Halimi Zuhdy
Mungkin pertanyaan di atas, dianggap pertanyaan receh. Semua sudah kenal dan tahu. Tapi, ketika ditanya, tidak sedikit yang mengercitkan dahi alias tidak paham. Sudah dicoba ditanyakan pada beberapa orang, juga tidak tahu, mungkin kebetulan saja.wkwkw.
Bagi pelajar bahasa Arab, istilah fi’il madhi (ماضى), fi’il mudhari’ (مضارع), dan fi’il amar (الأمر) adalah makanan sehari-hari. Dan biasanya, fi’il madhi dan fi’il amar tidak banyak dipertanyakan. Fi’il madhi artinya lampau—sudah jelas: menunjukkan sesuatu yang sudah terjadi. Fi’il amar artinya perintah—juga terang benderang: digunakan untuk menyuruh.
Namun, bagaimana dengan fi’il mudhari’?
Kenapa tidak dinamakan saja “fi’il hadir” atau “fi’il masa kini”? Bukankah fungsinya memang untuk menunjukkan sesuatu yang sedang atau akan terjadi? Lah. Mereka baru sadar, ketika ditanyakanengapa tidak hal (sekarang) atau mustaqbal (akan datang), atau digabung fi'il فعل الحال والمستقبل.wkwwk. ini hanya ngarang saja. Siapa tahu disetujui.
Ternyata, jawabannya tidak sesederhana itu. Dalam bahasa Arab, kata "mudhari’" berasal dari akar kata "ض ر ع" yang bermakna "menyerupai atau mirip". Maka, fi’il mudhari’ adalah fi’il yang menyerupai sesuatu (المشابهة). Tapi menyerupai apa? Jawabannya bukan fi’il lain, melainkan isim, lebih tepatnya lagi: isim fa’il (kata benda pelaku). Loh kok bisa, fi'il menyerupai isi. (Sambil merunduk dan senyum kecut).he.
Coba kita bandingkan:
يكتب (ia menulis) → كاتب (penulis)
يجاهد (ia berjihad) → مجاهد (pejuang)
يستعطف (ia memohon belas kasih) → مستعطف (pemohon belas kasih)
Bentuk fi’il mudhari’ dalam contoh di atas secara struktur sangat mirip dengan bentuk isim fa’il. Jumlah hurufnya sama, letak harakat dan sukunnya seirama, bahkan fungsinya pun serupa: menunjukkan keadaan yang sedang atau akan berlangsung.
Lebih dari itu, fi’il mudhari’ dalam kaidah nahwu bersifat "mu’rab"—bisa beubah-ubah sesuai posisi dalam kalimat, sama seperti isim. Bandingkan dengan fi’il madhi dan fi’il amar yang sifatnya mabni—bentuknya tetap dan tidak berubah.
Jadi, ketika para ulama bahasa menamai fi’il mudhari’ bukan dengan nama waktu atau fungsi, melainkan berdasarkan "kemiripan bentuknya dengan isim", mereka sedang menunjukkan bahwa dalam bahasa Arab, penamaan tidak selalu didasarkan pada apa yang dilakukan, tapi bisa juga pada bagaimana bentuknya terlihat.
Di sinilah menariknya: Fi’il madhi dinamai berdasarkan waktu (telah terjadi). Fi’il amar dinamai berdasarkan fungsi(memerintah). Fi’il mudhari’ dinamai berdasarkan penampilan (menyerupai isim)
Bahasa Arab ternyata tidak hanya logis, tapi juga estetik. Ia tidak cuma bicara tentang apa dan kapan, tapi juga tentang bagaimana sesuatu itu terlihat dan berperilaku. Dan fi’il mudhari’ adalah contoh bahwa sebuah nama dalam bahasa bisa menyimpan filosofi yang dalam. Wkwwkkw. Pasti ada yanb komen, kok bisa tertarik dengan bahasa orang lain.wkwwkw. Kok tidak bangga dengan bahasa Indoensia. Et, jangan ngarang lo ya!
Maka, tak berlebihan jika kita katakan: nama “fi’il mudhari’” adalah hasil pemikiran yang tidak asal-asalan, melainkan lahir dari perenungan yang mengakar pada kecintaan terhadap struktur bahasa dan keindahannya. Lah, apakah ini ilmiah? Allahua'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar