السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juli 2025

Menilik Asal Kata "Dakwah" dan Falsafahnya


Halimi Zuhdy 

Kemenag Kota Malang menghadirkan 100 Da'i Daiyah Kota Malang dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, LDII, dan lainnya dengan badan-badan otonomnya yang bergerak dalam dakwah, Muslimat, Fatayat, Aisyiah, Nasyatul Aisyiah, LDNU, IPNU, IPPNU, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Acara ini dibingkai "Pembinaan Dai Daiyah Tingkat Kota Tahun 2025". 
Menarik dalam pembukaan acara yang disampaikan oleh KH. Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang "Dai dan Daiyah harus sudah selesai dengan dirinya" kalimat ini cukup dalam, bagaimna seorang dai daiyah sudah selesai dengan dirinya, artinya kebutuhan keilmuan agamanya, emosinya, akhlaknya dan lainnya, walau memang harus terus belajar. Demikian juga apa yang disampaikan oleh KASI BIMAS Islam Kemenag, Ustadz Ahmad Hadiri, M.Ag, bahwa visi dai adalah memperbaiki umat, bukan sebaliknya, mengantarkan umat pada kebaikan-kebaikan, dan acara di atas sebagai ajang silaturahim dan memperkuat kesatuan para dai daiyah Se Kota Malang menuju satu gerakan, "memperbaiki umat"

Toyyib. Tadi pagi, sebelum memberikan materi tentang peluang dan tantangan Dai Daiyah di Era Gigital, sekilas saya menyampaikan tentang asal usul kata "Dakwah" beserta derivasinya. Karena, tidak sedikit orang atau juga dai yang memahami bahwa dakwah hanya sebagai "ceramah" atau ajakan lisan semata. Padahal, bila kita menelusuri lebih dalam, baik dari sisi bahasa Arab maupun pemaknaan istilahnya dalam Islam, dakwah (الدعوة) adalah konsep yang jauh lebih kaya dan mendalam. 
Pemahaman yang benar tentang asal katanya akan memperkaya cara kita memandang dan menjalankan misi dakwah itu sendiri. Secara bahasa, الدعوة berasal dari akar kata kerja دعا – يدعو – دعوةً, yang berarti “memanggil”, “mengajak”, atau “menyeru”. Orang yang melakukannya disebut داعية, dan dalam bentuk jamak disebut دعاة. Dari sinilah kita mengenal istilah dai atau pendakwah dalam bahasa Indonesia. (Kamus Ma'ani). 

Menariknya, para ahli bahasa Arab (lugawiyun) mengungkapkan bahwa kata الدعوة dalam penggunaannya memiliki banyak makna. Tidak hanya berarti ajakan, tetapi juga bisa bermakna: النداء (seruan), الطلب (permintaan), الدعاء (doa atau permohonan kepada Allah), الاستمالة (usaha untuk menarik hati seseorang), sebagaimana dikatakan oleh az Zamakhsyari: "دعوت فلاناً وبفلان ناديته وصحت به" "Aku memanggil si Fulan, menyerunya dan bersuara keras kepadanya." (dalam Asasul Lughah). 
 Sedangkan Al-Razi juga menambahkan "والدعوة إلى الطعام بالفتح، أي كنا في دعوة فلان"  "kata الدعوة jika dibaca fathah berarti undangan, seperti dalam kalimat 'kami berada dalam undangan si Fulan'." Dari sini kita memahami bahwa dakwah adalah aktivitas aktif untuk memanggil, menyeru, bahkan menarik simpati orang lain kepada sesuatu yang dianggap benar dan penting.

Dalam perspektif Islam, makna الدعوة tidak berhenti pada tataran bahasa. Secara istilah, kata ini berkembang menjadi dua makna besar: (1) Dakwah sebagai sinonim dari Islam itu sendiri, yaitu ketika الدعوة merujuk kepada agama Allah yang dibawa para nabi, sebagaimana disebut dalam salah satu definisi:"هي دين الله الذي بعث به الأنبياء جميعاً..." "Ia adalah agama Allah yang diutus bersama semua nabi..."

Sedangkan yang 2) Dakwah sebagai proses menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam. Dalam makna inilah, dakwah menjadi misi para ulama, dai, pendidik, bahkan siapa pun yang berusaha menghadirkan Islam di tengah umat manusia. Selain itu, dakwah juga dimaknai sebagai "الحث على فعل الخير واجتناب الشر، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر..." "Dorongan untuk berbuat baik, menjauhi keburukan, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."

Maka, melihat keluasan makna ini, menjadi jelas bahwa dakwah bukan hanya pekerjaan lisan atau podium, tetapi misi hidup yang mencakup seluruh aspek ajakan kepada kebaikan, nilai, akhlak, dan tauhid. Bahkan ketika seseorang menulis kebaikan, membantu sesama, atau memberikan teladan dalam perilaku sehari-hari, itu pun bagian dari dakwah. Apalagi jika kita menilik salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan suasana penghuni surga: دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  [Yunus: 10] "Seruan mereka di dalamnya adalah 'subhanakallahumma'..." Ini menunjukkan bahwa dakwah juga bisa bermakna doa, seruan, atau ekspresi ketundukan kepada Allah, dan bukan semata-mata ajakan kepada orang lain.

Oh ia, dalam penggunaannya juga vareatif  dan tergantung konteksnya. Kata الدعاء juga berarti memanggil atau memohon. Menurut Imam az-Zabidi, الدعاء dengan dhammah di awal dan huruf panjang di akhir, bermakna permohonan atau kerinduan kepada Allah atas kebaikan yang ada di sisi-Nya, disertai dengan pengharapan dan permintaan, sebagaimana dalam firman Allah:  ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً  (Al-A’raf: 55). Sementara itu, menurut Ibnu Faris, sebagian orang Arab menyebut الدعوة dalam bentuk muannast dengan tambahan alif di akhir menjadi الدعوى. 

Kata الدعوى juga digunakan dalam doa, seperti dalam ungkapan kaum muslimin: اللهم أشركنا في دعوى المسلمين yang berarti "Ya Allah, sertakan kami dalam doa kaum muslimin". Dalam Al-Qur’an, bentuk ini juga muncul dalam Ayat:  دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  (Yunus: 10), yang menunjukkan bahwa seruan atau doa mereka di surga adalah bentuk pengagungan kepada Allah. Dengan demikian, kata الدعاء dan الدعوى memiliki akar makna yang sama, yaitu menyeru atau memohon, namun penggunaannya dapat berbeda tergantung konteks.

Allahua'lam bishawab

Kamis, 17 Juli 2025

Kyai Tidak Memihak Orang Desa?


Halimi Zuhdy

Belakangan saya sering dengar komentar seperti: "Kyai itu tidak tahu realitas di desa," atau "Kyai hanya ngerti kitab, bukan perasaan orang kecil." "Hiburan dan kesenangan orang desa, kok selalu dilarang, kayak paling suci dewe" Jujur, saya bingung.

Bukankah kebanyakan kyai itu justru lahir dari desa? Hidup di tengah masyarakat desa, mendengar keluh kesah warga setiap hari dari masalah utang, tahlilan, jenazah yang belum punya kain kafan, sampai urusan rumah tangga. Bahkan kyai sering kali jadi tempat pertama yang didatangi orang desa saat ada musibah.
Lalu kenapa muncul anggapan bahwa kyai tidak paham realitas orang desa? Aneh saja. Justru yang sering bicara soal desa kadang malah bukan orang desa. Ada yang merasa paling "desa", paling paham orang kecil, padahal nongkrong saja jarang sama warga. Sibuk dengan analisis dan slogan, tapi jauh dari pergaulan.

Saya jadi ingat kisah orang tua saya di Madura. Beliau asli kampung. Tapi sejak kecil, saya tidak pernah diperbolehkan menonton kerapan sapi. Katanya, karena dulu ada fatwa haram menonton karena menyiksa hewan, apalagi kalau sampai luka-luka. Ada juga larangan nonton sronen, ludruk, atau tontonan lain yang bercampur laki-laki dan perempuan. Alasannya jelas, karena ada ikhtilat, hiburan yang bisa menjurus ke maksiat. Dan sampai sekarang, tidak pernah tahu nonton karapan sapi😁. 

Jadi kadang, bukan soal kyai tidak paham. Tapi kyai melihat dari kacamata hukum dan tanggung jawab akhirat. Kadang masyarakat ingin hiburan, ingin budaya tetap hidup. Tapi kyai melihat batas. Apa yang boleh, mana yang tidak. Memang tidak semua keinginan masyarakat bisa diiyakan. Maka, di sini dialog itu penting antar berbagai kepentingan-kepentingan, walau pada akhirnya harus haram, tapi minimal sudah tahu alasannya. Memang tidak semua harus menerima, karena setiap orang/kaum punya kepentingan, tapi dimana yang lebih maslahat, itu yang harus didahulukan?!

Bukan bermaksud memihak beberapa kyai, terutama kyai yang hidup di kampung. Mereka hidup dengan keras, ada yang bertani, beternak hewan, dan lainnya. Dan tidak sedikit yang tahu suara orang kampung. Maka, dari sini aneh, kalau semua kyai dianggap bersuara dari menara gading. Ya tentunya ada beberapa kyai.he

Dan memang, tidak semua yang lama harus dipertahankan. Tapi tidak semua yang "baru" juga pasti benar. Maka, butuh bijak, kebijaksanaan, atau kalau dipertahankan, tetap dilihat ulang kemaslahatannya. Kita perlu belajar bijak. Tidak buru-buru menuduh. Kyai bukan malaikat, tapi bukan pula orang yang tidak peduli. Banyak kyai yang diam bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu kapan harus bicara dan kapan harus menahan diri. Dan tidak semua suara yang dikelaurkan kyai, juga pasti benar. Tidaklah. 

Nabiyuna, Muhammad SAW bersabda:
"من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت"
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."HR. Bukhari dan Muslim

Jadi, sebelum menyimpulkan atau mengomentari yang tidak-tidak, mungkin kita perlu diam sejenak, lalu bertanya: "Apa yang sedang dijaga oleh para kyai itu?" Barangkali bukan hanya tradisi, tapi juga keselamatan hati dan akhirat kita semua.

Hidup Paling Nikmat

(Jangan Tinggalkan 3 Hal dalam Hidup)

Halimi Zuhdy

Kadang saya iri pada tukang becak yang bisa mendengkur di atas becaknya meski matahari terik. Tidurnya lelap sekali. Saya juga iri pada para petani yang makan lahap di pinggir sawah walau hanya ikan kering dan sayur sederhana. Nelayan yang diterpa ombak pun tampak nyaman seakan perahunya rumah paling damai. Atau para pemulung dan tukang sampah yang menyeruput kopi di tumpukan sampah, tak peduli bau menyengat, mereka tertawa bebas bersama kawan-kawannya. Asyik betul. Dulu waktu ikut orang ke kebun, nasi jagung, sayur maronggih, sambal acan, dan ikan kering adalah hidangan paling nikmat. Sampai hari ini, belum ada tandingannya. Aha.
Saya jadi teringat pesan seorang al-Hakim (orang bijak):

قال حكيمٌ لابنه: يا بنيّ، في حياتك لا تتنازل عن ثلاثة: أن تأكل أفضل الطعام، وتنام على أفضل الفراش، وتسكن في أفضل البيوت. فقال الابن: نحن فقراء، فكيف لي أن أفعل ذلك؟ فقال الحكيم: إذا أكلتَ فقط عندما تجوع، سيكون ما تأكله أفضل طعام. وإذا عملتَ كثيرًا وأنت متعب، سيكون فراشك أفضل فراش. وإذا عاملتَ الناس بالمعروف، سَتسكن في قلوبهم، وبهذا تكون سكنتَ في أفضل البيوت.

Seorang lelaki bijak berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dalam hidup jangan pernah menyerah pada tiga hal: makanlah makanan terbaik, tidurlah di ranjang terbaik, dan tinggallah di rumah terbaik.” Anaknya menjawab, “Kita ini miskin. Bagaimana mungkin?” Si bijak berkata, “Jika kamu makan hanya ketika benar-benar lapar, apa pun yang kau makan akan terasa sebagai makanan terbaik. Jika kamu bekerja keras hingga lelah, tempat tidur apa pun akan menjadi paling nyaman. Dan jika kamu memperlakukan orang-orang dengan kebaikan, kamu akan tinggal di dalam hati mereka, itulah rumah terbaik.”

Pengalaman pribadi: waktu di pesantren, apa pun terasa enak. Tidur di mana pun nyenyak. Bahagia karena bersama teman-teman senasib; ngaji jauh pun ditempuh dengan gembira. Tidak kenal restoran, hotel, atau kafe. Makan ya duduk di dapur, kadang aroma sedap bercampur bau kamar mandi tetap saja lahap. 🤣

Ada lagi pesan kiai yang selalu saya ingat: “Santri kalau mau sukses lakukan tiga hal: satu, perbanyak tidur; dua, perbanyak makan; dan yang paling penting nomor tiga: kurangi belajar.”

Kita heran: kok bisa sukses kalau belajar justru dikurangi, sementara makan dan tidur diperbanyak? Kiai lalu menjelaskan sambil tersenyum. Maksud “perbanyak makan” adalah: santri akan makan lahap kalau belajarnya “berkurang” bukan malas, tapi selalu merasa kurang dalam belajar. Baca satu halaman kitab terasa belum cukup; lanjut lagi, dan lagi. Haus ilmu. Rakus kebaikan. Karena belajar tak pernah selesai, lapar pun gampang datang—makan jadi nikmat. Lelah belajar membuat tidur singkat pun terasa panjang dan pulas; inilah makna “perbanyak tidur.” Bukan jumlah jamnya, tapi kualitas tidurnya.

Jadi, apa yang disampaikan al-Hakim: hidup itu paling nikmat justru lewat letih yang bermakna. Al-ajru ba‘da ta‘ab pahala (dan kenikmatan) datang setelah lelah.

Banyuwangi, 17 Juli 2025

***
Gambar diambil dari OmanisForTolerance. com

Jumat, 27 Juni 2025

Dalam Al-Qur'an, Rahmat Allah Selalu Didahulukan dari MurkaNya


Halimi Zuhdy

Menarik bila kita telisik lebih dalam, bahwa struktur kata dan kalimat tentang rahmat (kasih sayang) lebih banyak didahulukan dari pada azab (siksa). Dan tambah menarik lagi bila struktur ini diterapkan dalam kehidupan beragama. Terkadang pesan-pesan agama kerap kali ditampilkan oleh sebagian (entah sebagian kecil atau sebagian besar.he) dengan nada ancaman, peringatan, dan penekanan pada murka Allah. Tak sedikit penceramah yang dengan lantang menggambarkan siksa neraka, azab kubur, dan kemarahan Allah atas dosa-dosa manusia. Padahal, dalam Al-Qur’an, "Rahmati wasi'at kulla syai'".
Dalam berbagai ayat Al-Qur’an, ketika rahmat dan azab disebut bersamaan, hampir selalu rahmat Allah disebut terlebih dahulu. Misalnya dalam firman-Nya
"يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ"
"Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Ma’idah: 18)

"إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٍ"
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan dan juga azab yang pedih."* (QS. Fushshilat: 43)

Tidak berhenti di situ, bahkan dalam hadits yang masyhur, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:  لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ، كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي  رواه البخاري (7453)، ومسلم (2751)

...Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku..

Ini adalah pesan yang sangat kuat dan relevan untuk terus digaungkan, bahwa kasih sayang Allah jauh melampaui murka-Nya. Maka dari itu, para pendakwah, penceramah, dan guru agama sebaiknya lebih banyak menonjolkan sisi rahmat dan cinta Allah dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Bukan untuk mengabaikan peringatan dan ancaman, tetapi agar umat merasakan bahwa agama ini dibangun atas cinta, bukan ketakutan semata.

Azab dan murka Allah tentu ada dan nyata. Namun Al-Qur’an sendiri hanya menampilkan keduanya secara tegas dalam konteks tertentu seperti terhadap pelaku kriminal, perusak tatanan, dan mereka yang keras kepala dalam penentangan terhadap kebenaran. Dalam konteks itulah terkadang azab disebut lebih dulu, seperti dalam:

"يُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ"
(QS. Al-Ma’idah: 40) karena sedang membahas tentang para perampok dan penjahat yang mengganggu ketenteraman masyarakat.

Namun untuk umat secara umum, dan terlebih untuk para pencari kebenaran, semestinya yang dikedepankan adalah pengharapan kepada rahmat-Nya, bukan ketakutan semata terhadap hukuman-Nya.

Allah tidak menciptakan manusia untuk disiksa, tapi untuk mendapatkan rahmat dan ampunan. Dalam banyak kesempatan, Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya, bahkan untuk dosa yang sebanyak buih di lautan. Maka tugas utama para pendidik dan pendakwah adalah menghadirkan Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pemaaf. Sebab manusia akan lebih terdorong untuk berubah menjadi lebih baik ketika ia merasa dicintai dan diberi harapan.

Narasi keagamaan yang mendidik adalah yang menggabungkan antara harapan dan ketakutan, namun tetap dengan porsi yang seimbang dan dalam konteks umum, harapan hendaknya lebih dominan. Itulah yang diajarkan Al-Qur’an dan itulah yang lebih sesuai dengan fitrah manusia bahwa harapan adalah bahan bakar perubahan.

Senin, 24 Februari 2025

Mewujudkan Kampus yang Berkontribusi bagi Kebermanfaatan Umat


Halimi Zuhdy

Saya duduk di shaf kedua. Menunggu kedatangan Sekjen Kementerian Agama RI. Sambil berfikir, kira-kira apa hal baru yang akan beliau sampaikan. Atau hal lama yang mungkin beliau perkuat. Karena, setiap pemimpin baru pasti membawa visi dan misi yang akan diwujudkannya. Setengah jam menunggu, beliau hadir bersama Rektor UIN Malang, Prof M. Zainuddin yang didampingi oleh para wakil rektor dan beberapa jajaran lainnya. 
Acara dimulai, setelah sambutan rektor. Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA, menyampaikan orasinya. Dalam rangka Pengarahan Sekjen di Kampus III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam paparannya, beliau menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dalam lingkup lokal maupun global.

"Terdapat tiga kampus yang berpengaruh dalam diskursus keagamaan dunia, yakni Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Islam Madinah di Arab Saudi, dan Universitas Al-Musthafa di Iran", Kata beliau, bahwa penyebutan tiga kampus tadi dari hasil penelitian dari seorang peneliti di Inggris (beliau tidak menyebutkan namanya). Tiga kampus tersebut tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga menjadi sumber pemikiran yang dibawa oleh mahasiswa asing ke negara masing-masing, menciptakan jaringan intelektual yang luas dan berkelanjutan.

Terus beliau menyinggung banyak kampus, khususnya di Indonesia. Kampus Islam. Yang harus terus bergerak, tidak hanya mengejar predikat kampus Internasional, tetapi harus benar-benar berdampak pada lingkungan sekitar (khususnya) dan juga pada Indonesia. Namun, fenomena yang terjadi di banyak kampus-kampus adalah keberadaan sumber daya manusia yang melimpah tetapi kurang memberikan dampak nyata bagi lingkungan sekitar. Banyak alumni yang berhasil dalam bidang akademik, namun realitas sosial di sekitar mereka tetap tertinggal. Ada lulusan yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, terjadi perceraian dalam keluarga, anak-anak santri mengalami masalah ekonomi, dan kondisi sosial lainnya yang memprihatinkan. Kampus, dalam hal ini, tidak boleh menjadi entitas yang terisolasi dari realitas kehidupan masyarakat.

Untuk menjawab tantangan ini, beliau menyampaikan tentang pembangunan agama ke depan harus berorientasi pada visi “Rukun, Cerdas, dan Maslahah.” Kerukunan menjadi aspek utama, mengingat keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultural. Kementerian Agama diberikan amanah untuk menjaga harmoni sosial, menjadikannya sebagai target utama dalam pembangunan keagamaan.

Lebih dari itu, agama harus mendatangkan kemaslahatan bagi umat. Pemahaman agama tidak boleh hanya terbatas pada aspek akidah, moral, surga, dan neraka, tetapi juga harus menjadi instrumen yang solutif dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, kampus memiliki tanggung jawab besar untuk menerjemahkan ajaran agama ke dalam tindakan nyata yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Salah satu gagasan penting yang disampaikan dalam pengarahan ini adalah konsep ekoteologi, yaitu bagaimana agama dapat menjadi dasar dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Setiap elemen dalam masyarakat keagamaan, termasuk Kanwil Kementerian Agama, KUA, dan kampus, harus menginternalisasi nilai-nilai ekologis dalam setiap kebijakan dan aktivitasnya. Kesadaran hemat energi, pengelolaan air yang bijak, serta kebersihan lingkungan harus menjadi bagian dari dakwah bil hal (dakwah melalui tindakan nyata).

Tindakan konkret yang dapat dilakukan, misalnya, bukan hanya dengan mengirimkan karangan bunga dalam acara seremonial, tetapi juga dengan menanam pohon sebagai simbol keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan.

Anomali sosial-ekonomi di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Saat ini, terdapat sekitar 27 juta orang miskin dan sekitar 2 juta penyandang disabilitas yang membutuhkan perhatian serius. Masalah ini bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat, termasuk akademisi.

Dalam dunia akademik, sering kali keberhasilan diukur dari jumlah jurnal yang diterbitkan, tetapi kurang menyoroti bagaimana ilmu yang dihasilkan dapat memberikan dampak bagi masyarakat luas. Dosen dan mahasiswa harus lebih aktif dalam membangun keterkaitan antara akademisi dan realitas sosial. Sebagai contoh, meskipun banyak ahli tafsir di lingkungan akademik, tetapi masih banyak masyarakat sekitar yang kurang mendapatkan akses terhadap kajian keislaman yang mendalam. Bahkan masih banyak yang belum bisa membaca Al-Qur'an. Terus SDM yang melimpah, tapi tidak memberikan kontribusi pada lingkungannya?! 

Selain itu, tingkat perceraian yang tinggi, masalah stunting, dan kondisi anak yatim yang terus meningkat juga perlu mendapatkan perhatian lebih. Jika dalam setahun terdapat sekitar 400 ribu kasus perceraian, maka muncul pertanyaan, berapa banyak anak yatim dan janda yang perlu mendapatkan bantuan sosial? Kampus dan akademisi harus hadir untuk menawarkan solusi nyata bagi permasalahan ini.

Salah satu tantangan besar bagi dunia akademik adalah bagaimana menjadikan kampus sebagai pusat kebermanfaatan bagi masyarakat. Keberhasilan akademik tidak boleh hanya diukur dari peringkat internasional, tetapi juga dari sejauh mana kampus mampu memberikan dampak positif bagi lingkungannya.

Alumni yang telah dicetak oleh kampus harus terus berkontribusi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Masih banyak tugas yang harus dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam membangun komunitas, memberdayakan masyarakat, dan menciptakan perubahan yang berarti. Penghargaan yang tinggi perlu diberikan kepada para akademisi yang tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga aktif dalam membina masyarakat, menyampaikan khutbah, dan berkontribusi dalam pengembangan komunitas.

Pada akhirnya, kampus tidak boleh hanya menjadi menara gading yang terpaku pada keunggulan akademik, tetapi harus menjadi institusi yang benar-benar memberikan manfaat nyata bagi umat. Dengan semangat rukun, cerdas, dan maslahah, diharapkan perguruan tinggi Islam dapat menjadi pionir dalam membangun masyarakat yang lebih baik, adil, dan sejahtera.

Malang, 24 Februari 2025

Halimi Zuhdy

Sebagai seorang pendidik, saya sedih ketika melihat dan mendengar seorang pengajar yang melakukan kekerasan fisik atau mental, pengajar yang sering memarahi, merendahkan, atau mempermalukan murid yang akan membuat proses belajar menjadi tidak nyaman dan menurunkan semangat belajar. Atau seorang guru yang berkata baik tetapi bertindak sebaliknya. Atau membedakan murid berdasarkan latar belakang, kedekatan pribadi, atau prestasi akademik tanpa alasan yang benar. Atau mengajar hanya soal nilai dan hafalan, tetapi tidak peduli pada pembentukan karakter. Atau pengajar yang hanya sekedar masuk kelas, tanpa persiapan. Dan lainnya. 
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, sering kali yang pertama kali terlintas dalam pikiran adalah kurikulum, metode pembelajaran, atau fasilitas sekolah. (tidak salah Lo, kurikulum, metode dan fasilitas itu penting, apalagi lembaga pendidikan harus memperhatikan hal tersebut). Tapi, ada sesuatu yang lebih mendasar yang harus menjadi perhatian, yaitu pengajar itu sendiri.  Mari kita lirik dan kaji susunan Ayat dalam Surat Ar-Rahman berikut. Penulis sengaja melirik Ayat ini, karena ada 3 (tiga) kata penting. Ar-Rahman, Allama dan al-Qur'an. Dan Ayat ini dipilih karena terdapat kata "allama", mendidik, mengajar, memberitahu, menginstruksikan, memberi pelajaran. Mari, perhatikan bagaimana Allah membuka Surah Ar-Rahman:  

الرَّحْمٰنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ  

Urutan kata dalam ayat ini bukan kebetulan. Allah tidak langsung menyebut proses mengajar (‘allama) atau materi ajar (Al-Qur’an), melainkan terlebih dahulu memperkenalkan diri-Nya sebagai "Ar-Rahman", Yang Maha Pengasih. Ini memberikan pelajaran penting, pendidikan harus dimulai dari pribadi pendidik itu sendiri.

Seorang guru, sebelum ia mengajarkan ilmu, harus memiliki kasih sayang, empati, dan ketulusan. Ilmu bisa diperoleh di mana saja, tetapi sentuhan hati dari seorang guru yang baik akan membentuk kepribadian muridnya. Betapa banyak orang yang sukses bukan karena buku ajar yang canggih, tetapi karena bertemu dengan seorang guru yang menginspirasi mereka dengan kelembutan dan kebijaksanaan.  Sekali lagi, bukan tidak butuh buku ajar Lo ya?! Wkwwk

Setelah sifat Ar-Rahman disebutkan, barulah muncul kata ‘allama - mengajar. Ini menunjukkan bahwa proses belajar-mengajar memang penting, tetapi ia harus berjalan di atas dasar kasih sayang dan kepedulian. Pendidikan bukan sekadar menyampaikan teori atau menyusun silabus, melainkan seni dalam membimbing dan mendidik dengan penuh kebijaksanaan.  

Kemudian, setelah menyebut proses mengajar, Allah menyebut Al-Qur’an - materi ajar. Ini mengajarkan kepada kita bahwa "buku, fasilitas, dan kurikulum memang diperlukan, tetapi mereka bukan faktor utama dalam keberhasilan pendidikan." Jika seorang guru/dosen/ustadz memiliki hati yang penuh kasih dan metode yang baik, ia bisa mengajarkan ilmu bahkan tanpa fasilitas yang mewah. Namun, sebaliknya, jika pendidikan hanya bertumpu pada teknologi dan buku tanpa adanya guru yang tulus, ilmu akan kehilangan rohnya. Apalagi tujuan ilmu bukan hanya sekedar mencari ilmu lo ya, tapi menjadi lebih baik dengan akhlak terpuji. 

Jadi, dalam konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ayat di atas, ada tiga unsur utama: pribadi pengajar, metode mengajar, dan materi ajar. Namun, urutannya jelas—bukan dimulai dari materi, bukan pula dari metode, melainkan dari karakter pendidiknya. Oh ia, ini bukan satu-satunya, kalau benar-benar ingin mengetahui pendidikan dalam Al-Qur'an, mungkin dapat menggunakan beberapa Ayat terkait dengan ilmu atau pendidikan, yang dalam Al-Qur'an kata "ilmu" dan derivasinya ada 811. Ini membutuhkan kajian lebih dalam. 

Dalam menilik Ayat di atas, Inilah yang perlu kita renungkan. Sebelum bertanya tentang metode terbaik atau kurikulum yang paling efektif, kita perlu bertanya lebih dulu, sudahkah para pendidik memiliki kasih sayang dan kebijaksanaan dalam mendidik? Sebab, sebagaimana yang diajarkan dalam Surah Ar-Rahman, pendidikan sejati bukan hanya soal ilmu, tetapi tentang bagaimana ilmu itu diberikan dengan cinta.🥰

***
Maka, bisa ikuti Saluran Fatwa Cinta Ya......

Catatan ringan di Halaqah UIN Malang Menteri Agama Nasaruddin Umar

 "Membangun Kampus Islam yang Berkarakter: Meneladani Sifat Tuhan"

Catatan ringan ini saya jahit dari untaian Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar dalam Halaqah di UIN Malang, beliau menekankan pentingnya profesionalisme dalam menjalankan tugas di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Menurutnya, profesionalisme bukan hanya sekadar tuntutan administratif, tetapi juga bagian dari amanah besar dalam menghadapi tantangan zaman.
Sebagai institusi pendidikan Islam, kampus-kampus di bawah Kementerian Agama (Kemenag) harus memiliki visi yang jelas. Prof. Nasaruddin mengingatkan bahwa Tuhan sendiri memiliki blueprint dalam menciptakan alam semesta. Maka, manusia yang diberi akal tidak boleh hidup tanpa tujuan yang jelas.

"Kita tidak bisa hanya berjalan tanpa arah, sementara Tuhan telah menetapkan sistem yang begitu sempurna dalam penciptaan-Nya," ujar beliau.

Dalam konteks ini, setiap perguruan tinggi Islam harus menata langkahnya dengan jelas, bukan sekadar mengejar predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), membangun gedung megah, atau meraih peringkat dunia. Lebih dari itu, keberhasilan sejati diukur dari seberapa besar manfaat kampus bagi masyarakat.

"Kampus Islam harus benar-benar hadir untuk umat, bukan hanya eksis dalam angka dan statistik," tambahnya.

Salah satu hal yang menjadi tantangan besar bagi kampus Islam adalah menghindari jebakan formalitas. Kampus tidak boleh hanya menjadi institusi administratif, tetapi harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.

"Sebesar apa pun anggaran yang dihabiskan, jika tidak menghasilkan moral yang baik, maka itu tidak berhasil," tegas Prof. Nasaruddin.

Di sinilah pentingnya identitas Islam dalam Universitas Islam Negeri (UIN). Huruf “I” dalam UIN bukan hanya simbol, tetapi juga tanggung jawab besar. Mahasiswa yang dihasilkan harus memiliki kecerdasan akademik sekaligus akhlak seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim, sosok yang dikenal karena kesalehan dan perjuangannya dalam membangun masyarakat.

Dalam aspek keilmuan, Prof. Nasaruddin mengingatkan bahwa integrasi ilmu tidak boleh hanya sekadar "ayatisasi sains"—yakni hanya menempelkan ayat-ayat Alquran pada teori sains.

"Mari kita ciptakan konsep integrasi keilmuan yang sejati. Bukan sekadar mengutip ayat, tetapi bagaimana nilai ketuhanan bisa benar-benar hadir dalam setiap disiplin ilmu," katanya.

Konsep ini menuntut pendekatan yang lebih filosofis dan mendalam, di mana ketuhanan bukan sekadar ornamen, tetapi menjadi ruh dalam setiap kajian ilmu.

Sebagai bagian dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin, perguruan tinggi Islam juga perlu memahami konsep keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Konsep ini dikenal dengan eco-theology, yang mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan harus dikelola berdasarkan nilai-nilai spiritual dan etika Islam.

Jika keseimbangan ini diterapkan, kampus Islam tidak hanya akan melahirkan ilmuwan yang unggul, tetapi juga pemimpin yang berakhlak dan peduli terhadap kemanusiaan serta lingkungan.

Dan, selanjutnya saya mencatata beberapa hal penting dari uraian beliau. Apa gunanya seseorang menjadi pintar dan berilmu, tetapi tidak Arif Billah (mengenal Tuhannya)? Jika perguruan tinggi Islam hanya mencetak orang cerdas dalam sains tanpa membawa mereka lebih dekat kepada Allah, maka apa bedanya dengan universitas umum?

Inilah yang ditekankan oleh Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. UIN Malang dan kampus Islam lainnya bukan sekadar tempat belajar ilmu dunia, tetapi juga ruang untuk menemukan Tuhan dalam setiap disiplin ilmu.

Kata beliau, "Mari kita bayangkan Ibnu Rusyd—di pagi hari ia adalah dokter spesialis, siang hari seorang filsuf, sore seorang qadhi (hakim), dan malamnya seorang sufi. Ilmu tidak membuatnya jauh dari Allah, justru semakin mendekatkannya."

Maka, kebanggaan kampus bukanlah gedung megah atau laboratorium lengkap, tetapi sejauh mana ia melahirkan insan yang alim sekaligus arif billah—orang yang tidak hanya tahu banyak, tetapi juga bijak dan dekat dengan Allah.

Jika ada orang ahli agama tetapi mengajarkan kebencian, maka ia bukanlah ahli agama, melainkan tukang benci. Karena agama adalah cinta. Allah itu Rahman dan Rahim, yang berasal dari kata rahim—tempat kehidupan bermula, yang penuh dengan kasih sayang. Dunia ini indah karena cinta. Maka, di kampus Islam, ilmu yang diajarkan pun harus bersumber dari cinta—bukan hanya mengajarkan teori, tetapi juga membangun karakter penuh kasih.

Orang yang masih sibuk menyalahkan orang lain berarti belum selesai belajar. Orang arif tidak mencari kambing hitam atau putih, tetapi selalu mencari dirinya sendiri, mengoreksi, dan memperbaiki diri.

Dan di UIN Malang, harapannya bukan hanya melahirkan orang yang alim, tetapi juga orang yang arif billah—yang mengenal dan mencintai Tuhannya melalui setiap ilmu yang dipelajarinya.

Allahu'alam bisshawab 

Halimi Zuhdy
Precet, 10 Februari 2025

Jumat, 07 Februari 2025

Amalan Terbaik di sisi Allah



Halimi Zuhdy

"Ngapain rajin ke masjid, sholat dahinya sampai gosong, bawa tasbih kemana-mana, kalau tidak peduli kepada orang lain, tidak membantu kesusahannya, tidak membantu hajatnya, ke masjid dan ibadahnya hanyalah sia-sia" celetuk seseorang yang lagi sibuk membungkus nasi untuk fakir miskin
"Waduh, sibuk ngurus orang, sampai lupa kewajibannya sama Tuhan, sebaik apa pun membantu orang lain dan beramal terbaik, kalau tidak ingat Tuhan, maka akan sia-sia hidupnya, bukankah tujuan hidup itu beribadah" komentar Samsul pada Hamdan yang setiap harinya ia lihat jarang-shalat, bahkan tidak pernah kelihatan ke masjid. 

Dua komunikasi di atas seringkali terdengar dengan jelas. Satunya merasa benar dengan pendapatnya, karena sudah banyak membantu dan berkorban untuk bangsa dan umat, seperti sudah selesai dengan tugasnya sebagai manusia. Dan satunya juga merasa tugasnya sebagai khalifah adalah shalat dan shalat, sehingga kebutuhan orang lain, membantu orang dan berkorban untuk orang lain adalah sampingan saja, yang penting ingat Tuhan. 

Dan diskusi di atas tidak akan pernah selesai, apalagi dibawa kepada kepentingannya dan nalarnya saja, tapi bagi orang yang beriman narasi di atas adalah narasi yang tidak tepat, karena bagi orang yang beriman tidak pernah melepaskan pengorbanannya (membantu) kebutuhan saudaranya karena memprioritaskan Tuhan, demikian juga sebaliknya. Keduanya adalah perintah dari Allah, dekat pada Allah dan juga bersosial yang baik, sebagaimana kisah Isra' Mikraj, keseimbangan antara vertikal dan horizontal, yang tentunya semakin dekat denganNya, bukan kemudian menjauh dari berkhidmat untuk umat. 

Menarik hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini mengandung pesan penting tentang prioritas amal dalam Islam. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan tiga amal yang paling dicintai oleh Allah: "shalat pada waktunya", "berbuat baik kepada orang tua", dan "jihad di jalan Allah". Berikut adalah analisis mendalam terkait urutan amal ini, serta keterkaitannya dengan hadis-hadis lain yang menyebut amal-amal utama seperti iman kepada Allah, haji mabrur, dan lainnya. 
 
Toyyib, Rasulullah SAW menempatkan shalat pada waktunya sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa shalat memiliki posisi yang sangat penting dalam agama Islam. Shalat adalah "hubungan langsung antara hamba dan Allah" serta "simbol ketaatan yang paling nyata". Ada banyak Ayat dan hadis tentang keutamaannya, misalnya dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45)  

Shalat yang dilaksanakan tepat waktu menunjukkan komitmen seorang hamba kepada Allah. Ketepatan waktu menjadi indikator kepatuhan terhadap perintah Allah, yang mana setiap muslim dituntut untuk mengutamakan shalat di atas aktivitas lainnya. 

Menariknya, setelah hubungan vertikal kepada Allah (hablun minallah) melalui shalat, Rasulullah SAW menempatkan "berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain)" sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah:  "Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua..." (QS. Luqman: 14)  

Berbakti kepada orang tua adalah bentuk penghormatan kepada orang yang paling berjasa dalam kehidupan seorang manusia. Posisi orang tua sangat istimewa, karena mereka adalah sebab keberadaan anak di dunia. Dalam Islam, "berbuat baik kepada orang tua disandingkan dengan perintah bertauhid kepada Allah", seperti dalam QS. Al-Isra: 23. Dan banyak sekali Ayat dan hadis tentang ini.   

Lah, kita perhatikan tiga hal dari hadis Nabi di atas, setelah shalat dan birrul walidain, Rasulullah SAW menyebutkan jihad di jalan Allah sebagai amal yang paling dicintai oleh Allah. Jihad adalah puncak pengorbanan seorang muslim, baik melalui jiwa, harta, maupun tenaga, untuk meninggikan kalimat Allah.  

Jihad menunjukkan kesiapan seorang muslim untuk memberikan segalanya demi agama. Dalam konteks ini, jihad tidak hanya berarti perang secara fisik, tetapi juga "usaha keras dalam menegakkan agama", seperti dakwah, pendidikan, dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas.  

Ada juga dalam hadis yang lain, amalan yang utama adalah beriman kepada Allah dan Rasulnya, kemudian haji, mabrur dan lainnya, sesuai dengan konteks yang disampaikan oleh Nabi. Tapi, hubungan vertikal dan horizontal tetap ada. 
Allahu 'alam bishawab.

Sabtu, 11 Januari 2025

Berbeda dalam Madzhab Rindu


Halimi Zuhdy

Akhir-akhir ini banyak sekali da'i atau ustadz yang muncul di televisi, radio, YouTube, Instagram, Facebook, dan media lainnya. Mereka hadir silih berganti dengan berbagai genre dan gaya yang khas. Ada yang melucu, puitis, tegas, menggunakan rumus-rumus indah, argumentatif, falsafi, lembut, informatif, memiliki hafalan yang kuat, penuh dalil, tasawuf, dan lainnya.  
Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda, bahkan ada yang independen tanpa keterikatan organisasi. Dari kampus, madrasah dan pesantren yang juga berbeda. Setiap dai mengisi ruang kosong dengan cara mereka sendiri, dengan musik dakwah yang memiliki tabuhan berbeda. 

Mereka unggul dalam bidang masing-masing dan memiliki pengikut setia. Seperti orkestra, keindahan musik terletak pada harmoni di antara alat-alatnya. Bukan pada siapa yang lebih keras atau lebih lambat, tetapi bagaimana ritme itu menyatu dalam kemistisan. Layaknya piano dengan notasi yang beragam, harmoni menghasilkan suara yang luar biasa indah. Sebaliknya, jika setiap alat musik egois dan tidak sinkron, alunan suara akan menjadi buruk dan pecah.  

Namun, sangat disayangkan dan menyedihkan ketika sebagian oknum di antara para dai saling tahdzir (peringatan keras), mengolok, menyudutkan, mencari kelemahan, atau melabeli yang lain dengan sebutan bid'ah, paling sunnah, antek liberal, fundamentalis, kafir, dan berbagai cap lainnya. Mereka sering lupa untuk bercermin pada diri sendiri.  

Belum lagi perilaku para pengikut mereka di media sosial, yang saling menyerang, membuat akun untuk mengklaim bahwa gurunya paling benar, atau menciptakan fanatisme kelompok. Ada yang bahkan membentuk "jihadis" di dunia maya, dengan tujuan menjatuhkan dai atau kelompok lain agar mereka tidak lagi populer.  

Mari kita meneladani para ulama besar yang tak hanya hebat dalam keilmuan, tetapi juga penuh penghargaan terhadap perbedaan. Mereka saling berguru, saling tawadhu’, dan tetap menjaga ukhuwah meskipun berbeda pandangan. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala', diceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah berdebat sengit dengan Yunus bin Abdil A'la. Setelah itu, Imam Syafi’i mendatanginya dan berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah kita lebih indah dan tetap menjadi saudara walaupun berbeda pendapat dalam satu masalah?”  

Banyak kisah teladan dari para imam besar yang menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan, mereka tetap menuju dermaga yang sama: Ridha Allah.  

Biarkanlah mereka yang sudah terkenal tetap terkenal, menjadi dai kondang yang menyebarkan manfaat. Kita tidak perlu mengganggu mereka, bahkan jika memungkinkan, dukunglah. Namun, jangan pernah meremehkan yang belum dikenal.  

Bagi yang belum populer, hindarilah fitnah dan upaya menjatuhkan orang lain demi meraih dukungan. Jangan pula merendahkan atau terus-menerus membully. Jika hanya bisa diam, maka lebih baik diam daripada berbicara yang menyakitkan dan menambah dosa.  

Surga dan ridha Allah bukan milik mereka yang terkenal semata. Surga adalah milik siapa saja yang tulus mencari ridha-Nya: dalam ibadahnya, pekerjaannya, dakwahnya, bahkan diamnya.  

Mari kita bersama menuju dermaga Islam yang satu, tanpa melubangi bahtera saudara kita. Indahnya dakwah adalah ketika kita saling mendukung dan menguatkan.

Selasa, 26 November 2024

Belajar dari Nabi Musa AS



Menarik sekali mentadabburi setiap Ayat-Ayat Al-Qur'an, selain lafalnya yang indah, pesan-pesannya sangat istimewa, beberapa pesan dari Tafsir As-Sa'di yang dirangkai dalam gambar berikut (fawaid qur'aniyah). "Kisah Musa AS telah Mengajariku, dari sejak lahir sampai ke Madyan". Berikut adalah isi dari setiap poin pelajaran tersebut:
1. Allah Ta'ala, jika menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyiapkan sebab-sebabnya, dan sering kali secara bertahap, bukan sekaligus.

2. Suatu umat akan tetap hina dan tertindas jika tidak mengambil haknya dan tidak berbicara tentangnya, baik dalam urusan agama maupun dunia, serta jika tidak ada pemimpin yang memimpinnya.

3. Allah Ta'ala sering kali menjadikan berbagai cobaan berat dan ujian sulit di tangan orang-orang yang tidak diinginkan, seperti yang terjadi pada ibu Musa.

4. Salah satu nikmat terbesar adalah ketika Allah menguatkan hati hamba-Nya dan meneguhkannya di saat genting dan menakutkan.

5. Seseorang harus mengetahui bahwa keputusan dan takdir Allah pasti terjadi, tanpa mengabaikan sebab-sebab yang ada, seperti yang dialami Musa.

6. Orang yang memiliki nafsu buruk akan lebih jahat dibandingkan orang-orang jahat lainnya di muka bumi.

7. Nikmat akan hilang dari hamba jika dia meninggalkan perbuatan baik dan memilih kejahatan.

8. Ketika seseorang tidak tahu apa yang harus dilakukan, maka hendaknya ia berdoa agar diberikan petunjuk yang benar, seperti doa Musa.

9. Orang yang berada dalam ketakutan harus berhati-hati dan menghindari bahaya, seperti tindakan Musa.

10. Kasih sayang dan kelembutan adalah sifat terpuji, dan seseorang sebaiknya mengenali hak-hak yang terkait.

11. Doa akan dikabulkan apabila seseorang berada dalam keadaan terdesak dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, seperti doa Musa.

12. Malu, terutama dari orang-orang yang mulia, adalah akhlak yang terpuji.

13. Kebaikan tidak boleh diabaikan karena akan menumbuhkan kebiasaan baik pada generasi berikutnya.

14. Seseorang yang baik dan jujur akan memberikan manfaat kepada orang lain, serta bersikap kuat dan amanah.

15. Di antara akhlak yang mulia adalah memperlakukan orang lain dengan baik dan tidak memberatkan mereka.

Ini adalah nilai-nilai penting yang dapat dipetik dari kisah Nabi Musa, sebagai inspirasi dan pelajaran untuk kehidupan sehari-hari.

Rabu, 23 Oktober 2024

Pelukan dan Ciuman di Tempat Umum, Sudahkah dianggap Biasa?


Halimi Zuhdy

Ngeri. Saya hanya bisa diam. Sesekali saya termangu. Sesekali menundukkan kepala. Apa dosa saya, hidup di era yang laki-laki dan perempuan mempertontonkan kemesraan, pelukan, bahkan ciuman di tempat umum, mereka belum ada ikatan sah, sedangkan saya tidak bisa menegur mereka. Hanya mampu berbisik, "mas jangan ciuman di sini". Itu saja. 
Banyak orang lalu lalang di sekitar mereka. Hanya diam. Tak menegur. Apalagi mengusir mereka. Saya pindah tempat, sama saja. Selalu ada pemuda pemudi yang nongkrong dengan tangan dilipatkan ke lehernya, sambil ciuman. Saya melewati beberapa cafe, sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Sama saja. Mereka asyik masyuk. Semakin malam, semakin banyak di trotoar, pemuda pemudi yang tak peduli sekelilingnya. 

Saya duduk. Membuka hp. Bertemu dengan judul berita "Indonesia Darurat Sek Bebas". "Ya Allah. Apa yang bisa saya perbuat untuk itu" gumam saya. Dalam berita itu, "Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59 persen, sedangkan pada laki-laki pada angka 74 persen".

Terus, ini tugas siapa?. Dulu. Ketika saya masih kecil sampai menjadi mahasiswa. Sekitar tahun 80-2000, Ada Iklan televisi yang berisi perempuan yang agak tidak pantas, diprotes masyarakat. Demikian juga dengan laki-laki. Iklan diberhentikan. Bahkan, iklan di jalan-jalan juga masih sopan. Sekarang?. Lihat saja. Siapa yang mampu protes?. Atau memprotes, tapi tidak direspon. Atau direspon, tapi tidak ditindaklanjuti. Atau ditindaklanjuti, tapi kemudian kalah sama yang punya kekayaan atau juga kuasa?. Entahlah.  

Belum lagi kalau sudah masuk ke medsos. Lihat saja di X, FB, IG, TT, YT, dan lainnya. Berbagai tayangan yang tidak pantas pun selalu muncul. Anak-anak kecil, menonton tanpa sensor. Seakan-akan ia bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Entah. Siapa yang bisa menyensor media sosial?. Kalau televisi, mungkin masih ada KPI, tapi bagaimana televisi yang sudah masuk media?. Terus, sekarang anak muda dan orang tua, sudah banyak yang beralih ke televisi di sosal media?. Belum lagi yang menjadi korbannya, "Sebanyak 5,5 juta anak di Indonesia menjadi korban pornografi. Jumlah ini mencakup anak dalam jenjang SD, SMP, SMA bahkan PAUD dan disabilitas." (Detik, April, 24). 

Yang mengerikan, "Berdasar data ECPAT Indonesia, angka konsumsi konten pornografi masyarakat Indonesia memiliki angka mengkhawatirkan. Dari hasil survei situs penyedia video dewasa asal Amerika, Indonesia menempati rangking dua terbanyak pengakses video porno". Ini, kata berita RadarSukabumi, 2018. Sekarang tahun 2024, apakah semakin bertambah, atau sudah tidak ada rangkingnya?. “66 persen anak laki-laki sudah pernah menyaksikan seksual dari game online. Demikian anak perempuan hampir sama 63,2 persen,” (Kompascom, 21).

Saya cari tahu tentang maraknya perilaku seks bebas. Ternyata pemicunya oleh berbagai faktor seperti pengaruh media sosial, akses mudah ke konten pornografi, pergaulan bebas, serta kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif. Dan hal ini, telah membawa dampak negatif terhadap kesehatan fisik, psikologis, dan moral generasi muda. Bisa kita lihat dan kita saksikan, di berbagai tempat, dan berita itu tersuguhkan setiap hari. 

Yuk! Tegur, anak-anak kita, bila terlihat tidak pantas melakukan sesuatu di tempat umum, sebagaimana ada ibu hamil menegur orang merokok di tempat umum. Kalau merokok dianggap mengganggu janin, bagaimana dengan tontonan yang tidak pantas? 

Kalau tidak mampu dengan tangan (kuasa, kemampuan lainnya), maka dengan lisannya, kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. wa dzalika adhaful iman. 

عَنْ  أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

***

Sumber Kerusakan di Muka Bumi, dan Awal Perbuatan Dosa di Muka Bumi



Halimi Zuhdy

Aha!. Akhirnya ketemu juga sumber dan kunci yang membuat kerusakan di muka bumi. Baik, kerusakan individual, kelompok, golongan, bahkan antar negara. Tidak jauh dari tiga hal ini. Kesombongan, tamak dan kedengkian. Emang, ada manusia yang tidak punya ketiganya?. Namanya manusia, mungkin tersimpan sifat dari ketiganya, tetapi kadarnya berbeda, atau mampu dikendalikan. Sehingga tidak sampai merusak. Tapi, ada yang diobral dengan sengaja. 
Tiga dosa besar yang pertama kali dilakukan makhluk terhadap perintah Allah, yaitu kesombongan (الكبر), tamak (الحرص), dan dengki (الحسد). Kesombongan ditunjukkan oleh Iblis yang menolak sujud kepada Nabi Adam, sementara tamak diperlihatkan oleh Nabi Adam yang memakan buah terlarang, dan dengki dilakukan oleh Qabil yang membunuh saudaranya, Habil.

Ketiga dosa ini, yaitu kesombongan, tamak, dan dengki, adalah sumber dari banyak kerusakan di dunia. Kesombongan membawa pada penolakan terhadap kebenaran, tamak melahirkan ketidakpuasan yang tiada henti terhadap dunia, dan dengki merusak hubungan antar sesama.

Dalam konteks dunia saat ini, dosa-dosa ini sangat relevan. Kesombongan bisa terlihat dalam konflik antarindividu maupun negara, tamak menyebabkan eksploitasi sumber daya dan ketidakadilan, sementara dengki mendorong banyak tindakan kekerasan dan ketidakadilan sosial.

Al-kibr atau kesombongan, mungkn sama dengan nasionalisme ekstrem, yaitu bentuk kesombongan modern di mana suatu negara atau kelompok merasa lebih unggul dan berhak mendominasi yang lain, sering kali memicu ketegangan antarnegara dan konflik global. 

Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan atau menghormati kedaulatan pihak lain menyebabkan perebutan wilayah, perang, dan kerusakan hubungan diplomatik, yang semuanya berdampak negatif pada stabilitas dunia. 

Sementara, al-hirs atau tamak mirip dengan kapitalisme tak terkendali menggambarkan dorongan tamak dalam mengejar keuntungan dan kekayaan secara berlebihan. Sistem ini sering kali mengabaikan dampak terhadap lingkungan dan menciptakan ketidakadilan ekonomi, di mana segelintir orang kaya semakin makmur sementara mayoritas lainnya terpinggirkan. 

Aha, sedangkan al-hasad atau iri plus dengki mirip dengan politik identitas, di sisi lain, memperlihatkan dengki dalam bentuk kontemporer, di mana kelompok-kelompok menggunakan perbedaan identitas seperti ras, agama, atau etnis untuk menimbulkan perpecahan dan konflik. Ini memperburuk perselisihan sosial dan menimbulkan kekerasan serta ketidakstabilan di berbagai negara, menghambat upaya perdamaian dan kemajuan bersama.

Maka apa yang kita lihat akhir-akhir ini?, kita melihat banyak masalah global yang mencerminkan akar dari tiga dosa ini. ketidakpedulian terhadap keadilan, keserakahan yang menggerakkan konflik ekonomi, dan iri hati yang menciptakan perpecahan.

Untuk mengatasi krisis moral ini, kita perlu kembali pada prinsip-prinsip agama, yang mengajarkan untuk merendahkan hati, bersyukur dengan apa yang dimiliki, dan menghapus iri hati dari dalam diri kita. Menghindari ketiga dosa ini akan membuka jalan bagi perdamaian dan keadilan di dunia. Apakah bisa?. Yang tinggal kita lihat peran para pemimpin kita. Dan bagaimana peran ulamaknya. 

Bukankah umra dan ulama punya peran dalam setiap negara? 

Malang, 19 Okt 2024

Minggu, 08 September 2024

Doa yang Tak Dikenal

Halimi Zuhdy 🥹

Kadang saya batin, "Siapa sih yang paling dekat dengan kesuksesan kita dan selalu memberikan jalan menuju-Nya. Apakah mereka yang selalu bersama kita, atau yang mensuport kita, atau mereka yang selalu riang dengan kita, atau mereka yang punya segudang jabatan dan harta, atau siapa?". 

Sesekali, saya menarik nafas panjang. "Betapa banyak doa-doa yang terbang menuju Allah, tanpa sepengatahuan kita. Kita tak sengaja berbuat baik, atau kadang sengaja agar dia mendoakan kita", "terkadang hanya memberi tanda tangan, atau senyuman, kemudian mereka berdoa agar kita sukses". "Tapi, sebalikanya, betapa banyak doa-doa yang buruk, gegara kita tanpa sadar melukai hati seseorang". 
Terkadang, kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi hingga lupa memperhatikan mereka yang berada di sekitar kita, orang-orang yang tidak pernah kita pedulikan. Mereka bukan pejabat yang terpandang, bukan pula hartawan yang dipuja. Mereka bukan teman dekat, apalagi saudara yang selalu kita hubungi. Bahkan, banyak dari kita yang mungkin tak mengenal mereka, mereka yang duduk di emperan pintu, atau yang kita lihat sekilas sedang memungut sampah di dekat kantor.

Namun, siapa sangka, di balik kesederhanaan dan ketidaknampakan mereka, ada doa-doa yang senantiasa mengiringi langkah kita. Doa dari mereka yang mungkin tak pernah kita perhatikan, tetapi selalu berdoa agar kesuksesan menyertai kita. Mereka yang dengan tulus memohon kepada Allah agar amal ibadah kita diterima, agar setiap langkah yang kita ambil dijaga dan diberkahi.

Mereka yang mungkin tak pernah kita lihat mengangkat tangan, tapi dalam keheningan malam, memohonkan segala kebaikan untuk kita. Tanpa kita sadari, mungkin mereka yang selama ini menjadi sebab kita mencapai fase-fase indah dalam hidup, melalui doa-doa yang hanya diketahui oleh Sang Maha Kuasa.

Sungguh, kita tak pernah tahu siapa yang sesungguhnya telah mengantarkan kita pada keberhasilan. Maka, jangan pernah meremehkan orang lain, karena di antara mereka mungkin ada yang doanya diterima Allah, doa yang menjadi perantara kesuksesan kita. Ada banyak orang ikhlas yang bekerja dalam diam, tanpa kita sadari. Namun, tidak sedikit juga orang yang kita anggap memberikan banyak hal, yang justru mungkin menjadi penghambat.

Kita juga tidak tahu, siapa teman kita di FB, X, IG atau lainnya, selalu mendoakan kita, gegara kita menuliskan kebaikan-kebaikan, atau kita terbiasa mendoakan kebaikan untuk teman-teman kita. 

Kebaikan itu sering datang dari tempat yang tidak terduga. Hargailah setiap manusia, karena kita tidak pernah tahu dari mana dan dari siapa keberkahan hidup kita berasal.

Ya Allah, pertemukan kami dengan mereka-mereka hang melantunkan doa-doa kenaikan itu.🤲🏻🤲🏻🤲🏻♥️

Selasa, 06 Agustus 2024

Mengapa Celaka Orang-orang yang Shalat?,


(Perbedaan An dan Fi Shalatihim)

Halimi Zuhdy

Menilik Ayat tentang "Wailun Lil Mushallin, celaka bagi orang yang shalat". Serasa hati dan pikiran ini diliputi rasa takut dan khawatir. Betapa banyak rakaat yang telah dilakukan, dan tidak pernah tahu, apakah shalat itu diterima atau tidak?!. Tapi, kemudian Ayat tersebut dilanjutkan dengan "Alladzina hum 'an shalatihim sahun,  (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya". Kata sahun (lalai), apakah mereka yang lupa atau melupakan, dan atau mereka tidak menyadari terhadap apa yang mereka lakukan dalam shalat, dan mereka tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, atau mereka yang tidak khusyuk, atau mereka tidak melaksanakan shalat?
Menarik apa yang disampaikan Atha' ibn Yasar yang dikutip oleh Ibnu Athiyah dalam tafsir Al-Muharar Al-Wajiz;
وقالَ عَطاءُ بْنُ يَسارٍ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي قالَ "عن صَلاتِهِمْ"، ولَمْ يَقُلْ: "فِي صَلاتِهِمْ"
Alhamdulillah, dalam Ayat menggunakan kata A'n Shalatihim (عن صلاتهم) tidak menggunakan kata Fi shalatihim ( في صلاتهم). 

Ternyata konsekuensi "huruf" setelah alladzinahum dan sebelum shalatihim, sangat memberikan warna dalam banyak kajian tafsir.  Mari kita perhatikan, salah satu perbedaannya antara " 'an" dan "fi"? Huruf "An, عن" kalau kita maknai dalam bahasa Indonesia adalah "عَنْ : dari, mulai, jauh dari, keluar dari, karena, didorong oleh, termotivasi oleh, sekitar, di, di atas, mengenai, tentang, berkenaan dengan, untuk atas nama dan makna lainnya. Sedangkan "Fi,في" bermakna: di, dalam, di dalam, tentang, selama, di antara, dan lainnya. 

Dalam Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari, perbedaan keduanya adalah; makna "عن" adalah bahwa mereka lalai dari shalat itu sendiri, seperti perbuatan orang munafik atau orang fasik yang lalai mengerjakan shalat. Sedangkan makna "في" adalah kelalaian yang dialami dalam shalat itu sendiri, seperti godaan setan atau bisikan dalam hati yang hampir tidak ada orang yang selamat darinya.

Dalam Al-Maudhu' juga membedakan antara An dan Fi, para ahli fikih membedakan antara lalai "dalam" salat dan lalai "dari" salat, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Lalai dalam salat sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kurangnya kekhusyukan dalam salat. Dalam  lalai "dalam" salat, seorang muslim berusaha untuk melaksanakan salat, tetapi mungkin kehilangan konsentrasi tanpa sengaja atau tanpa disadari. Berbeda dengan mereka yang lalai "dari" salat, yang dicela oleh Allah - "Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya," (Al-Ma'un: 4-5). Mereka dengan sengaja dan sadar meninggalkan salat (tarkus sholah).

Tapi, terkait dengan perbedaan di atas, ada ulama yang mengatakan bahwa sahun (lalai, lupa), yang kemudian celaka, adalah mereka yang tidak sadar dalam shalatnya. Kalau yang meninggalkan shalat, mereka adalah kafir. 
Dalam tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz, bahwa surat Al-Ma'un turun mengenai beberapa orang yang berada dalam kondisi tertekan di Makkah, yang tidak teguh dalam Islam, sehingga mereka tergoda dan menjadi lemah. Mereka dikenal karena sifat kasar, kejam, dan keras terhadap orang miskin. Mungkin di antara mereka ada yang kadang-kadang shalat bersama kaum muslimin karena tekanan dan kebingungan mereka. Maka Allah Ta'ala berfirman tentang mereka: "Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." 

Masih dalam Al-Wajiz, bahwa Ibn Juraij berkata bahwa Abu Sufyan setiap minggu menyembelih unta, kemudian datang seorang yatim dan dipukulnya dengan tongkat, lalu turunlah surat ini mengenai dirinya. Sa'ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه berkata: "Aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, beliau menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya'." Dan adalah mereka menunda shalat dengan sengaja dan lalai. Mujahid juga berpendapat demikian. Qatadah berkata, "Lalai" artinya orang-orang yang meninggalkan shalat atau orang-orang yang lalai yang tidak peduli apakah mereka shalat atau tidak. 

Dan terkait dengan "An" dan "Fi", juga tentang kata "sahun, lalai" masih banyak perbedaan ulama, semoga kita tidak masuk katagori Sahun (lalai,lupa) baik dari Fi (dalam) dan juga An (dari). Amin.

Malang, 28 Juli 2024

Minggu, 30 Juni 2024

Kesuksesan Nabi Ismail, dan Tarbiyah Siti Hajar

Halimi Zuhdy

Seringkali "sukses" adalah mereka yang berpangkat, sosok viral, kaya, mapan, dihormati masyarakat, setumpuk jabatan, dan lainnya. Tapi, terkadang dilupakan bahwa kesuksesan adalah mereka yang kuat, teguh imannya dan ketawaannya pada Allah. Sosok sukses itu adalah Nabi Ismail, seluruh kitab menyatakan bahwa Ismail adalah orang yang kuat imannya, tawakkal, dan sosok yang menjadi uswah bagi umat. 
Kesuksesan itu tidak berjalan sendiri, ia dididik oleh ibu yang tangguh, Siti Hajar dan seorang Nabi yang hebat, yang menjadi pendahulu tauhid, Nabi Ibrahim. Siapakah sosok ibu Hajar? Ini, yang menjadi kajian kali ini.

Dalam Al-Yaum, bahwa Siti Hajar wafat pada usia sembilan puluh tahun dan dimakamkan oleh Ismail, alaihissalam, di samping Baitullah (banyak pendapat terkait ini). Dia meninggalkan teladan luar biasa sebagai wanita beriman, istri yang patuh, dan ibu yang penyayang. Allah memenuhi janjinya kepadanya, memberinya banyak keberkahan, dan mengharumkan namanya serta menjadikannya dikenang selamanya. 

Siti Hajar, ibu bangsa Arab Kanaan dan ibu dari Ismail. Dia memberikan teladan luar biasa sebagai wanita beriman dan saleh. Dia menaati perintah Allah dengan iman dan kesabaran sehingga layak menerima pahala ilahi. Allah mengangkat derajatnya dari lapisan masyarakat biasa dengan menempatkan makamnya di samping Ka'bah yang mulia. Tempat perjalanannya dengan anaknya antara Safa dan Marwah menjadi salah satu rukun haji yang dikunjungi umat Islam setiap tahun dari seluruh penjuru dunia. Siti Hajar juga menjadi nenek moyang penutup para Nabi dan manusia terbaik, Nabi Muhammad, dari keturunan yang diberkahi.

Sosok Tangguh

Siti Hajar, seorang perempuan yang namanya terukir dalam sejarah agama-agama Samawi, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kisah hidupnya yang penuh dengan ujian dan rintangan, namun diwarnai dengan keteguhan iman, cinta kasih, dan kegigihan, menjadikannya teladan bagi para perempuan di seluruh dunia.

Di balik kisah inspiratifnya, tersembunyi sosok perempuan tangguh yang diuji dengan berbagai cobaan. Ia ditinggalkan di lembah tandus bersama Ismail, putranya yang masih bayi, atas perintah suaminya, Nabi Ibrahim. Dihadapkan pada situasi yang sulit, Siti Hajar tidak menyerah pada keputusasaan. Ia bertanggung jawab penuh atas Ismail, dengan penuh kasih sayang dan dedikasi.

Perjalanannya mencari air untuk Ismail menjadi simbol perjuangan dan kegigihannya. Ia berlari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah, berharap menemukan sumber air untuk putranya. Perjuangannya yang tak kenal lelah ini kemudian diabadikan dalam ritual Sa'i, salah satu rukun haji yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia.

Siti Hajar tidak hanya seorang ibu yang penuh cinta, tetapi juga seorang perempuan yang tegar dalam menghadapi berbagai kesulitan. Ia hidup dalam keterasingan, tanpa keluarga dan kerabat di sekitarnya. Ia tidak memiliki harta benda, tempat bernaung, dan bahkan terpinggirkan dari masyarakatnya. Namun, ia tetap tegar dan tidak pernah kehilangan harapan.

Keimanannya yang kuat menjadi sumber kekuatannya. Ia yakin bahwa Allah SWT selalu bersamanya dan akan memberikan pertolongan dalam setiap kesulitan. Keyakinan ini membuatnya selalu optimis dan penuh semangat dalam menjalani hidup.

Kisah Siti Hajar menjadi pengingat bagi kita semua bahwa meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan, kita harus tetap tegar dan penuh harapan. Cinta dan kasih sayang kepada keluarga, serta keimanan yang kuat, menjadi sumber kekuatan yang dapat membantu kita melewati masa-masa sulit.

Siti Hajar adalah contoh nyata dari seorang perempuan teladan yang patut ditiru. Ia mengajarkan kita tentang arti tanggung jawab, cinta kasih, kegigihan, dan kekuatan iman. Kisah hidupnya menginspirasi kita untuk selalu optimis dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.

Asal Siti Hajar

Sosok tangguh itu, berasal dari Mesir. Dalam Al-Yaum, "Hajar min Alfarma Ila Nubuah". Para sejarawan sepakat bahwa tempat kelahiran Hajar adalah di Mesir, di daerah Tel Al-Farma, yang terletak beberapa kilometer dari Provinsi Bursaid (بورسعيد). Menurut Ibnu Hisyam dalam biografinya, dia lahir di desa Farma, sebuah kota di ujung utara Delta yang dekat dengan Danau Tinnis. Orang Arab menyebutkan gerbang-gerbang terkenalnya, tentang Nabi Ya'qub berkata, "Wahai anak-anakku, janganlah masuk dari satu pintu tetapi masuklah dari berbagai pintu," menurut buku Ensiklopedia 1000 Kota Islam oleh Abdul Hakim Al-Afifi. Dalam bahasa Koptik, itu berarti Rumah Amun, dan disebutkan dalam Taurat dengan nama "Sin," yang berarti kekuatan Mesir. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Farma dan mengalami serangan dari Romawi Bizantium. Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil membangun benteng yang menghadap laut untuk melindunginya dari serangan tersebut pada tahun 239 H. (Terjemah dari Al-Yaum).

Ibnu Ishaq berkata, "Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Syihab Az-Zuhri memberitahuku bahwa Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'b bin Malik Al-Anshari, kemudian As-Sulami, memberitahunya bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian membuka Mesir, perlakukan penduduknya dengan baik, karena mereka memiliki hak dan hubungan rahim." Maka saya bertanya kepada Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Apa hubungan rahim yang disebutkan oleh Rasulullah SAW untuk mereka?' Dia menjawab: 'Hajar, ibu Ismail, berasal dari mereka.'"

Masih dalam Al-Yaum, bahwa berbagai riwayat sejarah mengenai status sosial Hajar. Beberapa tokoh Yahudi menyebutkan bahwa siti Hajar  adalah budak di istana Firaun, dan dalam Kitab Kejadian "Pasal 21" disebutkan bahwa dia adalah putri Firaun Mesir. Beberapa keterangan dari Nubia mengklaim bahwa tempat kelahirannya berada di Nubia, di selatan Mesir, dengan mendasarkan pada asal usul nama bahwa (Ha) dalam hieroglif berarti bunga teratai, dan kata (Jar) berarti tanah Mesir dalam makna Taurat, sehingga namanya berarti bunga teratai dan julukannya adalah Mesir. Nama Hajar juga memiliki pengucapan yang sama dalam bahasa Nubia yaitu "Haqar (هاقجر)" yang berarti duduk atau ditinggalkan, merujuk pada ditinggalkannya dia sendirian di Mekah. Selain itu, diketahui bahwa Hajar mengenakan pakaian panjang longgar untuk menyembunyikan jejak kakinya, deskripsi ini cocok dengan "jergar (الجرجر)" yang merupakan pakaian tradisional wanita Nubia yang masih digunakan hingga hari ini.

Namun, Ibnu Katsir dalam "Al-Bidayah wa An-Nihayah" meriwayatkan bahwa dia adalah seorang putri dari kaum Amaliq, dan juga ada yang berpendapat, bawa ia dari kaum Kanaan yang memerintah Mesir sebelum Firaun. Firaun mengangkatnya sebagai anak. Ketika Firaun berencana jahat terhadap Sarah, istri Nabi Ibrahim, Sarah berdoa kepada Allah dan tangan Firaun kemudian lumpuh. Kemudian, Firaun meminta Sarah untuk mendoakannya agar sembuh dengan janji tidak akan menyakitinya. Sarah berdoa dan Allah menyembuhkannya, maka Firaun memberikan putri Hajar sebagai penghormatan, bukan sebagai budak seperti yang diklaim oleh Yahudi. (Al-yaum). 

Kesuksesan seseorang, tidak lepas bagaimana seorang ibu yang mendidiknya, dan juga seorang ayah. Dua teladan di rumah, adalah kunci kesuksesan di dunia dan akhirat.

Ibu, dengan kekuatan imannya, mampu menjadi teladan kekuatan iman anaknya, mendidik dengan keimanan mengantarkan anaknya pada keimanan padaNya.

Minggu, 28 April 2024

Satu Ayat Menghimpun Kemahiran dalam Kepemimpinan dan mengelola Tim

(Tadabbur Surah Al-Imran Ayat 159)

Halimi Zuhdy

Ayat 159, Surat Al-Imran, menarik untuk ditadabburi lebih dalam, terutama terkait dengan kemahiran dalam qiyadah (kepemimpinan) dan bagaimana mengelola tim. 

{ فَبِمَا رَحۡمَةࣲ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِیظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِی ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِینَ }

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal."
Ayat ini, bagaikan sebuah kompas yang menuntun kita pada keahlian-keahlian esensial seorang pemimpin, seorang pemimpin tidak cukup hanya orang yang pinter, punya ide-ide cemerlang, tapi emosian. Atau ada yang penuh kasih, tapi tidak mampu mengelola tim dengan baik. Atau pinter mengelola tim dengan hebat, tapi tidak punya rasa dan perasaan. Lah, Ayat al-Qur'an 159 dalam Surat Al-Imran ini sangat menarik untuk kita renungi. (Gambaran berikut, diambil dari Faraid wa Fawaid min Al-Qur'an Al-karim)

1. Keteladanan dan Rendah Hati

فَبِمَا رَحْمَةٍ منَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

 "Maka berkat rahmat Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati keras, tentulah mereka akan menjauh daripadamu" 

Ayat ini menekankan pentingnya keteladanan dan kerendahan hati seorang pemimpin. Pemimpin yang penuh kasih sayang dan rendah hati akan dihormati dan dicintai oleh pengikutnya.

Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pemimpin yang sederhana dan bersahaja. Ia tidak pernah menunjukkan sikap arogan atau superioritas, dan selalu bersedia untuk duduk bersama dan mendengarkan para pengikutnya. Kesederhanaan ini membuatnya mudah dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.

2. Kemauan untuk Memaafkan

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
 "Maka maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka"

Kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Pemimpin yang bijaksana mampu memaafkan kesalahan anggotanya dan membantu mereka untuk berkembang.

3. Musyawarah/Membangun Kerjasama
وَشَاوِرُهُمْ فِي الْأَمْرِ

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"

Pemimpin yang bijak selalu melibatkan anggotanya/ timnya dalam proses pengambilan keputusan. Konsultasi dan musyawarah akan menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan memperkuat rasa kebersamaan dalam tim.

Nabi Muhammad SAW selalu melibatkan para sahabatnya dalam pengambilan keputusan. Beliau selalu terbuka terhadap saran dan masukan dari mereka, dan tidak pernah bertindak secara sepihak.

4. Ketegasan dan Keteguhan Pendirian

فَإِذَا عَزَمْتَ

 "Maka apabila engkau telah mengambil keputusan, .."

Ketika seorang pemimpin telah membuat keputusan yang matang dan penuh pertimbangan, ia harus berani dan teguh dalam melaksanakannya. Ketegasan dan keteguhan pendirian ini akan membawa tim ke arah kesuksesan.

5. Berserah Diri kepada Allah
فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِینَ

"maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh.."
Kesuksesan sejati datangnya dari Allah SWT. Pemimpin yang beriman selalu berserah diri kepada Allah dan senantiasa berusaha untuk melakukan yang terbaik.

Pemimpin yang optimis dan penuh keyakinan akan menumbuhkan semangat yang sama pada timnya. Ia selalu percaya pada potensi anggotanya dan senantiasa berusaha membawa mereka menuju kesuksesan.

Minggu, 21 April 2024

Sepuluh (10) Kunci Memahami Al-Qur'an



Berikut saya terjemahkan 10 kunci memahami Al-Qur'an dari tulisan Dr. Khalid bin Abdul karim yang berjudul asli "mafatih tadabbur al-Qur'an  wan najah fi al-Hayah" dari Faraid fi Fawaid min Al-Qur'an Al-Karim. Dan beberapa tambahan sebagai penjelasan terkait dengan poin-poin penting. 

1. Mencintai Al-Quran

Hati yang mencintai sesuatu akan selalu terikat dan ingin senantiasa bersamanya. Begitu pula dengan Al-Quran, rasa cinta akan mendorong seseorang untuk sering membacanya, sehingga ia akan mendapatkan pemahaman dan tadabbur yang mendalam. Tanda cinta seseorang terhadap Al-Quran adalah kerinduan untuk membacanya, meluangkan waktu lama untuk bersamanya, serta mengikuti perintah dan aturan yang terkandung di dalamnya.

2. Menetapkan tujuan dalam membaca Al-Quran

Terdapat 5  tujuan utama dalam membaca Al-Quran: a). Ilmu, memperoleh pengetahuan dan wawasan baru. b). Amal, menerapkan ajaran Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. c). Munaajah, berkomunikasi dan berdialog dengan Allah SWT. d). Tsawab, mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah SWT. e). Istifa', mencari kesembuhan dan ketenangan jiwa

Dengan memahami kelima tujuan ini, seseorang akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari Al-Quran dan mendapatkan pahala yang lebih berlipat ganda.

3. Menghafal Al-Quran

Menghafal Al-Quran akan membantu seseorang untuk selalu dekat dengan kalam Allah SWT. Hafalan Al-Quran juga akan mempermudah seseorang untuk memahami dan mentadabbur maknanya. Hati yang dipenuhi dengan Al-Qur’an tidak akan didekati setan. Nabi bersabda: (Barangsiapa yang dalam dirinya tidak ada satu bagian pun dari Al-Qur’an, ibarat rumah yang hancur.)

4. Membaca Al-Quran dalam Shalat

Membaca Al-Qur'an dalam shalat berarti melepaskan diri dari kesibukan dan gangguan, dan ini membantu dalam kontemplasi dan membawa kedamaian dalam hati. Nabi bersabda "Siapa yang membaca Al-Qur’an siang dan malam maka ia akan mengingatnya, dan jika ia tidak membacanya maka ia lupa".

5. Membaca Al-Quran di Malam Hari

Keheningan dan ketenangan malam hari membantu seseorang untuk lebih mudah merenungkan dan memahami makna Al-Quran. Selain itu, waktu malam, khususnya di sepertiga terakhir malam, merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa dan memohon kepada Allah SWT.

6. Membaca Al-Quran dengan Jelas dan Merdu

Membaca Al-Quran dengan jelas dan merdu akan membantu seseorang untuk lebih mudah memahami maknanya. Selain itu, suara yang indah saat membaca Al-Quran akan menarik perhatian para malaikat dan mengusir setan.

7. Membaca Al-Quran dengan Tartil

Tartil berarti membaca Al-Quran dengan perlahan dan penuh pertimbangan. Membaca dengan tartil membantu seseorang untuk lebih memahami makna ayat-ayat Al-Quran dan merenungkan kandungannya."Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil"

8. Mengulang dan Berhenti Saat Membaca

Mengulang ayat-ayat tertentu yang sulit dipahami akan membantu seseorang untuk lebih memahaminya. Berhenti di akhir ayat juga membantu seseorang untuk merenungkan maknanya sebelum melanjutkan ke ayat berikutnya. Ini membantu mengingat makna dan memperdalam pemahamannya. Dan demikian Nabi membaca Al-Qur'an. Beliau membaca, dan ketika beliau membaca/mendapatkan ayat pujian, dia memuji, dan ketika dia mendapatkan Ayat permohonan, beliau memohon, dan ketika beliau membaca tentang perlindungan, beliau memohon perlindungan.

9. Membagi Al-Quran Menjadi Bagian-Bagian

Membagi Al-Quran menjadi bagian-bagian tertentu membantu seseorang untuk lebih konsisten dalam membacanya setiap hari. Membaca Al-Quran secara rutin, meskipun hanya sedikit, lebih bermanfaat daripada membacanya dalam jumlah banyak sekaligus namun tidak rutin. Mengaji Al-Qur’an itu ibarat pengobatan, harus dalam jumlah tertentu, dengan konsistensi di dalamnya. Nabi Muhammad SAW mengkhatamkan Al-Qur’an dari tujuh hari menjadi satu bulan, dan melarang kurang dari tiga hari.

10. Menghubungkan Makna Al-Quran dengan Kehidupan Sehari-hari atau antara kata dengan makna

Yakni mengaitkan kata dan makna, kemudian menghubungkannya dengan realitas dan penerapannya, sehingga Al-Qur'an tetap hidup di hati, dan diambil jawaban serta penjelasan kehidupannya. Memahami makna Al-Quran tidak cukup hanya dengan membacanya. Seseorang harus berusaha untuk menghubungkan makna Al-Quran dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Al-Quran akan menjadi pedoman hidup yang nyata dan memberikan dampak positif bagi kehidupan seseorang.

Halimi Zuhdy (Mutarjim)

Kamis, 04 Januari 2024

Bahasa Jawa, Bahasa Paling Detail di Dunia?

Halimi Zuhdy

Ada teman dari Jawa, agak sedikit pamer bahasa Jawa, "Tadz, satu-satunya bahasa di dunia yang paling detail itu bahasa Jawa!" Katanya.

"Loh, masak sih!" Saya tanya balik. 
"Ia tadz, tentang beras misalnya, bahasa Inggris "rice", bahasa Arab "ruz", hanya itu saja, berbeda dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa ada beberapa istilah untuk nasi, saat masih di sawah disebut "pari", saat dipanen dan dilepas dari tangkainya disebut "gabah", setelah diselip (dipisahkan isi dari kulitnya) disebut "beras", jika saat diselip ada butiran beras yang tidak terkelupas kulitnya disebut "las". Hasil selipan yang hancur menjadi butiran kecil-kecil disebut "menir". Beras direndam lalu diselipkan jadi tepung disebut "glepung". Apabila beras dimasak untuk dimakan disebut "sego", sebutir nasi saja disebut "upo". Jika nasi dijemur dan kering disebut "karak" (gurusiana. com) katanya. 

"Itu tidak benar lo akhi, kenapa urusan nasi atau beras di Jawa itu detail sekali, karena beras/nasi itu makanan orang Jawa, ini hanya persoalan makanan dan budaya saja. Kalau di Arab, kurma itu sangat kaya sekali, di Jawa kata "kurma" ia kurma saja." Saya sambil tersenyum. 

"Coba jelaskan lebih detail tadz!" Ia mulai penasaran.

"Kata kurma, dari variasinya saja ada 2000, belum namanya, belum lagi dari kurma mentah, kurma masak, kurma kering dan lainnya, itu bisa ratusan macam lo. Di Yordania misalnya ada; Barhi, Bou Maan, Khadrawi, Khalas, Tigris Cahaya, Zuhdi, Sukari, Maktoumi, Zaghloul, Ahmar Talal, Zainab jari, Khastawi, Hayani. Belum tentang unta, kambing, dan lainnya. Urusan tidur saja, dalam bahasa Arab itu sangat kaya lo; pengantar tidur "sinah", awal tidur "nu'as, ngantuk", tidur yang tidak nyenyak/terputus "huju", tidur nyenyak banget "ruqud", tidur di siang hari "qailulah" dan lainnya" saya jawab sedikit saja tentang kekayaan bahasa Arab. 

"Benar juga ya!" Ia terdiam, dan mencari-cari kata-kata lain. "Yes, pasti kalau urusan bau yang lengkap hanya bahasa Jawa tadz", rupanya ia masih belum puas, dan menganggap bahasa Jawa, bahasa terkaya di Dunia. 

"Tadz,  bau istilahnya banyak lo di Jawa ada; tengik, penguk, badheg, amis, arum, apek, sengak, wangi dan lainnya, caba dalam bahasa Arab apa!?, pasti hanya satu!" Katanya dengan bangga. 

"Akhi, bau dalam bahasa Arab itu juga kaya:  
طيب (tayyib) - harum, enak
رائحة (riḥlah) - bau, aroma
نفحة (nafahah) - hembusan angin, aroma
عبق (ʿubq) - aroma yang kuat
كريه (karīh) - busuk, menjijikkan
نتن (naṭn) - busuk, bau busuk
منتن (muntan) - busuk, bau busuk
خبيث (khabīth) - busuk, buruk
مقيت (maḳīṭ) - menjijikkan, menjijikkan

"Itu masih belum seberapa akhi, intinya, setiap bahasa di dunia, memiliki kekayaan sendiri dan kekhasan sendiri, maka jangan menyepelekan bahasa apa pun" sambil saya tersenyum dan menutup perbincangan.

Setiap bahasa di dunia memiliki kekayaannya sendiri. Kekayaan ini dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah kosakata. Kosakata bahasa mencerminkan budaya dan kehidupan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Dalam bahasa Indonesia, kita dapat melihat kekayaan kosakata yang berkaitan dengan beras.

