obat penyembuhan. Karena Islam tahu, bahwa kebencian adalah penyakit, dan obatnya adalah ukhuwah, kasih sayang, dan lapang dada.

Apakah dunia ini tidak cukup penuh luka, hingga kita masih ingin menambahkan? Apakah kita ingin mewariskan kebencian, atau meninggalkan teladan kasih sayang? Maka penting, kita memulai dari hal kecil. Maafkan teman yang pernah menyakiti. Tanggapi perbedaan dengan tenang. Berhenti menyebar kebencian meski lewat kata dan komentar. (Ini bukan ceramah, tapi obat) 🥰🙏

Karena cinta tak membuat lelah. Tapi kebenciania menggerogoti hidup kita perlahan-lahan. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memadamkan api sebelum menjadi kebakaran, dan menanam damai sebelum kebencian tumbuh. (Doakan juga, yang menuliskan kalimat-kalimat ini). Karena kebaikan itu menular dan kebencian juga menular) 

Dari tulisan di atas biasanya muncul "Dia memang salah tadz, pantes dibenci, digoblokin, tak ada kata lain untuknya" dan ada lagi "dia tidak akan kapok tadz, dasar memang anjing dia itu". Ingat, bahwa kata-kata kasar akan dibalas kasa.😞. Gini, kalau bahasa Al-Qur'an, mungkin lo ya

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An'am: 108).

Tulisan ini sebenarnya untuk al-faqir sendiri yang sangat banyak kekurangan dan kesalahannya, tapi tulisan yang "dianggap baik" kalau disebarkan, insyallah akan memberi pahala, buat al faqir dan al mursil. 

🙏

Gairah Menuntut Ilmu dan Sastra


Ibnu Ma’sum Al-Madani (wafat 1120 H) menulis  dalam kitabnya Silāfat Al-‘Asr fī Maḥāsin Al-Syu’arā’ tentang kecintaannya kepada ilmu dan upayanya mencari ilmu pengetahuan dan sastra. Cuplikan dalam gambar, beliau menuliskan. 
“Sejak aku mulai menggunakan mata hatiku untuk melihat luasnya alam, dan Allah Sang Maha Pemurah memberikan kewajiban belajar padaku (taklif), aku tak pernah berhenti, tekadku selalu menyala bagaikan bintang yang menembus gelap, demi mencapai kebaikan dan keutamaan. Langkahku teguh dan tajam, seperti pedang yang siap memangkas segala rintangan demi meraih kejayaan. Sungguh, ilmu adalah kemuliaan dan kebanggaan, dan apabila seseorang memilihnya, dia akan menemukan harta yang tak ternilai.
Aku gemar mencari makna-makna yang masih perawan, gagasan-gagasan yang masih murni, pada pagi dan petang, dan hatiku selalu bergelora demi menemukan keindahan dan hikmah di balik segala sesuatu.”

Sebagaimana yang diceritakan juga oleh Dr. Muhammad Nuri, bahwa Ibnu Maksum juga melukis kata-katanya "Aku gemar mencari makna-makna yang indah, menyelami syair dan tulisan, dan berhias diri dengan adab, sebagaimana mata dihiasi bulu mata. Dari khazanah sastra, aku memilih yang paling bernilai, yang kuno dan yang baru, dan dari keindahan kalimat, aku petik yang paling unik dan menawan. Dari taman ilmu, aku petik bunga dan buahnya, dan aku perhatikan kisah dan riwayat, terutama dari para ulama dan sastrawan, yang syair dan prosanya masih bergema". 

"Sungguh sering aku bersusah payah mencatat kalimat dan kisah yang langka, sesuai pepatah: ‘Segala sesuatu yang baru punya kenikmatannya.’ Hingga aku mengumpulkan tulisan-tulisan yang halus dan lembut, seakan embusan angin pun iri, dan kalung perbedaannya membuat gadis-gadis tercengang.”

Perang dan Pernikahan



Halimi Zuhdy

Kemarin di Tuban, saya memberikan sedikit wasiat pernikahan kepada pasangan berbahagia, Mas Tito dan Mbak Daiyah. Dan agar mudah dihafal dan dimengerti, saya himpun dalam kata "CINTA"; Cari ridha ilahi, Ikuti sunah Nabi, Niatkan cari berkah, Taat pada perintah ilahi, Akhiri dengan surga. Tapi, kemudian ingat dengan perang Israel dan Iran yang lagi ngeri-ngeri sedap. Mengapa harus ada perang? Seperti juga mengapa harus ada pernikahan? Bukankah keduanya sama-sama berperang? Satunya berperang yang menyakitkan, satunya menuju kebahagiaan. Walau yang kedua, bukan perang dalam artian sesungguhnya. 
Dalam pernikahan itu unik dan rumit. Apalagi bukan hanya urusan akad nikah dan selesai. Ia bukan hanya urusan ranjang, juga bukan hanya urusan menyelesaikan ego, tapi utusan kehidupan dua insan yang sama-sama punya kepentingan. Sama dengan urusan perang. Kalau kita renungkan, perang bukan hanya soal adu kekuatan, tapi juga sebuah cerminan dari ego manusia. Iran dan Israel tengah bergelut demi kepentingan masing-masing, demi visi dan misi yang ingin dicapai. Tapi di tengah perbedaan dan ambisi itu, tak terhitung nyawa tak berdosa menjadi korban, menjadi “harga” yang harus dibayar demi kepuasan ego dan kepentingan sepihak.

Ini menjadi sebuah peringatan penting, ketika ego dibiarkan merajalela, manusia sering melupakan apa yang paling penting  yaitu menjaga perdamaian, keamanan, dan keutuhan hidup. Perang memang punya tujuan, tapi kalau tujuannya dibangun di atas ego dan ambisi, pada akhirnya yang terjadi bukan kejayaan, tapi penderitaan.

Kalau boleh direfleksikan lebih luas, perbedaannya bak pernikahan. Dalam pernikahan, dua insan disatukan bukan demi memenuhi ego masing-masing, tapi demi mencapai visi bersama: hidup harmonis, saling menjaga, dan melangkah bergandengan tangan menuju masa depan yang lebih baik. Pasangan memang punya perbedaan, tapi perbedaan itu bukan menjadi alasan perpecahan, melainkan menjadi pelengkap  ukuran untuk belajar saling memahami, mendengarkan, dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar dari diri masing-masing.

Kalau saja para penguasa dapat belajar dari prinsip pernikahan  bahwa hidup bukan soal ego dan kepuasan sepihak, tapi kerja sama, pengorbanan, dan visi bersama  mungkin akan lebih sedikit konflik dan lebih banyak perdamaian. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan bukan demi saling menghancurkan, tapi demi saling melengkapi dan menjaga.

Perang punya tujuan, sebagaimana pernikahan punya tujuan. Maka, bagi yang sudah menikah atau hang ingin menikah, tujuannya harus selalu dikuatkan, maka dampaknya akan juga kuat. Karena niat yang kuat dan yang baik, akan memebrikan dampak yang baik. 

Allahu'lam biIshawab

Adab Komunikasi


(Meraih Hati, Bukan Menyakiti)

Halimi Zuhdy

Terkadang kita bertemu dengan orang-orang baik, tapi gaya, pilihan kata dan kalimatnya kurang tepat, sehingga kita tersinggung. Ada juga orang yang super duper cuek dengan "bahasa komunikasi", tidak peduli apakah lawan bicaranya tersinggung atau tidak, kadang kita tersinggung dan marah. Ada pula, yang pilihan kata-katanya sudah hati-hati, tapi sikapnya yang anti panti. Ya, akhirnya kita husnudhan sajalah, ketimbang baper. he. 
Apalagi kalau kita baca di media sosial hari ini, komentar-komentar terkadang diksi yang dipilih tidak lagi mencerminkan dirinya orang baik. Kepada orang yang lebih tua, sangat tidak sopan. Bahkan, bahasa yang dulu tabu, kini sudah menjadi kebiasaan. Walau tidak semuanya, tertentu. Tapi, kadang malu membacanya. Atas nama "kejujuran, saya bukan orang munafik, saya hanya berbicara yang hak". Alasannya. 

Saya tersinggung dan malu membaca beberapa kisah berikut, serasa diri ini jauh sekali, bahkan sangat tidak sopan berbicara dengan orang, apalagi berceramah dengan gaya menggurui. 

سيدنا ‏عمر بن الخطاب لما رأى مجموعة من الناس
 موقدين النار نادى : "يا أهل الضوء" ولم يقل "يا أهل النار" خشية أن تجرحهم الكلمة..

Sayyidina Umar bin Khattab, ketika melihat sekelompok orang yang sedang menyalakan api, beliau memanggil mereka dengan berkata: "Wahai para pemilik cahaya (يا أهل الضوء)," dan tidak mengatakan "wahai para pemilik api (يا أهل النار)" karena khawatir kata tersebut akan menyakiti hati mereka. An-nar (bisa diartikan, api 🔥 tapi juga neraka). Kita sering dengar beliau orang keras, tapi memilih kalimatnya sangat indah. 

الحسن والحُسين رضي الله عنهما لما رأوا رجلاً كبيراً يتوضأ خطأ قالوا له : نريدك ان تحكم بيننا من فينا الذي لا يُحسن الوضوء ولما توضؤوا أمامه ضحك وقال: أنا الذي لا أحسن الوضوء..

Hasan dan Husain radhiyallahu 'anhuma, saat melihat seorang pria tua yang berwudu dengan cara yang salah, Hasan dan Husain berkata kepadanya: "Kami ingin Anda menilai siapa di antara kami yang tidak pandai berwudu." Setelah mereka berwudu di hadapannya, pria itu pun tertawa dan berkata: "Akulah yang tidak pandai berwudu.". 

Masyallah, saya malu membaca tulisan ini, betapa indah sekali cara menegurnya, tidak sedikit pun menyinggung kakek tersebut, walau jelas-jelas salah berwudu', tapi Hasan dan Husain menjaga adab dalam menegur, takutnya kakek tersebut marah atau tersinggung. 

‏الإمام الغزالي رحمه الله عندما جاء له شخص وقال: ماحكم تارك الصلاة ؟ قال : حكمه أن نأخذه معنا الى المسجد.!

Imam Al-Ghazali rahimahullah, saat ada seseorang bertanya padanya, "Apa hukum orang yang meninggalkan salat?" Beliau menjawab: "Hukumnya adalah kita ajak dia ikut bersama kita ke masjid."

Bukan kemudian, menyampaikan: haraaam, berdosa, masuk neraka. Tapi, beliau menggunakan pilihan kata yang cantik sekali. 

سئل العباس بن عبد المطلب: "أنت أكبر أم رسول الله صلى الله عليه وسلم؟" فأجاب: "هو أكبر مني، وأنا ولدت قبله

Al-Abbas bin Abdul Muthalib pernah ditanya: "Apakah engkau lebih tua atau Rasulullah SAW?" Ia menjawab: "Beliau lebih besar (mulia) dariku, sedangkan aku lahir lebih dulu dari beliau."

Kalau sekarang, betapa banyak yang bertanya tentang umur, dan terkadang agak mengejek, kalau lebih muda atau lebih tua? Bukan bertanya untuk mengetahui, tapi untuk membandingkan. 

Menarik kalimat berikut yang selalu saya ingat dan saya simpan.
وأصبح بعضنا يبرر ذلك لنفسه ببعض الكلام مثل: أنا صريح، وأنا أتكلم بطبيعتي، أو أنه بذلك يبتعد عن النفاق.

"Sebagian orang mulai membenarkan sikap kasarnya dengan alasan seperti: ‘Aku hanya jujur’ atau ‘Memang begini cara bicaraku’, lalu menganggap itu bukan munafik.”

Dan, terakhir
اختيار الألفاظ قيمة ضاعت للأسف في مجتمعاتنا
“Memilih kata-kata yang baik adalah nilai luhur, yang sayangnya kini mulai hilang dari masyarakat kita.”

الحياة أسلوب والدين المعامله 
Hidup adalah tentang sikap, dan agama adalah tentang cara kita memperlakukan sesama.

Menilik Asal Kata "Dakwah" dan Falsafahnya


Halimi Zuhdy 

Kemenag Kota Malang menghadirkan 100 Da'i Daiyah Kota Malang dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, LDII, dan lainnya dengan badan-badan otonomnya yang bergerak dalam dakwah, Muslimat, Fatayat, Aisyiah, Nasyatul Aisyiah, LDNU, IPNU, IPPNU, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Acara ini dibingkai "Pembinaan Dai Daiyah Tingkat Kota Tahun 2025". 
Menarik dalam pembukaan acara yang disampaikan oleh KH. Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang "Dai dan Daiyah harus sudah selesai dengan dirinya" kalimat ini cukup dalam, bagaimna seorang dai daiyah sudah selesai dengan dirinya, artinya kebutuhan keilmuan agamanya, emosinya, akhlaknya dan lainnya, walau memang harus terus belajar. Demikian juga apa yang disampaikan oleh KASI BIMAS Islam Kemenag, Ustadz Ahmad Hadiri, M.Ag, bahwa visi dai adalah memperbaiki umat, bukan sebaliknya, mengantarkan umat pada kebaikan-kebaikan, dan acara di atas sebagai ajang silaturahim dan memperkuat kesatuan para dai daiyah Se Kota Malang menuju satu gerakan, "memperbaiki umat"
Toyyib. Tadi pagi, sebelum memberikan materi tentang peluang dan tantangan Dai Daiyah di Era Gigital, sekilas saya menyampaikan tentang asal usul kata "Dakwah" beserta derivasinya. Karena, tidak sedikit orang atau juga dai yang memahami bahwa dakwah hanya sebagai "ceramah" atau ajakan lisan semata. Padahal, bila kita menelusuri lebih dalam, baik dari sisi bahasa Arab maupun pemaknaan istilahnya dalam Islam, dakwah (الدعوة) adalah konsep yang jauh lebih kaya dan mendalam. 

Pemahaman yang benar tentang asal katanya akan memperkaya cara kita memandang dan menjalankan misi dakwah itu sendiri. Secara bahasa, الدعوة berasal dari akar kata kerja دعا – يدعو – دعوةً, yang berarti “memanggil”, “mengajak”, atau “menyeru”. Orang yang melakukannya disebut داعية, dan dalam bentuk jamak disebut دعاة. Dari sinilah kita mengenal istilah dai atau pendakwah dalam bahasa Indonesia. (Kamus Ma'ani). 

Menariknya, para ahli bahasa Arab (lugawiyun) mengungkapkan bahwa kata الدعوة dalam penggunaannya memiliki banyak makna. Tidak hanya berarti ajakan, tetapi juga bisa bermakna: النداء (seruan), الطلب (permintaan), الدعاء (doa atau permohonan kepada Allah), الاستمالة (usaha untuk menarik hati seseorang), sebagaimana dikatakan oleh az Zamakhsyari: "دعوت فلاناً وبفلان ناديته وصحت به" "Aku memanggil si Fulan, menyerunya dan bersuara keras kepadanya." (dalam Asasul Lughah). 

 Sedangkan Al-Razi juga menambahkan "والدعوة إلى الطعام بالفتح، أي كنا في دعوة فلان"  "kata الدعوة jika dibaca fathah berarti undangan, seperti dalam kalimat 'kami berada dalam undangan si Fulan'." Dari sini kita memahami bahwa dakwah adalah aktivitas aktif untuk memanggil, menyeru, bahkan menarik simpati orang lain kepada sesuatu yang dianggap benar dan penting.

Dalam perspektif Islam, makna الدعوة tidak berhenti pada tataran bahasa. Secara istilah, kata ini berkembang menjadi dua makna besar: (1) Dakwah sebagai sinonim dari Islam itu sendiri, yaitu ketika الدعوة merujuk kepada agama Allah yang dibawa para nabi, sebagaimana disebut dalam salah satu definisi:"هي دين الله الذي بعث به الأنبياء جميعاً..." "Ia adalah agama Allah yang diutus bersama semua nabi..."

Sedangkan yang 2) Dakwah sebagai proses menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam. Dalam makna inilah, dakwah menjadi misi para ulama, dai, pendidik, bahkan siapa pun yang berusaha menghadirkan Islam di tengah umat manusia. Selain itu, dakwah juga dimaknai sebagai "الحث على فعل الخير واجتناب الشر، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر..." "Dorongan untuk berbuat baik, menjauhi keburukan, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."

Maka, melihat keluasan makna ini, menjadi jelas bahwa dakwah bukan hanya pekerjaan lisan atau podium, tetapi misi hidup yang mencakup seluruh aspek ajakan kepada kebaikan, nilai, akhlak, dan tauhid. Bahkan ketika seseorang menulis kebaikan, membantu sesama, atau memberikan teladan dalam perilaku sehari-hari, itu pun bagian dari dakwah. Apalagi jika kita menilik salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan suasana penghuni surga: دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  [Yunus: 10] "Seruan mereka di dalamnya adalah 'subhanakallahumma'..." Ini menunjukkan bahwa dakwah juga bisa bermakna doa, seruan, atau ekspresi ketundukan kepada Allah, dan bukan semata-mata ajakan kepada orang lain.

Oh ia, dalam penggunaannya juga vareatif  dan tergantung konteksnya. Kata الدعاء juga berarti memanggil atau memohon. Menurut Imam az-Zabidi, الدعاء dengan dhammah di awal dan huruf panjang di akhir, bermakna permohonan atau kerinduan kepada Allah atas kebaikan yang ada di sisi-Nya, disertai dengan pengharapan dan permintaan, sebagaimana dalam firman Allah:  ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً  (Al-A’raf: 55). Sementara itu, menurut Ibnu Faris, sebagian orang Arab menyebut الدعوة dalam bentuk muannast dengan tambahan alif di akhir menjadi الدعوى. 

Kata الدعوى juga digunakan dalam doa, seperti dalam ungkapan kaum muslimin: اللهم أشركنا في دعوى المسلمين yang berarti "Ya Allah, sertakan kami dalam doa kaum muslimin". Dalam Al-Qur’an, bentuk ini juga muncul dalam Ayat:  دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  (Yunus: 10), yang menunjukkan bahwa seruan atau doa mereka di surga adalah bentuk pengagungan kepada Allah. Dengan demikian, kata الدعاء dan الدعوى memiliki akar makna yang sama, yaitu menyeru atau memohon, namun penggunaannya dapat berbeda tergantung konteks.

Allahua'lam bishawab

Semangat Membara Para Ulama



Ketika ramai tentang Iran dengan nuklirnya. Saya menemukan kutipan dan tulisan menarik dari Dr. Nuri dalam Tahqiq Al-Makhtuthat, tentang ulama masyhur, yang menulis kitab dalam keadaan di penjara dan dirantai. Kondisi yang sungguh musykil, tapi bagi pecinta ilmu, tidak ada yang tidak masuk akal. Sesuatu akan dilakukan, walau dalam kondisi tidak memungkinkan bagi orang biasa. Beliau seorang syair (penyair), muarrikh (sejarawan), katibus sair (penulis biografi), lahir di Yazid, Iran. Qutbut ad-Din al Yazdi. 
Dr. Nuri bercerita, bahwa dalam sebuah atsar yang terkenal disebutkan, "Ada dua orang yang tak pernah kenyang: pencari ilmu dan pencari harta." Kalimat ini menggambarkan betapa dahsyatnya gairah jiwa manusia dalam mengejar dua hal yang sangat berbeda arah; ilmu dan harta. Namun, yang pertama memiliki cahaya; dan siapa pun yang dikaruniai cinta terhadap ilmu serta semangat untuk mencarinya, maka tak ada yang bisa menghalangi langkahnya. Tidak derita, tidak pula kerasnya ujian hidup.

Dalam warisan peradaban kita, tak terhitung kisah ulama yang membuktikan hal itu. Di antara yang patut kita kenang dengan penuh takzim adalah sosok Qutb al-Din al-Yazdi. Ia bukan hanya seorang penyalin, tapi seorang pencinta ilmu sejati yang menorehkan tinta pengetahuan di tengah derita, saat dirinya terpenjara.

Saya pernah menemukan sebuah naskah tafsir al-Baydawi yang ditulis tangan oleh Qutb al-Din al-Yazdi. Naskah itu bukan ditulis di ruang studi yang lapang atau rumah yang tenang, tapi di dalam penjara, dengan tubuh terbelenggu rantai dan tangan yang menyalin dengan penuh kesabaran. Bayangkan, beliau menjalani dua belas tahun masa tahanan, dan di tengah belenggu itulah beliau tetap menulis, menyalin, dan menggali ilmu. Sungguh, inilah makna dari semangat yang agung himmatun 'āliyyah yang tak dikerdilkan oleh waktu dan keadaan.

Pada akhir naskah itu, yang kini tersimpan di perpustakaan Yozgat di wilayah Sulaimaniyah, Istanbul (no. 45), Qutb al-Din mencatat sebuah pengakuan menggetarkan hati. Ia menulis:

"Telah selesai penyalinan tafsir ini di tangan hamba yang tertawan, hamba yang fakir kepada Allah Subḥānah Qutb al-Din bin 'Ali al-Yazdi, dalam penjara salah satu benteng kaum Rūm, dalam keadaan terbelenggu dengan rantai dan besi di sebagian besar waktunya, setelah dua belas tahun masa penahanan berlalu. Aku memohon kepada Allah Ta‘ālā yang Maha Mengganti segala keadaan, agar mengubah keadaanku menjadi keadaan yang lebih baik dan memberiku keselamatan dari negeri penyesalan dan siksa. Tercatat pada hari Senin, tanggal tujuh belas bulan Jumadil Awwal tahun 931 Hijriah."

Betapa mendalam doanya, dan betapa luas cakrawala harapan yang ia bentangkan dalam kesempitan penjara. Ia tidak hanya menulis tafsir, tapi juga menulis jejak iman, tekad, dan cinta ilmu yang tak layu oleh siksaan.

Semoga Allah merahmati Qutb al-Din al-Yazdi, mengangkat derajatnya, dan menempatkannya di taman surga yang luas.

_
Semoga kita selalu diberikan waktu oleh Allah untuk membarakan ilmu, mencarinya dan mengamalnya. 

***
Tulisan di atas saya nukil dari tulisan Dr. Nuri Al-Misawi dalam Tahqiqul Mahtuthat

Halimi Zuhdy

Rabu, 21 Mei 2025

KUNCI KEMENANGAN


(Pelajaran dari Al-Qur'an dan Realitas Masa Kini)

Halimi Zuhdy

Sedih, melihat realitas hari ini, umat Islam yang masih terus berkonflik, di Arab misalnya. Walau ada Liga Arab, tapi masih belum mampu mempersatukan umat. Tidak hanya di Arab (Timur Tengah), tapi juga di Indonesia, dengan berbagai permasalahannya. Memang, dalam setiap perkumpulan, organisasi, negara, dan umat tidak pernah lepas dari komflik, tetapi tidak harus terus berlanjut dan terus menerus, dan bisa dicarikan soluasinya. Dari konflik itu mendatangkan banyak kelemahan, bahkan sulit untuk menjadi pemenang. Maka, bisa dilihat hari ini, apa yang bisa dibanggakan oleh umat yang terus berkomflik? Semoga Allah selalu memberi pertolongan kepada kita. 
Menarik, bila menilik Surat Al-Anfal Ayat 45-46, yang memberikan solusi sebab-sebab kemenangan

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴾
﴿ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴾
(QS. Al-Anfal: 45-46)

Menarik Ibnu katsir (774 H) dalam tafsirnya menjelaskan Ayat di atas, "hadza ta'limillah, inilah pelajaran dari Allah tentang adab pertemuan, dan bagaimana menghadapi musuh dengah penuh keberanian" dan beliau mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pada suatu hari ketika berhadapan dengan musuh, menunggu hingga matahari condong (ke barat), lalu beliau berdiri di tengah-tengah mereka dan bersabda: 'Wahai manusia, janganlah kalian mengharapkan pertemuan dengan musuh, dan mintalah keselamatan (kepada Allah). Namun jika kalian benar-benar berhadapan dengan mereka, maka bersabarlah! Dan ketahuilah bahwa surga berada di bawah naungan pedang.'" Umat Islam itu bukan mencari musuh, tapi kalau ada yang datang membawa pedang, bom, parang, celurit dan sejenisnya, maka tidak bersabar - bukan diam lo? Tapi, terus mencari solusi terbaik, bukan dengan kekerasan dibalas dengan kekerasan, baru kalau sudah mentok, harus dihadapi dengan gagah berani.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: "Jika kalian menghadapi musuh di medan pertempuran, maka bersabarlah dan jangan gentar. Perbanyaklah mengingat Allah, karena hal itu akan menanamkan ketenangan dalam hati dan menguatkan jiwa, sehingga kalian akan meraih kemenangan."

Imam Al-Qurthubi menambahkan: "Keteguhan dalam menghadapi musuh adalah kewajiban. Meninggalkan dunia dan berserah diri kepada Allah membantu seseorang untuk tetap teguh, sedangkan mengingat Allah menjadikan hati tenang dan semakin berani."  Rasulullah SAW bersabda: "Ketahuilah bahwa kemenangan itu datang bersama kesabaran." (HR. Tirmidzi)

Ibnu Qayyim dalam kitabnya Al-Furusiyyah (yang dikutip dari Tadabburiyah di atas) berkata: "Kemenangan sejati tidak bergantung hanya pada jumlah dan perlengkapan, tetapi pada kekuatan iman, keteguhan hati, dan persatuan umat."

Toyyib. Sebab-Sebab Kemenangan dalam Islam dalam gambar di atas, berdasarkan Ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa kemenangan dalam Islam bergantung pada lima faktor utama: 1). Keteguhan Hati (الثَّبَاتُ) – Keberanian dan keyakinan yang kokoh di medan juang. 2). Banyak Mengingat Allah (كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ) – Memperkuat hubungan dengan Allah sehingga hati menjadi tenang. 3). Taat kepada Allah dan Rasul-Nya (طَاعَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ) – Melaksanakan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah. 4). Persatuan dan Kesatuan (اتِّفَاقُ الكَلِمَةِ) – Menghindari perpecahan yang melemahkan umat. 5). Kesabaran (الصَّبْرُ) – Kunci utama dalam menghadapi ujian dan rintangan menuju kemenangan.

Toyyib. Bagaimana kita tilik Ddi era modern ini, umat Islam menghadapi berbagai tantangan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Namun, kelemahan terbesar yang terlihat jelas adalah kurangnya persatuan dan penerapan nilai-nilai Islam yang sejati.

Sebagai contoh, dalam banyak konflik, kita melihat bagaimana perselisihan internal melemahkan posisi umat Islam. Ketika umat kehilangan keteguhan dan meninggalkan zikir kepada Allah, mereka kehilangan kekuatan dan mudah dikalahkan. Sebaliknya, jika kita melihat negara atau kelompok yang berpegang teguh pada iman, sabar, dan bersatu, mereka cenderung lebih kuat dan berpengaruh dalam percaturan global.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah bahwa kemenangan tidak hanya bergantung pada strategi dan kekuatan fisik semata, tetapi juga pada keimanan, ketaatan, persatuan, dan kesabaran. Umat Islam harus kembali kepada nilai-nilai ini dan menghindari perpecahan yang melemahkan mereka. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan, maka kemenangan yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan.

Semoga kita selalu diberikan kemenangan oleh Allah.🤲

Tak Terhitung Nikmat-Nya, tapi Kita Tetap Lalai(Refleksi Dua Ayat Tentang Nikmat Allah)


Halimi Zuhdy

Keren Ayat ini. Dimulai dengan redaksi yang sama, tapi penutupnya berbeda. Dan penutup ini, menjadi pesan kuat bagi manusia. Dan kalau ditilik dari setiap kata, mengandung i'jaz lughawi yang mengantarkan pada pesan "nikmat" yang sering tidak dipedulikan oleh manusia. Misalnya penggunaan kata "in" bukan "idza", dan pengunaan kalimat "ta'uddu, la thushuha" dan kalimat lainnya. 
Di tengah arus deras kehidupan modern, manusia terus-menerus dihujani berbagai bentuk nikmat—baik yang terlihat maupun tersembunyi. Kita dikelilingi oleh kemudahan teknologi, akses informasi instan, layanan kesehatan canggih, dan koneksi sosial tanpa batas. Namun ironisnya, semakin banyak nikmat yang kita peroleh, semakin besar pula peluang untuk lupa bersyukur.

Al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dengan sangat tepat, lewat dua ayat yang secara lahiriah tampak serupa, namun secara makna menyimpan perbedaan yang sangat mendalam:

 وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ  
(QS. Ibrahim: 34)

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ  
(QS. An-Nahl: 18)

Dua ayat ini mengandung pesan yang sama di awalnya: bahwa nikmat Allah tak akan pernah mampu kita hitung. Namun perhatikan penutupnya—di Surah Ibrahim, ayat ditutup dengan celaan terhadap manusia: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan sangat kufur." Sementara dalam Surah An-Nahl, penutupnya adalah pujian terhadap sifat Allah: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Apa makna dari dua penutup yang berbeda ini?

