السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 14 Juli 2018

ISLAM NUSANTARA YES, ISLAM TANPA NUSANTARA YES, TAK BER-ISLAM NO

(Indahnya Perbedaan)
Halimi Zuhdy 

"Islam itu selalu mengajarkan persatuan dan kekokohan, toh kalau ada perbedaan di dalamnya, itu adalah hal biasa, karena Perbedaan adalah Rahmah, seperti yang kini lagi marak, perbedaan Islam Nusantara dan Islam tanpa Nusantara, keduanya biasa saja menurut saya, apalagi keduanya punya argumentasi sendiri-sendiri, dengan ijtihad sendiri". Saya sampaikan dalam suatu forum, dengan tema "Bagaimana menghargai perbedaan". 

"Ustadz tidak tegas, dan tidak punya pendirian". Tegas santri pada saya.
"Apanya, yang tidak tegas?". Saya menyanggahnya. 

"Kalau ustadz punya pendirian, ya kalau percaya, akui saja Islam Nusantara, kalau tidak sepakat, tolak dong ustadz". Ia mencoba memahamkan. 

"Apakah tegas itu harus memilih "Ia" atau "Tidak", bukankan memilih di antara keduanya juga sebuah ketegasan dalam memilih. Bukankah setiap kepala punya ide, setiap tubuh punya sikap, dan setiap orang punya pilihan sendiri". Papar saya, Sedikit menekankan pada bahwa pilihan itu banyak, tidak hanya dua. 

Saya melanjutkan, "Bukankah Islam juga mengajarkan kepada kita, bagaimana bersikap wasathan, tengah-tengah, dan Islam Nusantara atau Islam tanpa Nusantara, bukanlah wajib atau mubah, bukanlah haram dan sunnah, ia hanya sebuah ijtihadi. Silahkan yang mau mengikuti, dengan alasannya yang kuat, dan juga yang menolak dengan alasan pula. Buktinya, ditubuh NU sendiri juga ada perbedaan, apalagi yang di luar NU, hal itu biasa, dan NU biasa dalam sebuah perbedaan. Maka lihatlah, bagaimana bahsul masail yang mengajarkan perbedaan itu menentukan sebuah hukum, tapi pada akhirnya juga ada sikap dan konsekwensi dari hukum itu". Tegas saya pada santri. 

"Tapi ustadz, kalau mengakui Islam Nusantara,  nanti dianggap pengikut leberal dan anti Arab,  dan kalau tidak mengakuinya dianggap keluar dari NU, NU keras, dianggap tidak paham NU, bahkan dianggap aliran lain, dan lainnya sebagainya? " ia mencoba mencari celah. 

"Tidaklah, Islam Nusantara itu tidak sampai pada pemahaman aqidah dan aliran tertentu, gara-gara percaya sama Islam Nusantara kemudian shalatnya berubah, tuhannya berganti, hajinya di Nusantara, itu terlalu sempit. Atau sebaliknya, bagi yang menolak Islam Nusantara, dianggap beraliran keras atau lainnya, hal itu juga tidak, buktinya ada kyai yang menolak Islam Nusantara juga bukan aliran keras dan saya yakit tetap di NU". Saya mencoba meluruskan anggapan itu. 

"Mari, sesama muslim Nusantara dan di luar Nusantara, yang paling penting sekarang adalah satukan tekat untuk menuju keberagamaan yang baik,  demi  kebangkitan umat, baik dalam ekonomi, pendidikan, kesejateraan, keamanan, dan lainnya, tidak sibuk perang di medos hanya gara-gara istilah, bukannya saya menyepelkan istilah, tapi bagaimana berargumentasi yang akademis bukan emosional, dan sampai-sampai keluar istilah hewan yang tidak pantas diucapkan, kecebong kampret dan istilah-istilah yang tidak dewasa". Sambil  tersenyum dengan keringat yang mulai mengurai.
"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah" saya melanjutkan materi IKHTILAF ITU CANTIK. 

Pisau, jika lama tidak digunakan akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, maka ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".

Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya. 

Para Sahabat, Tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata _Al-Quru'_, pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal _siyayah_, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah. 

Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim. 

Ikhtilaf, bukanlah berangkan dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka,  di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh. Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini,  bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi _iktilaf ummah rahmat_ yang selalu berdasar pada dalil, tetapi _tafarruq_ yang tercela.

Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri. 

Suatu kali
"اَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ  ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ  أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”

"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah. 

Permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena iktilah adalah kecantikan;
"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"
"Kayu tambah indah, jika diamplas"

Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian.
Salam ukhuwah islamiyah

khadim PP. Darun Nun
www.darunnun.com
Wakil Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Malang
www.halimizuhdy.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar