السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label Shalat Jamaah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shalat Jamaah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Agustus 2025

Masjid Butuh Kita, atau Kita Butuh Masjid?


Halimi Zuhdy

Ada pertanyaan menarik dari salah satu jamaah, "Ust, siapa yang wajib memakmurkan masjid?" Saya jawab spontan, "Kita semua yang masih hidup, masjid itu milik umat, bukan milik siapa pun, kalau toh ada pengurus masjid, mereka adalah kepanjangan tangan umat, tapi umat semua yang wajib memakmurkan!". (Baca tulisan sebelumnya, makna memakmurkan masjid). 
Kalau kita tilik, masjid tidak butuh siapa pun. Tapi, kita yang butuh masjid. Maka, hadis man bana masjidan (barang siapa yang membangun masjid), membangun adalah kebutuhan umat terhadap masjid, bukan masjid yang butuh umat. Karena dibangun atau tidak, masjid tidak akan pernah rugi. Masjid adalah jejak. Mungkin mirip dengan sedekah. Yang butuh terhadap sedekah adalah orang yang bersedekah, bukan yang diberi sedekah? Kalau mau jujur, maka yang harus berterima kasih adalah yang bersedekah, karena masih ada orang yang menerima sedekahnya. Dan ia mendapatkan pahala dari apa yang telah diberikan.  

Dalam diamnya, masjid tidak pernah menuntut siapa pun untuk datang. Ia tak memanggil dengan suara keras, tak memaksa siapa pun membuka pintunya. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Masjid adalah tempat yang tidak pernah butuh kita, tapi kita yang begitu sangat membutuhkannya. Kalau ada muadzin, ia tidak pernah memaksa untuk datang, ia hanya mengingatkan. Tapi yang butuh datang adalah kita. Tapi apakah semuanya mendatanginya? 

Sering kali kita merasa telah berjasa ketika mengisi saf-safnya, menyumbang untuk pembangunannya, atau meramaikannya saat Ramadan tiba. Padahal, hakikatnya, semua itu bukan bentuk kontribusi kita kepada masjid, tapi karunia besar dari Allah karena telah dipilih untuk mendekat ke rumah-Nya. Berterima kasih kepada Allah (baitullah), karena telah ada kesempatan untuk memakmurkannya. 

Masjid tak pernah kehilangan kemuliaannya meski kosong. Tapi hati kita akan gersang jika terlalu lama jauh darinya. Ia adalah tempat turunnya ketenangan, tempat jiwa bersimpuh mengakui kelemahan, tempat terindah untuk menumpahkan air mata dalam sujud yang tak terlihat siapa-siapa. Maka masjid tidak butuh hiasan, tapi kita yang butuh ada hiasan di masjid. Bukan karena masjid tindah, tapi mungkin kita masih butuh ukiran lain di dinding masjid. 

Masjid adalah rumah yang pintunya selalu terbuka tanpa syarat. Tak peduli siapa kita, seburuk apa masa lalu kita, seberat apa dosa kita selama datang dengan niat mendekat, masjid akan menyambut tanpa penolakan. 

Ketika kita meninggalkan masjid, ia tetap berdiri kokoh. Tapi ketika kita menjauhinya, kita perlahan runtuh. Runtuh dalam sunyi yang tidak disadari. Runtuh dalam kesibukan yang menjauhkan kita dari ketenangan hakiki. Ada masjid yang roboh lo, kalau tidak dirawat? Benar. Tapi robohnya masjid, karena kita sudah tidak peduli rumah kita (hati).

Al masjidu ussisa 'ala taqwa. Membangun masjid, bukan membangun dengan bata yang kuat, tapi dengan takwa. Itu pertama kali. Apa artinya? Sekokoh-kokohnya masjid, kalau yang memakmurkan tidak ada, ia sebenarnya roboh. Apalagi membangun karena riya dan kesombongan, atau membangun karena untuk pamer bukan dengan takwa, apalagi membangunnya untuk memecah belah persatuan. Maka selain masjidnya yang roboh yang membangunnya juga roboh. Maka, masjid dhirar dirobohkan oleh Nabi. 

Allahu'alam bishawab

Sabtu, 09 November 2024

Kreatifitas Takmir Masjid



Halimi Zuhdy

Maraknya berbagai aktifitas di masjid patut disyukuri. Karena masjid itu harus dimakmurkan, bukan dikeramatkan. Masjid itu harus diramaikan, bukan disenyapkan. Masjid itu dibuka lebar-lebar, bukan ditutup rapat-rapat. Masjid dibuatkan tempat yang menyenangkan, bukan tempat yang menyeramkan. 

Dalam panggilan adzan ada lafadl "Hayya Alas Sholah" mari kita shalat, dan ada "Hayya 'Alal Falah" mari kita menjadi orang yang beruntung. Aha. Masjid bukan hanya tempat shalat saja, tapi tempat keberhasilan, tempat prestasi, dan tempat keberuntungan. Tapi, shalat dulu, baru beruntung.dong.
Toyyib. Kreatifitas takmir atau pengurus masjid itu penting sekali. Untuk apa?, agar banyak orang yang datang ke masjid. Loh, bukannya mereka yang datang ke masjid itu yang dapat hidayah dari Allah?. Benar, tapi untuk menuju hidayah kan banyak jalannya, siapa tahu gegara program jumat berkah dengan berbagai menu makanan, ada orang yang tertarik shalat jum'at dan mendengarkan khutbah yang kemudian tersentuh hatinya, sehingga kemudian rajin berjamaah shalat. 

Dan lagi, ada yang menghadirkan shalat jamaah dengan berbagai door prize, walau para jamaah sudah banyak yang kaya, tapi namanya hadiah masih saja banyak yang senang dan bahagia. Ada juga, ngopi di masjid. Sebenarnya bukan ngopinya, tetapi ia dekat dengan masjid, kemudian hatinya tersentuh dengan sayup-sayup kajian dan ngaji di masjid. Ada pula, wifi gratis, gorengan gratis, beras gratis, air gratis, toilet gratis, tempat bermalam, kajian gratis, belajar tafsir, belajar fikih dan berbagai kegiatan lainnya. 

Adzan itu berderivasi dari udzn (telinga), adzan (pemberitahuan). Adzan adalah panggilan shalat untuk di dengar telinga. Dan kewajiban takmir dengan adanya adzan sudah selesai, tapi apakah adanya panggilan semua yang mendengar pada datang?, ya tidak. Dengan berbagai alasannya. Maka, butuh kreatifitas takmir masjid. Karena orang ke masjid bukan karena dekatnya dengan masjid, tapi adalah panggilan hati dan iman.  Sebagaimana kisah Sya'ban yang ingin rumahnya jauh dari masjid, bahkan ia menyesal tempatnya masih kurang jauh, walau jaraknya dari masjid sudah sangat jauh sekali. Tapi, ingin lebih jauh lagi. 

Kreatifitas takmir butuh didiskusikan. Bukan diperdebatkan. Dan yang paling penting dilakukan. Dan tugas memakmurkan masjid bukan semata urusan takmir, tapi semua orang yang merasa memiliki masjid. Maka, kreatifitas tidak harus datang dari takmir masjid, tapi juga dari jamaah masjid. 

Dalam tafsir Al Muharrar Al Wajiz karya Ibnu Athiyah, bahwa "memakmurkan masjid" memiliki makna yang dalam dan penting dalam Islam. Ayat tersebut menegaskan bahwa yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ayat ini menyiratkan perintah kepada orang-orang beriman untuk memakmurkan masjid. 

Memakmurkan dalam konteks Ayat di atas, menurut Abi Hayyan dalam tafsir "Al Bahrul Muhith" memiliki beberapa penafsiran berdasarkan perilaku dan tindakan tertentu. Secara umum, "memakmurkan" di sini merujuk pada tindakan masuk dan berdiam di dalam masjid, sering mengunjunginya, memperbaiki bangunannya, memperbaiki yang rusak, melakukan ibadah di dalamnya, dan berkeliling di sekitarnya.

Menjadi takmir harus banyak mencari ide🤩, ya. Siapa takmir?, adalah orang yang punya keinginan mengurus masjid dan memakmurkan masjid. Bukan hanya mereka yang tercantum dalam nama-nama sturktur yang terpampang di papan pengurus masjid.🥰

***
Semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang memakmurkan masjid. 

Malang, 24 Okt 2024

Selasa, 06 Agustus 2024

Mengapa Celaka Orang-orang yang Shalat?,


(Perbedaan An dan Fi Shalatihim)

Halimi Zuhdy

Menilik Ayat tentang "Wailun Lil Mushallin, celaka bagi orang yang shalat". Serasa hati dan pikiran ini diliputi rasa takut dan khawatir. Betapa banyak rakaat yang telah dilakukan, dan tidak pernah tahu, apakah shalat itu diterima atau tidak?!. Tapi, kemudian Ayat tersebut dilanjutkan dengan "Alladzina hum 'an shalatihim sahun,  (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya". Kata sahun (lalai), apakah mereka yang lupa atau melupakan, dan atau mereka tidak menyadari terhadap apa yang mereka lakukan dalam shalat, dan mereka tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, atau mereka yang tidak khusyuk, atau mereka tidak melaksanakan shalat?
Menarik apa yang disampaikan Atha' ibn Yasar yang dikutip oleh Ibnu Athiyah dalam tafsir Al-Muharar Al-Wajiz;
وقالَ عَطاءُ بْنُ يَسارٍ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي قالَ "عن صَلاتِهِمْ"، ولَمْ يَقُلْ: "فِي صَلاتِهِمْ"
Alhamdulillah, dalam Ayat menggunakan kata A'n Shalatihim (عن صلاتهم) tidak menggunakan kata Fi shalatihim ( في صلاتهم). 

Ternyata konsekuensi "huruf" setelah alladzinahum dan sebelum shalatihim, sangat memberikan warna dalam banyak kajian tafsir.  Mari kita perhatikan, salah satu perbedaannya antara " 'an" dan "fi"? Huruf "An, عن" kalau kita maknai dalam bahasa Indonesia adalah "عَنْ : dari, mulai, jauh dari, keluar dari, karena, didorong oleh, termotivasi oleh, sekitar, di, di atas, mengenai, tentang, berkenaan dengan, untuk atas nama dan makna lainnya. Sedangkan "Fi,في" bermakna: di, dalam, di dalam, tentang, selama, di antara, dan lainnya. 

Dalam Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari, perbedaan keduanya adalah; makna "عن" adalah bahwa mereka lalai dari shalat itu sendiri, seperti perbuatan orang munafik atau orang fasik yang lalai mengerjakan shalat. Sedangkan makna "في" adalah kelalaian yang dialami dalam shalat itu sendiri, seperti godaan setan atau bisikan dalam hati yang hampir tidak ada orang yang selamat darinya.

Dalam Al-Maudhu' juga membedakan antara An dan Fi, para ahli fikih membedakan antara lalai "dalam" salat dan lalai "dari" salat, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Lalai dalam salat sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kurangnya kekhusyukan dalam salat. Dalam  lalai "dalam" salat, seorang muslim berusaha untuk melaksanakan salat, tetapi mungkin kehilangan konsentrasi tanpa sengaja atau tanpa disadari. Berbeda dengan mereka yang lalai "dari" salat, yang dicela oleh Allah - "Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya," (Al-Ma'un: 4-5). Mereka dengan sengaja dan sadar meninggalkan salat (tarkus sholah).

Tapi, terkait dengan perbedaan di atas, ada ulama yang mengatakan bahwa sahun (lalai, lupa), yang kemudian celaka, adalah mereka yang tidak sadar dalam shalatnya. Kalau yang meninggalkan shalat, mereka adalah kafir. 
Dalam tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz, bahwa surat Al-Ma'un turun mengenai beberapa orang yang berada dalam kondisi tertekan di Makkah, yang tidak teguh dalam Islam, sehingga mereka tergoda dan menjadi lemah. Mereka dikenal karena sifat kasar, kejam, dan keras terhadap orang miskin. Mungkin di antara mereka ada yang kadang-kadang shalat bersama kaum muslimin karena tekanan dan kebingungan mereka. Maka Allah Ta'ala berfirman tentang mereka: "Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." 

Masih dalam Al-Wajiz, bahwa Ibn Juraij berkata bahwa Abu Sufyan setiap minggu menyembelih unta, kemudian datang seorang yatim dan dipukulnya dengan tongkat, lalu turunlah surat ini mengenai dirinya. Sa'ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه berkata: "Aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, beliau menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya'." Dan adalah mereka menunda shalat dengan sengaja dan lalai. Mujahid juga berpendapat demikian. Qatadah berkata, "Lalai" artinya orang-orang yang meninggalkan shalat atau orang-orang yang lalai yang tidak peduli apakah mereka shalat atau tidak. 

Dan terkait dengan "An" dan "Fi", juga tentang kata "sahun, lalai" masih banyak perbedaan ulama, semoga kita tidak masuk katagori Sahun (lalai,lupa) baik dari Fi (dalam) dan juga An (dari). Amin.

Malang, 28 Juli 2024

Minggu, 17 September 2023

Anak-Anak Ramai di Masjid, Dilarang atau Dibiarkan!


Halimi Zuhdy

Masjid yang terletak di tengah perkampungan atau perumahan, dengan riuh ramai anak-anak menjadi permasalahan tersendiri. Keluhan dari jamaah semakin sering terdengar tentang keramaian anak-anak selama shalat jamaah. Tidak sedikit jamaah yang merasa terganggu oleh tingkah laku anak-anak yang kadang kala tidak sesuai dengan keinginan jamaah, mereka ke masjid ingin shalat dengan damai, tenang dan tentram. Namun, mereka menemukan anak-anak yang riuh, ramai, bising, lari-lari, berteriak bahkan terkadang gelut-gelutan ketika shalat jamaah. 
"Sudahlah, anak-anak itu tidak usah disuruh atau diajak ke masjid, buat ramai saja!, saya tidak bisa khusyuk shalat." Teriak salah satu jamaah yang merasa terganggu. 

"Gimana orang tuanya, kok membiarkan anak-anaknya main, tidak dijaga!" Tegur Agus, karena ada orang tua yang cuek, meskipun anaknya lari-lari dan menggangu jamaah. 

"Tidak apa-apa bawa anak, asalkan dijaga dan diperhatikan, tidak dibiarkan begitu saja, ini masjid bukan kebun binatang!". Jawab Sistomo.

Belum lagi jamaah yang terus mengeluh di grup WA Jamaah, "Wes angil dikandani (sulit diberitahu) bolak-balik sudah saya lapor,.tapi tetap saja, anak-anak ramai, jadi males ke masjid!".

Toyyib. Sebenarnya hal ini sangatlah alami di berbagai tempat, dan di setiap masa hal di atas menjadi perhatian dan perbincangan di berbagai masjid, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Selama, masih ada masjid dan anak-anak yang lahir di muka bumi, selama itu pula perbincangan ini ada. Tapi, masalahnya, apakah anak-anak dibiarkan ramai di masjid?, atau dibiarkan masjid sepi dari anak-anak?, atau anak-anak dibawa ke masjid tapi tidak membuat gaduh? Atau bagaimana?!. Pasti semua orang ingin yang nomor tiga, membawa ke masjid dan tidak gaduh, lah ini masalahnya, namanya anak-anak pasti gaduh dan suka bermain, walau ada yang diam dan pendiam, tapi kalau sudah berkumpul pasti mereka ramai. 

Pertama, hukum asalnya anak-anak dibawa ke masjid itu diperbolehkan, karena Nabi Muhammad saw pernah membawa Hasan, Husen dan juga Umamah. "Aku melihat Rasulullah SAW menggendong Umamah bintu al Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali menggendong Umamah” (HR. Bukhari no. 516). Hadis sangat jelas memperlihatkan kepada kita, betapa Nabi mencintai anak-anak, dan beliau tidak melarang anak-anak, termasuk cucu beliau untuk datang ke masjid, dan berikutnya, beliau bertanggung jawab terhadap apa yang beliau bawa (didampingi, digendong, dijaga). 

Nah, sudah jelas kan. Tidak ada larangan membawa anak ke masjid, tapi masalahnya, anak-anak ini ramai?!. Sekarang mencari solusi, bukan memperdebatkan boleh dan tidaknya membawa anak. Nah, bagaimana solusinya, ayo kita diskusikan. 

Anak-anak adalah harta berharga bagi umat Islam dan generasi berikutnya, mereka investasi yang paling luar biasa dibandingkan lainnya. Mereka adalah generasi penerus agama, penerus sujud kita. Bahkan, kehadiran mereka di masjid adalah anugerah yang tak ternilai. Namun, masalah timbul ketika harapan akan suasana khusyuk dan hening di masjid tidak selalu terwujud.

Kita semua, di masjid mana pun adalah sebagai jamaah dalam masjid kita masing-masing, dan kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan solusi yang bijaksana. Semua jamaah, bukan hanya orang tua, harus terlibat dalam mendidik anak-anak dan mengawasi mereka selama sholat jamaah. Pendekatan ini harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan pengertian. 

Bila setiap jamaah, ketika di masjid merasa semua anak-anak yang ada di dalam masjid sebegai anak generasi sujudnya, maka selesai persoalan ramainya masjid, mengapa?. Karena perhatiannya sama. Menegur dengan baik, menjaga dengan penuh kasih sayang, dan mengajak mereka untuk berada di sebelahnya. Shalat bersama. Setelah shalat dikasih tahu, bukan dimarahi, apalagi dipukul. Selain anak betah di masjid, mereka akan merasa masjid adalah rumah kedua.

Pendidikan tentang tata tertib di masjid harus menjadi prioritas. Anak-anak perlu diajarkan arti pentingnya mengisi shaf dengan baik, serta bagaimana berperilaku dengan baik di dalam masjid. Bahkan, membuat perjanjian bersama anak-anak sebelum berangkat ke masjid dapat membantu mereka memahami betapa pentingnya berperilaku yang baik di tempat suci ini.

Selain itu, menjaga masjid adalah tanggung jawab bersama. Ini bukan hanya urusan takmir masjid. Kebersihan, ketertiban, dan keamanan harus menjadi perhatian setiap individu/jamaah. Ini akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak dan jamaah lainnya.

Jadi, kita perlu memahami bahwa masjid adalah tempat ibadah, tetapi juga adalah rumah bagi kita semua. Anak-anak yang hadir di masjid adalah anak-anak kita bersama, masa depan kita. Menghargai kehadiran mereka dengan cara yang positif, memberikan contoh yang baik, dan mendidik mereka tentang nilai-nilai agama adalah langkah-langkah penting menuju masjid yang lebih khusyuk dan ramah terhadap anak-anak. Ini adalah perjalanan bersama kita, menjaga tempat suci ini sebagai tempat yang sakral dan penuh cinta.

Dan bagi orang tua yang mempunyai anak kecil, dapat mengkondisikan, tidak membiarkan mereka mengganggu jamaah, tetapi dinasehati, diperingati, dan ajak dialog. Kalau hukum asalnya boleh, tapi akan menjadi haram membawa anak-anak (terutama yang belum tamyiz), apabila  membawa najis, dan hanya menjadikan masjid sebagai tempat bermain, yang menimbulkan kegaduhan, keramaian, riuh, dan menjadi tidak wajar. Maka, di antara solusi, agar kehadiran mereka tidak menjadikan berbalik dari hukum asal, hendaknya setiap jamaah mempunyai kepedulian terhadap anak-anak, dengan menjaga mereka, memperhatikan, dan mendampingi, terutama orang tuanya yang punya tanggung jawab lebih. 

Mudah-mudahan, anak-anak kita, menjadi generasi sujud kita. Tidak semua anak-anak senang ke masjid, dan apabila mereka sudah senang ke masjid, kita tidak menjadikan mereka benci masjid gegara amarah kita pada mereka, bangkan menganggap mereka sebagai pengganggu kekhusyuan.

Malang, 17 September 2023

Senin, 17 Oktober 2022

Mendirikan Shalat atau Melaksanakan Shalat

Halimi Zuhdy

Menarik apa yang disampaikan seorang syekh dalam vedio berikut. Beliau menyampaikan perbedaan antara  iqamah (اقامة) dan ada' (اداء) dalam shalat. Mendirikan shalat (اقامة الصلاة) dan menunaikan shalat (اداء الصلاة). Kalau melaksanakan atau menunaikan shalat itu di dalam masjid (atau di rumah), sedangkan mendirikan shalat itu di luar masjid. 
Maka, tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat, tapi tidak mendirikan shalat. Atau sederhananya, banyak orang melaksanakan shalat tapi tidak mendirikan shalat. Gerakan dan ucapan ketika shalat, beliau memaknai dengan "melaksanakan" shalat. Sedangkan di luar shalat, adalah "mendirikan" atau membuktikan ucapan-ucapan yang ada dalam shalat.

Shalat hanyalah rutinitas belaka, tapi tidak memberikan dampak kepada dirinya. Mengapa? Karena ia, hanya melaksanakan shalat, bukan mendirikan shalat (اقامة الصلاة). 

Ajaran shalat, seakan-akan untuk Allah saja, tapi  sebenarnya shalat itu untuk diri orang yang shalat, ( mushalli), manusia dan lingkungan. Dan shalat bukan untuk shalat, tapi untuk di luar shalat.  

Sebagaimana dalam Ayat, “Sesungguhnya shalat, dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”. Berbuat keji dan mungkar kepada siapa, tentunya kepada manusia, lingkungan dan lainnya. Output orang yang shalat dapat selalu berbuat baik kepada orang lain. Tidak boleh sombong, karena setiap geraknya hanya Allah yang Maha Besar. Tidak boleh membudak pada siapa pun, karena hanya Allah tempat sujud, Subhana Rabbiyal A’la wabihamdih.

Selalu menebar salam, kedamaian, kebaikan dan penghormatan kepada alam semesta, ajaran tahiyyat dalam salam terakhir. 

***
Makna filosofi shalat ini sangat luas, baca: (Belajar Hidup dari Gerakan Shalat, Halimi Zuhdy).

https://www.laduni.id/post/read/62776/belajar-hidup-dari-gerakan-shalat

http://www.halimizuhdy.com/2011/03/belajar-dari-gerakan-shalat.html?m=1

Kamis, 13 Oktober 2022

Nabi dan Anak Kecil dalam Shalat

Halimi Zuhdy

Hati Rasulullah sangat lembut. Pernah Rasulullah sangat lama sekali sujud, dan para sahabat mengira terjadi sesuatu pada beliau, dan ada yang mengira beliau lagi mendapatkan wahyu. Nabi menyangkalnya dan kemudian bersabda, "Semua itu tidak benar, tetapi cucuku naik di atas punggungku dan aku tidak ingin segera (menurunkannya) sampai ia menyelesaikan hajatnya."
Menyimak hadis ini, sangat luar biasa. Betapa halus dan lembut hati beliau. Dalam kondisi beribadah pun, beliau masih sangat perhatian dengan anak-anak kecil. Abu Qatadah pernah bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sholat sambil membawa Umamah binti Zainab binti Rasulullah. "Apabila sujud, beliau menaruhnya. Dan bila berdiri, beliau menggendongnya."

إِنِّي لاَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

 “Saat Aku sedang shalat, aku ingin memperlama shalatku, lalu aku mendengar tangisan bayi, aku pun mempercepat shalatku khawatir akan memberatkan (perasaan) ibunya” (HR. Bukhari Muslim).

"Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedang sholat, kemudian cucunya Al-Hasan dan Al-Husein dan salah satu dari keduanya datang dan naik di atas punggung beliau. Apabila sujud, beliau memegang keduanya dengan tangannya dan bersabda, "Sebaik-baik punggung adalah punggung (yang kalian berdua) tunggangi." (HR. Ath-Thabrani).

Kelembutan seseorang itu tidak dapat dicipta, apalagi pada anak kecil. Sikap pada anak kecil adalah gerak hatinya, apabila kasar pada anak kecil biasanya tidak jauh berbeda pada selainnya. Bila lembut pada anak kecil, biasanya lembut juga dengan selainnya.

Minggu, 04 Oktober 2020

Mengapa Masjid Disebut Rumah Allah?

Masjid, Rumah Allah
(Mengapa Masjid Disebut Rumah Allah?)

Halimi Zuhdy

Rumah Allah dalam bahasa Arab disebut dengan Baitullah. Bait diartikan bermalam, menginap dan berdiam. Secara bahasa Baitullah diartikan rumah Allah. Bila masjid dikatakan rumah Allah, apakah kemudian Allah menginap atau bermalam di masjid?
Tayyib. Rumah Allah itu bukan kemudian Allah punya rumah untuk ditempati, atau Allah duduk-duduk, berdiam, bermalam, apalagi tinggal dalam rumah. Allah tidak menempati masjid-masjid karena Allah tidak membutuhkan tempat tinggal, maka mustahil bagi Allah menempati makhlukNya.

Mengapa masjid disebut dengan rumah Allah?

