السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Kamis, 16 Januari 2025

Gelora Imam Jurjani pada Putranya, untuk Tholabul Ma'ali


Halimi Zuhdy

Syair indah sang ayah, Al-Syarif Al-Jurjani buat putra tercintanya, Muhammad Syamsuddin dalam meraih cita-cita tertingginya. 

Sebuah kisah inspiratif tentang Al-Syarif Al-Jurjani dan putranya Muhammad Syamsuddin menggambarkan pentingnya semangat dalam meraih cita-cita tinggi dalam hidup. Tinggi cita-cita dan keinginan untuk mengejar kemuliaan selalu menjadi fondasi utama dalam membangun keberhasilan individu maupun masyarakat. Menarik melirik semangat sang anak untuk mencontoh ayahnya. Ayahnya menjadi idola, mungkin dalam pandangannya, ayahnya bukan hanya ayah, tapi adalah seorang alim yang pantas untuk diteladani. Tapi, bagaimana keinginan putranya dan tanggapan ayahnya?
Diceritakan bahwa Muhammad Syamsuddin (838 H), putra dari al-Syarif Al-Jurjani (816 H) ingin meneladani ayahnya untuk mencapai derajat keilmuan yang tinggi (siapa yang tidak tahu, Al-Syarif Al-Jurjani?,  ulama hebat, linguis, faqih, filosof ). Suatu hari, sang ayah bertanya kepadanya, "Derajat ulama mana yang ingin kau capai?" Muhammad menjawab, "Derajatmu." Mendengar hal itu, sang ayah berkata, "Cita-citamu kurang tinggi. Aku dahulu menginginkan kedudukan seperti Ibnu Sina, hingga usahaku membawaku pada derajat seperti sekarang ini. Sedangkan dengan tujuanmu yang terbatas, engkau hanya akan mencapai derajat yang kurang sempurna. Maka, hendaknya engkau memiliki cita-cita yang tinggi dan keinginan untuk meraih kemuliaan."

وذات يوم سأل الوالد (الشريف الجرجاني) ابنه (محمد شمس الدين): (تطلبُ درجةَ أيِّ فاضلٍ من العلماءِ؟ قال: درجتَك، فقال: أنت قصيرُ الهمّةِ، أنا طلبتُ رتبةَ ابنِ سينا، فبلغَ بي السعيُ إلى هذه الدّرجة، وأنت فيما تطلبُ لا تصلُ إلا إلى درجةٍ ناقصةٍ، فعليك بعلوّ الهمّةِ وطلبِ المعالي).

Kisah ini menyiratkan pesan penting bahwa cita-cita yang besar akan mendorong seseorang untuk mencapai potensi terbaiknya. Kemudian, Al-Syarif Jurjani, yang mempunyai nama lengkap Ali bin Muhammad bin Ali Al-Syarif Al-Hasani Al-Jurjani, beliau menuliskan pesan cantik dan motivasi kuat pada sang putranya melalui syairnya; 

طريقُ المعالي عامرٌ ليَ قيّمُ        
       وقلبي بكشفِ المُعضلاتِ مُتَيَّمُ
ولي همّةٌ لا تحملُ الضّيمَ مرةً       
      عزائمُها في الخطبِ جيشٌ عرمرمُ
أريدُ من العلياءِ ما لا تَنالُه ال    
      سيوفُ المواضي والوشيجُ المقوّمُ
وأُوردُ نفسي ما يُهاب ورودُه          
           ونارُ الوغى بالدّارِعين تَضَرَّمُ

Jalan menuju kemuliaan terbentang terang untukku, dan hatiku terpaut tuk memecahkan masalah-masalah pelik

Aku memiliki gelora yang tak pernah menerima kehinaan, tekadnya bak pasukan besar yang tak terkalahkan dalam berbagai kesulitan

Aku menginginkan dari kemuliaan apa yang tak dapat diraih, oleh pedang-pedang tajam atau tombak-tombak yang kokoh

Aku membawa diriku ke medan yang ditakuti banyak orang, saat api peperangan menyala di tengah perisai yang membara

Bait-bait syair indah ini mencerminkan ambisi yang melampaui batas material, menuju puncak-puncak yang hanya dapat diraih dengan tekad yang kuat dan usaha yang tak henti, thalbul ma'ali. 

***
Kisah dan bait-bait puisi ini diriwayatkan oleh Al-Khuwansari dalam kitabnya Rawdhât Al-Jannât (jilid 5, halaman 291) dari Sayyid Ni'matullah Al-Jaza'iri (wafat tahun 1112 H). Kisah tersebut kemudian dikutip dari Rawdhât oleh Syaikh Abbas Al-Qummi dalam kitabnya Al-Kunâ wa Al-Alqâb (jilid 2, halaman 360), yang dikutip Dr. Muhammad Nouri Al-Mousawi.

TAHUN, YEAR, SANAH. Perbedaan "SANAH" & " 'AAM" dalam Bahasa Arab


Halimi zuhdy

Kata selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan para ahli bahasa, apalagi terkait dengan "taraduf" yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sinonim, walau jenis "taraduf" ini sangat banyak macamnya. 

Para ahli bahasa Arab ada yang sepakat dengan adanya sinonim, diantaranya:  Sibawaihi, Asma'i, Abu al-Hasan Rummani, Ibnu Khalawiyah, Hamza bin Hamza al-Isfahani,  Al-Fairuzabadi,  Al-Tahanawi, serta mayoritas ahli bahasa Arab modern mengakui adanya sinonim dalam bahasa Arab. Sedangkan yang tidak sepakat adanya sinonim, seperti: Tsa'lab, Ibnu Faris, Abu Hilal Al'askari, Baidhawi dan beberapa Ahli Bahasa lainnya.
Kita mengenal kata "tahun", diartikan dengan masa yang lamanya dua belas (12) bulan, juga 
masa planet berputar mengelilingi bintang selama satu putaran. Atau bilangan yang menyatakan tarikh (tanggal). Sedangkan asal usul kata "tahun" itu sendiri belum saya temukan (mungkin ada referensi tentang asal kata ini, bisa ditambahkan).

Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Year. Pertama kali tercatat sebelum tahun 900; Bahasa Inggris Pertengahan menggunakan kata "yeer", Bahasa Inggris Kuno gēar; serumpun dengan Bahasa Belanda jaar, Bahasa Jerman Jahr, Bahasa Norwegia Kuno ār, Bahasa Gotik jēr, Bahasa Yunani hôros “tahun,” hṓrā “musim, bagian dari hari, jam” (dictionarycom). 

Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa kata, di antaranya adalah "Sanah" dan "aam". 
Adanya perbedaan "Sanah" dan "Aam", adalah yang bermadzhab mengingkari sinonim, sedangkan yang bersepakat, maka tiada perbedaan keduanya. 

Tahun dalam bahasa Arab dikenal dengan kata "Aam" dan "Sanah", yaitu waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari dengan siklus penuh, dalam jangka waktu 365 hari (12 bulan), dan sudah jamak bahwa "aam" dan "sanah" yang berarti tahun adalah  dianggap kata-kata sinonim dalam bahasa Arab, tapi kemudian muncul perbedaan, ketika membincang keduanya dalam al-Qur'an. 

Dalam aspek maknanya, sebagaimana dalam "Mau'dhu' ", kata "Sanah" adalah muannast (perempuan), jamaknya (plural) adalah "sanawat", kata Sanah ini menunjukkan arti; sangat atau keras (syiddah), kelaparan (jadbi), jahat (syar), kekeringan (Qahth). Hal tersebut dapat dilihat pada kata "sanah" yang sering digunakan pada kata yang kurang baik, seperti "Negeri, tahun ini dihantam musibah" (Ashabat Albaladah Sanah). 

Kata "Aam", adalah kata tunggal dan menunjukkan maskulin (Mudzakkar),  jamaknya adalah "'Awam", dan kata ini kebalikan dari "Sanah", yang bermakna; kemakmuran (rakha'), kenyamanan (rahah), kebaikan (khair), dan kesejahteraan (rafahiyah).

Kata "Sanah" digunakan dalam bentuk dasar, seperti: umur, tanggal, jangka waktu tertentu. Sedangkan kata "Aam"  digunakan untuk merujuk pada tahun tertentu yang berhubungan dengan hal khususan (al am dirasi dll), dan kata "Aam" lebih khusus dari pada "Sanah". 

Untuk memahami perbedaan lebih luas terkait dengan "Aam" dan "Sanah", maka penulis akan rujuk beberapa pendapat yang membedakan antara keduanya, dan juga sebagai contoh atas makna keduanya, yang secara umum "Aam" untuk hal kebaikan, sedangkan "sanah" berkaitan dengan keburukan. Maka, berikut perbedaan keduanya dalam Al-Qur'an. 

Kata "Sanah" disebutkan lebih dari satu tempat dalam Al-Qur'an, ada 7 kata dengan bentuk tunggal, dan 12 kata dengan bentuk jamak. Sedangkan kata "Aam" hanya dengan bentuk tunggal dan terdapat pada 7 tempat saja, Ini menunjukkan bahwa tahun-tahun yang baik (a'wam al khair) hanya sedikit. Di mana Kata "amm" dalam ayat  mendorong orang untuk bersabar dalam kesulitan, mengingatkan manusia untuk melakukan perbuatan baik, memotivasi  dan mendapatkan pahala, dan  hal-hal baik lainnya.

Kata "Sanah" digunakan untuk merujuk pada hari-hari yang keras dan menyedihkan, sementara kata "Aam" digunakan untuk menunjukkan kelapangan hati, kebaikan dan kesenangan. Sebagaimana dalam surat Yusuf, 47 _"Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh "tahun" (sanah) (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. yaitu, Tujuh tahun penderitaan, kesedihan, kepayahan yang telah dilalui. 

Kemudian penggunaan "Aam" dalam surat Yusuf, ayat 79: "Kemudian setelah itu akan datang "tahun" (Aam) yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur". yaitu telah usai penderitaan, dan tujuh tahun berikutnya adalah keindahan dan kebahagiaan. 

Kejelian al-Qur'an dalam penggunaan kata, maka merujuk pada ulama bahasa Arab yang menolak adanya taraduf (sinonim), akan semakin terlihat, bahwa setiap kata yang hadir ke dunia memiliki artinya sendiri.

Rujukan; Al Furuq al-lughawiyah, Mawaqi'; Maudhu',  al fikr, dan lainnya.

Kata "Wawasshoina" dan "Uff" dalam Al-Qur'an


Halimi Zuhdy

Al-Qur'an selalu memilik kata yang unik dan menarik. Dalam berbuat baik pada orang tua, Al-Qur'an menggunakan beberapa kata di antaranya "ihsana" dan "husna", dan menariknya  di dahului dengan kata Wawashoina, wasiat. 

Dalam Al-Qur'an, Allah menggunakan kata "wawasshoina/ووصينا" (dan Kami wasiatkan) untuk memberikan penekanan khusus pada hakikat hubungan anak dengan orang tua. Wasiat ini tidak hanya sekadar perintah, melainkan pesan luhur yang memuat pengingat mendalam tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, terutama dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
Frasa ini menunjukkan bahwa hubungan anak dan orang tua tidak bersifat transaksional, melainkan penuh makna spiritual dan emosional. Misalnya, dalam Surah Luqman (31:14), Allah menyebutkan perihal kesulitan seorang ibu yang mengandung dan menyusui sebagai bukti pengorbanan tanpa syarat yang harus disyukuri oleh setiap anak. Dengan kata "wawashoina", Allah seolah mengingatkan bahwa wasiat tersebut adalah bentuk kasih sayang ilahi, agar manusia tidak melupakan dasar hubungan ini di tengah kesibukan duniawi.  

Selain itu, kata wawasshoina (ووصينا) menggambarkan urgensi dan kesinambungan pesan ini melintasi generasi. Ayat-ayat tersebut menanamkan bahwa hakikat wasiat kepada orang tua adalah fondasi nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, ia menjadi bagian dari akhlak yang harus tertanam dalam setiap individu Muslim. Wasiat ini diulang dalam berbagai konteks Al-Qur'an untuk menunjukkan bahwa birrul walidain (berbakti kepada orang tua) adalah landasan moral yang melengkapi keimanan kepada Allah. Namun, jarang dibahas bahwa bentuk wasiat ini juga mengandung peringatan agar seorang anak tidak hanya bersikap baik secara lahiriah, tetapi juga menjaga hati dari rasa dendam, kecewa, atau prasangka buruk terhadap orang tua, meskipun terkadang mereka bisa saja tidak sempurna. Hal ini menunjukkan kedalaman spiritual dari pesan ini, bahwa hakikat bakti bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah.

**** 
Bagaimana dengan "Uff"? 

Huruf paling ringan dalam bahasa Arab adalah huruf "Fa’" (الفاء), maka huruf ini yang digunakan al-Qur’an ketika Allah melarang manusia mendurhakai orang tua, dengan mengatakan “Wala Taqul Lahuma Uff, ولاتقل لهما أف", maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan "Uff" (dalam terjemahan bahasa Indonesia “Ah”).

Ketika saya membaca beberapa referensi (maraji’), saya menemukan bahwa huruf Hijaiyah ada yang ringan/lemah (dhaif) dan ada yang berat/kuat (qowi), dan huruf yang paling berat pengucapannya adalah huruf “Tha”! karena di dalam huruf Tha’ tidak ditemukan sifat huruf; hams (desis, samar), rakhawah (lembut, lunak, tidak ditahan), laiin dll. Sedangkan dalam huruf “Fa’” tidak terdapat sifat huruf; Jahr (terang, nyaring, jelas), Syiddah (kuat, ditahan), Ithbaq (melekatkan lidah ke langit-langit, lekat) dan lainnya. 

Ini adalah kemu’jizatan bahasa Al-Qur'an, bahwa kita dilarang untuk mengungkapkan kata “Uff, ah” kepada orang tua walau pun huruf tersebut adalah huruf yang paling paling lembut dan paling ringan, apalagi kita menggunakan dengan kata yang kasar, yang kuat dan membentak. (Sumber, Fatayat)

Perbedaan Konsep الفعل, العمل, dan الصنع dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Menilik istilah-istilah dalam Al-Qur'an tidak pernah selesai, sangat banyak kata yang dianggap mutaradifat (sinonim), tapi sebenarnya banyak perbedaan antara satu dengan lainnya, sehingga dikenal dengan furuq lughawiyah dalam istilah kajian bahasa Arab.
Dalam Al-Qur'an, terdapat istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan atau tindakan, yaitu الفعل (al-fi'l), العمل (al-'amal), dan الصنع (ash-shan'). Ketiga kata di atas memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, meskipun sering dianggap serupa. 

Pertama kata al-fi'il (الفعل) adalah istilah umum yang mencakup semua bentuk tindakan atau perbuatan, baik dilakukan dengan ilmu maupun tanpa ilmu, dengan niat atau tanpa niat. Bahkan, fi'il (الفعل) juga mencakup perbuatan yang terjadi dari makhluk selain manusia, seperti hewan atau benda mati. Misalnya, dalam firman Allah:

{ كَانُوا۟ لَا یَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرࣲ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَفۡعَلُونَ }

"Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat". [Surat Al-Ma'idah: 79]

Ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan (mungkar) yang disebutkan dapat terjadi tanpa kesadaran atau niat. الفعل menggambarkan tindakan dalam pengertian yang sangat luas.

Kedua al-'amal (العمل), kata ini lebih spesifik karena mengacu pada perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran, ilmu, dan niat. Al-amal melibatkan maksud tertentu dari pelakunya, sehingga lebih bernilai dibandingkan al-fi'il yang bisa terjadi tanpa kesadaran. Sebagai contoh, Allah berfirman:

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِّنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Kamu melihat banyak di antara mereka tolong menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sungguh, sangat buruk apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah, dan mereka akan kekal dalam azab". (QS Al-Ma'idah: 62). 

Ayat ini menunjukkan bahwa al-'amal adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, meskipun dalam konteks negatif.

Ketiga adalah al-shon'u (الصنع) adalah tindakan yang lebih spesifik lagi karena melibatkan keahlian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Al-shona' sering kali digunakan untuk menggambarkan proses penciptaan sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Sebagai contoh, Allah berfirman:

{ لَوۡلَا یَنۡهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّـٰنِیُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوۡلِهِمُ ٱلۡإِثۡمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَصۡنَعُونَ }

"Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat." [Surat Al-Ma'idah: 63]

Ayat ini menjelaskan bagaimana perbuatan itu dari ulama, atau dilakukan oleh ulama, dan menggambarkan keahlian mereka.

Memahami perbedaan ini membantu kita untuk lebih menghargai makna mendalam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan memperkuat pemahaman kita tentang bagaimana setiap kata digunakan dengan sangat tepat dalam bahasa Arab. 

Insyallah, kajian berikutnya adalah ja'ala dan khalaqa

Al-Mar'ja;
Fawaid Qur'aniyah dari Al-Mufrodat fi gharibil al-Qur'an li Ashfahani.

Asal-usul Kata Jin, Majnun, Janin, dan Jannah



Halimi Zuhdy

Bahasa Arab disinyalir sebagai bahasa tertua dan satu-satunya bahasa yang tidak punah, dari bahasa-bahasa yang pernah hidup semasa dengannya. Ia tidak hanya berumur 1400 tahun ketika Alquran diturunkan, tapi sudah ribuan tahun sebelumnya, bahkan dianggap menjadi bahasa Nabi Adam AS.
Ketika banyak bahasa Ibu sudah tergantikan, seperti; Bahasa Afrika, Asia Fasifik, Amerika Selatan, Amerika, Ethiopia dan bahasa yang berada diberbagai belahan negara atau benau lainnya hanya tinggal cerita, dan dimuseumkan. Namun, bahasa Arab, terutama yang digunakan oleh Alquran masih utuh, tidak ada perubahan, bukan kemudian kaku, namun ia terus berkembang dengan indah sesuai dengan kadar lerubahannya.

Dan bahasa Arab, bukan hanya sebagai bahasa biasa, yang tumbuh dan berkembang satu persatu sesuai kebutuhan, tapi bahasa ini (Arab) adalah bahasa yang ilmiah (saintifik), yang dapat dirunut sampai ke kata awal, dan kata paling awal, dan setiap kalimat-kalimat yang muncul dapat merujuk pada akar (judzur) kata yang sama atau kata tertentu.

Lihatlah kata seperti Din (Agama), Dain (Hutang), Dunya (Dunia), Madinah (kota), Dayyan (hakim), dan kata yang berdekatan lainnya. Kata-kata tersebut di atas, tidak hanya memiliki makna tersendiri, namun memiliki keterkaitan makna dan maksud. Insyallah, akan penulis analisis pada kajian berikutnya.

Kali ini, penulis hadirkan empat kata, “Janin (Janin), Jin (Jin), Majnun (Gila), dan Jannah (Surga)”. Kata yang lain yang memiliki satu akar adalah; Jan, Majjanan, Jani, Jinayah, Majun, junun dan lainnya.

Dalam kitab Mufrodat (kata-kata), Raghib al-Ashfahani, bahwa kata, “Jan” adalah tutup (satr) atau tertutupnya sesuatu dari panca indra, maka, kata “Jannah (Surga, kebun)” maknanya “tertutup”, ia tertutup oleh rerimbunan pohon, karena banyaknya pepohonan, bunga-bunga dan lainnya yang berada di dalamnya. Kata “Janin (Janin)” juga bermakna “tertutup”, karena ia tidak mampu dilihat oleh mata telanjang, bahkan oleh alat canggih pun, ia masih samar, walau kadang bisa ditebak.

Kata “Majnun (Gila)”, adalah orang yang pikirannya “tertutup” atau terhalang, tidak mampu berfikir dengan baik, bahkan tertutup oleh apapun dari luar dirinya dan dari dalam dirinya.

Sedangkan kata “Jin (Jin)” berasal dari “Jann” yang juga tertutup, tertutup dari pandangan manusia, ia tidak mampu dilihat oleh siapa pun, kecuali Allah tampakkan, dan ia masuk pada makhluq ghaib. Dalam kitab “Tadzhib al-Lughah lil Harwi” ia bermakna bersembunyi, menahan diri, atau menutupi dirinya dari manusia.

وجاء في تهذيب اللغة للهروي: الجِنُّ: جماعةُ ولد الجانّ، وجَمْعُهُم: الجِنَّةُ، والجانُّ، وَإِنَّمَا سُمُّوا جناً لأنّهُمُ اسْتَجنُّوا من النَّاس، فَلَا يُرَوْنَ، والجانُّ هُوَ أَبُو الجِنِّ خُلِقَ من نارٍ، ثمَّ خُلِق مِنْهُ نَسْلُه.

Dan ada yang memaknai kata-kata, “Jin, Janin, Jan, Jannah, Majnun, dan Majjnan” dengan “Hubungan dua arah, yang saling membutuhkan, saling memberi, saling bersinergi”. Misal; kata “Janin” ia memiliki dua huruf nun, “Tabaduliyyah Fa’aliyah al-ihtiwa'”.

Janin dan Ibunya memiliki hubungan yang kuat (yatabadaalani), Janin membutuhkan atau mengambil oksigen dari Ibunya, dan Janin memberi oksigen karbon. Demikian dengan kata-kata yang lain di atas. Allah ‘alam bishawab

***
Repost 2019

Semua Akan Berganti



Halimi Zuhdy

Dulu, Fulan artis viral, menghiasi layar televisi dan media sosial, kini hanya menyisakan kenangan. Ustadz Fulan yang ceramahnya membahana, kini suaranya tak lagi terdengar. Konten kreator, namanya si Fulan yang dulu mencuri perhatian dengan kreativitasnya, kini tertutup oleh gelombang nama baru. Pejabat dengan nama tenar Fulan yang pernah dielu-elukan sebagai simbol kekuasaan, kini menghilang tanpa bekas. Bahkan tren viral lainnya ada; lagu, tarian, atau jargon yang sempat membuat semua orang tergila-gila, kini terkubur oleh sesuatu yang lebih baru. 
Aha, memang dunia ini berjalan cepat, meninggalkan apa saja yang tak mampu bertahan melintasi waktu. Waktu seperti badai yang menghapus jejak di pasir pantai. Itulah ketidak abadian. Matahari tidak akan selalu bersinar terang, ia akan tenggelam di ufuk barat. Akan datang berikutnya senyum rembulan.he

Memang, daun tua yang gugur tidak perlu disesalkan, karena ia akan berganti daun muda yang lebih segar. Karena waktu terus bergulir, tidak ada yang abadi. Semuanya bisa berbalik. Demikian dengan kehidupan. “Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainannas”, Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami dipergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). QS. Ali Imran, 140.

Bagi yang sedih, tidak perlu berlama-lama menangis. Karena jarum jam terus berdetak. Menjauh dari kesedihan. Meninggalkan segala masa. Menatap masa depan yang lebih indah, adalah lebih baik. Dari pada menyesalkan sejarah keterpurukan. Yang tidak akan pernah usai.  Mengingat-ingat masa kejayaan hanyalah untuk motivasi hidup, bukan untuk sebuah alasan, yang pernah hebat. 

Memang sejarah akan selalu berubah. Tiada yang abadi dan kekal, kecuali yang Maha Kekal. Tetapi, berusaha mengabadikan kebaikan adalah sebuah anjuran. Bukan kemudian harus terulang, tetapi usaha dari sebuah kebaikan adalah kebaikan, urusan hasil hanyalah Allah yang menentukan.

“Belajar pada sejarah”, karena sejarah akan selalu berulang. Seperti sejarah Qabil dan Habil akan terus terulang setiap masa, tetapi berusaha untuk tidak menjadi Qabil adalah bagian dari ikhtiyar terbaik. Masihkan tidak percaya takdir?!.

Terus harus bagaimana?! 
Terus istiqamah membuat jejak-jejak kebaikan. Karena jejak adalah bagian dari sejarah kehidupan manusia. Saking pentingnya jejak, maka tergambar indah falsafah maqam Ibrahim. Bagaimana Nabi Ibrahim pernah membangun Ka'bah. Maqam Ibrahim. Adalah pelajaran yang luar biasa. Bahwa setiap manusia itu harus berkarya. Berkarya sesuai dengan kapasitasnya. Ada yang berkarya dengan membangun masjid, istana, Piramida, Borobudur, sekolah, pesantren, dan lainnya. Ada yang membuat jejak-jejak dengan karya lainnya, seperti menulis buku, melukis, mengukir, dan jejak-jejak lain yang terekam dadi masa ke masa. 

Media sosial. Yang pernah manusia isi di dalamnya berupa vedio, foto, tulisan, dan lainnya. Adalah jejak-jejak karya mereka. Bila mereka isinya berupa kebaikan, maka akan terekam terus sebagai kebaikan, dan demikian sebaliknya. 

Tidak hanya rekam dan jejak yang dibaca dan dilihat oleh manusia. Tetapi, ia juga akan dihisab, sekarang dan nanti di akhirat. Hari ini akan dihisab dan dipertanggungjawabkan di hadapan para pembaca, bila tidak sesuai akan dicemooh, bila sesuai dengan hati dan pikiran pembaca, ia akan dipuji dan dilike, tatapi hisab ini masih dalam kaca mata manusia. Selera manusia. Tetapi, di hadapanNya akan ada hisab menurutNya. Allahu'alam.

Hubungan antara Sumpah, Tempat dan Diutusnya Nabi dalam Surat At-Thin


Halimi Zuhdy

Beberapa tahun lalu saya mengunjungi benteng Ajloun. Benteng ini dikenal pula dengan benteng Shalahuddin Ayyubi dan Benteng Ribdhi. Berada di atas puncak bukit Bani Auf propinsi Ajloun Yordania. Benteng ini di kelilingi kebun-kebun Zaitun, dan termasuk kebun Zaitun terbesar di Yordania. Ketika berada di kebun ini, seakan-akan saya membaca surat At-Thin yang di dalamnya terdapat kalimat - At-Thin, Zaitun dan Turisinin. 
Ayat ini sangat menarik ketika dikaji dari beberapa aspek; aspek kemu’jizatan matematis, aspek kemu’jiztan Bahasa, dan aspek I’jaz Ilmi (Keilmuan, kesehatan). Saya tidak akan mengurai ketiganya, dan insyallah pada kesempatan yang lain penulis akan mengurai dengan beberapa rujukan yang lebih lengkap.

Menurut Dr. Thaha Ibrahim, Salah satu kisah terbaik tentang mukjizat ilmiah Al-Qur’an adalah tentang materi metalonides, Zat ini sangat penting untuk tubuh manusia (pengurangan kolesterol, metabolisme, kekuatan jantung, dan kontrol pernapasan). Zat ini adalah zat yang mengekskresikan tulang manusia dan hewan dalam jumlah kecil. Zat ini adalah zat protein dengan sulfur sehingga dapat dengan mudah bergabung dengan seng, besi dan fosfor.

Dari penelitian Dr Taha Ibrahim, bahwa dalam Al-Qur’an kata Tin disebutkan hanya sekali, sedangkan kata Zaitun disebutkan 6 kali dan 1 kali secara tersirat dalam Surat Al-Mu'minin, “Wa syajarotan Takhruju min Tur Saina’ Tanbutu Biduhni wa Shibghin lil Akilin,  dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. 

Sedangkan dalam I’Jaz Lughawi, Pertama dalam aspek urutannya, beberapa Mufassir menyebutkan, al-Zaitun disebutkan setelah At-Tin, karena Zaitun lebih mulia (Asyraf) dan lebih utama (afdal) dari at-Tin , sebagaimana dalam QS An-Nur; 35.

Selanjutnya adalah Tur Sinin (Tur Sina), dan hal ini disebutkan setelahnya, karena ia lebih utama dari At-Tin dan al-Zaitun. Dan mengapa kata Zaitun, dekat dengan kata Tur Sinin, tidak dengan at-Tin, dan hal ini disebutkan dalam Ayat; “dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. QS Al-Mu’minun; 20. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Zaitun.

Kemudian, setelah beberapa ayat tadi disebutkan, maka Ayat berikutnya adalah kata “Balad Amin”, yang dimaksud dengan “Balad Amin” adalah Makkah Mukarramah, tempat lahirnya pembawa risalah Rahmatan Lil Alamain, Nabi Muhammad saw. Dan ini tempat yang paling dimuliakan oleh Allah dan tempat yang paling dicintai. (Dan juga sangat menarik adalah ayat setelahnya, namun penulis hanya mengkaji Tin Zaintun, Insyallah akan dikaji setelahnya).

Dan yang menarik adalah bila “At-Tin, Zaitun, Tur Sinin dan Balad Amin” dikaji dari tempat tumbuhnya, dan terkait dengan pembawa risalah dari masing-masing tempat tersebut, menurut mufassir tempat tembuhnya Tin dan Zaitun adalah Syam (Palestina, dll) dan yang lahir dari tempat ini adalah Nabi Isa As. Sedangkan terkait dengan Tur Sina adalah Musa AS, dan berikutnya yang disebutkan Balad Amin, adalah Negeri Makkah yang di tanah sucinya lahirlah Nabi Muhammad saw. Dan urutan ini pun sangat menarik, serta peran ketiganya dalam membawa risalah Allah. [Allah a’lam bishawab]

Marja’: Lamasat Bayaniyyah lil Thaha Ibrahim, Tafsir Ibnu Kasir, Tafsir Fathul Qadir lil Syaukani, Ruh Ma’ani.

Kita Lagi Menciptakan Dunia Serba Cepat, dan Stres Juga Cepat 🤩


Halimi Zuhdy

Pagi-pagi saya ditanya oleh supir masjid Jamik, "Ustadz, kok sepertinya, dunia ini bergerak dengan cepat, dan waktu seperti sangat singkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?". 
Saya sedikit termenung. Mencoba membaca dunia yang lagi bergerak dengan cepat, walau sebenarnya kecepatannya mungkin sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, memang seakan-akan ada percepatan yang terkadang kita ikut arus, bahkan menciptakan arus atau gelombang percepatan itu. Dan kecepatan sudah jadi bagian dari gaya hidup kita hari ini. Apa-apa harus cepat, sigap, dan nggak boleh nunda-nunda. Kita sering banget denger atau bahkan ngomong sendiri kata-kata kayak "sat set," "cepat lebih bagus," atau "buruan dong." Rasanya kalau segala sesuatu nggak selesai dalam waktu singkat, jadi ada yang kurang, atau malah bikin stres.  

Misalnya, pas lagi di tempat kerja, sering banget ada yang bilang, "Kerjain secepat mungkin, ya," atau, "Gas terus, jangan nunggu-nunggu." Semua orang pengen hasil instan, tanpa mikirin apakah keputusan yang diambil udah benar-benar matang. Di sisi lain, di rumah atau dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan kayak "langsung action" atau "shortcut aja" juga sering banget keluar. Intinya, nggak ada tempat buat sesuatu yang lambat atau penuh pertimbangan.  

Bahasa gaul atau bahasa sehari-hari kita, yang sering kita pake juga mencerminkan budaya ini. Contohnya, pas ada yang lambat, kita mungkin nyeletuk, "Duh, lama banget sih, buruan dong!" Atau kalau lagi buru-buru, ada yang bilang, "Ngebut aja, biar cepet sampai." Bahkan dalam urusan kecil kayak makan, nggak jarang orang bilang, "Instan aja, yang penting kenyang."  Atau ketika teman mau shalat, "sebentar ya, saya mau shalat". Shalat kok sebentar, dan ingin cepat-cepat selesai.🤩

Ungkapan "waktu adalah uang" makin mempertegas pandangan masyarakat kalau lambat itu nggak ada tempatnya di dunia modern. Kalau ada yang terlalu lama mikir, sering dibilang, "Jangan kelamaan mikir, langsung jalan aja!" Padahal, cepat itu nggak selalu berarti baik. Ada kalanya kita perlu berhenti sejenak, mikir matang-matang, dan nggak asal grusah-grusuh. Rugu kalau lambat🤩

Siapa yang menciptakan cepat? Bukankah kita lagi ingin serba cepat?! Kira-kira kita mengejar apa? 

Buset, "lola banget", "telmi terus"! Ini kata-kata, sering juga digaungkan untuk orang yang seakan-akan berjalan lambat. Kita benar-benar lagi menciptakan kereta cepat, dokar cepat, mobil cepat, nulis cepat, baca cepat, dengar cepat, jalan cepat, kaya cepat, pangkat cepat, jabatan cepat, bahagia cepat dan cepat cepat yang lain, dan tidak ada yang ingin masuk surga dengan cepat?! Kenapa, karena harus mati dulu. Ah ini guyon🤩🥰. Sedangkan, pertemuan yang paling dirindukan oelh orang shaleh adalah kematian. 

Tapi ya, nggak bisa dipungkiri juga kalau budaya ini bikin kita sering banget lupa sama sesuatu yang butuh tenang. Yang penting cepat selesai, nggak peduli hasilnya gimana. Kalau ada orang yang lebih santai atau lambat tapi teliti, malah dibilang "lemot" atau "nggak bisa kerja cepat." Sementara yang kerja cepat tapi asal-asalan sering diapresiasi lebih karena kelihatan produktif.  Benar tidak? Wkwwkwk

Padahal, kalau kita ingat lagi hadis Rasulullah SAW, "At-ta'ajjul minasy-syaithan, wa at-ta'anni minar-Rahman" (Ketergesaan itu dari setan, sedangkan ketenangan itu dari Allah), kita bisa belajar bahwa nggak semua yang cepat itu baik. Ada nilai-nilai keberkahan yang sering hilang karena kita terlalu fokus sama kecepatan.  

Jadi, meskipun dunia ini terus menuntut kita buat bergerak cepat, kita tetap harus belajar buat nge-rem sedikit. Ada kalanya lambat itu lebih baik, selama kita teliti dan penuh pertimbangan. Yang penting bukan soal cepat atau lambat, tapi soal hasil yang berkualitas dan tetap membawa kebaikan, baik buat diri sendiri maupun orang lain. Karena kalau terus-terusan ngebut tanpa arah, ujung-ujungnya cuma capek sendiri tanpa hasil yang memuaskan.

Mari kita lihat! Dunia saat ini bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Segala aspek kehidupan, mulai dari makanan, pendidikan, transportasi, hingga pekerjaan, didesain untuk memenuhi tuntutan efisiensi waktu. Makanan cepat saji menjadi pilihan utama banyak orang karena dianggap praktis, meski sering kali mengorbankan kesehatan. Di bidang pendidikan, program fast track dirancang untuk mempercepat proses belajar dan menghasilkan lulusan dalam waktu singkat. Bahkan dalam perjalanan sehari-hari, mobil tercepat, kereta cepat, dan pesawat modern terus dikembangkan untuk memangkas waktu tempuh, meski hal ini menciptakan tekanan untuk selalu bergerak tanpa henti.  

Dampak budaya serba cepat ini jelas terlihat. Banyak orang mengalami stres, kelelahan, dan kehilangan momen untuk merenung. Kehidupan yang penuh tekanan ini mengancam keseimbangan fisik, mental, dan spiritual manusia.  

Pada akhirnya, kita harus belajar mencari keseimbangan. Kecepatan memang dibutuhkan untuk efisiensi, tetapi kecepatan yang tidak terkendali akan mengorbankan nilai-nilai esensial kehidupan. Seperti prinsip yang diajarkan Islam, kita harus mengutamakan "tepat waktu" daripada "tergesa-gesa." Dunia boleh saja terus bergerak cepat, tetapi manusia harus tetap menjaga ketenangan, kehati-hatian, dan keberkahan dalam setiap langkahnya.

Yang menarik! Mari kita perhatikan ajaran agama. 
Indah sekali ajaran Islam, dalam setiap gerak ibadahnya, ada hening, senyap, dan harmoni. Dalam gerak hidupnya ada puasa, dalam puasa terselip i'tikaf, dalam i'tikaf tersua tuma'ninah. 

Dalam Shalat, ada gerak; takbir, rukuk, sujud, i'tidal dan tahiyyat, tapi dalam geraknya terselip tuma'nina.

Dalam haji, ada gerak; thawaf, jumrah, dan sa'i, tapi ia harus berhenti (wuquf), berlanjut mabit (bermalam dan diam) di muzdalifah dan mina, semuanya harmoni gerak dan diam. Indah sekali. 

Untuk menjadi kupu-kupu yang membunga warna, terbang mengejar kumbang, ia bermula puasa, beri'tikaf dalam kepompong, bertafakkur dalam dengkur, melihat alam dalam senyap. Dari menjijikkan ketika meng-ulat, menghilang (i'tikaf) tuk bertadaabur, kemudian bertebar ke alam menemui bunga-bunga (takbir kemenangan). 

I'tikaf, tidak hanya diam dalam masjid, tapi dia berfakkur, mentuma'ninakan hati, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kefanaan harta, jabatan, dan kemeriahan dunia. 

Ia i'tikaf, diam, mensucikan mulut dengan dzikir dan Al-Qur'an, menirmalakan hati dari; iri, dengki, sombong, riya', suud dhan, dan syahwat.

***
Tidak salah Sat-Set, tapi harus mampu belajar untuk tumakninah, iktikaf, thawaf. 

Kira-kira terus berburu dengan cepat, apa yang kita cari?!

Senin, 13 Januari 2025

IKHTILAF atau TAFARRUQ?


(Berbedaan atau Perpecaha) 

Halimi Zuhdy 

"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah, tapi jangan kau....."

Pisau, jika lama tidak digunakan, akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, ia akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".

Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya. 

Para sahabat, tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata Al-Quru', pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal siyayah, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah. 

Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim. 

Ikhtilaf, bukanlah berangkat dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka, di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh. 

Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini, bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi iktilaf ummah rahmat yang selalu berdasar pada dalil, tetapi tafarruq yang tercela. 

Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri. 

Suatu kali

 "أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ  ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ  أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
 “Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”

"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah. 

permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena ikhtilaf adalah kecantikan; 

"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"

"Kayu tambah indah, jika diamplas"

Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian. 

Apa contoh perbedaan ikhtilaf dan tafarruq dalam suatu benda? Seperti "kunci pas" memiliki berbagai ukuran, masing-masing dirancang untuk menangani mur atau baut tertentu. Walaupun ukurannya berbeda, semua kunci pas memiliki tujuan yang sama, yaitu mengencangkan atau melonggarkan baut. Ini melambangkan ikhtilaf karena meskipun terdapat perbedaan dalam metode (ukuran alat), semuanya tetap bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara yang saling melengkapi.

Sedangkan "tafarruq", seperti "gelas pecah", ketika sebuah gelas pecah menjadi beberapa bagian, setiap pecahan menjadi tajam dan berbahaya. Selain itu, pecahan-pecahan tersebut kehilangan fungsinya sebagai gelas utuh yang dapat menampung air. Ini melambangkan tafarruq, di mana perpecahan tidak hanya menyebabkan kehilangan fungsi utama tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi sekitarnya.

Kembali kepada Ikhtilaf atau tafarruq?

Ikhtilaf dan tafarruq memiliki perbedaan mendasar yang penting untuk dipahami. Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat yang berlandaskan dalil-dalil syar’i dan bertujuan mencari kebenaran serta maslahat. Perbedaan ini terjadi dalam ruang lingkup yang diperbolehkan oleh syariat, seperti dalam masalah fiqih atau ijtihad ulama. Ikhtilaf memiliki ciri-ciri yang positif, seperti adanya penghormatan terhadap pendapat lain, dialog yang sehat, dan kontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam. Contohnya adalah perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, yang tidak menyebabkan permusuhan antarumat. Dengan demikian, ikhtilaf menjadi bagian dari rahmat Islam yang menunjukkan keluasan ajarannya.  

Sebaliknya, tafarruq adalah perpecahan yang merusak persatuan umat. Tafarruq sering kali terjadi karena fanatisme golongan, hawa nafsu, atau sikap keras kepala yang tidak berlandaskan dalil. Perpecahan ini berbahaya karena menimbulkan permusuhan, melemahkan kekuatan umat, dan menghilangkan keberkahan persatuan. Akibatnya, umat Islam menjadi rentan terhadap ancaman eksternal dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama. Dalam Islam, tafarruq sangat dilarang karena bertentangan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan menjaga persatuan (Ali Imran: 103). Oleh karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi toleransi dalam perbedaan dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang memicu perpecahan.

Salam ukhuwah islamiyah

Sabtu, 11 Januari 2025

Berbeda dalam Madzhab Rindu


Halimi Zuhdy

Akhir-akhir ini banyak sekali da'i atau ustadz yang muncul di televisi, radio, YouTube, Instagram, Facebook, dan media lainnya. Mereka hadir silih berganti dengan berbagai genre dan gaya yang khas. Ada yang melucu, puitis, tegas, menggunakan rumus-rumus indah, argumentatif, falsafi, lembut, informatif, memiliki hafalan yang kuat, penuh dalil, tasawuf, dan lainnya.  
Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda, bahkan ada yang independen tanpa keterikatan organisasi. Dari kampus, madrasah dan pesantren yang juga berbeda. Setiap dai mengisi ruang kosong dengan cara mereka sendiri, dengan musik dakwah yang memiliki tabuhan berbeda. 

Mereka unggul dalam bidang masing-masing dan memiliki pengikut setia. Seperti orkestra, keindahan musik terletak pada harmoni di antara alat-alatnya. Bukan pada siapa yang lebih keras atau lebih lambat, tetapi bagaimana ritme itu menyatu dalam kemistisan. Layaknya piano dengan notasi yang beragam, harmoni menghasilkan suara yang luar biasa indah. Sebaliknya, jika setiap alat musik egois dan tidak sinkron, alunan suara akan menjadi buruk dan pecah.  

Namun, sangat disayangkan dan menyedihkan ketika sebagian oknum di antara para dai saling tahdzir (peringatan keras), mengolok, menyudutkan, mencari kelemahan, atau melabeli yang lain dengan sebutan bid'ah, paling sunnah, antek liberal, fundamentalis, kafir, dan berbagai cap lainnya. Mereka sering lupa untuk bercermin pada diri sendiri.  

Belum lagi perilaku para pengikut mereka di media sosial, yang saling menyerang, membuat akun untuk mengklaim bahwa gurunya paling benar, atau menciptakan fanatisme kelompok. Ada yang bahkan membentuk "jihadis" di dunia maya, dengan tujuan menjatuhkan dai atau kelompok lain agar mereka tidak lagi populer.  

Mari kita meneladani para ulama besar yang tak hanya hebat dalam keilmuan, tetapi juga penuh penghargaan terhadap perbedaan. Mereka saling berguru, saling tawadhu’, dan tetap menjaga ukhuwah meskipun berbeda pandangan. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala', diceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah berdebat sengit dengan Yunus bin Abdil A'la. Setelah itu, Imam Syafi’i mendatanginya dan berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah kita lebih indah dan tetap menjadi saudara walaupun berbeda pendapat dalam satu masalah?”  

Banyak kisah teladan dari para imam besar yang menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan, mereka tetap menuju dermaga yang sama: Ridha Allah.  

Biarkanlah mereka yang sudah terkenal tetap terkenal, menjadi dai kondang yang menyebarkan manfaat. Kita tidak perlu mengganggu mereka, bahkan jika memungkinkan, dukunglah. Namun, jangan pernah meremehkan yang belum dikenal.  

Bagi yang belum populer, hindarilah fitnah dan upaya menjatuhkan orang lain demi meraih dukungan. Jangan pula merendahkan atau terus-menerus membully. Jika hanya bisa diam, maka lebih baik diam daripada berbicara yang menyakitkan dan menambah dosa.  

Surga dan ridha Allah bukan milik mereka yang terkenal semata. Surga adalah milik siapa saja yang tulus mencari ridha-Nya: dalam ibadahnya, pekerjaannya, dakwahnya, bahkan diamnya.  

Mari kita bersama menuju dermaga Islam yang satu, tanpa melubangi bahtera saudara kita. Indahnya dakwah adalah ketika kita saling mendukung dan menguatkan.

Kamis, 26 Desember 2024

Tanda-tanda Orang sombong


Halimi Zuhdy

Menilik Ayat Al-Qur'an, tentang dua kata "mukhtal" dan "fakhur", keduanya bermakna sombong. 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالࣰا فَخُورًا

"Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri"
Ada yang berpendapat bahwa mukhtal (مختال), adalah membanggakan dirinya, kebanyakan dengan sikap atau perilaku. Sedangkan fakhur (فخور), adalah meremehkan orang lain, menganggap orang lain lemah, tidak punya kemampuan, dan ini biasanya dengan ucapan. Maka, ada kesombongan gestur dan kesombongan ucapan. 

Tapi, terkadang sulit mendeteksi orang-orang sombong, kecuali mengenali ciri-cirinya. Apalagi di dunia maya seperti sekarang, tidak sedikit yang menganggap remeh orang lain, dan seakan-akan dirinya paling benar, maka tinggal melihat bagaimana narasi yang ia tulis dalam setiap kalimatnya. 

Beberapa kitab menuliskan beberapa tanda-tanda kesombongan seseorang (takabbur), di antara tandanya adalah; 

1. Sering memotong pembicaraan orang lain, karena menganggap pendapatnya lebih penting.  

2. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain, baik dalam penampilan maupun kecerdasan, sehingga ingin diperlakukan lebih istimewa.  

3. Enggan mengakui kesalahan dan berusaha keras membuktikan dirinya selalu benar.  

4. Meragukan kemampuan orang lain dalam menyelesaikan tugas, karena merasa hanya dirinya yang mampu melakukannya.  

5. Senang membicarakan dirinya sendiri dan ingin perhatian semua orang terfokus padanya.  

6. Menghindari berinteraksi dengan orang yang dianggap lebih rendah darinya, serta sulit berbicara positif kepada mereka.  

7. Menolak kebenaran, yaitu tidak mau menerima pendapat yang benar.  

8. Meremehkan orang lain dan memandang rendah mereka.  

9. Senang jika orang lain berdiri menghormatinya saat ia datang atau berada di hadapannya, seperti kebiasaan para tiran.  

10. Tidak berjalan di luar rumahnya, terutama di pasar, kecuali ditemani orang lain yang berjalan di belakangnya atau ia naik kendaraan sementara yang lain berjalan.  

11. Enggan mengunjungi orang lain, terutama yang setara dengannya.  

12. Merasa rendah jika duduk dekat dengan orang lain karena takut dianggap setara kedudukannya.  

13. Menghindari duduk bersama orang sakit, bukan karena takut tertular, melainkan karena merasa terganggu.  

14. Tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri.  

15. Enggan membawa barang belanjaannya sendiri ke rumah.  

16. Tidak mau memakai pakaian sederhana.  

17. Tidak mau memenuhi undangan orang miskin atau menghadiri jamuan mereka.  

18. Enggan membantu memenuhi kebutuhan kerabat atau teman di pasar, terutama dalam membeli barang-barang murah seperti sabun, pacar, atau kapur.  

19. Merasa tidak nyaman jika rekan sejawatnya lebih dulu berjalan atau duduk di depannya. 
 
20. Tidak mau menerima kebenaran dalam diskusi dengan rekan sejawat, agar orang tidak menganggap dirinya kurang berilmu.  

21. Tidak mengakui kesalahannya meskipun ia tahu dirinya salah, serta tidak berterima kasih kepada orang yang menunjukkan kebenaran atau mengarahkannya.

Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat tersebut, dan dijauhkan menjami mukhtal dan fakhur.

Selasa, 26 November 2024

"Bersegera" dalam Kebaikan! Bahasa Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Keren banget. Kalimat yang kelihatan sederhana, tapi sangat kuat. Kalau ditilik lebih dalam, sebenarnya tidak sederhana, kalimat tentang "segera" adalah pilihan istimewa, betapa urusan kebaikan harus secepat kilat. Perhatikan, dalam kebaikan menggunakan fi'il amr, perintah. Seakan-akan mendorong untuk terus, cepat, segera, lari terus lari, jangan menyerah!. 
Yuk, kita perhatikan beberapa kata yang menjadi pilihan Al-Qur'an dalam kata "segera" untuk melakukan kebaikan. Kata-kata seperti sari'u/ سارعوا (bersegeralah), sabiqu/سابقوا (berlombalah), fastabiqu/ فاستبقوا (berlomba-lombalah), dan ففروا إلى الله (maka larilah kepada Allah) dan beberapa kata dalam hadis seperti "badiru!" menjadi bukti kuat betapa Islam menghargai waktu dan urgensi amal saleh. Setiap kata ini, meskipun serupa, membawa pesan unik yang memperkaya pemahaman kita tentang pentingnya tindakan cepat dalam kehidupan sehari-hari.  

Dan uniknya, ada hubungan dengan pilihan huruf yang menjadi pilihan kata, seperti huruf "sin", dalam sari'u dan sabiqu, dan juga fastabiqu. 
Kata sariu'/سارعوا, misalnya, mengandung makna ajakan kolektif untuk segera bergerak menuju ampunan Allah, seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran: 133. Kata ini tidak hanya mengajak untuk bertindak cepat, tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan dalam menjalankan kebaikan. Dan, mengandung dorongan emosional yang kuat untuk tidak menunda-nunda. Tindakan cepat. Bukan dalam kontek kompetisi. 

Berikutnya, kata sabiqu/سابقوا dalam QS. Al-Hadid: 21 menekankan semangat kompetisi sehat. Kata ini mengajarkan umat Islam untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam mencari ridha Allah, menjadikan amal saleh sebagai ajang persaingan yang penuh keberkahan. Bagaimana jiwa digerakkan untuk berlomba-lomba mendekat padaNya. Dan ini berbeda dengan kata fastabiqu, walau dari akar yang sama. Kata ini mengajak untuk kompetitif, bukan hanya segera atau cepat, urusan kebaikan tidak hebat dan cepat sendiri, tapi bersaing. Loh, tujuannya kan sama ampunan? Apa perbedaan dengan sari'u!?. (Kajian berikutnya, insyallah).

Fastabiqu/فاستبقوا menggambarkan perlombaan dalam kebaikan, tetapi dengan fokus lebih besar pada hasil daripada persaingan. Perlombaan adalah kebersamaan, tapi bukan hanya untuk bersama tetapi untuk menemukan dan meraih kebaikan. 

Berikutnya fafirru/ففروا إلى الله dalam QS. Adz-Dzariyat: 50. Kata ini menggambarkan urgensi spiritual yang lebih mendalam, yaitu "lari" kepada Allah. ففروا berasal dari akar kata ف-ر-ر, yang berarti lari cepat, biasanya untuk menghindari bahaya atau mencari keselamatan. Dalam konteks ayat ini, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk segera meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan, lalu menuju perlindungan dan kasih sayang-Nya. Seruan ini menunjukkan bahwa kecepatan bukan hanya dalam amal fisik, tetapi juga dalam memperbaiki hubungan dengan Allah. Lari bersama?! Ia, bersama, kolektif, menuju Allah. 

Kalau kita pilah dari empat kata di atas. Makna utamanya, sari'u (bersegeralah!), sabiqu (beelombalah!), fastabiqu (berlomba-lombalah dengan usaha!), dan fafirru (larilah segera!). Pertama, kolektif dan segera, urgensi temla kompetisi. Kedua, kompetisi sehat, fokus pada mendahului. Ketiga, Fastabiqu! Berlomba secara intensif, fokus pada usaha keras. Dalam setiap seruan tersebut, terdapat nilai-nilai kebersamaan, kompetisi, kesadaran individu, usaha maksimal, dan kepasrahan kepada Allah, yang semuanya berpadu untuk membentuk kehidupan yang lebih bermakna

Ada kata unik, yaitu "badiru", tapi ini tercantum dalam hadis , yaitu بادروا, yang memiliki makna lebih personal dan mendalam. Rasulullah SAW menggunakan kata ini dalam sabdanya, "Bergegaslah melakukan amal saleh sebelum datangnya fitnah" (HR. Muslim). Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda, karena kesempatan untuk berbuat baik bisa saja hilang kapan saja. Dalam konteks ini, badiru/بادروا tidak hanya berbicara tentang kecepatan, tetapi juga tentang kesadaran individu untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. (Berikutnya, akan dikaji dengan mutaradifat yang lain, insyallah).

Hebat kok sendirian, ngajak-ngajaklah! 🤩 

Malang, 26 Nov 2024

Melirik Makna "Dzalim" dan Pembagiannya



Halimi Zuhdy

Kedzaliman itu kapan pun dan dimana pun selalu ada. Dzalim satu akar kata dengan dzulmah (kegelapan), dzulm (aniaya), midzallah (payung), adzlal (bayangan), zhulm (kezaliman), dan zhulmah (kegelapan pekat) yang memiliki makna dasar "hitam pekat." Jika kegelapan secara kiasan dapat menyebabkan kebutaan fisik karena menghalangi pandangan dan penglihatan, maka zhulm (kezaliman) mencerminkan kebutaan hati dan mata batin pelakunya.
والظلم والظلام والظلمة ذات مصدر لغوي واحد، ومعنى هذا المصدر السواد الداكن، وإذا كان الظلام يسبب عمى البصر مجازاً؛ لأنه يمنع الرؤية والإبصار، فإن (الظلم) يعكس عمى القلب والبصيرة عند فاعله.

Kata dzalim itu sangat sederhana, tapi ia sangat berat akibatnya. Mari, kita tilik arti kata "dzalim" dalam bahasa Arab. 
الظُّلمُ: الجَورُ ومُجاوزةُ الحَدِّ والمَيلُ عن القَصدِ، وأخذُ حَقِّ الغَيرِ، يُقالُ: ظَلمه يَظلِمُه ظَلْمًا وظُلمًا، ومَظلَمةً، فالظَّلمُ مَصدَرٌ حَقيقيٌّ، والظُّلمُ الاسمُ، وهو ظالمٌ وظَلومٌ. وأصلُ الظُّلمِ: وَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له

Kezaliman dalam bahasa Arab memiliki makna sebagai tindakan ketidakadilan, melampaui batas, menyimpang dari tujuan yang benar, atau mengambil hak orang lain tanpa izin. Secara esensial, kezaliman berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, seperti merampas hak orang lain atau melanggar batas yang telah ditentukan. 

Kembali pada akar kata dzalim, kegelapan. Bahwa orang yang berbuat dzalim adalah mereka yang gelap, yang tertutup, tidak menemukan jalan, tidak ada cahaya yang menyinarinya. Maka, gelap (sawad) itu tidak hanya berdampak pada kegelapan dirinya, tapi ia akan menggelapkan orang lain, atau mencelakakan orang lain. Dan makna lainnya, orang dzalim adalah mereka yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ini contohnya sangat banyak sekali. Memberikan amanah (kepemimpinan) pada orang yang tidak layak. Guru memberi nilai baik pada muridnya yang tidak memenuhi standar. Meluluskan seseorang yang tidak masuk kualifikasi, karena ada hubungan teman atau kerabat. Memberikan penghargaan kepada yang tidak berhak menerimanya. Dalam agama, misalnya berbuat maksiat dan lainnya. 

Dalam Al-Qur'an, zalim disebutkan sebanyak 289 kali. Allah SWT melarang umat-Nya untuk berbuat zalim, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali manusia tidak menyadari bahwa setiap perbuatan, baik ataupun buruk, akan tercatat dengan rapi. Di Hari Kiamat nanti, catatan amal ini akan menjadi saksi yang tak terbantahkan. Salah satu catatan penting yang akan diperiksa adalah tentang kezaliman, atau ketidakadilan yang dilakukan manusia. Ada tiga jenis kezaliman yang akan dipertanggungjawabkan kelak, masing-masing memiliki hukumnya sendiri di sisi Allah.
 
Kezaliman pertama dan paling besar adalah syirik, yakni menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Syirik tidak hanya melukai iman seorang hamba, tetapi juga merupakan penghinaan terbesar terhadap keesaan Allah. Dosa ini begitu besar hingga Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Dia tidak akan mengampuni syirik jika pelakunya tidak bertaubat. 

Jenis kezaliman kedua adalah dosa-dosa pribadi yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti meninggalkan kewajiban agama atau melakukan perbuatan maksiat. Namun, Allah yang Maha Pengasih meletakkan dosa ini di bawah kehendak-Nya. Jika Dia berkehendak, dosa tersebut dapat diampuni, asalkan hamba-Nya bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dalam firman-Nya, Allah berjanji: "Dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki." Ini adalah bentuk kasih sayang Allah, memberikan harapan bagi mereka yang berusaha memperbaiki diri.