Istilah-istilah beras tersebut menunjukkan betapa pentingnya beras dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia memiliki kosakata yang sangat detail untuk menggambarkan beras, mulai dari bentuk, warna, cara memasak, hingga cara penyajiannya.

Berbeda dengan kurma dalam bahasa Arab. 
Istilah-istilah kurma menunjukkan betapa pentingnya kurma dalam kehidupan masyarakat Arab. Kurma merupakan buah yang sangat populer di Arab dan sering dikonsumsi sebagai makanan pokok maupun camilan. Oleh karena itu, bahasa Arab memiliki kosakata yang sangat detail untuk menggambarkan kurma, mulai dari jenis, warna, hingga cara pengolahannya.

Kekayaan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Arab tersebut menunjukkan betapa kayanya budaya dan kehidupan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Kekayaan ini merupakan aset yang berharga yang harus dilestarikan. 

Solo, 4 Januari 2024

Sabtu, 02 Desember 2023

Suka Marah, Malu Sendiri!

Halimi Zuhdy

Masuk hotel, teman saya marah-marah; "Hotel ini rusak! Saya tidak bisa ngeces HP! Ini kamar setan!" bentaknya sambil mengoceh sendiri. Kemarahannya semakin memuncak. “katanya hotel berbintang, kok ngeces HP saja tidak bisa”. 

Saya diam, dia masih berbicara sendiri sambil marah-marah, wajahnya memerah. Kabel ces HP dimasukkan lagi ke stop kontak, baterainya hanya tinggal hitungan detik wafat, namun tanda dalam gambar baterainya tidak bergerak. “Bagaimana sih, hotel ini, kok tidak beres”. 
Dia marah dan marah! Saya kenak damprat. Saya hanya diam memperhatikan tingkah teman satu ini, orangnya memang suka marah-marah, kadang saya juga kesel. Tidak ada angin dan badai marah, tidak ada gelombang, marah-marah. “Apakah ia diciptakan dari api, sehingga suka marah-marah!”. Guyon teman saya yang lain. 

Setelah beberapa menit istirahat di kasur yang masih fresh, Ia keluar kamar, untuk menemui resepsionis, saya dengar dari dalam kamar suaranya terdengar nada agak tinggi, “Mbak, Bagaimana sih, saya ngeces hp tidak bisa, listriknya mati, atau colokannya yang rusak, periksa mbak ke kamar!”  

Seorang pegawai hotel dengan senyuman ramah datang untuk memeriksa masalah yang dialami teman saya. Begitu pegawai tersebut memasuki kamar, ia melihat teman saya ini sedang sibuk meraba-raba saku celananya. Dengan tenang, pegawai itu bertanya, "Maaf, Bapak sudah memasukkan kartu kunci hotel ke slot di depan pintu?" 

Wajah teman saya ini langsung berubah dari merah menjadi pucat. Dengan canggung, ia mencari kartu kuncinya! dan memasukkannya ke slot yang tersedia. Seketika itu juga, lampu dan listrik menyala. Teman saya ini terdiam, terkejut dengan kesalahannya yang konyol.

Pegawai hotel itu hanya tersenyum sambil berkata, "Ini sering terjadi, Pak. Tidak apa-apa. Semua orang bisa lupa." Ia merasa malu namun juga lega bahwa masalahnya ternyata hanya karena kelalaian sederhana.

Saya hanya terdiam, dan menyembunyikan senyum dan tawa yang memuncak, “Mas, bertobatlah! Jangan suka marah-marah, tenang dalam hidup, suka marah-marah atau sering marahan itu akan kembali pada dirinya sendiri!, suka marah itu teman-nya setan, la tadhdab wa lakal jannah” dia hanya diam, seperti malu terhadap kejadian yang barusan terjadi! “tidak harus diluapkan segala kekecewaan dengan marah!" 

Beberapa jam berikutnya, saya kenak ujian juga. Masuk kamar, kartu kunci tidak bisa konek (tidak ada tanda-tanda getar di pintu), saya coba beberapa kali, juga tidak bisa. Saya tanya ke cleaning servis yang baru saja membersihkan kamar hotel. “Mas, kartu ini kok tidak bisa ya?!” tanya saya dengan nada agak bagaimana begitu.wkwkw. 

“Bapak tanya ke resepsionis geh”. Katanya.  Saya bergegas ke resepsionis, “Mbak, saya beberapa kali mencoba kartu ini untuk masuk, tapi tidak bisa!”. Resepsionis itu langsung menjawab ketika melihat kartu yang saya pegang, “Mohon maaf Bapak, itu kartu parkir!”. Duarrrrr. Saya agak malu, dan nyelonong pergi. Saya tidak marah-marah, tapi terasa malu, apalagi kalau saya marah-marah. 

***
Hidup itu memang lucu Ya!!!!. Menyalahkan orang lain, tapi kadang tidak pernah mengoreksi dirinya sendiri. 

*****
Maaf ya, tidak harus mencari tahu teman saya yang suka marah-marah, tidak penting! yang penting senyumin saja.wkwkw

Minggu, 17 September 2023

Anak-Anak Ramai di Masjid, Dilarang atau Dibiarkan!


Halimi Zuhdy

Masjid yang terletak di tengah perkampungan atau perumahan, dengan riuh ramai anak-anak menjadi permasalahan tersendiri. Keluhan dari jamaah semakin sering terdengar tentang keramaian anak-anak selama shalat jamaah. Tidak sedikit jamaah yang merasa terganggu oleh tingkah laku anak-anak yang kadang kala tidak sesuai dengan keinginan jamaah, mereka ke masjid ingin shalat dengan damai, tenang dan tentram. Namun, mereka menemukan anak-anak yang riuh, ramai, bising, lari-lari, berteriak bahkan terkadang gelut-gelutan ketika shalat jamaah. 
"Sudahlah, anak-anak itu tidak usah disuruh atau diajak ke masjid, buat ramai saja!, saya tidak bisa khusyuk shalat." Teriak salah satu jamaah yang merasa terganggu. 

"Gimana orang tuanya, kok membiarkan anak-anaknya main, tidak dijaga!" Tegur Agus, karena ada orang tua yang cuek, meskipun anaknya lari-lari dan menggangu jamaah. 

"Tidak apa-apa bawa anak, asalkan dijaga dan diperhatikan, tidak dibiarkan begitu saja, ini masjid bukan kebun binatang!". Jawab Sistomo.

Belum lagi jamaah yang terus mengeluh di grup WA Jamaah, "Wes angil dikandani (sulit diberitahu) bolak-balik sudah saya lapor,.tapi tetap saja, anak-anak ramai, jadi males ke masjid!".

Toyyib. Sebenarnya hal ini sangatlah alami di berbagai tempat, dan di setiap masa hal di atas menjadi perhatian dan perbincangan di berbagai masjid, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Selama, masih ada masjid dan anak-anak yang lahir di muka bumi, selama itu pula perbincangan ini ada. Tapi, masalahnya, apakah anak-anak dibiarkan ramai di masjid?, atau dibiarkan masjid sepi dari anak-anak?, atau anak-anak dibawa ke masjid tapi tidak membuat gaduh? Atau bagaimana?!. Pasti semua orang ingin yang nomor tiga, membawa ke masjid dan tidak gaduh, lah ini masalahnya, namanya anak-anak pasti gaduh dan suka bermain, walau ada yang diam dan pendiam, tapi kalau sudah berkumpul pasti mereka ramai. 

Pertama, hukum asalnya anak-anak dibawa ke masjid itu diperbolehkan, karena Nabi Muhammad saw pernah membawa Hasan, Husen dan juga Umamah. "Aku melihat Rasulullah SAW menggendong Umamah bintu al Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali menggendong Umamah” (HR. Bukhari no. 516). Hadis sangat jelas memperlihatkan kepada kita, betapa Nabi mencintai anak-anak, dan beliau tidak melarang anak-anak, termasuk cucu beliau untuk datang ke masjid, dan berikutnya, beliau bertanggung jawab terhadap apa yang beliau bawa (didampingi, digendong, dijaga). 

Nah, sudah jelas kan. Tidak ada larangan membawa anak ke masjid, tapi masalahnya, anak-anak ini ramai?!. Sekarang mencari solusi, bukan memperdebatkan boleh dan tidaknya membawa anak. Nah, bagaimana solusinya, ayo kita diskusikan. 

Anak-anak adalah harta berharga bagi umat Islam dan generasi berikutnya, mereka investasi yang paling luar biasa dibandingkan lainnya. Mereka adalah generasi penerus agama, penerus sujud kita. Bahkan, kehadiran mereka di masjid adalah anugerah yang tak ternilai. Namun, masalah timbul ketika harapan akan suasana khusyuk dan hening di masjid tidak selalu terwujud.

Kita semua, di masjid mana pun adalah sebagai jamaah dalam masjid kita masing-masing, dan kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan solusi yang bijaksana. Semua jamaah, bukan hanya orang tua, harus terlibat dalam mendidik anak-anak dan mengawasi mereka selama sholat jamaah. Pendekatan ini harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan pengertian. 

Bila setiap jamaah, ketika di masjid merasa semua anak-anak yang ada di dalam masjid sebegai anak generasi sujudnya, maka selesai persoalan ramainya masjid, mengapa?. Karena perhatiannya sama. Menegur dengan baik, menjaga dengan penuh kasih sayang, dan mengajak mereka untuk berada di sebelahnya. Shalat bersama. Setelah shalat dikasih tahu, bukan dimarahi, apalagi dipukul. Selain anak betah di masjid, mereka akan merasa masjid adalah rumah kedua.

Pendidikan tentang tata tertib di masjid harus menjadi prioritas. Anak-anak perlu diajarkan arti pentingnya mengisi shaf dengan baik, serta bagaimana berperilaku dengan baik di dalam masjid. Bahkan, membuat perjanjian bersama anak-anak sebelum berangkat ke masjid dapat membantu mereka memahami betapa pentingnya berperilaku yang baik di tempat suci ini.

Selain itu, menjaga masjid adalah tanggung jawab bersama. Ini bukan hanya urusan takmir masjid. Kebersihan, ketertiban, dan keamanan harus menjadi perhatian setiap individu/jamaah. Ini akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak dan jamaah lainnya.

Jadi, kita perlu memahami bahwa masjid adalah tempat ibadah, tetapi juga adalah rumah bagi kita semua. Anak-anak yang hadir di masjid adalah anak-anak kita bersama, masa depan kita. Menghargai kehadiran mereka dengan cara yang positif, memberikan contoh yang baik, dan mendidik mereka tentang nilai-nilai agama adalah langkah-langkah penting menuju masjid yang lebih khusyuk dan ramah terhadap anak-anak. Ini adalah perjalanan bersama kita, menjaga tempat suci ini sebagai tempat yang sakral dan penuh cinta.

Dan bagi orang tua yang mempunyai anak kecil, dapat mengkondisikan, tidak membiarkan mereka mengganggu jamaah, tetapi dinasehati, diperingati, dan ajak dialog. Kalau hukum asalnya boleh, tapi akan menjadi haram membawa anak-anak (terutama yang belum tamyiz), apabila  membawa najis, dan hanya menjadikan masjid sebagai tempat bermain, yang menimbulkan kegaduhan, keramaian, riuh, dan menjadi tidak wajar. Maka, di antara solusi, agar kehadiran mereka tidak menjadikan berbalik dari hukum asal, hendaknya setiap jamaah mempunyai kepedulian terhadap anak-anak, dengan menjaga mereka, memperhatikan, dan mendampingi, terutama orang tuanya yang punya tanggung jawab lebih. 

Mudah-mudahan, anak-anak kita, menjadi generasi sujud kita. Tidak semua anak-anak senang ke masjid, dan apabila mereka sudah senang ke masjid, kita tidak menjadikan mereka benci masjid gegara amarah kita pada mereka, bangkan menganggap mereka sebagai pengganggu kekhusyuan.

Malang, 17 September 2023