السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Agustus 2020

Mengapa Tuhan Tidak Menjauhkan Keburukan dari Kita?

Halimi Zuhdy

Ada dialog menarik yang ditulis oleh Dr. Jasim al-Muthawwa’ dengan putranya.

“Ayah, mengapa Allah tidak menjaga kita, agar kita terhindar dari semua keburukan, kerusakan, dan kesusahan?. Belum sempat dijawab oleh Dr. Jasim, anak tersebut mengajukan pertanyaan yang masih berkaitan dengan pertanyaan pertama.
"Dosa apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang meninggal dunia karena gempa bumi atau ledakan bom atau banjir bandang yang menghanyutkan?”.

“Ayah, Dan dosa apa yang dilakukan anak-anak kecil yang tenggelam di lautan atau yang lahir dalam kondisi cacat?”, ia terus nyerocos dengan berbagai pertanyaan. 

“Apa dosa-dosa orang-orang miskin, sehingga hidup dalam kemiskinan?”, “Ayah, Mengapa keburukan ada di dunia?”, dan ia mengakhiri pertanyaan seperti pertanyaan pertama, “Mengapa Allah tidak menjauhkan kita dari berbagai macam keburukan?”.

Ternyata masih tersisa pertanyaan yang menggelitik pikiran sang Ayah, “Ayah,  seandainya saya melakukan sesuatu dengan baik, sesuai dengan peraturan yang sudah ada, mentaati segala perintah dan menjahui segala larangan, tapi mengapa masih didera berbagai musibah dan cobaan?”.

“Dimana keadilan Allah dan kasih sayangnya?. Kata putra Dr. Jasim

Yang menarik jawaban Dr. Jasim al-Muthawwah pada putranya, dengan bahasa yang sederhana, jelas dan lugas  “Apa yang kau tanyakan dan kau pikirkan, itu juga ditanyakan oleh banyak orang, bahkan setiap orang mempertanyakan itu wahai anakku” 

Ia menghela nafas panjang, “Pertanyaan yang sangat penting seperti tadi juga sudah ditanyakan dan dipikirkan oleh para inteletual dan para filosof terdahulu, karena kebaikan dan keburukan itu sudah ada mulai zaman dahulu, anakku. Pertumpahan darah, peperangan, malapetaka juga terjadi mulai zaman dahulu, baik ia terjadi karena ulah manusia atau karena qadar”.

Dr. Jasim melanjutkan dengan menatap wajah anaknya dalam-dalam, serta melihat keningnya yang lagi mengkerut dengan berbagai pertanyaan yang bergumul di dalamnya. “Tetapi anakku, kesalahan kita adalah melihat berbagai peristiwa buruk itu hanya melihat dari satu sisi dari berbagai sisi yang ada, dan kemudian kita menghukuminya secara sama”.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217564681898092&id=1508880804

Penjelasan yang cukup panjang itu, sepertinya membuat anak Dr. Jasim kebingungan, dan memperjelas apa yang disampaikan ayahnya. “Apa maksudnya Ayah?”. 

“Begini anakku, misalnya gigimu rusak (bolong) dan sakitnya luar biasa, kemudian kamu mendatangi dokter gigi, dan dokter memeriksa dan membedahnya, dan kamu merasakan sakit ketika dioprasi, tetapi setelahnya kamu merasakan enak dan hilang rasa ngilu (sakit di gigi). Anakku…bila kamu membiarkan sakit itu terus menderamu dan kamu menganggap dokter itu jahat atau tidak sayang karena telah membuat kamu sakit ketika oprasi kecil tadi, bukankah anggapanmu itu salah?. Bukankah dokter melukai dan sedikit membuatmu sakit agar setelahnya kamu dapat beristirahat dan bahagia?..dan seringnya kamu hanya melihat sakit ketika dioprasi tanpa melihat sisi lainnya secara utuh. Maka yang menjadi masalah sebenarnya bukan sakitnya, tapi bagaimana kita melihat sakit tersebut, engkau hanya merasakan sakit sebentar ketika dibedah, tetapi setelahnya engkau akan merasakan nikmat yang luar biasa”. Jawaban Dr. Jasim pada putranya.

Atau saya bericontoh lain yang mungkin lebih mudah kamu pahami, anakku. “Kamu pasti tahu mobil kan?, kalau kau perhatikan knalpot ketika kau mengendari mobil, bau tidak enak, dan suaranya yang kadang membuat bising di telinga. Tetapi bila kau hanya melihat satu sisi saja, ia sangat mengganggumu. Tapi kamu tidak merasakan itu, karena kamu tahu manfaat knalpot yang diletakkan di mobil, dan pasti kamu tidak menyebutkan malapetaka atau musibah, bahkan kau akan menyebutkan kebaikan. Mengapa? Karena kamu tahu manfaat besar dari klnapot itu kan?. Dapat menggerakan dan menjalankan mobil.

"Horee, saya sekarang mengerti, ternyata dalam setiap keburukan tersimpan kebaikan, tapi terkadang saya tidak mampu melihat sisi baiknya" Anaknya menimpali dengan senyum bahagia. 

Dr. Jasim menjawabnya, "Inilah pandangan muslimin melihat setiap kejadian dalam kehidupan, kita sebagai hamba Allah yang beriman, percaya pada qada' dan qadar Allah, baik dan buruknya. Karena asal kehidupan itu adalah kebaikan bukan keburukan". 

Anaknya mangguk-mangguk, Dr. Jasim melanjutkan penjelasannya, "Anak-anak yang sehat itu adalah asal, yang berkebutuhan khusus itu pengecualian. Kehidupan alami itu asal, malapetaka (gempa dll) itu pengecualian. Maka, kisah Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS itu sebuah contoh bagaimana melihat keburukan dalam kebaikan. Bagaimana akhirnya kita dapat melihat keadilan dan kasih sayang Allah". 

"Sekarang, saya tambah mengerti" Kata putranya, dengan senyumannya yang dikulum.

"Anakku, Kita umat Islam, kita percaya bahwa sebagian kita adalah musuh bagi sebagian yang lain, manusia itu diuji dalam kehidupannya, dan engkau tidak menyebutnya dengan keburukan atau petaka tapi hal itu adalah ujian bagi seorang muslim agar Allah memandang sejauh mana kesabaran dan ketabahan seorang muslim dalam menghadapi ujian dan ia rida terhadap takdir baik dan buruknya. Karena keberadaan kita di dunia adalah sebagai hamba Allah, dan Allah menguji kita dengan kebaikan dan keburukan, sejauh mana kesabaran, ketabahan, ketahanan, dan keimanan kita padaNya, Wanablukum bil khair wa syar fitnah (Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan)." 

"Anakku, ada hal lain yang lebih penting, sehingga kau melihat sesuatu yang buruk kau dapat membacanya dengan kaca mata yang benar, yaitu setiap kau melihat sesuatu  pandanglah dengan pandangan dunia dan akhirat. Dunia hanyalah bagian dari kehidupan, bukan segalanya tentang kehidupan. Orang miskin terkadang pedih di dunia, tapi ia dapat bahagia di akhirat. Ini sisi lain, yang dapat kau lihat dalam kehidupan". 

"Benar Ayah, saya benar-benar mengerti bagaimana kasih sayang Allah dan keadilanNya, bagaimana melihat kebaikan dan menyikapi keburukan" Wajah berbinar-binar dari anak Dr. Jasim, setelah mendapatkan penjelasan dari Ayahnya tentang menilai keburukan dan menyikapinya.

Malang, 11 Agustus 2020

www.halimizuhdy.com
IG: halimizuhdy3011
FB: halimizuhdy
Youtube: One Hubb

Minggu, 28 Oktober 2018

Hari Ahad, Mengapa Diganti Hari Minggu?

Halimi Zuhdy
Beberapa puluh tahun terakhir ini, hari Ahad mulai lenyap, dan bahkan ketika kita bertanya kepada siswa atau mahasiswa atau halayak umum, mereka sudah tidak lagi tahu asal-muasal Minggu yang berasal dari hari Ahad. Dan mereka dengan entengnya menyebut hari Ahad dengan hari Minggu. Dan yang lucu lagi, banyak yang tidak mengenal bahwa hari hari yang ada di Indonesia berasal dari bahasa Arab, Senin (isnain), Selasa (sulasa’), Rabu (arbia’), Kamis (khamis). Jumat (Jumuah), Sabtu (Sabt).

Setelah penulis telisik dari berbagai leteratur bahwa hari Minggu adalah nama yang diambil daribahasa Portugis, Domingo  yang berarti “hari Tuhan  kita”, dan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kemudian kata ini dieja sebagai Minggu. Hari tersebut, Bagi salah satu umat yang ada di dunia, yaitu umat Kristen, nama hari Minggu selain diidentikkan dengan Hari Tuhan, juga sebagai hari kebangkitan, hari peristirahatan dan hari untuk beribadahdan pada hari Minggu ini umat gereja memperingati hari Minggu sebagai hari perhentian bagi orang Kristen sekaligus hari peringatan akan kebangkitan Yesus. 

Sabtu, 14 Juli 2018

ISLAM NUSANTARA YES, ISLAM TANPA NUSANTARA YES, TAK BER-ISLAM NO

(Indahnya Perbedaan)
Halimi Zuhdy 

"Islam itu selalu mengajarkan persatuan dan kekokohan, toh kalau ada perbedaan di dalamnya, itu adalah hal biasa, karena Perbedaan adalah Rahmah, seperti yang kini lagi marak, perbedaan Islam Nusantara dan Islam tanpa Nusantara, keduanya biasa saja menurut saya, apalagi keduanya punya argumentasi sendiri-sendiri, dengan ijtihad sendiri". Saya sampaikan dalam suatu forum, dengan tema "Bagaimana menghargai perbedaan". 

"Ustadz tidak tegas, dan tidak punya pendirian". Tegas santri pada saya.
"Apanya, yang tidak tegas?". Saya menyanggahnya. 

"Kalau ustadz punya pendirian, ya kalau percaya, akui saja Islam Nusantara, kalau tidak sepakat, tolak dong ustadz". Ia mencoba memahamkan. 

"Apakah tegas itu harus memilih "Ia" atau "Tidak", bukankan memilih di antara keduanya juga sebuah ketegasan dalam memilih. Bukankah setiap kepala punya ide, setiap tubuh punya sikap, dan setiap orang punya pilihan sendiri". Papar saya, Sedikit menekankan pada bahwa pilihan itu banyak, tidak hanya dua. 

Saya melanjutkan, "Bukankah Islam juga mengajarkan kepada kita, bagaimana bersikap wasathan, tengah-tengah, dan Islam Nusantara atau Islam tanpa Nusantara, bukanlah wajib atau mubah, bukanlah haram dan sunnah, ia hanya sebuah ijtihadi. Silahkan yang mau mengikuti, dengan alasannya yang kuat, dan juga yang menolak dengan alasan pula. Buktinya, ditubuh NU sendiri juga ada perbedaan, apalagi yang di luar NU, hal itu biasa, dan NU biasa dalam sebuah perbedaan. Maka lihatlah, bagaimana bahsul masail yang mengajarkan perbedaan itu menentukan sebuah hukum, tapi pada akhirnya juga ada sikap dan konsekwensi dari hukum itu". Tegas saya pada santri. 

"Tapi ustadz, kalau mengakui Islam Nusantara,  nanti dianggap pengikut leberal dan anti Arab,  dan kalau tidak mengakuinya dianggap keluar dari NU, NU keras, dianggap tidak paham NU, bahkan dianggap aliran lain, dan lainnya sebagainya? " ia mencoba mencari celah. 

"Tidaklah, Islam Nusantara itu tidak sampai pada pemahaman aqidah dan aliran tertentu, gara-gara percaya sama Islam Nusantara kemudian shalatnya berubah, tuhannya berganti, hajinya di Nusantara, itu terlalu sempit. Atau sebaliknya, bagi yang menolak Islam Nusantara, dianggap beraliran keras atau lainnya, hal itu juga tidak, buktinya ada kyai yang menolak Islam Nusantara juga bukan aliran keras dan saya yakit tetap di NU". Saya mencoba meluruskan anggapan itu. 

"Mari, sesama muslim Nusantara dan di luar Nusantara, yang paling penting sekarang adalah satukan tekat untuk menuju keberagamaan yang baik,  demi  kebangkitan umat, baik dalam ekonomi, pendidikan, kesejateraan, keamanan, dan lainnya, tidak sibuk perang di medos hanya gara-gara istilah, bukannya saya menyepelkan istilah, tapi bagaimana berargumentasi yang akademis bukan emosional, dan sampai-sampai keluar istilah hewan yang tidak pantas diucapkan, kecebong kampret dan istilah-istilah yang tidak dewasa". Sambil  tersenyum dengan keringat yang mulai mengurai.
"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah" saya melanjutkan materi IKHTILAF ITU CANTIK. 

Pisau, jika lama tidak digunakan akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, maka ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".

Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya. 

Para Sahabat, Tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata _Al-Quru'_, pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal _siyayah_, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah. 

Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim. 

Ikhtilaf, bukanlah berangkan dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka,  di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh. Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini,  bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi _iktilaf ummah rahmat_ yang selalu berdasar pada dalil, tetapi _tafarruq_ yang tercela.

Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri. 

Suatu kali
"اَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ  ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ  أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”

"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah. 

Permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena iktilah adalah kecantikan;
"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"
"Kayu tambah indah, jika diamplas"

Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian.
Salam ukhuwah islamiyah

khadim PP. Darun Nun
www.darunnun.com
Wakil Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Malang
www.halimizuhdy.com

Senin, 07 Mei 2018

KALAU BERAT, BERATKAN SEKALIAN!

(Kunci Meringankan Beban Hidup) 

Halimi Zuhdy
(Madzhab Rindu 56)

Nabi pernah mengatur 53 ekspedisi militer, 9 kali memimpin perang besar. Bisa dibayangkan, betapa luar biasanya Nabi SAW; berapa banyak dana yang dikeluarkan, berapa kekuatan yang dipersiapkan, dan itu hanya dilakukan 22 tahun dalam dakwahnya. 

Dalam perang dunia ke-2, mempersiapkan satu peperangan saja, membutuhkan tenaga hebat, dana besar, dan korbannya juga tidak sedikit, 21 juta jiwa, 27 ribu ton bom setiap bulannya. Periode 1940-1945, dana militer AS naik tajam dari $1,9 miliar menjadi $59.8 miliar. Ini sangat luar biasa. Bagaimana dengan 9 kali peperangan Nabi SAW pada masanya, dengan 53 ekspedisi? Betapa berat amanah dakwah beliau. Tetapi, beliau tetap segar bugar, kejiwaan beliau dan para sahabatnya berada pada puncak terbaik.

Sabtu, 05 Mei 2018

PENGADILAN DIRI, DI HADAPAN ILAHI

(Akreditasi diri, Menuju Kesalehan Diri)

Halimi Zuhdy

Pengadilan apa pun di dunia, termasuk di negeri ini, orang-orang yang diadili selalu mencari celah untuk bisa lari, ingin terbebas dari setiap jerat hukum, bahkan terbebas dari segala sangkaan dan praduga. Walau sebenarnya ia benar-benar melalukannya. 

Ada yang mencari pengacara handal untuk menghilangkan jejak diri, walau ia kadang tahu, bahwa dia bersalah. Selalu mencari pembenaran diri, karena hukum bisa dibeli.
Tapi, bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat nanti, mari kita perhatikan  ayat-ayat Allah berikut; 

1. Dokumen dan seluruh catatan, tidak ada Yang dirahasiakan.
"Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka."
(Al-Isra' 13)

2. Kehadirannya, dengan penjagaan super ketat
"Setiap orang akan datang bersama (malaikat) penggiring dan (malaikat) saksi" (Qof, 21).

Senin, 29 Mei 2017

Maria / Maryam dalam pandangan Islam

Seminar Maria dalam pandangan Islam dan Katolik



Peserta Seminar berjibun, menikmati beberapa pandangan "Maria Menurut Pandangan Islam dan Katolik", pemateri Dr. Halimi Zuhdy, M.A dan RM Dr Handoko. pada Ahad, (21/5/2017) di Aula Bruderan Budi Nuloa Lawang, ingin mengakses/ Download makalah saya http://repository.uin-malang.ac.id/1911.

Saya menjelaskan tentang biografi lengkap Maria, hikmah dan keteladanan. Ia perempuan sebagaimana perempuan di muka bumi, tapi diberikan keistemewaan oleh Allah swt berupa kesucian diri, menjaga kehormatan dan hati, menjejek langit, mengitari hati yang tidak mendekat pada Ilahi. Ia di antara 4 perempuan terbaik Sepanjang sejarah manusia. Silahkan simak makalah saya di
Zuhdy, Halimi (2017)

*Perempuan suci, pengabdi, menjejak langit Ilahi: membincang biografi, hikmah dan keteladanan Maryam binti Imran*_. Presented at Seminar Maria Menurut Pandangan Katolik dan Islam, Ahad, 21 Mei 2017, Aula Bruderan Budi Mulia Lawang Malang. http://repository.uin-malang.ac.id/1911 *Maria Menurut Pandangan Islam dan Katolik*
#halimizuhdy #Maria #Mariyam #Maryam #Islam






Seminar Maria dalam dua Agama (Islam dan Katolik)

Setelah saya presentasi tentang Maryam dalam perspektif Islam, ada beberapa pertanyaan yang tidak saya bayangkan sebelumnya, namun cukup menarik dipaparkan, ada 8 pertanyaan yang ditujukan kepada saya tentang Maryam: 1) saya sering mendengarkan dari para ustadz, bahwa kata maliki dan ilahi dalam surat Annas ditujukan atau dikhususkan kepada Maryam? 2. Apakah dalam Islam juga ada devosi untuk Maryam (pertanyaan oleh RM Petrus Maria Handoko), 3. Kenapa Isa menggunakan AS sedengakan Muhammad SAW. 4) Al Quran diturunkan di Gua Hira', mengapa ia bisa membahas Maryam dan Isa. 5) apakah Maryam tidak dirajam dalan keyakinan Islam. 6) Dimana kedudukan Maryam dalam Islam, apakah sama seperti yang dilakukan oleh Katolik. 7). Bagaimana muslim melihat Isa?.
Saya sudah paparkan seluruh pertanyaan tersebut dalam forum seminar, mudah mudahan ada waktu untuk menuliskan jawaban tersebut.
Katolik berbeda memperlakukan Maria, sebagaimana Islam Memperlakukannya. Sebagaimana Nabu Isa dan Nabi Muhammad, juga berbeda.
#Maria #Maryam #SeminarIslam&katolik #halimizuhdy

Senin, 04 Juni 2012

Tuhan, Punya Tempat?




Kalau Tuhan ada di lagit, bagaimana aku menggapaiNya, kalau Tuhan ada di mana-mana, bagaimana aku mampu menyatu denganNya, kalau Tuhan dekat mengapa aku sering tak mampu berkomunikasi dengaNya.

Beberapa hari ini saya dibrondong pertanyaan tentang Tuhan oleh anak saya. Pertanyaan biasa, namun cara menjawabnya yang tidak biasa, membutuhkan energi untuk berfikir, jawabannya harus bisa memahamkan, dan juga benar.  Saya harus mengingat-ingat kembali ilmu kalam di Madrasah dulu, atau Teologi Islam yang diajarkan di Perguruan tinggi, tapi pertanyaan itu juga menggelitik pikiran, karena ditanyakan oleh anak sekecil seperti Nayif Azmy. Namun, beberapa hari ini, pertanyaan itu agak sedikit terobati oleh Film di MNCTV Raden Kian Santang, film anak kecil yang cukup baik, yang semuanya dimuarakan pada Tuhan.

Sabtu, 05 Januari 2008

RELEVANSI TEOLOGI ASY’ARIYAH


RELEVANSI TEOLOGI ASY’ARIYAH
TERHADAP KEHIDUPAN MODERN
(Telaah Kritis Atas Teologi Asy’ariyah)

Halimi Zuhdy

Sebuah kajian atau kritikan terhadap teologi yang
berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi
atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran
yang sudah dibangun oleh para teologi yang berkembang
di zamannya, namun untuk melihat kembali apakan
pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan pada
zaman sekarang yang penuh dengan berbagai macam
krakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikiran
tersebut perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasi
dengan kehidupan modern, disamping itu dapat
mengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teolog
yang berbeda dalam metodelogi objektifitas dan
kemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat.
Kajian terhadap teologi Asy’ariyah disini tidak
dimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positif
dalam teologi Asy’ariyah dari praktek keagamaan umat
Islam seluruhnya atau sebagiannya, namun yang
diinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkaji
kebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai
landasan
berfikir dan beramal umat Islam di masa kini dan mendatang.
Yang dituntut dalam pemikiran teologi adalah kekuatan
atau potensi konsep pemikiran tertsebut dalam
menawarkan solusi dan penyelesaian
permasalahan-permasalahan yang di hadapi umat dengan
berlandaskan pada fundamen-fundamen kekaidahan dan
komprehensip tampa harus disibukkan oleh
persoalan-persoalan parsial dalam teologi tersebut,
dan jika kita menengok kondisi aqidah umat dewasa ini
, dengan jelas kita akan temukan satu problem penting
yang timbul dari fenomena kemunduran umat Islm, yang
pada gilirannya menyebabkan stagnasi pada perkembangan
pemikiran Islam, dan secara berlahan-lahan akan
memisahkan dari kehidupan riil, yaitu terjadinya
pemisahan-pemisahan antara teologi Islam dan upaya
penerapan ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan.
Dalam term lain kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam
sejarah umat Islam pada masa kemunduran peradapan
Islam. Menciptakan jurang yang memisahkan antara aspek
teologis dan aspek amaliyah umat. Sehingga sukar
ditemukan bentuk-bentuk dan prilaku umat yang
termutifasi langsung dari sebuah keonsep teologi. Dan
terkadang terlihat seakan –akan kebenaran teologi itu
sendiri hanya merupakan persepsi-persepsi rasional
yang tidak ada sangkut pautnya terhadap kehidupan
manusia.
Masuk pada teologi Asy’ariyah, kita harus dapat
menempatkan aliran teologi ini pada proporsi yang
sebenarnya, tidak mengklaim teologi ini yang
menyebabkan kemunduran orang Islam atau
berlebih-lebihan menganggap teologi ini paling benar
karena berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist sehingga
tidak perlu dikritisi, dalam tulisan ini penulis ingin
mencoba melihat kembali relevansi doktrin Asy’ariyah
terhadap prilaku umat dan juga telaah terhadap teologi
tersebut.

Telaah atas Tema Pokok Teologi Asy’ariyah dan
relevansinya Terhadap perilaku umat.s
Telaah ini tidak untuk merekontruksi
pandangan-pandangan Asyariyah dalam teologi, apalagi
merombak total paham-paham yang dianggap tidak sesuai
denngan zaman,. Namun yang diinginkan ialah melihat
kembali nilai-nilai ilmiah dan obyektifitas suatu
konsep teologis dan mengungkapkan sejauh mana
pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Diharapkan dari
kajian ini tumbuhnya sikap positif dan rasional dalam
menerima atau menolak sebuah konsep teologi tertentu.

Sebelum membahas tema pokok asy’ariyah dan
relevansinya terhadap kehidupan modern penulis ingin
mengutip pandangan Nur Kholis Majid tentang Akidah (
teologi As’ariyah).
“Yang dimaksud akidah, itu apa sih? Istilah itu tidak
ada dalam al-Qur’an,. Akidah itu artinya ikatan,
sampul iman yang dirumuskan dan diturunkan dalam ilmu
kalam, Ushul al-Dinatau ilmu Tauhid. Dan itu merupakan
hasil presepsi sejarah, Taruhlah akidah yang sangat
domenan saat ini, akidah Asy’ari, Misalnya sifat dua
puluh (wujud, kidam, baqo’dan seterusnya-) itu adalah
hasil kreasi kaum Asy’ariyah sebagai respon terhadap
bahaya banjirnya Hellenisme. Tapi sebagai mana
al-Attas dalam menghadapi barat, Asy’ari juga
menyerang Hellinisme dengan menggunakan falsafat
Hellenisme .Dan untuk itu, Asy’ari berjasa. Akidah
Asy’ariyah itu otentik, meskipun perlu di pertanyakan
relevansinya untuk saat ini.22
Pandanganseorang tokoh tersebut dapat dilihat, Bahwa
tidak menutup kemungkinan ajaran-ajaran yang sudah
tersebar dan mendarah daging di masyarakat, serta
dijadikan idiologi paten yang tidak boleh di otak
atik, masih ada yang perlu dikritisi dan dirubah,
karena banyak pendapat yang juga perlu di pertanyakan
keontetikannya,karena tidak sesuai dengan Naqli
ataupun Aqli , hal ini bertujuan untuk mengkaji sejauh
mana relevansi doktrin asy’ariyah terhadap kehidupan
umat.

a.Wujud dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupum
Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting
ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan
keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan
kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para
Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka
dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang
diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas nampak
adanya keterlibatan manusia -atau setidaknya aspek
kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi)

Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba
menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi)
diantara dua aliran; yaitu Salafiyah dan
Mu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah -dengan
didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika
formal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secara
distorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)-
malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis
yang empiris-metodologis. Bahayanya lagi,
argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalami
eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’
(pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim
(antropomorfisme).
Dapat kita temukan dalam alur pemikiran Asy’ariyah
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakan
teori-teori filsafat alam (natural philosophy)seperti
teori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan
(probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa
alam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu
selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari
muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut
harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi
daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang
dalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu
mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan
bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat
mumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala
sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang
menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebut
harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib
ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan
tasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwa
wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyah
menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan
sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir)
yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya
dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena
semua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yang
hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits.
Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas,
Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulan
metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusaha
menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk
membuktikan sesuatu yang natural. Metodologi ini jelas
bertentangan dengan metodi empirisme ilmiah.
Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh
Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi
argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana
mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits,
sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat
tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada
hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa
Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan
dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan
keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu.
Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan
dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak
lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa
Tuhan alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci”
yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alasan
Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada
hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan
merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus
dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga
manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam
ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini
hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan
menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikan
dangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan
yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan
Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal
manusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person
(al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan
penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring
dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan
kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam
tersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu
yang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan”
menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan.
Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan
memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang
lain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi
alam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalam
wujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya
tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun
berlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsur
dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi
alam, maka manusia pun kehilangan esensinya dan
manjadi wujud hampa tanpa arti.
Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alam
cukup membahayakan esistensi manusia tatkala kita
menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa
alam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits,
hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan
pembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secara
logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil,
semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang
muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul,
manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu
menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah
itu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan
menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain di
luar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argumen
argumen distorsif tersebut berangkat dari landasan
keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif
ilmiah .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan,
yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatu
pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar
fard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah
menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yang
disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut
pada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa
imajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untuk
mengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa
alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar
sebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat
dibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur dan
penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan
ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah.
Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fard
tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak
faktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri
ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami
bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud
sesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuan
terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di kembangkan
oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di
dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan
Islam,yaitu yahudi dan Kresten, sebegitu rupa.
Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada
sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang
dalam bidang teologi telah mengalami “pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah
ini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam buku
Nur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahli
Filsafat Modern dari Berkeley, California, Ilmu
pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang
asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar
dalam Astronomi Modern sangat menujang argumen-argumen
Ilmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.23

b. Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topik
keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standar
nilai kebaikan dan keburukan- menempati deretan yang
paling penting. Topik ini, disamping merupakan
pembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengan
segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam,
juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat
penganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya
merupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yang
ekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembangan
selanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak
dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah
(Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang
keadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah
(keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan
telah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan
(al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaan
keduanya sebagai dualisme nilai yang diperpegangi
manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan
bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu
yang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang
pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya
mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan
syara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dan
dilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka hal
itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa
keburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai
keburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimana
mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan
buruk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannya
dari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian itu
hanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahl
al ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya
standar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif,
mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumber
nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan
sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu
perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’
diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa
kejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.
Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk
berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan
tersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah,
sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik.
Atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlaku
jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan
tercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah
beralasan bahwa akal manusia sangat relatif dalam
menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur
subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpa
keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dan
keburukan akan sangat relatif. Secara global
Asy’ariyah mengakui relativitas akal manusia pada
perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan
aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di
samping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasar
utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai
ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas. Tapi
sebaliknya argumen tersebut cukup keliru, sebab
pendapat yang mengatakan tentang kenisbian nilai moral
tidak mutlak benar. Para ahli telah mengakui adanya
prinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalan
dengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum
konvensional. Prinsip-prinsip dasar ini tidak
mengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Dan
manusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-hal
yang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar akan
berubah jika dipengaruhi atau dituntut oleh kondisi
tertentu, yang pada hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan pengosongan nilai yang dilakukan
Asy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapat
menyebabkan kekacauan dan pertikaian antar individu
yang memperjuangkan kepentingan tertentu. Pihak- pihak
penguasa tentu saja dapat mempolitisir dan
melegitimasi ketetapan syara’ untuk
kepentingan-kepentingan pribadinya atau kepentingan
golongan tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebih
lemah terpaksa harus mengakui ‘kebenaran’ yang
diperbuat oleh pihak penguasa.
Sebaga imana yang telah disebutkan diatas, teologi
Asy;ariyah adalah teologi moderasi atau penengah antar
dua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyah
menampilkan teori Kasb sebagai ‘pelarian’ dari
kekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari satu
sisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.

Penutup
Dalam antitesa sementara penulis, ternyata Teologi
Asy’ariyah belum manpu menawarkan ideology alternatif
dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda
peradaban Islam ke ambang kecerahan, sehingga mapu
mensejajarkan dirinya dengan perdapan-peradaban yang
lebih maju. Apakah perubahan-perubahan positif dan
fundamental akan terjadi dan langsung sebagaimana
mestinya sementara kita masih “mengkultuskan” teologi
Asy’ariyah sebagai satu-satunya teologi yang paling
abash? Bagaimana mungkin mengembangkan ilmu
pengetahuan dan tehnologi modern di saat kita
menyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara
teori dan metode penerapan ilmu itu sendiri? Kita
sering beranggapan bahwa bagaimana usaha manusia dalam
berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam,
manusia harus mananti dan menunggu “ilmu” yang datang
dari “sumber lain”, berupa Ilham, wangsit dan
sebagainya, Sangat tidak logis bila kita membatasi
kapabelitas akanmanusia dan meletakkanya di bawah
kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam konteks
masyarakat yang masih mengalami krisi inteltual dan
rasionalitas.
Demikian ulasan yang sederhana ini, yang ada intinya
mengajak seluruh pembaca untuk tetep tanggap dan
kritis terhadap seluruh bentuk ijtihad dan ideology
yang di wariskan oleh sejarah pemikiran Islam, pada
khususnya maalah yang berkaitan dengan akidah
(teologi).

*) Mahasiswa King Saud University Riyadh, Dosen PKPBA UIN Malang,dan Direktur Lembaga Kajian Pesantren dan
Masyarakat (LKPM). Alumni PP An-Nuqoyah Sumenep
Madura.