Kezaliman terakhir adalah yang paling berat untuk diselesaikan, yaitu kezaliman terhadap orang lain. Dalam hal ini, Allah tidak akan membiarkannya begitu saja. Hak-hak orang yang dizalimi akan dikembalikan di Hari Kiamat. Rasulullah mengingatkan bahwa setiap hak akan ditunaikan, hingga orang yang tertindas mendapatkan keadilannya. Tak ada jalan lain bagi pelaku kezaliman selain meminta maaf dan memperbaiki kesalahan kepada orang yang ia zalimi selama masih di dunia.  

Kezaliman, dalam bentuk apapun, adalah beban yang harus kita hindari. Syirik kepada Allah merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dosa kepada diri sendiri menodai jiwa kita, sementara kezaliman terhadap sesama melukai hubungan sosial yang harusnya dijaga.  

Zalim suatu sisi dianggap berat, tapi sisi yang lain sadar bahwa ia telah berbuat zalim. 

Malang, 19 Nov 2024

Murid Setan!



Halimi Zuhdy

Saya tertarik apa yang disampaikan oleh Dr. M. Nuri Al-Mausuri dalam Tahqiq Al-Makhthut tentang sebuah kitab yang mengulas tentang kekesalan seorang guru pada murid atau santrinya. Bahwa, guru yang mengeluhkan muridnya sudah ada sejak dahulu. Kenakalan muridnya yang keterlaluan dan tidak karu-karuan ditulis di dalamnya. Kalau saat ini, juga tidak sedikit pelajar yang "kurang ajar" pada gurunya. Coba cek berita-berita yang sangat mengerikan, bagaimana perilaku murid pada gurunya. 
Walau ada ungkapan "tidak ada murid yang salah, hanya saja belum mendapatkan jalan menuju kebaikan", ada juga "tidak ada murid yang bodoh, hanya belum mendapatkan guru yang tepat baginya". Tapi, pada kenyataannya ada murid yang nakal, nyakitin, ngeselin, dan berperilaku buruk. Terus bagaimana?!. Lah, ini yang akan dilirik dalam tulisan ini. 

Pada prinsipnya, kata Dr. Nuri seorang murid (pelajar) yang menghormati dan memuliakan guru adalah tanda luhur seorang pelajar sejati. Pelajar yang baik seharusnya menunjukkan rasa setia dan penuh hormat terhadap gurunya (ihtiram), menjaga kehormatan gurunya (muwaqqaran), membela dari tuduhan (hafidhan li ghaibihi), serta menyembunyikan kekurangan yang mungkin ada (satiran lizallatihi). 

Keluhan para ulama terhadap murid mereka bukanlah hal baru. Sejak zaman dahulu, berbagai pengajar telah menghadapi tantangan ini. Dalam karyanya, الهدية الغريبية لطالبي حقائق التحفة الوردية, Ahmad bin Mufarraj al-Bursawi (wafat 1039 H) menyampaikan rasa kecewanya terhadap beberapa murid yang pernah dia didik. Bahkan, ia memohon perlindungan Allah dari "شيطان الطلبة"—setan yang merasuki para pelajar yang ia habiskan seluruh usianya untuk mendidik dan mengajarkan ilmu. 

Dalam kitabnya, tampaknya, keluhan beliau bukan sekadar ungkapan emosi semata, melainkan bersumber dari pengalaman pahit yang ia alami. Terlihat dari kata-katanya yang penuh kepedihan, beliau mengutuk perilaku buruk yang diterima para guru dari murid mereka, seolah-olah para murid tersebut telah mengkhianati amanah keilmuan yang diberikan kepada mereka. Baginya, seorang guru tak ubahnya seperti seorang ayah. Maka, bagi murid yang tidak menghargai gurunya, ia berharap agar Allah memberikan hukuman di dunia dan akhirat. 

Dengan penuh kerendahan hati, ia juga mengingatkan para pembaca agar memperbaiki kesalahan dalam karyanya hanya jika mereka benar-benar kompeten dalam bidang tersebut, bukan hanya sekadar mengkritik tanpa pemahaman mendalam. Seperti bait puisinya yang berkata:

 وكم من عائبٍ قولاً صحيحاً وآفتُهُ من الفهمِ السقيمِ

Betapa banyak orang yang mengkritik ucapan benar hanya karena pemahamannya yang keliru. Al-Bursawi meminta perlindungan dari "setan-setan murid" yang lebih suka mengkritik daripada memahami, yang meremehkan ilmu dan mengingkari jasa para guru. Di akhir doanya, ia memohon kepada Allah untuk segera mengabulkan doa tersebut bagi para murid yang tidak menghormati gurunya.

وأنا أعوذُ باللهِ تعالى من شياطينِ الطلبةِ الذين يُمرضونَ الصحيحَ ويصحّحونَ السقيمَ... فتأمّلْ يا أخي في طلبةِ هذا الزمانِ الذين ابتُلُوا بالحرمانِ؛ لعدمِ رعايةِ حقّ آباءِ التعليمِ سلّط اللهُ جل جلالُهُ على من أساءَ الأدبَ منهم في حقّ معلمِهِ في الدارينِ العذابَ الأليمَ دعاءَ من ذابتْ في نصحِهم مهجتُهُ، وانسكبت من مكابدةِ الشدائدِ لتعليمهم عبرتُهُ، مفتَتحاً بالصلواتِ، واسمِ شديدِ العقابِ، فلا يُتوهّم أنّه دعاءٌ غيرُ مجابٍ، بل هو –واللهِ- قطعيّ القبولِ، واللهُ في تعجيلِهِ أكرمُ مسؤولٍ
"Dan aku berlindung kepada Allah Yang Maha Tinggi dari setan-setan pelajar yang merusak hal-hal yang benar dan membenarkan hal-hal yang salah". Renungkanlah, saudaraku, tentang para pelajar di masa ini yang diuji dengan kehilangan keberkahan karena mereka tidak menghormati hak para 'ayah' pendidikan (guru). Semoga Allah Yang Maha Agung menimpakan azab yang pedih di dunia dan akhirat bagi mereka yang berbuat tidak sopan terhadap gurunya, sebagai doa dari seseorang yang jiwanya telah habis dalam menasihati mereka, dan air matanya tercurah dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dalam mengajar mereka. Ia memulai doanya dengan selawat dan menyebut nama Allah Yang Maha Keras siksaan-Nya, sehingga jangan dianggap bahwa doa itu tidak akan dikabulkan—bahkan, demi Allah, doa itu pasti diterima, dan Allah dalam mempercepatnya adalah sebaik-baiknya Yang Diminta."

Pernyataan tersebut adalah gambaran getir seorang guru yang merasa dikhianati. Baginya, doa ini tidak hanya sekadar harapan, namun merupakan peringatan agar para murid menjaga adab terhadap guru yang telah memberikan ilmu dan waktunya demi kebaikan mereka. 

Ya Allah, mudah-mudahan guru-guru kami rela atas kami 😭🤲 Dan murid-murid kami diberikan kebaikan.

****

Terus ada yang ngomong, "kok ada ya guru kayak gitu?", terus dibalas juga "kok ada ya, murid yang jahat seperti itu sama gurunya". Dan seterusnya! 

****
Maka, harus selalu sama koreksi diri, baik guru/dosen/ustadz (pengajar) dan juga siswa/mahasiswa/santri (pelajar) atas perjalanannya dalan proses belajar mengajar.

Puisi Unik, Masa Ottoman dan Mamluk



Halimi Zuhdy

Pertama kali melihat gambar lingkaran di atas, saya kira adalah jimat sejenis rajah. Saya perhatikan huruf perhuruf, kata dan kalimat, ternyata bukan. Ia adalah bait-bait indah puisi Arab masa lalu.  Ia contoh seni sastra dalam bentuk شعر الدائرة (syi'r al-dairah) atau puisi lingkaran, yang populer pada masa Dinasti Mamluk dan Ottoman (ustmaniyah). Aha, ini penting untuk dicari contoh lainnya. 
Bentuk puisi ini adalah bagian dari inovasi sastra (ibda' al-adab al-araby) di era tersebut, namun seiring waktu mulai ditinggalkan. Sayangnya, puisi-puisi seperti di atas, sering menghilang dan bahkan lenyap, bila tidak ada generasi setelahnya yang melanjutkan, baik puisi tentang politik, sosial, dan lainnya, dan juga kurangnya naqit yang peduli tentang karya seperti di atas.

Setelah dilacak di beberapa referensi saya menemukan keterangan cukup asyik. Bahwa puisi ini dimulai dari pusat lingkaran dengan huruf 'ع' dan berbunyi

عشقتكَ نورا من مقامك يسطع * وعيني غدت من فرط عشقك تدمع

Setiap baris puisi ini berakhir dengan huruf yang menjadi awal dari baris berikutnya. Misalnya, kata تدمع (tadamma') pada akhir baris pertama, dibalik menjadi عمدت (ammadat) yang menjadi awal baris kedua, dan begitu seterusnya. Teknik ini menciptakan pola yang saling terhubung, menunjukkan keindahan dan kerumitan seni puisi pada masa tersebut. Tidak hanya menekankan kesahisan kaidah arudhiyahnya, tapi juga pada setiap titik-titik lingkarannya. Asyik banget. 

Kalau ditilik lebih dalam puisi dan lingkaran dalam gambar tersebut, ada hubungannya yang sangat erat. Erat sekali, seperti dua kekasih yang sulit dilepas.wkwkwkw. Gambar lingkaran pada puisi di atas menunjukkan hubungan visual antara bentuk puisi dengan struktur kata-katanya. 

Uniknya, tampak ada konsep berulang dan tak terputus. Dan lingkaran melambangkan sesuatu yang berulang dan tak berujung, seperti aliran perasaan cinta dalam puisi ini. Setiap akhir baris puisi kembali ke awal baris berikutnya, mirip dengan bentuk lingkaran yang tidak memiliki titik akhir atau awal yang jelas. Ini menekankan sifat abadi dari cinta yang diungkapkan oleh penyair. Amazing.wkwwk. 

Juga, yang menarik adalah simetri Puisi dan struktur kata. Dalam puisi ini menggunakan teknik palindromik (mutanawib), dalam Al-Qur'an juga kita menjumpai beberapa Ayat. Apa itu mutanawib? di mana kata di akhir baris bisa dibalik atau digunakan lagi untuk memulai baris berikutnya. Dalam gambar lingkaran, setiap segmen saling berhubungan dan mengarah kembali ke pusat (huruf 'ع' di tengah), mencerminkan simetri dan keterkaitan kata dalam puisi tersebut. Aha. 

Coba perhatikan lebih dalam lagi, kita akan menemukan pusat sebagai simbol cinta (romzu al-hubb). Apa itu? Huruf Ain (ع). Huruf 'ع' di tengah lingkaran, yang merupakan awal dari kata عشق (cinta), menjadi titik pusat dari semua baris puisi. Ini melambangkan cinta sebagai pusat atau inti dari keseluruhan puisi, di mana segala sesuatu berpusat pada satu emosi yang kuat. Dahsyatiyah, kata ada sastra Arab 😁

Apakah masih ada lagi keunikannya?, ada dong. Yaitu bentuk estetika visual dan makna puitis. Penggunaan bentuk lingkaran (dairah) juga menambah nilai estetika pada puisi ini, menjadikannya tidak hanya indah secara puitis tetapi juga secara visual. Setiap baris puisi melingkari pusat lingkaran, menciptakan pola artistik yang menggambarkan perasaan cinta yang mengelilingi dan merangkul.

Khalasahnya, ia bukan hanya sekedar gambar, sekedar lingkaran atau bukan hanya sekedar bentuk pemanis, tapi gambar lingkaran di atas adalah bagian integral dari makna puisi, di mana setiap baris saling berkaitan dalam satu aliran cinta yang tak terputus. Wow. Cinta🤩🥰. Serasa muda lagi. 

Malang, 10 November 2024

***
@sorotan

Tersiksa, Kitab Dipinjam



Halimi Zuhdy

"Kikir, pelit!" Kata salah satu teman, pada teman lainnya yang kitabnya tidak boleh dipinjam. Terkadang kita menemukan dalam beberapa buku/kitab tulisan "buku ini tidak dipinjamkan", "kalau mau baca, bacalah di sini!", "jangan dibawa keluar, haram!" "Boleh fotocopy, tapi tidak boleh dibawa pulang". Dan masih banyak sekali kalimat dan kata-kata lainnya, tentang peminjaman buku pribadi atau di perpustakaan.  
Menariknya, saya menemukan dalam Tahqiq al-Makhtut fi Awaraq al-jami'ah yang diposting oleh Prof Nuri. Dalam kitab tersebut tertulis

اعارة الكتاب اشد العذاب، رحمه الله تعالى امرأ لايستعيره منا

kurang lebih maknanya "Meminjam kitab/buku adalah adzab yang paling pedih, semoga Allah merahmati orang yang tidak pinjam buku/kitab dari kami". Ini di antara tulisan yang ada pada kitab masa lalu (makhtutat, manuskrip). 

Dulu di pondok, saya pernah mengalami bab peminjaman ini, dan sedih sekali. Ingin sekali beli kitab, menabung cukup lama, bahkan tidak beli jajan dan baju dan kebutuhan lainnya. Dan, Alhamdulillah, kitab pun terbeli, senangnya luar biasa, karena punya kitab baru, setiap hari dielus-elus dan dibaca dengan asyik. Eh, beberapa hari berikutnya ada yang datang untuk meminjam kitab itu, dengan alasan ada tugas dan wajib membaca dan membawa kitab tersebut. Dan apa yang terjadi, duaaar! Kitab itu hilang, karena tertinggal di sekolah, dan tidak ketemu rimbanya. Yah! Sudahlah. 

Ternyata memang menyakitkan. Itu dulu. Sekarang?. He3. Kadang masih, terutama kitab-kitab yang langka. Tapi, kalau sudah dipinjam dan tidak kembali, karena berbagai alasan, ya sudahlah. Pasrahkan saja!. Tapi, harus selalu diingatkan sebelum dipinjam, bahwa meminjam itu punya kewajiban untuk mengembalikan, dosa bagi orang hang niat meminjam kemudian tidak mengembalikan, apalagi berniat untuk memilikinya. 

Tulisan yang ada di dalam manuskrip ini, kemungkinan banyak terjadi, terutama pada masa dahulu. Karena, betapa sulitnya dan melelahkannya untuk menghasilkan satu kitab, tidak mesin cetak, alat tulis sederhana, kertas terbatas. Eh, malah dipinjam dan tidak dikembalikan. Belum lagi, pencarian ilmu dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan antar negara dengan perjalanan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Ulama terdahulu juga melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan memperdalam ilmu mereka, sering kali menempuh ratusan hingga ribuan kilometer hanya untuk bertemu dengan ulama besar lainnya dan mendengarkan pelajaran langsung dari mereka. Proses penulisan kitab melibatkan tahapan yang panjang, termasuk pencarian dan pengumpulan referensi dari kitab-kitab terdahulu. Hal ini sangat menantang mengingat tidak adanya teknologi cetak. Sebagian ulama harus menyalin ulang referensi yang mereka temukan, atau menghafal isi kitab untuk kemudian ditulis kembali. Kesulitan lain yang mereka hadapi adalah keterbatasan sumber daya dan alat tulis, yang sering kali mahal dan sulit diperoleh. Bahkan untuk beberapa karya monumental, proses penyelesaiannya bisa memakan waktu bertahun-tahun hingga puluhan tahun.

Setiap kesulitan yang mereka lalui dalam proses ini adalah wujud dedikasi mereka terhadap ilmu dan umat. Kitab-kitab yang mereka hasilkan tidak hanya menjadi warisan keilmuan Islam, tetapi juga bukti ketulusan dan keikhlasan mereka dalam menyebarkan ilmu tanpa pamrih, hanya mengharap keridhaan Allah.

Meminjam kitab, memang tergantung orangnya dan ketersediannya. Masa kini, sudah sangat dimanjakan dengan ebook. Bisa donwdloan puluhan sampai ratusan kali. Meminjam diperpus juga sangat mudah. Walau yang sulit terkadang, tidak lagi banyak yang mau membaca buku, walau buku melimpah🤩 guyon. 

Orang yang tidak ingin kitabnya dipinjam bukan karena pelit lo?!. Tapi, karena berbagai faktor, ada yang ingin kitabnya tetap bagus, tidak hilang, tidak rusak, karena tidak semua orang mampu mengaja kitab-kitab yang dipinjam, dan alasan lainnya. Kalau mas dan perak bisa dicari, kalau kitab/buku terkadang tidak ada duanya.

***
Dan yang pernah pinjam kitab "dengan akad pinjam", ayo segera kembalikan🤩

***
Semoga bermanfaat. 

Malang, 09 Nov 2024

5 Surat yang diawali dengan Kalimat "Alhamdulillah"



Halimi Zuhdy

Tampak sederhana membaca dan mengucapkan kalimat "Al-Hamduliah", tapi setelah direnungi, seperti ada aliran air dalam seluruh tubuh yang kering. Kalimat ini sangat menyejukkan, tidak hanya di hati, tapi pada seluruh anggota tubuh dan pikiran. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. 

Ketika membaca Al-Qur'an, ada kalanya kita berhenti sejenak pada kata pertama dari sebuah surat, merasakan kedalaman makna yang tersembunyi di balik setiap hurufnya. Salah satu yang menarik adalah bagaimana beberapa surat dimulai dengan pujian kepada Allah SWT. 
Dan yang menarik, tidak semua Surat dalam Al-Qur'an dimulai dengan kalimat Al-Hamdulillah. Hanya surat-surat tertentu saja. Kalau kita telusuri ada 5 (lima) surat, yaitu; Al-Fatihah, Al-An'am, Al-Kahfi, Saba', dan Fathir. Sekilas, 5 Surat yang diawali hamdalah ini tampak sederhana. Tetapi seperti pepatah lama "di balik hal-hal sederhana, terkadang tersembunyi pelajaran besar." Wow. Asyiknya. Apa yang bisa kita telusuri lebih dalam dalam Awal surat ini?

Dalam Asrar Jumlati Alhamdulillah fil Qir'an, bahwa kalimat yang diungkapkan pertama oleh Nabi Adam adalah Alhamdulillah. Diriwayatkan bahwa ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh Adam, ia bersin, dan Allah mengajarkannya untuk mengucapkan, "Alhamdulillah," yang menjadi kata pertama yang diucapkan Adam. Dan kalimat ini juga akan menjadi akhir dari perhitungan amal manusia pada hari kiamat, menurut Madbuli Utman

(الْحَمْدُ لِلَّهِ ) هى اول جملة نطق بها ابونا أدم فقد روى ان الله لما نفخ الروح فى جسد ادم عطس فعلمه الله ان يقول (الحمد لله ) فكانت هى اول كلمة نطق بها أدم .وهى اخر جملة ينتهى بها حساب البشر يوم القيامة تصديقا لقوله تعالى “دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ .

Dan yang manarik, al-Qur'an dibagi empat bagian, dan keempatnya ditandai dengan Al-hamdulillah. "Alhamdulillah" juga menjadi pembuka Al-Qur'an dalam Surah Al-Fatihah dengan Ayat, "Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam." Dan bagian ketujuh diawali dengan Surah Al-An'am, tepat di seperempat Al-Qur'an, dengan ayat, "Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi serta menjadikan gelap dan terang." Berikutnya kalimat "Alhamdulillah" juga mengawali Surah Al-Kahfi di bagian kelima belas, tepat di tengah Al-Qur'an, dengan Ayat, "Segala puji bagi Allah yang menurunkan Kitab kepada hamba-Nya dan tidak menjadikannya bengkok."

Surah Fatir di bagian kedua puluh dua, yang berada di tiga perempat Al-Qur'an, juga dimulai dengan "Alhamdulillah," dalam ayat, "Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap, dua, tiga, dan empat." Demikian menurut Madbuli Utman. 

Uniknya, dan juga bisa kita bayangkan seorang pembaca yang pertama kali membuka mushaf Al-Qur'an, membaca surat Al-Fatihah, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam…” Tiba-tiba ia dibawa pada kesadaran bahwa seluruh alam semesta ada dalam genggaman-Nya. Dia yang menguasai segala sesuatu, yang tidak hanya menciptakan, tetapi juga merawat dan memberi rezeki. Al-Fatihah bukan hanya doa harian, tetapi juga sebuah pernyataan tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas.

Lalu ada surat Al-An'am yang membuka dengan pujian. Al-An’am menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta ini, dalam setiap ciptaan-Nya. Di sini, kita seakan diajak untuk melihat ke langit, ke lautan, ke gunung-gunung, dan semua yang ada di sekitar kita. Setiap detail di alam ini adalah tanda keberadaan-Nya, bukti nyata yang menuntun manusia untuk bersyukur. Allah tidak hanya menciptakan, tapi juga memberikan kehidupan pada setiap makhluk yang ada. Kita diajak untuk merenungi bahwa alam adalah kitab terbuka yang penuh pesan.

Belum lagi surat Al-Kafi dan dua surat lainnya yang diawali dengan hamdalah, Surat As-Sabak dan Al-Fatir. Banyak kejutan dan keindahan dalam Surat-surat yang diawali dengan Al-hamdulillah ini.  Dari lima surat ini, kita belajar bahwa setiap pujian bukan sekadar kata-kata. Setiap pujian adalah pengingat akan sifat-sifat Allah yang Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahatahu, dan Maha Pengatur. Pujian adalah bentuk syukur dan pengakuan bahwa kita ini tak lebih dari setitik kecil dalam kebesaran-Nya. Dan di tengah kesibukan dunia ini, lima surat ini seolah mengingatkan kita: berhenti sejenak, merenung, dan sadari bahwa segala sesuatu, pada akhirnya, hanya berpulang kepada-Nya.

Dan masih banyak kajian-kajian lainnya tentang awal Surat yang diawali dengan hamadalah ini. 

Allahu'alam bishawab 
Semoga bermanfaat.

Belajar dari Nabi Musa AS



Menarik sekali mentadabburi setiap Ayat-Ayat Al-Qur'an, selain lafalnya yang indah, pesan-pesannya sangat istimewa, beberapa pesan dari Tafsir As-Sa'di yang dirangkai dalam gambar berikut (fawaid qur'aniyah). "Kisah Musa AS telah Mengajariku, dari sejak lahir sampai ke Madyan". Berikut adalah isi dari setiap poin pelajaran tersebut:
1. Allah Ta'ala, jika menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyiapkan sebab-sebabnya, dan sering kali secara bertahap, bukan sekaligus.

2. Suatu umat akan tetap hina dan tertindas jika tidak mengambil haknya dan tidak berbicara tentangnya, baik dalam urusan agama maupun dunia, serta jika tidak ada pemimpin yang memimpinnya.

3. Allah Ta'ala sering kali menjadikan berbagai cobaan berat dan ujian sulit di tangan orang-orang yang tidak diinginkan, seperti yang terjadi pada ibu Musa.

4. Salah satu nikmat terbesar adalah ketika Allah menguatkan hati hamba-Nya dan meneguhkannya di saat genting dan menakutkan.

5. Seseorang harus mengetahui bahwa keputusan dan takdir Allah pasti terjadi, tanpa mengabaikan sebab-sebab yang ada, seperti yang dialami Musa.

6. Orang yang memiliki nafsu buruk akan lebih jahat dibandingkan orang-orang jahat lainnya di muka bumi.

7. Nikmat akan hilang dari hamba jika dia meninggalkan perbuatan baik dan memilih kejahatan.

8. Ketika seseorang tidak tahu apa yang harus dilakukan, maka hendaknya ia berdoa agar diberikan petunjuk yang benar, seperti doa Musa.

9. Orang yang berada dalam ketakutan harus berhati-hati dan menghindari bahaya, seperti tindakan Musa.

10. Kasih sayang dan kelembutan adalah sifat terpuji, dan seseorang sebaiknya mengenali hak-hak yang terkait.

11. Doa akan dikabulkan apabila seseorang berada dalam keadaan terdesak dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, seperti doa Musa.

12. Malu, terutama dari orang-orang yang mulia, adalah akhlak yang terpuji.

13. Kebaikan tidak boleh diabaikan karena akan menumbuhkan kebiasaan baik pada generasi berikutnya.

14. Seseorang yang baik dan jujur akan memberikan manfaat kepada orang lain, serta bersikap kuat dan amanah.

15. Di antara akhlak yang mulia adalah memperlakukan orang lain dengan baik dan tidak memberatkan mereka.

Ini adalah nilai-nilai penting yang dapat dipetik dari kisah Nabi Musa, sebagai inspirasi dan pelajaran untuk kehidupan sehari-hari.

Sabtu, 09 November 2024

Perbedaan Al-Kahfi dan Ghar dalam Bahasa Arab


Halimi Zuhdy

Sering kita mendengar kata “Ashabul Kahfi” dan juga “Gharu Hira”. Al-Kahfi dan Ghar bermakna gua. Yang pertama sering diartikan penghuni gua, yang merujuk kepada pemuda-pemuda yang lari dari penguasa kejam, dan ini banyak diceritakan dalam surat Al-kahfi (gua), sedangkan yang kedua, sering kita dengar tentang Nabi Muhammad yang berada di gua Hira’. Kalau keduanya bermakna gua, terus apa perbedaannya?. 
Aha!. dalam beberapa pendapat, di antaranya Dr. Khalid bahwa;

وأما الكهف: فهو الغار في الجبل، وهو الذي لجأ إليه هؤلاء الفتية" هذا تقريب للمعنى وإلا فإن الكهف يقال للغار الواسع، الغار إذا كان متسعاً فإنه يقال له: كهف، وإذا كان ضيقاً يقال له: غار، هذا الفرق بين الكهف والغار.

Bahwa الكهف (al-Kahf) adalah الغار (al-Ghar) di dalam gunung, itulah tempat berlindung bagi para pemuda ini' adalah penjelasan yang mendekati makna, namun sebenarnya al-Kahf adalah istilah yang digunakan untuk gua yang luas. Jika gua tersebut luas, maka disebut كهف (kahf), sedangkan jika sempit disebut غار (ghar). 

Menurut Dr. Khalid, kalau disederhanakan, Al-Kahfi (gua) itu lebih besar dan memuat banyak orang, sedangkan Al-Ghar itu sempit, atau lebih sempit yang hanya bisa diisi oleh satu dua orang dan juga sulit memasukinya. 

Dalam Multaqa ahl tafsir, al-Ghar atau al-Magharat. Kata al-Magharat adalah bentuk jamak dari مغارة (magharah), yang berarti gua-gua di gunung. Ibn Katsir menyebutkan bahwa al-Magharat adalah tempat berlindung alami yang terdapat di pegunungan, gua-gua ini lebih luas dan dalam (dibandingkan dengan almadkhal dan al-malja’), memungkinkan seseorang masuk dan berlindung di dalamnya. Gua-gua ini seringkali digunakan untuk bersembunyi atau menghindari bahaya dengan memanfaatkan bentukan alam yang sudah ada. Istilah ini menggambarkan gua yang luas dan mendalam, yang bisa menampung orang dengan nyaman.

Sedangkan Al-Kahf adalah gua besar yang terdapat di gunung, berbeda dengan al-Magharat yang lebih kecil. Al-Kahf lebih luas, sehingga bisa menampung lebih banyak orang, dan sering kali menjadi tempat perlindungan dari ancaman. Dalam Al-Quran, Surah Al-Kahf mengisahkan sekelompok pemuda, Ashabul Kahf, yang berlindung di dalam gua ini untuk menghindari ancaman terhadap keyakinan mereka. Al-Kahf adalah sebuah gua besar yang memberikan rasa aman dan perlindungan dengan daya tampung yang cukup luas untuk orang-orang.
Al-Imam Muhammad at-Tahir ibn ‘Ashur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menegaskan lagi makna al-Kahf sebagai gua besar yang menawarkan perlindungan, menggambarkan tempat berlindung yang besar dan lapang di dalam gunung.

Ini mernarik sekali, sebagaimana yang pernah penulis mengkajinya, perbedaan al-bi’r dan al-jubb, yang keduanya diterjemah dengan sumur. Dalam kisah Nabi Yusuf, yang dimasukkan atau dilemparkan di sumur (al-Jubb), dan ini menggunakan kata Jubb bukan al-ba’r. Sedangkan perbedaan antara kata Al-Kahf dan al-Ghar dalam bahasa Arab terletak pada karakteristik dan penggunaannya dalam konteks alami atau simbolis. 

Al-Kahf berarti gua besar atau rongga yang luas dalam sebuah gunung atau bukit. Kata ini menggambarkan ruang yang besar dan cukup lebar sehingga bisa menampung banyak orang atau binatang. Kata ini sering kali dikaitkan dengan tempat perlindungan yang luas dan aman. Dalam Al-Quran, al-kahf digunakan pada Surah Al-Kahf (18:10) yang merujuk pada kisah Ashabul Kahf, yaitu sekelompok pemuda yang berlindung dalam gua besar untuk menghindari penganiayaan karena keimanan mereka.

Al-Ghar berarti gua kecil atau rongga kecil dalam batu atau bukit. Gua ini biasanya berukuran lebih kecil dan sempit dibandingkan al-kahf, hanya cukup untuk beberapa orang saja. Kata ini lebih sering dikaitkan dengan gua-gua alami yang sederhana dan kecil sebagai tempat persembunyian sementara. Dalam konteks sejarah Islam, al-ghar merujuk pada Gua Tsur, tempat Rasulullah SAW dan sahabatnya, Abu Bakar, berlindung dari kejaran kaum Quraisy saat hijrah ke Madinah, dan juga gua hira’ ketika Nabi menerima wahyu pertama. 

Allahu’alam bishawab
Semoga bermanfaat

Malang, 1 Nov 2024

Menilik Kata "Khamr", dan Miras yang Menakutkan



Halimi Zuhdy

Beberapa hari ini di Jogja sangat heboh, ribuan santri turun jalan. Unjuk rasa santri tolak miras, ada banyak kalimat yang digaungkan, "Jogja waras tampa miras",  "Jogja darurat miras",  "miras diteguk santri ditusuk". Dua santri yang lagi membeli sate ditusuk oleh segerombolan orang yang lagi mabuk, dan juga pemukulan terhadap santri lainnya. (Berita, CNN)
Demo besar-besaran itu menolak keras beredarnya miras di Yogjakarta, yang dijual bebas. Sebenarnya, tidak hanya di Jogja, di beberapa tempat sudah mulai tidak sembunyi-sembunyi lagi. Kita sepakat tak ada tempat untuk miras dijual belikan secara bebas di bumi indah ini, Indonesia. Minuman yang memabukkan ini, walau ada manfaatnya tetapi mudharatnya lebih besar.  

Tayyib. Mari kita sedikit mengkaji makna “Khamr” secara mu’jami. Khamr dalam Kamus Ma’ani dari -khamara yakhmaru khamran- yang berarti tutup, menutupi, atau Satru syai’i menutup sesuatu. Seperti kata khamarat al-mar’atu, perempuan itu menutupi kepalanya, menutupinya dengan kerudung;
خمَرَت المرأةُ :رأسَها غطّته وسترته بالخِمار

Juga bermakna, menyimpan, tirai, dan beberapa arti lainnya, dan mengarah pada makna menutupi. Ada kata yang sejenis, dari derivasi yang sama Kha- ma- ra adalah kata khimar (خمار) yang bermakna kerudung, kain yang menutupi rambut dan kepala perempuan. Asfahani mengurai makna lebih dari ini, dengan mengatakan khamr adalah menutupi saraf seseorang. Dari berbagai penjelasan ulama, bahwa khamr adalah sesuatu yang menutupi akal pikiran seseorang
 
Sedangkan Khamr secara Istilah adalah segala sesuatu yang dapat memabukkan, apakah dia terbuat dari anggur atau yang lainnya. Walau pada awalnya hanya merujuk pada perasan kurma dan anggur. 

الخمر اصطلاحًا: اسم جنس لكل ما يسكر، والخمر لغة: " كل ما خَامَرَ العقل، أي غطاه من أي مادة كان" . الخمر مادة سائلة مسكرة يتناولها الفرد لغايات النسيان مثلًا، والخمر ما خامر العقل أي خالطه وغطاه، ومن حيث الشرع عبارة عن كل شراب مُسكِر تسمّى " خمرة "

Kalau khimar (kerudung) itu menutupi kepala dan rambut, maka khamr itu menutupi akal, sehingga orang yang akalnya tertutup, maka dapat melakukan apapun tanpa ia sadari, dan kebanyakan mengarah pada perbuatan yang keji. 

Sekelumit catatan khamr secara mu’jami, terkait dengan masalah khamr ini, ulama panjang lebar membahasnya, dari bahannya, produksinya, dan terkait dengan hukumnya. 

Saya tidak banyak berkenalan dengan pemabuk, hanya yang sering terngiang di telinga saya adalah cerita Syekh Barsiso, cerita yang saya dengar sejak duduk di sekolah madrasah Ibtidaiyah, cerita seorang alim yang memiliki santri sakti dan semuanya bisa terbang. 

Syekh ini tidak pernah melakukan dosa, hanya saja tidak kuat berpuasa, tetapi miras (khamr) dapat merubah semuanya. Bermula mabuk, nafsu yang kemudian bangkit, wanita yang dititipkan kepadanya tidak luput dari permainannya, zina pun terjadi, karena takut ketahuan, wanita tadi dibunuh, singkat cerita syekh ini pun berakhir di tiang eksekusi karena perbuatannya, dan meninggal dalam keadaan kafir.

Dari cerita di atas, miras tidak berhenti hanya dengan menyeruput dan menegak minuman, tetapi menjadi sumber dari berbagai keburukan lainnya. 

Allah ‘alam bishawab

Semoga Bermanfaat