Ayat pertama adalah cermin bagi kita. Betapa pun limpahan nikmat diberikan, manusia cenderung melupakan Pemberi nikmat. Kita menzalimi diri dengan lalai dari ketaatan, dan kita kufur karena enggan mengakui nikmat itu berasal dari Allah. Dalam konteks kekinian, bentuk kekufuran itu bisa berupa ketergantungan total pada teknologi tanpa menyadari bahwa akal dan daya cipta itu juga nikmat-Nya. Atau ketika kesehatan menjadi komoditas, bukan lagi amanah yang dijaga dan disyukuri.

Sementara itu, Ayat kedua adalah pelukan hangat dari langit. Meski kita lalai, Allah tetap membuka pintu ampunan. Meski kita terlalu sibuk untuk menghitung nikmat, Allah tetap mengalirkannya setiap detik. Penutup ayat itu adalah bentuk kelembutan dan kasih-Nya yang tak pernah putus, bahkan saat hamba-Nya berpaling.

Dalam dunia modern, manusia kerap mengandalkan data, algoritma, dan pengukuran. Kita bisa menghitung detak jantung, kadar gula darah, bahkan emosi lewat sensor digital. Tapi tetap saja, kita tak akan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah—sebab banyak di antaranya tak kasat mata: ketenangan jiwa, cinta tulus, hidayah, kesempatan taubat, hingga senyum dari orang terkasih di tengah badai hidup.

Studi psikologi modern pun membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan, dan menyembuhkan luka batin. Ini adalah pembenaran ilmiah dari janji ilahi: لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ — "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian." (QS. Ibrahim: 7)

Maka dua ayat ini, bila direnungkan bersama, adalah keseimbangan antara tamparan dan pelukan, antara peringatan dan pengharapan. Ia mengajarkan bahwa kita harus menyadari keterbatasan kita dalam menghitung nikmat, sekaligus bersandar pada keluasan ampunan Allah.

Mari kita renungkan satu hal penting: kita hidup bukan karena kita layak, tapi karena Allah masih berkenan memberi. Nikmat-Nya tak terhitung, dan karunia-Nya melampaui kesadaran kita. Maka jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur. Jangan tunggu bencana untuk mengingat Tuhan. Nikmat-Nya terlalu luas untuk dihitung, maka cukupkan dengan sujud, syukur, dan amal yang tulus.

Asal Kata "Shalat"



Para ahli bahasa berbeda pendapat mengenai akar kata "الصلاة/shalat". Sebagian dari mereka lebih cenderung bahwa kata tersebut berasal dari akar kata "ص-ل-ي/ṣ-l-y" yang berarti “terbakar oleh api.” (Misbah Munir, Al Fayumi). 

Dalam bahasa Arab dikatakan "ṣalaytu al-‘ūda bi al-nār" (aku memanaskan kayu dengan api) jika seseorang melunakkannya; karena orang yang shalat menjadi lembut hatinya karena khusyuk. لأن المصلي يلين بالخشوع. Ada pula yang lebih memilih bahwa asal kata "shalat" adalah dari akar kata "ص-ل-و/ṣ-l-w", karena bentuk jamaknya adalah "صلاوات/ṣalawāt" dan bentuk dua-nya adalah "صلوان/ṣalawān". (Al-Ain, Al-Farabidi)
Kedua akar kata ini sama-sama mencakup makna umum dari "shalat". Shalat dari Allah Ta’ala berarti rahmat (الرحمة) dan pujian (الثناء), sedangkan dari makhluk berarti permohonan ampun (الاستغفار) dan doa (الدعاء). (Mukhtar Shahah, Al-Razi). 

Az-Zajjāj berkata: “Asal makna shalat adalah "melazimi" atau "konsisten". Dalam bahasa Arab dikatakan "ṣalā wa iṣṭalā" jika seseorang terus-menerus melakukan sesuatu. Maka, shalat berarti melazimi apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Shalat adalah salah satu dari shalat-shalat yang diwajibkan, dan kata ini merupakan nama yang digunakan dalam posisi sebagai mashdar. Aku berkata: "صليت صلاة/ṣallaytu ṣalātan" (aku melakukan shalat), dan tidak dikatakan "taṣliyyatan". Shalat adalah ibadah khusus, dan karena asal maknanya adalah doa, maka ia dinamakan dengan salah satu bagiannya. Ada juga yang mengatakan bahwa asal kata "shalat" dalam bahasa adalah pengagungan ("ta‘ẓīm"), dan ibadah shalat yang khusus dinamakan "shalat" karena di dalamnya terkandung pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi." (Lisanul Arab, Ibnu Mandhur). 

***
Mausu'atut tafsir Al-Maudhu'i

Neng Dr. Hj. Syafiyah, Pendidik Penuh Senyum dan Kedamaian


Halimi Zuhdy

"Bu Nyai Syafiyah tak pernah marah dan selalu tersenyum" kata salah satu dosen Humaniora. "Walau beliau sakit, sudah dalam kondisi tidak memungkinkan masuk kelas, beliau masih maksa untuk mengajar" tambah mahasiswa Sastra Inggris Humaniora. "Selama beliau memimpin Humaniora, tak pernah saya lihat di wajahnya amarah, walau kadang ada yang mengkritiknya, tetap tenang dan berusaha untuk menyelesaikan dengan dingin" tambah salah seorang pimpinan Humaniora. 
Bu Nyai Dr. Syafiyah. Saya sulit melukiskan kebaikannya. Selama berinteraksi sama beliau, baik di Pondok Al-Hikmah Fatimiyah Malang dan juga di kampus UIN Malang, khususnya di Fakultas Humaniora, tak pernah sekali pun melihat beliau tanpa tersenyum. Damai melihat wajahnya. Dan seringkali beliau dengan bahasanya akrab sekali, "Ust Halimi ini keluarga pondok Ahaf, sudah lama mengaji di pondok, mulai mahasiswa sampai sekarang". Beliau sampaikan di hadapan para santri. Maka, berat sekali kalau tidak ngaji, apalagi izin. Karena, beliau yang selalu asyik dan perhatian. 

Ketika beliau menjadi Dekan, beliau selalu keliling ke prodi-prodi, dan terkadang bertanya apa pun, dan membincang apa pun. "Enggeh, nanti kita tindak lanjuti" kata beliau, bila kita mengeluhkan sesuatu dan ada curhatan tentang mahasiswa atau apa pun, dan kebetulan waktu saya menjadi Kaprodi di BSA. Tak lupa senyumnya yang tersisa sebelum keluar. "Insyallah, semuanya akan selesai". Optimisme selalu dibangun, walau mendesak, beliau selalu berusaha tenang. 

"Neng Syafiyah" demikian beliau kalau dipanggil oleh Kyai Marzuki, Gus Isyraqun Najah, dan Pak Rektor, Prof Zainuddin. Beliau putri dari Kyai karismatik, KH Fattah Hasyim adalah sosok ulama istikamah dan berilmu luas yang menjadi pendiri Madrasah Muallimin-Muallimat Tambakberas. Dikenal karena kedisiplinannya dalam ibadah, ia tetap memimpin shalat berjamaah meski dalam kondisi fisik yang melemah. Kiai Fattah, yang lahir dengan nama Abdullah Marwan, mengawali perjalanan intelektualnya dari bimbingan sang ayah, KH Hasyim Idris, sebelum melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren di Jawa. Wawasan keilmuannya yang mendalam dan keteguhan akhlaknya menjadi warisan penting bagi generasi penerus, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.

Dr. Hj. Syafiyah Fattah. Beliau adalah seorang dosen yang saat ini mengabdikan diri di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, di prodi Bahasa Sastra Inggris, Fakultas Humaniora. Jejak akademiknya dimulai dari studi di Universitas Islam Negeri Malang dulu masih IAIN Sunan Ampel Malang, hingga melanjutkan pendidikan di University of Canberra dengan konsentrasi di bidang English Education. Komitmennya terhadap dunia pendidikan tercermin dari dedikasinya dalam mendampingi mahasiswa dan santri, baik dalam aspek akademik maupun spiritual.

Beliau dikenal sangat perhatian terhadap perkembangan ibadah dan pergaulan mahasiswanya. Nasihat-nasihatnya selalu penuh semangat dan makna, mendorong setiap anak didiknya untuk menjadi pribadi yang bergerak, bertumbuh, dan tetap rendah hati. Ungkapan yang sering beliau sampaikan: "Hidup itu harus tergerak, semangat terus, tapi jangan sampai menyakiti banyak orang."  

Khidmah beliau tidak hanya di masyarakat kampus tapi juga di masyarakat luas, dengan mendirikan PP. Al-Hikmah Al-Fatimiyah bersama Kyai Dr. Yahya Jakfar (Dosen UIN Malang). Selain mendirikan pondok di Malang, beliau juga mendirikan madrasah Diniyah dan lainnya. "Tenang, pasti Allah selalu memberikan jalan keluar" ungkap beliau dengan lembut. Maka, kesibukan apa pun, kesulitan apa pun, insyallah akan diberikan jalan keluar terbaik oleh Allah. Demikian ungapan indah dan damai dari beliau. Kini, ungkapan itu terus mengiang dan terus menggema di hati. Suara lembut dengan petuah-petuah itu akan terus menjadi kenangan, dan pengingat bagi yang pernah berinteraksi dengan beliau, atau bagi yang pernah punya cerita dengan beliau. 

Innalillahi wainna ilaihi rajiun, selamat jalan Neng Dr. Hj. Syafiyah Fattah Syafiyah Fattah 

Malang-Jombang, 9 April 2025

Kebanyakan (Al-aktsariyah) dalam Al-Qur'an(Menilik Kebanyakan Perilaku Manusia)


Halimi Zuhdy

Pagi tadi saat membaca Surat Al-Kahfi bersama jamaah di Masjid Baiturrahman, saya terpaku pada satu Ayat:

وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah — QS. Al-Kahfi: 54. 

Ayat ini terasa hidup di tengah hiruk-pikuk media sosial kita hari ini. Perdebatan tak kunjung padam. Ada yang membangun keindahan, memotivasi, berbagi kebaikan, tapi tak sedikit yang hanya menebar permusuhan dan caci maki. Berdebat tanpa ujung, berakhir persaudaraan yang hancur.  Maka saya pun menelusuri lebih dalam: bagaimana Al-Qur’an menggambarkan “الأكثرية” (mayoritas, kebanyakan)?
Dalam Al-Qur'an, terdapat kata yang menunjukkan pada makna "banyak, berlimpah, kebanyakan"  dan derivasinya. Kurang lebih ada 90 kata. Terdapat beberapa lafaz yang memiliki akar makna yang sama, yaitu menunjukkan makna banyak atau berlimpah, seperti جم (banyak), غدق (melimpah ruah), لبد (berkerumun atau menumpuk), dan كثر (banyak atau banyak jumlahnya). Meskipun berasal dari makna dasar yang serupa, masing-masing lafaz ini memiliki nuansa makna tersendiri yang membedakannya dalam konteks penggunaannya.

Ternyata, dalam banyak Ayat, dengan penggunaan "al-aktsar, mayoritas, kebanyakan" manusia digambarkan dengan karakter yang negatif. Berikut beberapa contohnya:

1. Mayoritas tidak beriman
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan mereka mempersekutukan-Nya — Yusuf: 106.

وَمَا أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya— Yusuf: 103.

2. Mayoritas tidak tahu
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui— Al-A’raf: 187.

بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui — An-Nahl: 75.

3. Mayoritas tidak bersyukur
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur— Al-Baqarah: 243.

4. Mayoritas Kafir
فَأَبَىٰ أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ إِلَّا كُفُورًا 
Tetapi kebanyakan manusia tidak menghendaki kecuali kekafiran) — Al-Furqan: 50.

5. Mayoritas tidak menggunakan akal
قُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti) — Al-Ankabut: 63.

Fenomena ini bukan hanya data statistik spiritual, tapi juga realitas sosial. Al-Qur’an sedang memperingatkan kita: jangan terlalu terpesona dengan suara mayoritas. Yang ramai belum tentu benar. Yang viral belum tentu berakhlak dan baik. Bahkan dalam konteks dakwah, Allah mengingatkan:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah — Al-An’am: 116.

Sebaliknya, Al-Qur’an justru memuji mereka yang sedikit, namun kokoh:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur— Saba’: 13.

Kita hidup di zaman debat tanpa ujung. Ayat tentang “manusia paling banyak membantah, berdebat” seakan menyingkap tabir sosial kita hari ini. Maka marilah kita bercermin: apakah kita termasuk “yang banyak”, atau berjuang untuk menjadi “yang sedikit”? Karena dalam ukuran Al-Qur’an, kebenaran bukan ditentukan oleh kuantitas, tapi oleh kualitas iman, ilmu, dan syukur. Dan belum tentu yang sedikit benar lo ya?! Jangan disalah pahami. Lihat konteksnya. 

Al-Qur’an, melalui penyebutan sifat-sifat negatif yang sering dikaitkan dengan kelompok mayoritas (al-aktsariyyah), tidak sekadar menginformasikan kondisi manusia, tetapi mengungkap hakikat jiwa manusia di setiap waktu dan tempat. Jiwa manusia cenderung mengikuti hawa nafsu, lalai, ingkar, dan terpaut pada syahwat duniawi. Karena itu, Al-Qur’an hadir untuk mengarahkan manusia agar melawan kecenderungan-kecenderungan negatif tersebut, menahan syahwatnya, serta memperbanyak zikir dan syukur kepada Allah. Dengan demikian, manusia diajak untuk tidak larut dalam arus mayoritas yang menyimpang, melainkan membangun kesadaran pribadi yang menuntunnya pada jalan kebenaran.

Namun, Ayat-Ayat yang mencela mayoritas (al-aktsariyyah) harus dibaca dalam konteksnya masing-masing dan dipahami berdasarkan sebab turunnya. Sebab, sebagian besar Ayat-Ayat tersebut merujuk pada kelompok tertentu, seperti kaum musyrik atau Bani Israil, sehingga celaan terhadap mayoritas tidak berlaku secara mutlak. Meski demikian, terdapat juga beberapa Ayat yang menyifati mayoritas dengan sifat tercela secara umum, seperti tidak mengetahui, tidak bersyukur, dan tidak berpikir. Dalam hal ini, konteks dan susunan Ayat menjadi faktor utama dalam memahami maksud dari ayat tersebut, sehingga penting untuk memperhatikan konteks agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami pesan Al-Qur’an.

Asyik kan? 
Ayo ikuti kajian berikutnya tentang siapakah yang sedikit, minoritas atau paling sedikit dalam Al-Qur'an. Dan juga mengapa Al-Qur'an menggunakan kata "katsirun"?

Malang, 11 April 2025

Maraji':
Al-Qur'an Al-Karim
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, At-Tahrir wattanwir, Al-Alusi, Al-Muharrir Al-wajiz. 

Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy. com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Perbedaan Makna dan Penulisan "نعمة" dan "نعمت" dalam Al-Qur’an


(Kajian Bahasa Al-Qur'an #202)

Halimi Zuhdy

Pernah saya menulis tentang perbedaan penulisan (rasm) kata رحمت dan رحمة, tidak hanya perbedaan tulisan yang dikaji di dalamnya, tetapi tentang makna, rahasia dan juga tujuan tulisan tersebut. (Bisa dicek di www. Halimi Zuhdy. com).
Salah satu keindahan dan keunikan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada kandungan maknanya, tetapi juga dalam ragam gaya penulisan katanya, mungkin kita kenal dengan i'jaz rasmy Fil Qur'an (jangan bertanya ikhtilaf dalam i'jaz ini ya.he). Di antara contoh yang menarik untuk ditelaah dalam kajian kali ini adalah perbedaan penulisan antara "نعمة" (dengan tā’ marbūṭah) dan "نعمت" (dengan tā’ maftūḥah). Meski keduanya berasal dari akar kata yang sama, ternyata terdapat perbedaan makna dan penggunaan yang mendalam di dalamnya.

Secara umum, kata نِعْمَة berarti kondisi yang baik, kebahagiaan, atau kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Kata ini dapat merujuk pada kenikmatan secara umum yang diberikan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam Ayat:
 "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (An-Nahl: 18)
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.”

Kenikmatan tertentu yang Allah anugerahkan kepada suatu kaum atau individu, "اذكروا نعمتي التي أنعمت عليكم" (Al-Baqarah: 40). “Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu.” Namun yang menarik, kadang kata نِعْمَة ditulis dengan tā’ terbuka (نعمت) dalam beberapa Ayat. Misalnya dalam surah Ibrahim:  "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (Ibrahim: 34). Mengapa demikian?

Ibnu al-Bannā’ al-Marrākishī, seorang ahli qirā’āt dan ilmu rasm al-muṣḥaf (penulisan mushaf), menjelaskan bahwa perbedaan penulisan ini bukan tanpa alasan. Kata "نعمت" dengan tā’ terbuka menunjukkan bahwa nikmat tersebut telah terjadi dan berlalu, dan maknanya dekat dengan fi‘il māḍī (kata kerja lampau). Karena itu, bentuk penulisannya pun dibuka (نعمت) sebagaimana fi'il.

Sementara itu, "نعمة" dengan tā’ tertutup menunjukkan bahwa nikmat tersebut bersifat umum atau terus-menerus, sehingga lebih menyerupai ism (kata benda), dan karena itu ditulis dengan tā’ marbūṭah yang menunjukkan kestabilan atau keterikatan waktu. Sebagai contoh: "نعمت الله" (Ibrahim: 34) ditulis dengan tā’ terbuka karena konteks ayat membicarakan nikmat yang telah nyata diberikan dan tidak disyukuri, sebagaimana ditunjukkan oleh penutup ayat:  "إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ"

Sedangkan dalam An-Nahl: 18, bentuknya  "نِعْمَةَ اللَّهِ" dengan tā’ tertutup, karena konteksnya menggambarkan nikmat Allah yang terus mengalir dan tak terhingga, yang kemudian ditutup dengan sifat Allah
"إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Kata "نعمة" dengan tā’ tertutup muncul sebanyak 25 kali dalam Al-Qur’an. Sedangkan "نعمت" dengan tā’ terbuka muncul sebanyak 11 kali. Secara umum, penulisan "نعمة" digunakan untuk menggambarkan nikmat yang umum dan terbatas, sedangkan "نعمت" digunakan untuk nikmat yang bersifat khusus atau terbuka untuk direnungi lebih dalam oleh pembaca.

Menariknya, dalam ilmu rasm al-muṣḥaf, tidak hanya kata "نعمة" yang mengalami dua jenis penulisan. Kata-kata lain seperti:
رحمت، سنت، امرأت، لعنت، شجرت، ابنت، معصيت، فطرت
juga terkadang ditulis dengan tā’ terbuka dalam sebagian mushaf, mengikuti bahasa Quraisy dan Thayy yang membaca dan berhenti dengan suara tā’ bukan hā’. (Beberapa kata sudah pernah saya tulis, terkait dengan kata di atas).

Sebagian ulama qirā’at seperti Ibnu Katsīr, Abu ‘Amr, dan al-Kisā’ī mengikuti qirā’at dengan tā’ terbuka, sedangkan lainnya membacanya dengan hā’ di akhir. Perbedaan ini menjadi bukti bagaimana mushaf Al-Qur’an tidak hanya menjaga lafaz dan makna, tetapi juga memperhatikan keanekaragaman dialek dan qira’at yang sah. Perbedaan antara "نعمة" dan "نعمت" bukanlah sekadar teknis penulisan, tapi menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia menggambarkan waktu, konteks, dan bahkan peringatan tersirat bagi manusia agar merenungkan nikmat yang diberikan Allah—baik yang telah berlalu, yang sedang dirasakan, maupun yang akan datang. Inilah sebagian kecil dari keajaiban rasm al-muṣḥaf dan keindahan bahasa Al-Qur’an yang menantang akal dan menggetarkan hati.

Dan, insyallah berikutnya akan dikaji beberapa rasm (tulisan), dan perbedaan qira'at. Insyallah, semoga selalu diberikan keistiqamaah dan kesehatan. 

Maraji'
Al-Qur'an Al-Karim, Tafsir Ibnu Katsir, Mu'jam Ma'ani, Maqalah furuq rasm al-Qur'an, Furuq baina na'mah wa ni'maah, fidiyuhat Duktur Harun Jad, lamsaat Bayaniyah wa ghariha.

***
Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Menilik Istilah "Masjid/tempat ibadah Muslim" di beberapa Negara


Halimi Zuhdy

Loh kok "mescit"  kecil banget ya? gumam saya dalam hati. Kebetulan "mescit" atau dalam bahasa Arab adalah masjid (مسجد) berada di rest area perjalanan saya dari Angkra Turki. Sambil menikmati kopi Turki, saya membaca bebeapa maklumat yang ada di dinding mascit tersebut. Aha. Sambil saya bertanya pada orang Turki, apakah mascit ini sama dengan camii? Kata mereka, "berbeda mas". 
Tulisan ini, sedikit mengulik beberapa "istilah" rumah Allah atau tempat beribadah umat Islam di beberapa negara. Bukan untuk memastikan hukum terkait dengan waqaf-nya, apakah boleh dan tidak i'tikaf di dalamnya (sah/tidak), dan hukum lainnya. Hanya terkait dengan nama atau istiah saja. 

Toyyib. Di setiap azan yang berkumandang dari menara-menara masjid, umat Islam di seluruh dunia merespons dengan langkah dan arah yang sama: menuju rumah Allah (baitullah, dan istilah ini sudah saya tulis agak panjang, bisa digoogling ya).he. Namun, tahukah kita bahwa di balik satu kata “masjid” tersembunyi aneka istilah, struktur, bahkan dimensi sosiologis yang berbeda di tiap negara?

Di Indonesia, negeri dengan jumlah masjid terbanyak di dunia, istilah masjid dibedakan secara administratif dan fungsional. Masjid Negara seperti Istiqlal berdiri megah sebagai simbol kebangsaan. Di bawahnya, Masjid Nasional, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, dan Masjid Jami' diklasifikasi berdasarkan wilayah administratif dari provinsi hingga desa. Bahkan mushalla pun punya tempat tersendiri dalam kehidupan sosial, menjadi ruang transendensi di lingkungan terdekat. Loh kok beda-beda? Kok tidak semua tempat dinamakan masjid atau mushallah saja? Dan mengapa di Indoensia berbeda antara masjid dan mushalla? 

Di Indonesia, perbedaan antara masjid, mushalla, langgar, dan surau terletak pada fungsi, ukuran, dan konteks sosial-budaya masing-masing (ini menurut yang saya pahami ya). Masjid adalah tempat ibadah utama umat Islam yang digunakan untuk salat lima waktu, salat Jumat, dan kegiatan keagamaan besar seperti pengajian dan i’tikaf, serta diakui secara resmi dalam administrasi keagamaan. Terus Mushalla?, mushalla yang juga dikenal sebagai langgar atau surau di berbagai daerah, umumnya berukuran lebih kecil dan tidak digunakan untuk salat Jumat, melainkan hanya salat lima waktu berjamaah dan kegiatan keagamaan lokal. Langgar adalah istilah yang banyak digunakan di wilayah Jawa untuk mushalla, kalau di Madura dikenal dengan langger😁. Sementara surau lazim ditemukan di Sumatra Barat dan memiliki peran lebih luas sebagai tempat mengaji, membina generasi muda, bahkan menjadi pusat pendidikan Islam tradisional. Meskipun secara fungsi ketiganya mirip sebagai tempat ibadah harian, nilai historis dan budaya lokal membuat istilah-istilah tersebut hidup dalam ruang sosial yang berbeda di masyarakat.

Lah lalau di Turki, negeri yang dulunya pusat Kekhalifahan Utsmani, hanya ada dua istilah dominan: "Camii" dan "Mescit". "Camii" adalah masjid besar tempat salat Jumat dan kegiatan keagamaan utama. Istilah ini berasal dari kata Arab جامع (jamiʿ), menandakan fungsi himpunannya (pernah saya tulis, asal dari Jamiah, universitas, adalah masjid jami'). Sementara "mescit" mengacu pada tempat ibadah kecil setara mushalla—tanpa khutbah Jumat, namun tak kalah penting sebagai tempat salat lima waktu. 

Di dunia Arab, istilah "masjid" dan "jami’" telah mengakar sejak awal Islam. "Masjid" merujuk pada semua tempat sujud, tetapi "jami’"—dari akar kata "jamaʿa" (menghimpun)—khusus dipakai untuk masjid tempat dilaksanakannya salat Jumat. Lebih menarik lagi, mereka mengenal istilah "musalla" untuk tempat ibadah yang kecil dan sementara. Dan fuangsinya juga tidak jauh berbeda, walau istilah ini di Suadi dan beberapa negara yang pernah saya singgahi agak jarang saya temukan, mungkin kurang jalan-jalan.he. butuh diajak niyeee. 🤩 

Di anak benua India dan Pakistan, istilah "Jama Masjid" menggema sebagai simbol historis dan keagamaan. Contohnya Jama Masjid Delhi, yang dibangun oleh Shah Jahan, menjadi cerminan kejayaan arsitektur sekaligus pusat spiritual umat Islam. Di sini, istilah "jama" tak sekadar merujuk fungsi salat Jumat, melainkan menjadi penanda identitas komunitas Muslim di tengah keragaman. Tapi, karena belum pernah menjejak di bumi India, hanya sekedar mendengar, maka butuh verifikasi dari alumninya.😁 

Beranjak ke Eropa, kita menemukan istilah "mosque" yang umum digunakan, meski di lingkungan diaspora Asia Selatan, istilah "jami masjid" tetap hidup dan ada lo ya. Komunitas Muslim di London, Berlin, atau Paris tak sekadar membangun ruang ibadah, tetapi juga pusat budaya, dialog lintas agama, bahkan benteng identitas di tengah sekularisme modern. Mungkin ada istilah lain, bisa berbagai Ya? 

Menariknya, perbedaan istilah ini tidak hanya semantik. Ia mencerminkan bagaimana umat Islam membingkai fungsi rumah ibadah, bukan hanya sebagai tempat ritual, tetapi juga pusat pendidikan, kebudayaan, dan perjuangan. Di Indonesia, masjid menjadi pusat zakat, pengajian, bahkan kegiatan sosial. Di Eropa, ia menjadi simbol ketahanan identitas. Di Turki, camii" memadukan estetika Bizantium dan spiritualitas Islam. Di Arab, "jami’" menjadi titik pusat masyarakat. Dan mungkin di belahan dunia lain, ada istilah yang berbeda bisa ditulis juga, agar tambah kaya istilah tentang "masjid". 

Asyiknya! Masjid, apapun namanya, selalu menjadi ruang sakral tempat bumi bersujud, manusia bersimpuh, dan peradaban ditata.

Saya jadi teringat sabda Rasulullah SAW
(وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا) رواه البخاري

***
Ket Foto; Masjid Sultan Bayazed II Amasya

Ketika Janda Bertanya


Halimi Zuhdy

Ketika mengisi pengajian di majlis taklim ibu-ibu dan ukhti-ukti, terkadang agak rikuh, selain ganteng sendiri, juga harus selektif memilih kata-kata, takut ada yang baperan dan takut keselio lidah, akan menjadi berabe.wkwkw
ketika memberikan kajian plus pengajian di masjid di ujung kampung tentang besarnya pahala seorang istri yang berbakti kepada suaminya, tentang betapa mudahnya jalan menuju surga bagi wanita yang taat dan sabar dalam rumah tangganya. Jamaah pun terdiam, hanyut bersama suasa. Wkwkw. Apalagi ditambah tema, istri yang romantis dan tidak suka marah-marah sama suaminya, maka pahala akan berlipat.

Di sudut ruang pengajian, seorang wanita paruh baya yang -sepertinya- sudah lama menjanda duduk terdiam. Sepertinya matanya berkaca-kaca (loh kok tahu?). Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Setelah saya selesai berbicara, ia pun mengangkat tangan, suaranya bergetar saat bertanya, "Ustadz... bagaimana dengan saya yang sudah tidak punya suami lagi? Apakah saya masih bisa meraih pahala sebesar itu?"

Seketika suasana hening. Saya hanya bisa diam dan mencoba tersenyum; 

"Ibu... Allah itu Maha Adil dan Maha Penyayang. Jangan pernah merasa bahwa peluang Ibu untuk mendapatkan surga lebih kecil. Justru, di balik setiap keadaan, Allah membukakan jalan pahala yang lain. Ketika Ibu tidak lagi memiliki suami, Allah memberikan Ibu waktu lebih untuk lebih dekat kepada-Nya. Dengan tahajjud Ibu di sepertiga malam, dengan lantunan Ayat-Ayat suci yang Ibu baca, dengan doa-doa panjang yang Ibu panjatkan dalam sepi, semua itu menjadi jalan yang luas menuju rahmat-Nya."

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seutama-utama shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.’” (HR. Muslim, no. 1163). Ibu sekarang punya lebih banyak kesempatan untuk memperbanyak amalan itu."

"Dan bila Ibu menjaga anak-anak Ibu, membesarkan mereka dengan iman dan akhlak yang mulia, itu adalah jalan besar menuju surga. Rasulullah bersabda, ‘Aku dan wanita yang rambutnya kusut dan hitam karena mengurus anak-anaknya (dengan sabar) akan bersama-sama di surga seperti ini,’ beliau mengisyaratkan dua jarinya yang dirapatkan.' (HR. Ahmad, no. 16644)."

"Ketahuilah, setiap pengorbanan Ibu tidak pernah sia-sia. Allah berfirman: ‘Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.’ (QS. Al-Insyirah: 6). Ibu diuji bukan untuk disakiti, tapi untuk dimuliakan. Setiap tetesan air mata dalam kesabaran, setiap kelelahan dalam mendidik anak, setiap doa dalam sunyi malam, itu semua disaksikan dan akan diganjar oleh Allah dengan balasan terbaik."

"Bagi wanita yang masih memiliki suami, jalan mereka melalui ketaatan kepada suami. Bagi wanita yang suaminya telah dipanggil Allah, jalan mereka adalah pengabdian penuh kepada Allah dan amanah keluarga. Kedua-duanya mulia di sisi Allah. Tinggal bagaimana kita husnudhan kepada-Nya."

"Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ajaib sekali urusan orang beriman. Semua perkaranya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, itu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, itu pun kebaikan baginya.’ (HR. Muslim, no. 2999)."

"Jadi Ibu, jangan bersedih. Suami yang telah wafat bukanlah akhir dari kebahagiaan. Ini adalah awal dari perjalanan cinta yang lebih dalam kepada Allah. Hidup akan tetap indah bila kita memandang segala sesuatu dengan mata hati yang bersyukur."

Sepertinya ibu itu pun terdiam dan semoga dapat menjawab pertanyaan ibu tersebut. Dan semoga tulisan di atas, sedikit menjawab pertanyaan janda tersebut atau mungkin yang lainnya.

Mengapa Dinamakan Fi’il Mudhari’?



Halimi Zuhdy

Mungkin pertanyaan di atas, dianggap pertanyaan receh. Semua sudah kenal dan tahu. Tapi, ketika ditanya, tidak sedikit yang mengercitkan dahi alias tidak paham. Sudah dicoba ditanyakan pada beberapa orang, juga tidak tahu, mungkin kebetulan saja.wkwkw. 

Bagi pelajar bahasa Arab, istilah fi’il madhi (ماضى), fi’il mudhari’ (مضارع), dan fi’il amar (الأمر) adalah makanan sehari-hari. Dan biasanya, fi’il madhi dan fi’il amar tidak banyak dipertanyakan. Fi’il madhi artinya lampau—sudah jelas: menunjukkan sesuatu yang sudah terjadi. Fi’il amar artinya perintah—juga terang benderang: digunakan untuk menyuruh.
Namun, bagaimana dengan fi’il mudhari’?
Kenapa tidak dinamakan saja “fi’il hadir” atau “fi’il masa kini”? Bukankah fungsinya memang untuk menunjukkan sesuatu yang sedang atau akan terjadi? Lah. Mereka baru sadar, ketika ditanyakanengapa tidak hal (sekarang) atau mustaqbal (akan datang), atau digabung fi'il فعل الحال والمستقبل.wkwwk. ini hanya ngarang saja. Siapa tahu disetujui. 

Ternyata, jawabannya tidak sesederhana itu. Dalam bahasa Arab, kata "mudhari’" berasal dari akar kata "ض ر ع" yang bermakna "menyerupai atau mirip". Maka, fi’il mudhari’ adalah fi’il yang menyerupai sesuatu (المشابهة). Tapi menyerupai apa? Jawabannya bukan fi’il lain, melainkan isim, lebih tepatnya lagi: isim fa’il (kata benda pelaku). Loh kok bisa, fi'il menyerupai isi. (Sambil merunduk dan senyum kecut).he.

Coba kita bandingkan:

يكتب (ia menulis) → كاتب (penulis)
يجاهد (ia berjihad) → مجاهد (pejuang)
يستعطف (ia memohon belas kasih) → مستعطف (pemohon belas kasih)

Bentuk fi’il mudhari’ dalam contoh di atas secara struktur sangat mirip dengan bentuk isim fa’il. Jumlah hurufnya sama, letak harakat dan sukunnya seirama, bahkan fungsinya pun serupa: menunjukkan keadaan yang sedang atau akan berlangsung.

Lebih dari itu, fi’il mudhari’ dalam kaidah nahwu bersifat "mu’rab"—bisa beubah-ubah sesuai posisi dalam kalimat, sama seperti isim. Bandingkan dengan fi’il madhi dan fi’il amar yang sifatnya mabni—bentuknya tetap dan tidak berubah.

Jadi, ketika para ulama bahasa menamai fi’il mudhari’ bukan dengan nama waktu atau fungsi, melainkan berdasarkan "kemiripan bentuknya dengan isim", mereka sedang menunjukkan bahwa dalam bahasa Arab, penamaan tidak selalu didasarkan pada apa yang dilakukan, tapi bisa juga pada bagaimana bentuknya terlihat.

Di sinilah menariknya:  Fi’il madhi dinamai berdasarkan waktu (telah terjadi). Fi’il amar dinamai berdasarkan fungsi(memerintah). Fi’il mudhari’ dinamai berdasarkan penampilan (menyerupai isim)

Bahasa Arab ternyata tidak hanya logis, tapi juga estetik. Ia tidak cuma bicara tentang apa dan kapan, tapi juga tentang bagaimana sesuatu itu terlihat dan berperilaku. Dan fi’il mudhari’ adalah contoh bahwa sebuah nama dalam bahasa bisa menyimpan filosofi yang dalam. Wkwwkkw. Pasti ada yanb komen, kok bisa tertarik dengan bahasa orang lain.wkwwkw. Kok tidak bangga dengan bahasa Indoensia. Et, jangan ngarang lo ya! 

Maka, tak berlebihan jika kita katakan: nama “fi’il mudhari’” adalah hasil pemikiran yang tidak asal-asalan, melainkan lahir dari perenungan yang mengakar pada kecintaan terhadap struktur bahasa dan keindahannya. Lah, apakah ini ilmiah? Allahua'lam bishawab.

Senin, 21 April 2025

Takhta Kemenangan: Idul Fitri dan Makna Sejati Sebuah Kemenangan #30


_Halimi Zuhdy_

Kemenangan seringkali dikaitkan dengan kejayaan duniawi—politik, bisnis, olahraga, atau akademik. Sorak-sorai dan perayaan mengiringi mereka yang meraih puncak. Namun, adakah kemenangan yang lebih bermakna daripada sekadar euforia sesaat? Kini, Ramadan akan usai, dan Idul Fitri akan kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Ataukah hanya menyelesaikan satu bulan ibadah tanpa perubahan berarti?
Idul Fitri: Kembali ke Fitrah, Bukan Sekadar Perayaan

Banyak orang menganggap Idul Fitri sekadar hari makan bersama, bersilaturahmi, dan berpesta setelah sebulan penuh berpuasa. Padahal, Idul Fitri memiliki makna yang jauh lebih dalam.

Secara etimologi, Idul Fitri berasal dari kata الإفطار (al-iftār), yang berarti “berbuka” setelah menahan diri dari makan dan minum. Kata العيد (al-‘īd) sendiri berasal dari akar kata yang berarti “kembali,” merujuk pada kebahagiaan yang senantiasa datang setiap tahun setelah umat Muslim menuntaskan ibadah mereka (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 694).

Namun, “berbuka” dalam Idul Fitri bukan hanya tentang makanan. Ini adalah perayaan kembalinya manusia kepada fitrah, sebuah kesucian spiritual yang telah ditempa oleh Ramadan. Idul Fitri mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya keberhasilan menahan lapar dan dahaga, tetapi bagaimana seseorang kembali menjadi pribadi yang lebih bersih, lebih baik, dan lebih bertakwa.
Sebagai bagian dari perayaan ini, Islam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyucian jiwa dan harta. Ini bukan hanya amal sosial, melainkan simbol bahwa kemenangan bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.

Dalam Islam, bahkan kebahagiaan pun memiliki aturan. Rasulullah melarang umatnya berpuasa pada hari pertama Idul Fitri sebagai tanda bahwa kebahagiaan setelah Ramadan adalah bagian dari ibadah (Sunan Abu Dawud, 6/305). Namun, apakah perayaan ini cukup untuk disebut sebagai kemenangan sejati?

Kemenangan Hakiki: Takwa sebagai Mahkota Kejayaan

Kemenangan bukan hanya tentang merayakan akhir dari sebuah perjalanan, melainkan tentang hasil dari perjalanan itu sendiri. Allah SWT menegaskan dalam Surat An-Nazi'at ayat 31: “Inna lil muttaqina mafaza”—bahwa kemenangan sejati adalah milik mereka yang bertakwa.

Jika Ramadan adalah medan perjuangan, maka Idul Fitri adalah podium pemenang. Tetapi, siapa pemenang sejati? Mereka bukan hanya yang sukses menahan lapar, melainkan yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik menuju kehidupan yang lebih bertakwa.

Takwa bukanlah sekadar teori, melainkan prinsip hidup. Kemenangan sejati bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga keselamatan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran ayat 185: “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” Maka, kejayaan yang sesungguhnya bukan pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada keteguhan iman dan amal kebaikan yang membawa manusia ke surga.

Pasca-Ramadan: Pembuktian Sejati

Berakhirnya Ramadan bukanlah akhir dari perjalanan spiritual kita. Justru, di sinilah ujian sebenarnya dimulai. Apakah kita hanya menjadi hamba Ramadan, atau benar-benar menjadi hamba Allah? Apakah kebiasaan baik selama Ramadan akan terus kita pertahankan, atau hanya menjadi ritual tahunan yang segera kita tinggalkan? Apakah kita tetap menjaga shalat berjamaah setelah Ramadan? Apakah kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari? Apakah kita tetap menjaga lisan, menahan amarah, dan menjauhi kemaksiatan?

Jangan sampai Ramadan berlalu tanpa meninggalkan bekas dalam diri kita. Sebab, kemenangan sejati bukanlah mereka yang hanya kuat dalam sebulan, tetapi mereka yang mampu istiqamah sepanjang hayati

Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan setelah Ramadan, tetapi tentang pengingat bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kemenangan yang lebih besar: kemenangan di akhirat. Dunia akan terus menawarkan kejayaan semu, tetapi hanya satu kemenangan yang benar-benar berharga: ketika kita kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Ankabut ayat 58: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.”

Jadi, Ramadan telah usai. Idul Fitri kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Atau hanya terjebak dalam euforia sesaat? Jawabannya ada dalam pilihan kita sendiri.

Injury Time Ramadan: Masih Adakah Kesempatan untuk Mencetak Gol? #29


_Halimi Zuhdy_

Ramadan adalah madrasah ruhani yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan pengendalian diri. Bulan ini bak sungai jernih tempat kita mencuci dosa, tempat kita menambal kebocoran iman, dan tempat kita menajamkan kembali tekad ketakwaan. Namun kini, Ramadan hampir berlalu. Kita di ambang fajar kemenangan. Tapi benarkah kita telah menang?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa goal (tujuan akhir) Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Maka, kemenangan bukan tentang berhasil menuntaskan ibadah puasa, melainkan apakah puasa telah membentuk kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa.

Jika Ramadan adalah ladang, maka Syawal adalah masa panen. Seorang petani tidak merayakan panennya jika ia tahu ladangnya hampa. Seorang musafir tidak bergembira di akhir perjalanan jika ia sadar bahwa ia telah tersesat. Maka, hari kemenangan sejati adalah bagi mereka yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik dalam hidupnya.

Rasulullah SAW bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا ٱلجُوعُ وَٱلعَطَشُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini adalah cermin untuk diri kita. Ramadan seharusnya membentuk kita menjadi lebih jujur, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih dekat kepada Allah. Jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan lama, kembali lalai dalam ibadah, kembali membiarkan hawa nafsu berkuasa, lalu di mana letak kemenangan itu?

Ulama besar Hasan Al-Bashri dalam Lathaiful Ma'arif pernah berkata:

إِنَّ ٱللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِخَلْقِهِ يَتَنَافَسُونَ فِيهِ فِي ٱلطَّاعَةِ فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai perlombaan bagi hamba-hamba-Nya dalam ketaatan. Maka, ada yang menang dan ada yang kalah. Betapa menyedihkan orang yang hanya sibuk bermain dan bersenang-senang di hari kemenangan, padahal ia termasuk yang kalah dalam perlombaan itu."

Injury Time Ramadan: Masih Bisa Mencetak Gol?

Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Waktu hampir habis, injury time sudah berjalan. Di momen seperti ini, tim yang unggul tetap waspada agar tidak lengah, sementara tim yang tertinggal masih berjuang mati-matian untuk mencetak gol terakhir. Begitulah kita di penghujung Ramadan. Apakah kita tim yang siap meraih kemenangan, ataukah kita masih harus mengejar ketertinggalan?

Bagi mereka yang merasa belum maksimal dalam ibadah, masih ada injury time Ramadan untuk mengejar gol terakhir. Masih ada malam-malam penuh doa, masih ada kesempatan untuk bertaubat, masih ada peluang mencetak gol kemenangan dengan memperbanyak sedekah, dzikir, dan amal saleh.

Namun, bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhir kita?

Bagaimana jika ini adalah saat-saat terakhir kita memohon ampun? Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhir kita untuk sujud, menangis, dan meminta Allah menghapus dosa-dosa kita? Tidak ada yang tahu apakah kita akan bertemu Ramadan lagi. Maka, jangan sia-siakan injury time ini. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita memastikan diri keluar sebagai pemenang sejati.

Goal Puasa: Apakah Kita Berhasil Mencetaknya?

Setiap ibadah memiliki tujuannya. Goal dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Goal dari zakat adalah menyucikan harta dan jiwa. Lalu, apa goal dari puasa? Tak lain adalah takwa, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 183. Jika setelah Ramadan kita tetap istiqamah dalam ibadah, menjaga lisan dari ghibah dan dusta, tetap rendah hati dan dermawan, serta semakin dekat kepada Allah, maka kita telah mencetak goal kemenangan.

Namun, jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan buruk, meninggalkan shalat berjamaah, lalai dalam ibadah, atau kembali dikuasai hawa nafsu, maka puasa kita hanya menjadi ritual tanpa makna. Seperti tim yang gagal mencetak gol, kita hanya berlari-lari di lapangan tanpa hasil.

Hari Raya Idulfitri bukanlah sekadar pesta, bukan ajang bermegah-megahan. Ia adalah perayaan bagi mereka yang telah berjuang. Maka, sebelum takbir kemenangan menggema, mari bertanya pada diri sendiri: apakah Ramadan telah menjadikan kita hamba yang lebih baik? Apakah kita layak merayakan kemenangan, atau justru kita harus menangisi kekalahan?

Bagi mereka yang masih merasakan air mata tobat membasahi pipi, yang hatinya bergetar di ujung malam-malam terakhir Ramadan, yang tetap istiqamah dalam ibadah meski Ramadan hampir berlalu—merekalah pemenang sejati. Dan bagi yang merasa masih jauh dari kemenangan, masih ada waktu untuk bersimpuh, memohon agar Allah menjadikan kita bagian dari mereka yang benar-benar kembali dalam keadaan fitrah.

Jika ini Ramadan terakhir kita, maka pastikan kita menutupnya dengan kemenangan sejati. Sebab pemenang sejati adalah mereka yang menjadikan setiap bulan layaknya Ramadan, dan menjadikan hidup ini sebagai perjalanan menuju Allah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Mudik vs Iktikaf: Dilema Ramadan di Era Modern #28



Halimi Zuhdy

Ramadan adalah bulan penuh berkah di mana umat Islam berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah. Namun, di era modern, banyak Muslim menghadapi dilema antara menjalankan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan atau mudik untuk bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman.
Mudik bukanlah fenomena baru. Tradisi pulang kampung telah berlangsung sejak lama, bahkan di era sebelum transportasi modern berkembang. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi bagian dari penghormatan kepada orang tua, mempererat hubungan keluarga, dan menghidupkan tradisi kebersamaan dalam menyambut Idulfitri. Namun, di tengah semangat mudik, umat Islam tetap perlu memperhatikan pentingnya mengoptimalkan sepuluh malam terakhir Ramadan, yang merupakan waktu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mudik dan Keutamaannya dalam Islam

Mudik erat kaitannya dengan silaturahim, yang merupakan ajaran utama dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, Islam juga mengajarkan bahwa iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan memiliki keutamaan luar biasa. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187).

Rasulullah SAW sendiri selalu melaksanakan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan, sebagaimana dalam hadis:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Rasulullah SAW selalu beriktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana Pemudik Bisa Mengoptimalkan Sepuluh Malam Terakhir?

Agar tetap mendapatkan keutamaan sepuluh malam terakhir di tengah tradisi mudik, berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Mudik Lebih Awal
Jika memungkinkan, lakukan mudik sebelum sepuluh malam terakhir Ramadan. Dengan demikian, ketika malam-malam istimewa itu tiba, fokus ibadah bisa lebih maksimal. 10 hari terkahir tidak pernah datang kembali, kecuali hanya sekali dalam setahun, atau mudik setelah hari raya, memang satu sisi berat, tapi satu sisi lainnya "eman" meninggalkan malam-malam istimewa.


2. Memanfaatkan Waktu di Perjalanan
Perjalanan mudik sering memakan waktu lama. Gunakan waktu ini dengan memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, atau mendengarkan kajian Islam agar perjalanan tetap bernilai ibadah. Dan atau memanfaatkan dalam perjalanan dengan merenungkan diri, bertaddubur, dan mengkaji Al-Qur'an, dan hal-hal lain yang bermanfaat. 

3. Iktikaf di Masjid Kampung Halaman
Banyak masjid di kampung halaman juga mengadakan iktikaf. Jika sudah sampai di rumah orang tua, cobalah tetap meluangkan waktu untuk iktikaf, meskipun hanya beberapa malam. 

4. Meningkatkan Kualitas Ibadah di Rumah
Jika tidak bisa iktikaf secara penuh, tetaplah menghidupkan malam-malam Ramadan dengan shalat malam, membaca Al-Qur'an, dan berdoa di rumah. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya pada malam hari ada suatu saat di mana seorang Muslim yang memohon kepada Allah suatu kebaikan dari urusan dunia dan akhirat, pasti akan dikabulkan. Dan itu terjadi setiap malam." (HR. Muslim).


5. Menggunakan Teknologi untuk Silaturahim
Jika tidak bisa mudik atau ingin lebih memanfaatkan malam-malam terakhir untuk iktikaf, manfaatkan teknologi untuk tetap bersilaturahim dengan keluarga melalui video call atau pesan digital.

Mudik dan iktikaf sama-sama memiliki keutamaan besar dalam Islam. Silaturahim memperkuat hubungan antar sesama manusia, sementara iktikaf memperkuat hubungan dengan Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menyeimbangkan keduanya dengan bijak agar tidak kehilangan keutamaan dari salah satu ibadah ini.

Dengan perencanaan waktu yang baik, setiap Muslim dapat menjalankan mudik sekaligus tetap mendapatkan keberkahan sepuluh malam terakhir Ramadan. Ramadan adalah waktu terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam menjaga silaturahim dengan sesama.