Penyebutan “rumah Allah (baitullah)” tidak hanya untuk masjid Al-Haram di Makkah, tetapi masjid-masjid di muka bumi juga disebut dengan Baitullah. Dan pendapat ulama, Baitullah itupun juga tidak dikhususkan kepada Ka’bah saja, tetapi sesuatu yang mengelilingi masjid al-haram yang dijadikan tempat ibadah, sebagai mana firman Allah;

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".

Dari Ayat di atas, termasuk masjid (baitullah) itu adalah tempat thawaf, I’tikaf, dan sujud,  yang mengelili Ka’bah. Bukan hanya ka’bahnya saja.

Seluruh masjid di muka bumi adalah rumah Allah (baitullah). Dikatakan “Rumah Allah” dapat digambarkan pada dua hal, sebagaimana pendapat al-Kashani dalam Al-Wafi. Pertama, karena masjid adalah tempat ibadah, dan tempat ibadah adalah ibadah itu sendiri (bima hiya ibadah), yaitu tempat hadirnya yang disembah (ma’bud) dan tempat persaksian diri kepadaNya, maka tempat ini disebut dengan bait(rumah), rumah secara makna dan secara batin (bathin), bukan rumah yang dimaknai rumah sebagai tempat tinggal (dhahir). Makna kedua, yang dimaksud dengan masjid adalah rumah Allah (baitullah),  dalam arti linguistik, karena masjid adalah tempat yang mirip atau sama dengan bangunan-bangunan lainnya, sehingga masjid disebut dengan rumah (bait). Dan untuk mengaitkan dengan firman Allah “rumah ku” (baitiya), karena kemuliaan (tasyrifan) tempat tersebut atau bangunan atau masjid tersebut.

Maka penamaan masjid dengan baitulllah (rumah Allah), karena bangunan yang mirip dengan rumah, serta tempat yang dikhususkan untuk beribadah kepada Allah, serta dimuliakan (tasyrifan). Sama dengan penamaan dengan masjid al-haram. Bukan tempatnya yang haram. Tetapi, sebuah tempat yang disucikan dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau tempat yang diharamkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang olehNya.

والمقصود بالحرام كلّ شيء فيه تعظيم للبيت، وعند تحريم البيت يعمّ الأمن والأمان، حتى الطير يجول في سمائه آمناً، لأنّها أمنت على نفسها وعلى رزقها في بيت الله، كما سمّي بيت الله الحرام بهذا الاسم، لأنّ الله تعالى حرّم القتل فيه منذ فتح مكة

Arti dari (masjid) haram adalah segala sesuatu yang berada di dalamnya diagungkan, dan bila baitullah diharamkan maka ada jaminan keamanan dan keselamatan. Bahkan burung yang terbang di atasnya juga merasa aman, karena ia yakin akan keamanan dan riskinya Ketika berada di Batullah (rumah Allah), sebagaimana Baitullah al-Haram itu disebut dengan nama ini (haram), karena Allah melarang pembunuhan disana sejak penaklukan Makkah (fathu Makkah).

Kerinduan pada Masjid

Masjid adalah tempat yang dirindu, dicinta, dimuliakan. Karena ia bukan tempat biasa. Ia rumah Allah. Rumah tempat bergumulnya hati, pikiran, dan jasad untuk mendekatkan diri kepadaNya. Mendatanginya disunnahkan menghormat (shalat tahiyyah). Sebelum memasukinya disunnahkan berdoa, karena akan banyak limpahkan rahmatnya yang mengalir  di dalamnya (allahummaftahli abwaba rahmatik). Berlama-lama untuk beri’tikaf adalah aktifitas para salafusshaleh.
Bagaimana bila jarang  mendatanginya atau bahkan hanya sekali dalam satu tahun? Suatu  hari Ibnu Abbas ra. ditanyai tentang seorang laki-laki yang melakukan shalat malam, puasa di siang hari, namun dia tidak melaksanakan shalat Jum'at dan shalat berjamaah di masjid, maka beliau menjawab, mereka berada di neraka.

سُئِل ابن عباس رضي الله عنهما عن رجل يقوم الليل ويصوم النهار، ولكنه لا يشهد الجمعة والجماعة، فقال: هو في النار

Merindukan masjid bukan karena tempatnya yang indah, fasilitasnya lengkap, halamannya yang luas, menaranya yang menjulang tinggi, lantainya yang marmer, karpetnya yang lembut, atau wisata masjidnya yang asyik. Bukan.Tetapi, masjid apapun bentuknya adalah sebuah kerinduan. Ia adalah rumah Allah, yang diagungkan. Dimuliakan. Bahkan termasuk yang dilarang apabila berbangga-bangga (yatabaha) dengan bangunannya yang indah, dengan warna-warni catnya, gagah bangunannya, membuat mata terbelalak melihat desainnya, tetapi kosong dari aktifiatas berjamaah, kosong dari ta’lim dan sepi dari kegiatan keumatan, sedangkan al-Qur’an hanya menjadi pajangan di dindingnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, ”la yaqum sa’ah hatta yatabaha an-nasu bil masajid”

Dari Nabi saw., beliau bersabda, “Jika kalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah kepadanya dengan keimanan. Allah berfirman, “Sungguh yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir”.
Nabi saw. bersabda, “Siapa yang membentangkan tikar di dalam masjid, maka malaikat akan selalu memintakan ampunan untuknya selama tikar itu di dalam masjid.”
Allah menamakan masjid dengan masjidNya, sebuah bentuk kemuliaan dan keagungan masjid.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” Al-Baqarah (114).

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang mengeluarkan kotoran dari masjid sekiranya dapat dipandang mata, maka Allah akan mengeluarkannya dari dosa-dosa yang besar.

Masjid bukan tempat biasa. Ia tempat yang luar biasa. Ia tempat rukuk kepadaNya. Tempat sujud padaNya. Memakmurkannya, dengan melakukan peribadatan kepadaNya. Dengan berbagai peribadatan untukNya.

Masjid pada masa Nabi dan Salafussholeh
Dalam al-Aukah, masjid-masjid pada masa salafussaleh dipenuhi dengan derai tangisan untuk bermunajat padaNya. Disesaki dengan para pembelajar yang haus ilmu. Para ulama berkumpul, berdiskusi, dan mengakaji ilmu pengetahuan. Suara-suara pujian padaNya bergema. Wajah sejarah pun berubah dari dalam masjid. Yang sebelumnya para penyembah batu, kini mereka tunduk pada Sang Maha Kuasa. Allah swt. Intelektual hebat juga banyak hadir dari dalam masjid, bagaimana kebesaran Abbasiyah, mereka menjadikan masjid sebagai tempat memgatur strategi.

Pada masa itu, masjid adalah universitas ilmu pengetahuan, pengadilan kebenaran, pusat pertemuan, titik keberangkatan, tempat ibadah, pusat kepemimpinan, dan parlemen untuk politik di mana Rasulullah mengatur strategi, menahan brigade tentara musuh dan menerima delegasi, beliau juga mengadakan perjanjian-perjanjian dan perdamian  di dalamnya. Dan Ketika hijrah dari Mekah, pertama kali yang dilakukan Nabi adalah meletakkan batu fondasi pembangunan Masjid Nabawi, sehingga masjid Rasul menjadi taman surga, tempat perdagangan yang menguntungkan di dunia dan akhirat, dan salah satu pasar akhirat.

Pada masa Nabi Masjid berfungsi sebagai tempat ibadah (ibadah) dan pembelajaran (ta’lim). Selain itu, Masjid juga tempat musyawarah, merawat orang sakit, dan asrama.

Senin, 07 Mei 2018

KALAU BERAT, BERATKAN SEKALIAN!

(Kunci Meringankan Beban Hidup) 

Halimi Zuhdy
(Madzhab Rindu 56)

Nabi pernah mengatur 53 ekspedisi militer, 9 kali memimpin perang besar. Bisa dibayangkan, betapa luar biasanya Nabi SAW; berapa banyak dana yang dikeluarkan, berapa kekuatan yang dipersiapkan, dan itu hanya dilakukan 22 tahun dalam dakwahnya. 

Dalam perang dunia ke-2, mempersiapkan satu peperangan saja, membutuhkan tenaga hebat, dana besar, dan korbannya juga tidak sedikit, 21 juta jiwa, 27 ribu ton bom setiap bulannya. Periode 1940-1945, dana militer AS naik tajam dari $1,9 miliar menjadi $59.8 miliar. Ini sangat luar biasa. Bagaimana dengan 9 kali peperangan Nabi SAW pada masanya, dengan 53 ekspedisi? Betapa berat amanah dakwah beliau. Tetapi, beliau tetap segar bugar, kejiwaan beliau dan para sahabatnya berada pada puncak terbaik.

Jumat, 18 Maret 2011

BELAJAR DARI GERAKAN SHALAT

 
Seri takbir Dalam setiap gerakan

Halimi Zuhdy


Pada tulisan saya sebelumnya BELAJAR HIDUP DARI GERAKAN SHALAT saya memaparkan tentang takbir al-ihram dan gerakan mengangkat tangan, makna takbir Allah akbar (Allah maha besar) adalah Allah memiliki kekuasaan, kekuatan, kehebatan yang luar biasa, Dia maha besar (akbar), bukan besar (kabir), apapun yang ada di muka bumi bahkan seluruh alam ada dalam kekuasaan-Nya, kebesarannya melampaui segala apa yang kita ketahui atau kita rasakan, dan kita perkirakan.
Kalau dalam anggapan kita gedung pencakar langit besar, Allah swt lebih besar dari itu, kalau dalam anggapan gunung adalah besar, Allah swt lebih besar dari gunung, kalau bumi (yang kita tempati lebih dari 5 miliar manusia, adalah pelanit yang sangat kecil dibandingkan dengan keberadaan langit) menurut anggapan kita sangat luas dan besar, Allah swt lebih besar dari bumi, kalau semesta kita anggap besar, Allah swt jauh lebih besar dari semesta ini. Dan seterusnya. Sungguh kita seperti pasir, bahkan lebih kecil dari pasir, jika kita menghayati akan kebesaran Allah yang kita tidak mampu menghitungnya atau bayangan kita pun tidak akan pernah sampai.
Ta’bir ini sering kita ulang-ulang dalam shalat, dari satu gerak kegerak lainnya, kita mengucapkannya–kecuali bangun dari rukuk-, dari pengulangan ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap gerak yang harus selalu kita ingat adalah kebesaran-Nya (akbar), kita tidak mampu menggerakkan tubuh, pikiran dan hati kecuali atas kebesaran-Nya, kita tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendaknya, kita bisa sukses juga atas kehebatannya, semuanya kita kembalikan kepada-Nya, karena kita tidak mempunyai sedikit pun kekuasaan untuk mengendalikan diri apalagi harus harus sombong, karena kesombongan itu hanya milik-Nya.
Dalam beberapa dialog antara seorang sahabat dengan Sayyida Ali tentang beberapa makna gerakan dalam shalat, Sayyida Ali menafsirkan sebagaimana berikut :

Mengangkat tangan dalam takbir pertama
Seorang laki-laki bertanya kepada Ali tentang mengangkat tangan “Apa arti dari takbir al-ihram: Allah adalah satu tidak ada duanya, tidak ada yang serupa dneganNya,dan tidak dapat diindra oleh penca indra”.

Makna Rukuk
Seorang laki-laki bertanya kepada Ali tentang arti rukuk, Ali menjawab “saya tetap akan beriman kepada Allah walau leherku diputus (dipenggal, digantung)”.


Makna mengangkat kepala setelah membungkuk
Seorang laki-laki bertanya kepada Ali bin Abi Rhalib tentang Makna mengangkat kepala setelah membungkuk, ia menjawab ,” Allah mendengar orang yang memuji atau memuji Tuhan semesta alam?, dan “saya keluar dari ketiadaan menjadi ada”.


Makna  sujud
Seorang laki-laki bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang  makna Sujud”makna sujud yang pertama “Ya Tuhan, Engkau menciptakan aku dari tanah” dan ketika mengangkat kepala “Engkau membawa kami keluar” , dan sujud makna sujud kedua “dan Engkau membawa kami kembali kedunia”, Dan mengangkat kepala yang kedua “dan Engkau telah mengeluarkan kami yang kedua kali”.

Setiap gerakan takbir selalu memberikan kita kekuatan luar biasa, di mulai dari takbir al-ihram, sampai dengan takbir terakhir sebelum tasyahhud akhir.

Takbir al-ihram
Penjelasan takbir ini saya sudah saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya, namun perlu saya tahbahkan sebagai pelengkap makna takbir dalam setiap gerakan, bahwa takbir pertama ini adalah sebagai takbir pembuka, bahwa dalam setiap kesempatan, setiap pekerjaan, setiap aktifitas, harus kita mulai dengan nama Allah, dengan mengagungkannya. Karena tiada yang mampu menggerakkan, menjalankan, dan mensukseskan kecuali dengan kebesaran Allah. Dan dalam hadis, ketika takbir al-ihram disunnahkan untuk mengangkat tangan.

Takbir untuk Rukuk
Rukuk (membungkuk) dalam takwilnya Sayyidina Ali adalah “saya tetap akan beriman kepada Allah walau leherku diputus (dipenggal, digantung)”. Adanya kometmen yang luar biasa dalam rukuk walau leher dan tubuh sebagai taruhannya, ia relakan semuanya untuk membela keimanan, karena tiada yang lebih berharga dalam menjalani kehidupan kecuali adanya iman. Ketika bertakbir sebelum rukuk, mengagungkan kebesaran Allah dalam kondisi setengah terpuruk, atau dalam kondisi membungkuk, atau setelah berjaya kemudian dia mengalami kejatuhan tetap harus mengagungkan kebesaran Allah, karena tiada yang mampu mengembalikan kejayaann dan tiada yang mampu menyelamatkan kecuali kebesaran Allah.

Takbir bangun dari Rukuk
Kalau dalam rukuk ada kepasrahan total kepada Allah dan adanya pertaruhan hidup untuk menemukan manisnya iman, maka ketika manusia sudah kembali pada kejayaannya (bangun dari rukuk) ia juga tidak boleh melupakan kebesaran Allah (Allah Akbar), bahwa Allahlah yang memberikan kebangkitan dan kesejahteraan dan juga yang mampu mengembalikan dari keterpurukan menuju sebuah pencapaian yang luar biasa. Dalam hadist pula, ketika bangun dari rukuk disunahkan mengankat tangan ketika bertakbir, ini ada kesamaan mengangkat tangan seperti mau melakukan rukuk, dan bangun dari tasyahhud awal.

Bersambung pada pembahasan (takbir sebelum sujud, takbir, bangun dari sujud, takbir sujud yang kedua, takbir bangun dari sujud untuk berdiri)





Selasa, 11 Januari 2011

SATU MASJID, SERIBU KEINDAHAN


Sebuah Untaian Persatuan

 Halimi Zuhdy

Setelah satu bulan saya pindah rumah, yang terletak di daerah Perum Bukit Cemara Tidar (BCT), saya menemukan keindahan yang jarang sekali ditemukan di tempat lain, sebuah masjid yang sederhana (jauh dari kesan megah) ia terletak di tengah-tengah perumahan, disekelilingi rumah-rumah elit, masjid itu bernama “Baiturrahman”[1] , ia dipenuhi oleh orang-orang shaleh yang selalu berdzikir dan mengingat Allah. Kesalehannya itu tampak dari maraknya masjid dari orang-orang sekitar untuk melakukan shalat jamaah di masjid itu (walau hanya dua-sampai tiga baris). Fenomena yang menurut saya sangat menarik adalah masjid yang biasa dipenuhi oleh satu golongan (dikuasahi) misalnya golongan A dengan berbagai karakternya, kebiasaan  golongan A ketika adzan mau dikumandangkan didahului pemukulan beduk sebagai tanda masuknya waktu, kemudian dilanjutkan dengan pujian-pujian, setelah beberapa menit dilaksanakan shalat berjamaah, dan setelahnya sang imam memimpin dzikir jahr (keras) yang diikuti oleh para jamaah, kalau shalat shubuh menggunakan qunut, kemudian setelah selesai shalat diikuti dengan salam-salam dan melakukan shalat sunnah. Sedangkan kelompok B , tanpa ada pemukulan beduk ketika masuk waktu shalat, langsung dikumandangkan adzan, kemudian beberapa menit dilakukan shalat berjamaah, dan setelahnya berdzikir sendiri-sendiri, setelah selesai mereka melakukan shalat sunnah ba’diyah.
Biasanya dua kelompok tersebut memiliki masjid sendiri-sendiri dengan ciri dan karakter tersendiri, namun di tempat baru saya ini, hal itu tidak saya ditemukan, masjidnya bernuansa B (tampa beduk, tanpa puji-pujian, dengan member yang khas dll), jauh dari kesan dominasi dari A atau B, dan yang indah lagi  setiap harinya kegiatan ibadah (al-amaliyah al-furu’yyah) selalu berubah-rubah tanpa bisa ditebak, tergantung siapa yang menjadi imam, kalau imamnya dari kelompok A maka kelompok B mengikuti kelompok A  –meskipun kadang tidak ikut pujian atau tidak ikut qunut, tapi beberapa yang biasa tidak qunut kadang juga melakukan qunut- , demikian jika kelompok B menjadi imam, kelompok A mengikutinya –tidak ada dzikir jahr (keras), tidak ada qunut, juga tidak ditemukan salam-salaman.
Rounded Rectangle: 2Sungguh ini sebuah fenomena yang menarik yang sangat jarang ditemukan ditempat lain, apalagi ditempat yang paling banyak didomensai kelompok-kelompok tertentu, misalnya ketika imamnya dari kelompok A berdzikir dan berqunut maka para makmumnya ikut berdzikir , berdoa, kunut dll, demikian juga ketika kelompok B menjadi imam maka ma’mumnya akan mengikuti imamnya. Jika terbalik, misalnya kelompok A jadi imam dan kelompok B menjadi makmum, biasanya makmumnya melakukan aktivitas sendiri-sendiri atau keluar, sebaliknya jika kelompok B menjadi imam maka kelompok A tidak melakukan aktivitas apapun kecuali sendiri-sendiri.
Fenomena menarik di atas, sungguh memberikan ketenangan, kenyamanan, kedamaian dan kekompakan, meskipun mereka berbeda kelompok dan aliran namun saya melihan kesatuan dan kepaduan, semangat dalam kekompakan. Tidak mengedapankan emosi atau egoisme kelompoknya sehingga ada kenginan untuk mendominasi, dan merebut masjid, atau sebaliknya mereka akan membuat masjid tandingan. –na’udzubillah-.
Kebersamaan di atas, akan memberikan kehidupan yang indah bagi pelakunya, karena mereka merasa bahwa perbedaan itu adalah rahmat –al-ikhltilaf rahmah-, dan karena rahmah mereka menikmati rahmat itu, bukan perbedaan yang mengacu pada pertengkaran, sehingga sesama muslim pun berantem demi hanya merebutkan dominasi kelompoknya sendiri-sendiri, sedangkan perbedaan itu bukanlah bersifat prinsip (al-mabdaiyyah, al-asasy al-aqaidy) bagi keduanya, hanya sebuah perbedaan penafsiran dari keyakinan sekunder (tsunaiyah), bukan keyakinan yang bersifat primer (al-awwaliyah). Mereka tidak terlalu tergoda untuk mempertentangkan yang yang sepele demi menjaga sesuatu yang lebih besar ‘persatuan, wahdah”. MUSLIM hari ini yang paling dibutuhkan adalah persatuan, bukan madzhab dan kebenaran madzhab yang memberikan percikan pertengkaran dan mengakibatkan perpecahan muslim, hanya gara-gara hal yang tidak mendasar “virus akidah”. Seperti qunut, dzikir jahr, dll yang hanya penafsiran saja, bukan masalah qat’i. silahkan yang qunut, jahr, atau diam pun, asalkan tidak merusak rukun dan syarat shalat, apalagi menghancurkan aqidah. Wong semuanya punya rujukan, kalau hanya furuiyyah (cabang) yang dikedepankan betapa umat ini akan mengalami kemunduran.
 Ada fenomena yang menarik dalam Kristen, yang menurut saya sebuah perbedaan yang berujung pada perseteruan besar, meskipun perbedaan itu kecil, sebagaimana yang tulis Kang Jalal ia mengutip tulisan Duran, bahwa Kresten terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja Yunani. Mereka berpisah seperti “a biological species divided in space and diversified in time.” Kristen Yunani berdoa sambil berdiri, kristen Romawi sembahyang sambil berlutut. Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi, tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. “Kiai” Yunani memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.
Rounded Rectangle: 3Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi. Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai “an assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a synagogne of Satan.” (Durant, 1950:544).
Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas. Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant), 1953:362) “Each side claimed the sacraments administered by priests of the opposite obedience are invalid, and that the children so baptized, the penitents so shriven, the dying so anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or limbo if death should supervene.”
Inilah awal perbedaan besar yang berujung pada peperangan ediologi, mengkafirkan yang lain, bahkan berhak untuk membunuh dan memerangi, apakah ini akan dilakukan oleh umat Islam, hanya karena perbedaan yang furu’yyah (cabang)
Saya tertarik dengan tulisan seorang  cendikiawan muslim, sebut saja Kang Jalal, yang juga tidak ingin perbedaan itu berujung pada huru-hara di antara sesama muslim, tulisan itu berjudul “Skisme Dalam Islam “. Dia mencontohkan ketika seseorang mempertahankan harus kembali pada al-Qur’an dan al-Hadist misalnya, dia sangat sepakat, tapi tidak sesederhana. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim berusaha memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam kedua sumber tasyri’ ini terdapat kata-kata atau kalimat yang musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang ‘am (berlaku umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang muqayyad (bersyarat).
Kang Jalal mencontohkan perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. “Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita, atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu,” (al-Qur’an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air, tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian. Apa yang dimaksud “air”? Kata madzhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh). Kata madzhab yang lain, air mutlak saja. “Debu” meliputi pasir dan tanah, kata Syafi’i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah oleh Ja’fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).
Rounded Rectangle: 4Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan sebagainya.
Kalau kita lihat, semua umat Islam ingin bersatu, namun mereka kadang tidak memahami arti persatuan itu, mereka ingin bersatu tapi perbedaan yang ditonjolkan, ingin kompak tapi serampangan dalam berintraksi. Dan persatuan itu pula sering dipolitisir, ada yang atas nama kelompok A, dan B bahkan C, masih bermain kucing-kucingan, seakan-akan persatuan adalah perbedaan politik. Mengapa saya beri judul tema di atas “satu mesjid, seribu keindahan”, karena saya pribadi ingin umat ini tidak lebih menonjolkan perbedaan madzhab (yang sifatnya penafsiran) yang berujung pada permusuhan, apalah arti umat yang bersatu kalau di dalamnya penuh sekam. Mudah-mudahan Masjid yang saya maksud masih bisa mempertahankan keindahannya, satu mesjid  seribu madzhab, tanpa ada pertengkaran di dalamnya apalagi ada yang bermaksud mendominasi, atas nama kebenaran.
Kalau kelompok tadi berasas kembali pada al-Qur’an al-hadis, ada pula yang merujuk pada usul fiqih, ini juga bukan persoalan sederhana misalkan apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujungnya ada kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi’i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1) “Deralah mereka 80 deraan,” (2) “Jangan terima kesaksian mereka selama-lamanya,” dan (3) “Mereka itulah orang-orang fasik.” Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua madzhab –selain Hanafi– memilih rnenjawab “ya” untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya.
Mudah-mudahan seluruh umat Islam lebih suka mencari persatuan dan kesatuan, bukan mencari perbedaan yang mengakibatkan perpecahan, sungguh perpecahan adalah awal kemerosotan yang mengakibatkan kefatalan. Perkecil perbedaan demi sebuah kebersamaan. Tidaklah menjadi masalah berbeda madzhab, asalkan tetap Islam yang masih merujuk pada al-Qur’an dan al-hadist, dan beriman sesuai dengan kemampuannya.
Malang, 30 Mei 2010 Facebook :Halimi zuhdy
Wallahu ‘alam bi al-shawab.


[1] Baiturrahman terdiri dari dua kata “bait” dan “rahman”, bait berarti rumah, rahman bermakna pengasih, kalau saya artikan Rumah Allah yang maha pengasih. Bait penggunaannya lebih ‘am (umum) seperti بيتنا، بيت الله، بيت الإبرة،بيت العنكبوت، بيت القصيد, berbeda dengan manzil, dar dll. Kecuali bait disandingkan dengan Allah, maka menjadi baittullah artinya Masjid Haram pada khususnya dan masjid-masjid pada umumnya. Sedangkan Rahman berasal dari rahima-yarhamu-rahmah (menaruh kasih sayang, menyayangi), sedangkan rahman, sudah berubah wazan mengikuti wazan fa’lan, merupakan sighat mubalaghah (bentuk kata yang bermakna sangat). Mudah-mudahan masjid baiturrahman, menjadi masjid silaturrahim yang diberkahi, dan menjadi masjid yang mampu memberikan nuansa pemersatuan umat.