السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label Wacana Kebahasaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wacana Kebahasaan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 November 2022

Kata "Mabruk" yang Dipermasalahkan

Halimi Zuhdy

"Eh, sudah tidak boleh lagi lo mengucapkan kata "mabruk" karena kata tersebut menyalahi kaidah bahasa yang sahih". Tegur seorang mahasiswa pada kawannya yang mengucapkan kalimat "Alfu Mabruk" pada temannya yang baru saja menikah. 

Toyyib. Mari sedikit kita diskusikan kata tersebut. Munculnya sebuah kata tidaklah secara tiba-tiba, ia melakui proses panjang sekali, sehingga masyarakat pengguna merasa nyaman dan kemudian terbiasa. Dan kata tersebut disepakati dengan makna tertentu. Munculnya kata baru terkadang dari galat (khata' atau error), ada kesalahan pengucapan, mendengar dan kesalahan mengucapkan sehingga membentuk kata-kata baru.
Dan di antara sebab lain dari kemunculan kata  dikarenakan ada imitasi bunyi suara. Ada pula menyerap dari bahasa asing lainnya, dan juga menggunakan bahasa klasik dari bahasa lain, atau mengkombinasikan dengan bahasa yang sudah ada. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Nasy'atul Lughah. Kata tidak tiba-tiba ada, ia melalui proses panjang sehingga menjadi sebuah kesepakatan dalam masyarakat. 

Bagaimana dengan kata "Mabruk"?, kata mabruk dalam beberapa kajian; dalam Mu'jam Ma'ani, kata Mabruk (مبروك) adalah maf'ul bih dari kata baraka (برك). 
مَبْرُوك : اسم المفعول من بَرَكَ
برَكَ / برَكَ على / برَكَ لـ يَبرُك ، بُروكًا وتبراكًا ، فهو بارِك ، والمفعول مَبْرُوك عليه.
Dalam beberapa penjelasan yang lain, dalam Maudhu' misalnya, bahwa kata ini tidak bermakna doa "membrikati" tetapi ia adalah nama syaithan. 

Dan juga beredar di Indonesia (khususnya), beberapa ustadz melarang menggunakan kata Mabruk, karena kata ini tidak sahih (salah secara kaidah bahasa dan lainnya), kata Mabruk menurutnya adalah bermakna "berdiam diri" tau "unta yang menderum". Bukan bermakna berdoa, apalagi mendoakan kebaikan. Tetapi, seperti mengucapkan unta yang lagi beristirahat.

Dan tentunya, penjelasan di atas sangat kaya dengan berbagai pendapat ulama bahasa, ada yang sepakat ada pula yang menolak. Menarik apa yang disampaikan Dr. Faruq Muawa dalam mengomentari  orang yang menganggap kata mabruk adalah keliru, menurutnya "Mabruk, sahih secara bahasa, dan tidak mungkin untuk dihilangkan". Ada beberapa hal yang beliau sampaikan dalam maqalahnya di antaranya;

مبـروك) هي من التهاني المتداولة الشائعة بيننا، ونقصد بها الدعاء بالبركة والنّماء عند كل ما يَسرّ، وعند كل نجاح، وعلى كل ما هو جديد.
في رأيي أن نتقبلها قبولاً حسنًا لأكثر من سبب غير شيوعها وانتشارها على كل لسان:  ما ورد في (لسان العرب) لابن منظور; بَرَك- الْبَرَكة: النماء والزيادة. والتبريك : الدعاء للإنسان أو غيره بالبركة.
يُقال : بَرّكْتُ عليه تَبْرِيكًا، أي- قلت له: بارك الله عليك.

وما دام معنى الفعل (برَك) نما وزاد، فاسم المفعول (مبروك) منطقي جدًا.
فإذا قال قائل: هذا فعل لازم واسم المفعول تكون بعده تعدية بحرف جر، نحو: مضحوك عليه، مبكيّ فيه..إلخ
فالجواب: ثمة أسماء مفعولين من اللازم، ولم يرد بعدها تعدية بحرف جر، نحو: مسعود، مزكوم، محزون، مرسوم،  فلتكن (مبروك) على غرارها!

Penjelasan pada paragraf paling bawah, bahwa kata mabruk angatlah rasional, tidak perlu dipersoalkan, karena ia masih berasal dari kata baraka yang bermakna nama' (berkembang) dan ziyahdah (lebih, bertambah). 

Beliau merasionalisasikan mengapa bahasa Mabruk itu muncul. Tentunya, penjelasan yang panjang dari beliau tidak mungkin untuk diurai di sini. Dan menurut beberapa ulama lainnya; 

وإذا كانت مادة الاشتقاق موجودة وهي (الياء والراء والكاف) التي هي أصل حروف البركة، فلا أرى مانعاً أن يقول القائل مبروك بمعنى مبارك. (Fatawamedia)

 :
أنه لا حرج في استعمال كلمة "مبروك" عند التهنئة ، والدعاء بالبركة ، ما دام الناس قد تعارفوا على ذلك ، ولا خطأ فيه أصلا ، من الناحية الشرعية ، فضلا عن أن يكون فادحا (islam.qa)

Terus bagaimana? Mana yang benar? 
Lah, bisa buka link berikut😆
👇❤️🔴

Youtube Lil Jamik "Mengurai kata Mabruk"
https://youtu.be/ztul2aEZ-Po

Rabu, 02 November 2022

Menelisik Simbol Ilmu dalam Bahasa Arab (علم)


Halimi Zuhdy

Menarik, bila kita lirik kata ini. Kata yang dimulai dari huruf Ain (ع). Huruf yang seakan-akan membuka mulut dengan lebar-lebar di awal kata. Maka, dapat dimaknai dengan; 1. Pembelajar agar banyak tahu tentang sesuatu, maka harus membuka diri, hati dan pikiran. 2. Dalam sifatul huruf; infitah (terbuka), tidak menutup diri, berfikir, membaca, dan tadabbur. 
Huruf Ain dengan harkat kasrah (ِع), yaitu 'i. dalam Ilmu. Harkatnya terdapat di bawah huruf Ain. Bisa diartikan dengan, pembelajar harus rendah hati, tidak sombong. Merendah. Sesuatu yang rendah, maka ia akan banyak menampung sesuatu. Seperti lembah yang menampung banyak air, bukan seperti gunung walau tinggi tapi tidak bisa menampung banyak air. Semakin rendah, semakin banyak. Laksana sumur. Ada waktunya menjadi gunung, dan ada waktunya menjadi lembah. 

Harkat Ain (kasroh, ِع) akan berubah sesuai dengan usahanya, menyerap banyak ilmu, menjadi Fathah (عَ) yaitu Alim (عَالم). 

مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَّبَرَ وَضَعَهُ اللهُ
“Nabi SAW bersabda: ‘Barang siapa yang tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat) nya (di dunia dan akhirat). Dan siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.” (HR Imam Ibnu Mandah dan Imam Abu Nu’aim).

Akan menjadi Alim, bila ia selalu sabar dengan belajar, dengan banyak membuka pikiran dan hati. Laksana huruf Ain. Dan akan berubah menjadi Alim (harkat diatasnya).

Kata Alim (عالم) dan Ilmu (علم) juga satu derivasi dari Alam (عَلم) dan Aalam (عَالم). Alam bermakna mendera, tanda, alamat, simbol dan beberapa makna lainnya. Sedangkan Aalam (عَالم) adalah alam (alam semesta). Maka, dapat disimpulkan, orang yang berilmu adalah mereka yang banyak mengetahui tanda, alamat, simbol. Dan bila mereka dapat banyak mengetahui sesuatu disebut orang 'Alim (jamak; ulama). 

لُغة كلمة العِلْم هي مصدرٌ للفعل عَلِمَ، والجمع منه عُلُوم، فيما يُشتَق اسم الفاعل منه عالِم، والجمع منه عالِمون وعُلَماء، ويُقال عَلِم عَلَماً فهو أَعلُم والمؤنث منه عَلْماء، فيما الجمع منه عُلْم، وعَلِم فلان أيّ انشقت شِفَته العُليا، وعَلِمَ الشيء أي شعر به، وعَلِمَ الشيء علماً أي عَرَفَه

Untuk menjadi orang yang berilmu, maka ia harus terbuka, banyak menyerap, banyak belajar. Dan juga tidak boleh sombong. Kalau sombong sulit mendapatkan banyak ilmu terutama ilmu-ilmu rabbani atau ilmu-ilmu yang nafi'. Bila sudah berilmu, maka akan diangkat derajadnya menjadi fathah (عالم). 

Bila sudah Alim, banyak tahu, maka dilanjutkan dengan menjadi Muallim (معلم). Pengajar. Ia tidak hanya sekedar tahu, tapi memberi tahu. Tidak hanya memberi tahu, tapi membuat orang lain paham. Ziyadatul Mabna, ziyadatul ma'na. Bertambah atau beruba bentuk kata, maka juga akan berpengaruh pada makna.

Allahu 'Alam Bishawab

***
Lanjut Makna Lam (لام) dan Mim (ميم )dalam Ilmu, Insyallah.

Rabu, 26 Mei 2021

Menguak Asal Kata "Bani"

(Bani Israel, Bani Adam dan Judzur Bani)

Halimi Zuhdy

"Bani" dalam KBBI diartikan dengan anak, keturunan dan anak cucu. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk membaca asal muasal kata "Bani" dalam judzur (akar) bahasa Arab dengan membaca  beberapa mu'jam (kamus),  serta menguak  makna asal dari kata Bani.
Kita sering mendengar istilah Bani Adam yang diartikan dengan keturunan Nabi Adam (seluruh manusia), berbeda dengan kata Kaum Adam. Bani atau Banu juga diartikan dengan Kaum. Tapi, Kaum Adam dalam bahasa Indonesia diartikan dengan komunitas laki-laki, sebagai lawan dari Kaum Hawa. Bani Adam, adalah manusia, yang memiliki sinonim dengan Basyar, Unas, Nasun, Bariyah, Khaliqah,   'Alam dan Qaum. 

Bani Israel berbeda dengan Bani Yahudi, terkadang disebut dengan Kaum Yahudi. Mengapa tidak Bani Yahudi?, sedangkan Yahuda adalah nama dari seorang laki-laki dari putra ke empat Nabi Ya'kub yang menurunkan anak cucu terbanyak dari saudara-suadara yang lainnya. Bani Israel nama lain dari keturunan Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Israel adalah julukan dari Nabi Ya'qub.

Bani Israel dan Bani Yahudi, sebenarnya sama. Bani Israel diambil dari Ayahnya Yahuda yaitu Nabi Ya'qub, sedangkan Bani Yahudi adalah keturunan dari Yahuda. Tetapi, penggunaan Bani Yahudi ini tidak digunakan, lebih kepada bangsa (sya'b), kaum atau agama Yahudi. Dan kini, penggunaan kata Yahudi tergantung pendekatannya.Bagaimana dengan Israel hari ini? Jawabannya berbeda-beda, sesuai dengan pendekatan yang digunakan. 

Kata "Bani" juga banyak digunakan di Indonesia yang merujuk kepada seseorang yang sudah wafat dan menurunkan banyak keturunan (dzurriyah). Seperti Bani Khozin, Bani Nasruddin, Bani Syarqawi dan nama-nama Bani lainnya. Kata Bani dalam bahasa Indonesia sinonim dengan ibnu, kaum, rumpun, saudara, zuriyat, kerabat, anak, anak cucu, saudara dan anak bangsa. Penggunaan bani di Indonesia agak berbeda dengan Bani Hasyim, Bani Quraisy, Bani Qahthan yang sudah mengakar kuat dari beberapa keturunan. Sedangkan di Indonesia, banyak sekali bani yang dicipta, bahkan dalam bani ada bani.

Apa asal kata Bani? Bani, berasal dari kata "Ibnu, إبن" yang bermakna anak. Dan Ibnu bermakna "wahua syai' yatawalladu 'an syai', sesuatu yang dilahirkan dari sesuatu". Tetai sebaliknya, kata "Ibnu" ada yang berpendapat berasal dari kata "Banu, بنو dan Bani". Banin menjadi Bani yang kemudian dibuang ya' terakhir menjadi "Bani" karena mudha'af. Sedangkan jama' (plural) nya adalah Abna'. Ada pula yang berpendapat berasal dari "Binu" dengan mengkasrahkan fa' fi'ilnya, seperti Bintu. Ibnu bermakna seorang anak laki-laki. 

Dalam kitab Mufrat fi Gharib al-Qur'an, kata ini, berasal dari Banu   karena ketika dijama'kan menjadi Abna', dan apabila di-tashghir menjadi Bunai. Disebut dengan "Ibnu" karena dibangun (didasarkan, dikaitkan) pada Bapak (Aab). Karena Bapak yang membuat anak  (membangun), dan Allah yang menjadikannya sebab diciptakannya.

Banyak sekali pendapat terkait dengan penamaan dan asal kata ini, bisa dibaca di Mu'jam Maqayis Lughah karya Ibnu Faris, Misbah Munir Karya al-Fayumi, dan beberapa Mu'jam lainnya.

Istiqaq (derivasi) dari kata ini sangat banyak sekali, ada "Baniyyah" (Makkah) sebuah bangunan. Ada "Bunyan" bangunan, Bina',   Mabni, Banun. Dan dari kata Ibnu sederet kata-kata lainnya memiliki makna yang berbeda; Ibnu sabil (musafir), Ibnu Lail (pencuri), Ibnu Harb (pemberani), Ibnu Haram (abak zina), Ibnu Sab'ah (pemarah)Ibnu Balad (dermawan) dan lainnya.

Ibnu, yang berderivasi dengan bana-yabni-binaan yang memiliki arti membangun dengan berbagai variasi artinya.

******
Ket Gambar: Perbedaan Bani Yahudi dan Bani Israel dalam Al-Qur'an.

Jumat, 14 Mei 2021

Belajar Bahasa Arab itu Butuh Waktu

Halimi Zuhdy

Beberapa hari ini, ramai di media sosial tentang seorang Gus yang bacaan kitabnya dinilai salah (memang salah), tetapi saran saya untuk tidak dibesarkan-besarkan kesalahannya, kecuali hanya untuk memberikan pencerahan terhadap yang bersangkutan agar terus belajar dan belajar, karena manusia yang baik adalah mereka yang sadar akan kesalahannya kemudian bertaubat. Dan kehebatan saudara muslim itu adalah beramal yang baik (wa ‘amilushalihat) dan saling berwasiat kebenaran (watawasha bil haqqi), berniat untuk memberi nasehat bukan menjatuhkan, apalagi kemudian iri dan dengki, hal ini sudah masuk pada perangkap syaitan.
Tayyib, belajar bahasa Arab bagi seorang da’i itu merupakan sebuah kewajiban, karena sumber pokok dari ajaran Islam berbahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadis. Belum lagi kitab-kitab al-turast al-islamiyah yang berbahasa Arab. Dan mempelajari bahasa Arab tidak hanya bisa dilakukan sehari dua hari, ia butuh waktu cukup lama, maka tidak sedikit santri di pondok pesantren sampai  harus menempuh puluhan tahun hanya untuk memperdalam kitab kuning, hal ini dilakukan, agar tidak salah dalam memberikan harkat yang kemudian salah dalam memaknai dan memahaminya. 

Ada sih kursus-kursus kilat, seperti “24 jam pintar bahasa Arab”, “1 bulan dijamin bisa baca kitab kuning”, “Tidak harus mondok lama-lama cukup dengan mentode Buraq, pasti bisa baca kitab” dan masih banyak tawaran-tawaran yang menggiurkan agar dapat menarik banyak peminat untuk kursus bahasa Arab dan kitab kuning. Apakah salah?, tidak juga. Tetapi yang perlu dipahami dalam belajar bahasa Arab itu adalah memngetahui dua hal, yaitu; Maharah Lughah (language Skill ) dan Anashir al-Lughah (elements of the language). Banyak yang belum memahami kedua hal tersebut, baik maharah al-lughah dan anashir al-lughah, sehingga menganggap sama dalam mempelajari keduanya. Maharah itu terdiri dari; mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
Belajar maharah lughawiyah (skill bahasa) yang paling penting adalah mumarasah (pembiasaan) dan dilakukan sesering mungkin (muwadhabah), seperti anak kecil yang belajar kemahiran bahasa (skill), ia hanya butuh mendengar dan mendengar, kemudian berbicara. Semakin si anak banyak mendengar dan berbicara, semakin cepat penguasaannya dalam memahami setiap kata yang didengar, dan semakin cepat berbicara. Demikian juga dengan membaca dan menulis. Maka, jangan heran ketika seseorang yang hidup di madura, ia pinter berbahasa madura. Dan jangan heran, orang yang sedari kecil hidup di Arab, maka bisa dipastikan ia mahir berbahasa Arab (Min. mendengar dan berbicara). Yang aneh adalah, mereka yang berlama-lama di Arab, tapi tidak bisa berbahasa Arab. Maka, orang ini pasti kurang gaul. wkwkw. 

Tayyib. Bagaimana dengan Anashir Lughah (unsur bahasa)?. Cara mempelajari unsur berbahasa ini berbeda dengan belajar skill (kemahiran, maharat), tidak cukup dengan pembiasaan (mumarasah), mengulang-ulang (tikrar, muraja’ah), butuh keseriusan lebih, butuh waktu untuk mengkajinya dan menelitinya. Unsur-unsur bahasa tersebut; ilmu aswat, tarakib, dan mufradat. Terutama belajar Tarakib (nahwu dan sharraf). 
Bila ada pembelajar di pesantren atau sekolah yang hanya belajar ilmu alat (tarakib, nahwu atau sharraf), tetapi tidak memperaktikkanya, maka tidak akan bisa membaca kitab kuning. Dengan fenomina tersebut jangan heran ada yang hatam (bahkan hafal) Jurmiyah, Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik tetapi tidak mampu membaca kitab kuning. Karena pembelajar ini tidak mempraktikkan ilmu alatnya -sebagai cangkul- untuk menggarap sawah, hanya sekedar untuk dibuat hafalan. 

Belum lagi kalau pembelajar ingin memahami bahasa al-Qur’an (al-Arabiyah lil Qur’an), maka tidak cukup hanya dengan terjemahan kata perkata, butuh tambahan ilmu untuk mempelajarinya, seperti ilmu Balaghah dan beberapa ilmu lainnya. 

Belajar bahasa Arab itu butuh waktu, harus bersabar dan berlatih. Selain juga banyak mengkaji kitab-kitab berbahasa Arab dan menuliskannya. 

Allahu’alam bishawab

****** gambar di bawah
Struktur bangunan keilmuan Bahasa dan Sastra Arab

Rabu, 03 Maret 2021

Di Balik Satir “Khamr”! (Melirik kata Khamr dalam Bahasa Arab)

Halimi Zuhdy
Sudah sama-sama mafhum, khamr (miras) adalah minuman meracau dan mengacau, walau tidak dapat dipungkiri ada faidah di dalamnya. Tetapi, mudharatnya akstar (lebih besar) dari pada manfaatnya.
Beberapa bulan yang lalu, saya minta pijet pada seorang pemuda, ia berperawakan kecil, tapi tangannya kuat mencengkram, jari-jarinya lihai menari-nari di punggung dan betis. Setiap kali saya minta pijet, mulut ini tidak bisa diam, saya menanyakan aktifitasnya, pekerjaannya, dan obrolan santai lainnya.


Saya sangat kaget, ketika pemuda ini membeberkan masa lalunya, sampai ia dikeluarkan dari pesantren. Ia terjerat miras (khamr), bila ada masalah mendera, teman yang paling dekat adalah miras, setelah menegaknya ia terasa terbang, bahkan dapat melupakan berbagai masalah yang menerpa hidupnya, tapi ia tidak sadar sudah berapa perbuatan keji yang dilakukan ketika miras mengalir di kerongkongannya.ia merasakan seperti ada tirai yang menghalangi dari berbagai masalah, tetapi setelah ia sadar, masalah itu muncul Kembali, bahkan lebih berat. “Ia benar-benar dapat menutup pikiran, mata dan hati saya Pak” ungkap pemuda itu ketika jari-jarinya menyelesakan tugas terakhirnya di leher saya.

Kamis, 25 Februari 2021

Salah Paham dengan Kata Tabarakallah, Barakallah, Mabruk dan Mubarok

Halimi Zuhdy

Beberapa bulan terakhir, sejak beberapa da’i mempopulerkan kata Tabarakallah dan tidak sedikit artis yang mengikutinya, maka media ramai dengan kata tersebut, dan seakan-akan artinya sama dengan kata Barakallah.


Terkait dengan kata “Tabarakallah” ini tidak sedikit yang memahaminya dan memaknainya dengan kurang tepat, bahkan salah. Di beberapa artikel yang membahas kata ini (Tabarakallah), memaknainya tidak tepat (silahkan googling), diartikan dengan “mudah-mudahan Allah memberkatimu”, ada pula yang menggandengkan dengan “Masyallah Tabarakallah” yang diartikan dengan Allah yang berkehendak seperti itu, Allah berikan kamu barakah (artikelsiana), Semoga Allah memberkahimu (wolipop.detik), semoga Allah memberkahimu (kumparan), Tabarakallah (تبارك الله) Semoga Allah memberkahimu (quora), empat web di atas adalah hasil googling ketika mencari makna “Tabarakallah”, belum lagi website lainnya yang pembahasannya tidak jauh berbeda.
Sekilas, kesalahan yang paling tampak adalah mengartikan “Ka” dalam Tabara-ka- dengan arti “kamu”, ini juga sering terjadi kesalahan dengan mengartikan “Barakallah” dengan mudah-mudahan Allah memberikati-mu, tanpa mengikuti kata fika, laka, alaika dan lainnya. Tabarakallah itu berbeda dengan “Barakallah laka”, meskipun dari derivasi yang sama, tetapi memiliki arti yang berbeda.
Tayyib. Mari kita kaji sepintas makna “Tabarakallah”, pertama secara mu’jami (kamus), kedua, menurut beberapa tafsir al-Quran (karena kalimat ini sangat banyak di dalam al-Qur’an). Ketiga, hadis-hasis yang terdapat kata tabarakallah.
Pertama, secara mu’jami kata ini belum ada dalam kamus KBBI, dan suatu saat perlu ditambahkan dalam kamus bahasa Indonesia, seperti kata; alhamdulillah, masya Allah, berkah, dan kata-kata lainnya yang sering digunakan masyarakat Indonesia. Dalam kamus Al-Ma’ani, Tabarakallah diartikan dengan Taqaddasa, tanazzaha, ta’ala (Maha Suci Allah, Maha Tinggi). Tabaraka al-Rajulu (thalaba al-barakata wa faza biha); seseorang memohon keberkahan dan keberhasilan dengannya. Kata “tabaraka wa ta’ala” sudah menjadi istilah dalam Fiqih dengan arti Maha Suci Allah dan Maha Tinggi. (Ma’ani).
Dalam al-Qur’an, kata Tabarakallah terdapat dalam 8 tempat; Al-‘Araf: 54, Al-Mu’minun: 14, al-Furqan pada ayat; 1, 10, dan 61, al-Ghafir: 64, al-Rahman: 78, al-Mulk: 1.

تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ، فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ، تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ.. ، تَبَارَكَ الَّذِي إِنْ شَاءَ جَعَلَ لَكَ خَيْرًا..، تبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجاً، تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإكْرَامِ، فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ، تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia kata Tabarakallah (sesuai dengan urutan ayat di atas) diartikan dengan; 1) Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam, 2) Maka Maha sucilah Allah, 3) Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan, 4) Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, 5) Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang, 6) Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. , 7) Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia, 8) Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan.
Sedangkan dalam beberapa tafsir al-Qur’an, di antaranya adalah kitab Al-Tahrir wa al-tanwir karya Ibnu ‘Asyur, kata “Tabarak” dalam bentuk derivasinya adalah menampakkan sifat pada sesuatu yang disifati, seperti kata Tastaqala yaitu tampak sesuatu yang berat dalam pekerjaannya (menjadi berat), Ta’adhama (tampak keagungannya, menjadi besar, agung), dan terkadang digunakan untuk menampakkan perbuatan yang disifati dengan benar-benar jelas seperti Ta’alallahu (sangat jelas keagungannya), maka dalam kata Tabarakah adalah sangat tampak jelas keberkahannya (dzaharat barakatuhu). Dalam Fath al-Qadir Lil Syakani, Tabarakallah, ai kathurat barakatuhu wa ittasa’a (keberkahan yang banyak dan melimpah), dan juga bermakna Ta’adhama (sangat tanpak keagungannya). Dalam tafsir al-Thabari tidak jauh berbeda dengan Fath al-Qadir yang bermakna al-kastrah dan ittasa’a (dipenuhi dengan keberkahan).
Dalam al-Mausu’ah al-Hadistiyah, kata “Tabaraka” terdapat dalam banyak hadis yang selalu berdampingan dengan kata “Ta’ala” sebuah istilah yang digunakan untuk kemuliaan dan keagungan Allah swt. Tidak ditemukan sebagai ungkapan untuk menyatakan sesuatu, sepengetahuan penulis, kecuali pernyataan keagungan kepada Allah.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan tentang makna Tabaraka dengan arti “Allah memberkatimu”. Pertama, tabarakaallah tidak sama dengan barakallah laka, tabaraka (تبارك) itu khumasi lazim (kata kerja yang masuk katogeri lima huruf dan intransitif), sedangkan baraka (بارك) adalah kata transitif (muta’addi). Tabaraka menjadi transitif bila disambung dengan huruf lain (muta’addi bi harf).
Kedua, Tabaraka adalah satu kata, bukan gabungan dari “taba” dan “ka”, yang memunculkan makna kamu. Demikian juga dengan kata Barakallah. Kata “Barakallah”, disambung dengan kata setelahnya, seperti kata fika, laka, dan alaika, menjadi Barakallah laka.

Ketiga, Tabarakallah itu mengagungkan Allah, menampakkan kesucian-Nya, kebaikan datang dari-Nya, keberkahan hanya dari-Nya. Maka, lebih tepat kalau ingin mengucapkan selamat atas apa yang diraih seseorang adalah kata Barakallah laka, Alaika, Ilaika (mudah-mudahan Allah memberkatimu), sedangkan kalau ingin mengucapkan sesuatu yang luar biasa, maka mengucapkan kata Barakallahu laka, fihi, (lebih jealasnya keterangan diakhir tulisan ini), tetapi yang lebih masyhur adalah Masyallah lahaula wala quwwata illa billah.
Dalam beberapa penjelasan, kata masyallah itu untuk dirinya sendiri (apabila terdapat sesuatu yang luar biasa), sedangkan (untuk orang lain). Dalam laman al-imam bin Baz (al-Sunnah al-Shahihah) kata “Masyallah Tabarakallah” tidak ada dasarnya yang dapat menguatkan kalimat di atas (ma warada fihi syaik), yang ada dasarkan adalah Masyallah la haula wala quwwata illa billah. Sedangkan kata “Tabaraka” malah tidak berdasar, sedangkan dalam hadis yang ada adalah alla barrakta (ألَّا بَرَّكْتَ). Beliau melanjutkan, apabila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan, maka yang mengucapkan “Allahumma barik fihi”, “Barakallah fihi”. Berbeda dengan Ibnu Utsaimin, apabila seseorang ingin selamat dari penyakit Ain, maka hendaknya mengucapkan “Tabarakallah alaika”, karena Nabi pernah bersabda yang tertimpa penyakit dengan ucapan “Halla barrakta ‘alaika”. Dalam Utaibah, Mata Yuqalu Tabaraka wa mata yuqalu Masyallah la haula walaquwwata.
Apakah ada yang salah dengan pengucapan kata Tabarakallah? Tidak ada yang salah, hanya kurang tepat penggunaannya, serta salah mengartikannya, dan juga mungkin kurang tepat memahaminya.
Bersambung pada pembahasan kata Mabruk dan Mubarok, Insya Allah.
Allahu’alam bisshawab.

Guru Kecil di Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Khadim Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Kamis, 04 Februari 2021

Satu Kesulitan, Dua Kemudahan (Inna Ma'al 'usri Yusro)

Halimi Zuhdy

“Apabila ada kata ma’rifat (kata definitif) dalam dua kalimat yang berbeda maka keduanya memiliki arti yang sama (nafs syai’, maksudnya juga sama), muallimah dalam salah satu vedio menyitir kaidah linguistik Arab (qaidah lughawiyah). Seperti contoh;
جاءت المرأة، وسلمت على المرأة
“Telah datang seorang perempuan, dan saya mengucapkan salam pada perempuan tersebut”,
maka perempuan yang ada dalam kalimat di atas adalah perempuan yang sama, karena kata perempuan (al-mar’ah) di sini menggunakan ma’rifah (definitif), dan tanda bahwa ia ma’rifah dengan adanya “al” yang disebut dengan "Al-ta’rif".
Gmbr diambil dari i.ytimg.com (120×90)



Tetapi sebaliknya, bila ada nakirah (indefinitif) dalam dua kalimat yang berbeda, maka memiliki arti dan maksud yang berbeda pula, seperti;

جاءت مرأة، وسلمت على مرأة
“Telah datang seorang perempuan, dan saya mengucapkan salam pada seorang perempuan”.
Dalam kalimat ini, antara perempuan yang pertama dan yang kedua berbeda, walau sama-sama perempuan. Karena kedua perempuan itu tidak menunjuk satu jenis (umum), perempuan yang mana (nakirah, indefinitif)?.
Sedangkan kalimat yang pertama "Perempuan itu" dalam dua kalimat menggunakan kata definitif, maka bisa dipastikan keduanya adalah perempuan yang sama.
Penjelasan di atas hanya sebuah contoh untuk mengantarkan kepada para mustami’ (pendengar), bahwa dalam Ayat al-Qur’an surat Al-Insyirah;

﴿ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا( )إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴾
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Dalam Ayat ini, kata kesulitan (al-‘usr) kedudukannya adalah definitif (ma’rifah), maka kedua kesulitan itu pada hakekatnya satu (satu kesulitan), sedangkan kata kemudahan (yusr) tidak sama antara kemudahan yang pertama dengan kemudahan yang kedua (berbeda), yang pertama adalah kemudahan dalam solusi, terselesainya berbagai masalah hati, lapang dada, kebahagiaan. Dan kemudahan setelah tertimpa kesulitan, maka ada kemudana yang bersifat materi (maddi) dan kemudahan batin (ma’nawi).

Artinya kesulitan itu hanyalah satu walau dengan kata yang berulang-ulang, sedangkan kemudahan itu melimpah ruah.
Dan saya menemukan keterangan Dr. Ahmad Khadar yang mengutip perkataan Ibnu Abbas dari beberapa kitab tafsir,
قال ابن عباس: يقول الله تعالى خلقت عسرًا واحدًا، وخلقت يسرين، ولن يغلب عسر يسرين
Ibnu Abbas berkata, “Allah berfirman, aku ciptakan satu kesulitan serta aku ciptakan dua kemudahan, dan satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan”.

Selanjutnya Dr. Ahmad melanjutkan mengutip perkataan Imam Al-Qurtubi, bahwa Ayat “Inna ma’al usr Yusra” yang kedua bukan mengulang dari Ayat yang pertama, sesungguhnya kesulitan (al-‘usr) di dunia bagi seorang mukmin akan mendapatkan kemudahan (yusrun) di akhirat, atau kemudahan di dunia dan kemudahan di akhirat.

Rasulullah saw bersabda;
لو كان العسر في حجر لدخل عليه اليسر حتى يخرجه
“Seandainya ada kesulitan (al-usr) lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan itu akan datang dan masuk ke dalam batu ini pula, lalu (kemudahan) akan mengeluarkannya”.

Ayat ini bila dikaji dari awal "Alam Nasyrah" sangat menarik, belum lagi perbedaan terjemah “sesudah” dan “bersamaan” dari kata ‘Ma’a”.

Pesan yang sangat luar biasa adalah kemudahan itu lebih banyak dari pada kesulitan, dapat kita bayangkan bila hidup hanya dipenuhi dengan kesulitan, sakit terus mendera, sengsara yang tak berkesudahan. Tapi, bukankah keindahan, kemudahan, kesehatan lebih berlimpah dalam kehidupan kita hari-hari.

Allahul musta’an wailahi tuklan

Jumat, 15 Januari 2021

Belajar pada Nabi Khidir, Berkata Sopan Santun

(Analisis Penggunaan Kata Iradah dalam Surat al-Kahfi)

Halimi Zuhdy

Pilihan diksi, laksana memilih budi. Dalam bahasa Arab, penggunaan dhamir "Antum" ada yang menganggap sebagai ihtiram (memuliakan), walau yang khitab-nya (yang dituju) adalah satu orang, seperti Ilaikum, antum, nahnu, dan beberapa kata lainnya. Dan penggunaan dhamir ma'a al-ghair, Nahnu (kami) melibatkan pihak lain, "Nahnu Nazzalna dzikra" Kami turunkan Al-Qur'an, jelas-jelas Allah yang menurunkan, tetapi ada pihak lain yang terlibat di dalamnya, Malaikat. Tetapi, berbeda bila hanya Allah yang berbuat (mencipta), maka menggunakan dhamir wahdah (tinggal) "...khalaqtu jinna.." Aku Yang Menciptakan... .

Dalam surat al-Fatihah, Kalimat "An-amta alaihim" "Yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka", menyebutkan dan menampakkan kata "Engkau" yang telah memberi kenikmatan, sebagai pelaku. Tetapi pada Ayat berikutnya, seakan-akan tidak ada, disembunyikan. Ini belajar sopan santun dalam urusan kebaikan. Bila hal tersebut adalah kebaikan, maka Allah yang memberikan kebaikan tersebut, tetapi pada hal yang tidak baik, maka tidak menyebut asma-Nya.

Yang menarik dalam Surat Al-Kahfi terdapat satu kata (derivasi berbeda) dengan subjek berbeda. Dialog Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nabi Khidir AS memilih kata (diksi) yang digunakan dalam percakapannya dengan Nabi Musa AS yaitu kalimat;
(فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا)
“Aku bermaksud merusaknya..
(فَأَرَدْنَا أن يُبدِلَهُمَا)
Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya....
(فَأَرَادَ رَبُّكَ)
Maka Tuhanmu menghendaki..

Penggunaan kalimat di atas menurut Syekh Fadhil Shaleh al-Samraai bagaimana nabi Khidir bersikap dan berujar yang sangat baik (sopan santun) pada Allah SWT. Pada kalimat pertama فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا, kerusakan yang terjadi dengan melubangi perahu, ia nisbatkan kepada dirinya sendiri. Bahwa dirinyalah yang telah melakukan kerusakan, “Aku bermaksud merusaknya”.

Pada kalimat yang kedua فَأَرَدْنَا أن يُبدِلَهُمَا. Ketika peristiwa pembunuhan terhadap anak tersebut terlihat jelas, namun ada hal lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu menyelamatkan kedua orang tua anak tersebut dari kekafiran, maka Nabi khidir menggunakan “kami”, tidak seperti yang pertama “Aku”. Ada pelibatan pihak lain. Seakan-akan Nabi Khidir mengungkapkan “Saya yang (hendak) membunuhnya, karena Allah berkehendak menyelamatkan kedua orang tuanya dari kekafiran, dan Allah menggantinya dengan kebaikan yang lain”. Iradah (kehendak) membunuh itu datangnya dari Nabi Khidir, dan Iradah (kehendak) kebaikan untuk kedua orang tuanya itu datangnya dari Allah.

Kalimat berikutnya, فَأَرَادَ رَبُّكَ. Pada kalimat ini, hanya Allah yang berkehendak, tidak melibatkan dirinya (Khidir), karena hanya kebaikanlah yang ada pada hal tersebut, tidak ada kemungkaran, baik kemungkaran secara logika atau secara syariat. “….. maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. Kehendak (Iradah) yang dilakukan oleh Nabi Khidir dengan membantu anak tersebut, murni karena hanya untuk kebaikan, walau dirinya yang melakukan kebaikan, tetapi ia nisbatkan (tujukan) kepada Allah, Allahlah yang berkehendak atas kebaika-kebaikan itu. Ini sebagai jawaban Nabi Khidir kepada Nabi Musa, karena Nbi Khidir as membangun tembok rumah yang di sebuah pemukiman dan tidak ada satupun penduduk yang menerima mereka dengan baik dan ramah.

Pemilihan diksi yang cukup menarik, segala hal kebaikan yang dilakukan oleh Nabi khidir dikembalikan kepada Allah, sedangkan keburukan yang ia lakukan, ia kembalikan kepada dirinya.

Allah ‘Alam Bishawab
Malang, 12 Januari 2021

Minggu, 13 Desember 2020

Mengurai Makna Syiar

Halimi Zuhdy

Kita sering mendengar kata "Syiar", namun terkadang berbeda dalam memaknai kata ini. Syiar sering dikaitkan dengan agama. Misalnya "mensyiarkan agama Islam", mungkin dianggap sama dengan membahanakan, mengenalkan, menginformasikan, atau memasyarakatkan. 

Kalau kita merujuk pada KBBI, Syiar diartikan dengan memuliakan dan Kebesaran, contoh, suara Azan pada tiap-tiap waktu salat menandakan syiar Islam. Berarti adzan adalah sebagai kebesaran atau kemuliaan dalam Islam. Bila kita merujuk pada Mu'jam Ma'ani, syiar itu adalah logo atau slogan. Slogan bisa berupa: gambar, simbol, logo (tanda), atau frase singkat yang mudah diingat dan diulang, atau juga sebuah ciri khas suatu negara atau kelompok yang melambangkan sesuatu dan sebagai penanda. Atau juga Syiar dalam Ma'ajim (Kamus) bahasa Arab tidak hanya dalam agama, tetapi juga dalam perdagangan (tijariyah), peperangan (al-harb), perjalanan (as-safar), kenegaraan (wathan), dan makna lain yang sesuai dengan konteksnya. 

Kata syiar dalam haji biasanya digunakan kalimat "Syiaru al-haj", bermakna ibadah haji (manasikuhu), dan ini terkait dengan tanda, astar, dan ibadah haji. Secara umum syiar dalam bahasa Arab itu adalah slogan, logo, gambar atau grafik visual ilustratif, dan dengannya baik seseorang, institusi, perusahaan, atau produk tertentu, atau bahkan negara dapat diidentifikasi (Al-Maudhu'). 

Kata syiar ini sangat dekat (berderivasi)  dengan kata syi'ir (puisi), sya'r (rambut), syu'ur (rasa, perasaan), syaar (tempat yang dipenuhi pepohonan), syaair (penyair), Sya'irah al-siaf (paku kecil pada sebilah pedang), syi'rayan (dua bintang), syaar (baju hitam), jelai (syaiir), liturgi, ritual, upacara (syai'rah). Dalam kamus Lisan al-Arab, Syiar adalah pakaian dalam yang menutupi tubuh manusia. Sebagaimana dalam Hadis Nabi, "Al-Anshar Syiarun, wa an-Nasu Distarun"
الأنصار شعار والناس دثار. 
 Dan Syiar terkadang dianggap suatu eksistensi lembaga, dari sinilah lembaga dapat dilihat keberadaannya dan perbedaannya. 

Bila ditilik dari makna yang diolah KBBI dengan makna dari Mu'jam  bahasa Arab (sumber dari kata ini), maka tidak terlihat hubungannya, kecuali dikaitkan dengan implikasi dari syiar ketika disyiarkan akan menjadi mulia dan besar. Atau Syiar adalah suatu tanda yang dimuliakan dan dianggap sesuatu kebesaran sebuah lembaga, negara, agama atau lainnya. Atau makna KBBI itu diambil dari sebuah Ayat Al-Qur'an;
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa "mengagungkan" syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati (Al-Hajj, 32).

Allah a'lam bishawab

Selasa, 03 Juli 2018

FENOMENA NISSA SABYAN DAN BAHASA ARAB

Halimi Zuhdy

                Beberapa minggu yang lalu, ketika saya mudik lebaran Idul Fitri, saya menemukan fenomena luar biasa, suara Nissa Sabyan menggema di berbagai tempat; rumah, warung, perkantoran, pasar, kendaraan umum dan pribadi, walimah, pesta pernikahan, gedung-gedung pemerintah dan swasta. Dan setiap bertemu sejawat, mereka bercerita, bahwa café-café yang biasanya “ngerock” dan dangdutan, berubah menjadi alunan lagu-lagu berbahasa Arab dari Nissa Sabyan.

Fenomena itu pernah saya temukan di era 2000-an, suara Sulistyawati dan Haddad Alwy dengan judul lagunya “Ummi dan Ya Thayyibah”, juga menggema di berbagai sudut kampung dan kota, televisi dan radio, pusat-pusat pembelajaan dan lainnya. Semua orang menghafal lagunya (Berbahasa Arab), dan banyak pula yang memahami kalimat-kalimatnya dengan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dua juta keping terjual, sungguh sangat luar biasa, lagu-lagunya yang berbahasa Arab itu laris manis.

Ada kebanggan ketika itu, Bahasa Arab tidak hanya menjadi bacaan dalam Shalat, tadarus Al-Qur’an, Adzan, Iqomah, Khutbah Jum’at, kajian-kajian kitab dan Ijab Qabul, tetapi menjadi bacaan dan dendang lagu setiap hari di beberapa rumah dan tempat keramaian. Semua orang bershalawat. Saya lihat kala itu, dari anak kecil sampai dewasa, berusaha untuk memahami dari setiap lirik lagu Ummi dan Ya Tayyibah yang berbahasa Arab itu.  

Jumat, 22 Juni 2018

WANITA CERMIN LAKI-LAKI

Halimi Zuhdy

Beberapa bulan yang lalu saya membaca tulisan menarik, "Al Mar'ah Miratur Rojul",  bahwa wanita adalah cermin laki-laki. Namun, saya masih bertanya-tanya, mengapa wanita dianggap cermin laki-laki?. Tulisan ini, sedikit akan menganalisis wanita (mar'ah) dalam asal bahasanya dan kaitannya dengan derevasinya (mar'ah dan mir'ah) . 

Saya mulai membuka beberapa kitab yang mengkaji asal "Mar'ah" (wanita),  di antaranya; karya 'Alla' Husain yang mengkaji tentang " _limadza summiyah mar'ah mar'atan_", dan nantinya saya akan hubungkan dengan "Mir'ah"(cermin), bahwa wanita itu "mir'ah" bagi laki-laki. 

"Mar'ah/wanita" disebut "Mar'ah" karena dicipta dari "mar'i/seseorang" yaitu Hawwa' dicipta dari Adam. Atau Hawwa' diturunkan di bumi yang bertempat di Marwa, sehingga diambil dari derevasinya "Marwah". Kemudian  'Alla Husain melanjutkan, mengapa Hawwa' disebut Hawwa'?, karena ia induk (umm) dari segala kehidupan, dan orang-orang Jahiliyah Arab menamakan patung-patung sesembahan mereka dengan nama wanita, karena wanitalah sumber segalanya. 

Rabu, 07 Maret 2018

BELAJAR BAHASA ARAB DI ERA DIGITAL

Halimi Zuhdy
IG: @halimizuhdy3011
Hari ini (5/3/2018), Saya dan Dr. Abu Aiman Al-Qomary sebagai pemateri Seminar Kebahasaan di acara  @sahara PBA UIN Sunan Gunung Jati Bandung, materinya cukup penarik, mengangkat tema "Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Arab di Era Digital".

Sebuah Era, dimana,  jarak tak lagi menjadi penghambat, guru dan kelas bukan lagi satu-satunya. Digit, menjadi penentu keberhasilan, dalam banyak hal; bisnis, politik, demikian juga pembelajaran bahasa. Era ini, sudah tidak mampu dibendung dengan kekuatan apapun, bagi yang menghamba, maka ia akan menjadikannya Tuhan. Lihatlah, dimana-mana, manusia, sudah menjadikan WA, FB, TW, YT, sebagai teman 24 jam. Jaringan internet, sudah paling dicari, kehilangan sinyal seperti kehilangan anak, teman dan orang yang dicintai. Mudah-mudahan, hal ini belum seserius kata teman saya, "Era Digital, sudah mengakar kuat, Tuhan pun, kalah pada sinyal". Na'udzubillah. Tetapi, dapat dicari sisi positifnya, untuk hal-hal positif. 

Minggu, 28 Januari 2018

BELAJAR BAHASA ASING ITU, MUDAH

(Menjaring kata dan Membiasakan) 

Halimi Zuhdy
IG @halimizuhdy3011


"Belajar bahasa tidak harus orang cerdas, pintar dan hebat. Belajar bahasa hanya membutuhkan kesungguhan dan pembiasaan", Demikian kata Avin Nadhir,  Direktur Indocita Foundation Desa Inggris Singosari. 

Segudang kosa kata yang dimiliki, kalau tidak pernah digunakan dan dibiasakan, maka tidak akan pernah bisa berbahasa.Bahasa bukanlah ilmu, ia merupakan skill (maharah), skill hanya diperlukan keberanian untuk melakukan dan kebiasaan untuk diterapkan, serta yang paling penting "Kekuatan Diri Untuk Bisa Berbahasa". 

Dalam bahasa Arab ada ungkapan, al-Lughah Hiya al-Kalam (Bahasa itu adalah berbicara/mengungkapkan), bahasa itu harus diucapkan, dikatakan, dibahasakan. Maka, ada tiga syarat untuk cepat bisa berbahasa (baik:mendengar, membaca, berbicara dan menulis), dan tidaklah dibutuhkan teori yang melangit. Agar bisa berbicara bahasa Arab, misalnya, maka tiga syarat itu adalah; 1) berbicara, 2) berbicara, 3) berbicara. Demikian kamahiran yang lain. Artinya, dilakukan dan sipraktikkan. 

Senin, 08 Mei 2017

Belajar Bahasa Arab Ammiyah, untuk TKI, Travel and Tour


#Belajar Bahasa Arab Tuk TKI di Arab yuk
# Percakapan Sehari hari di Arab
# Travel and tour di Arab

Karena minimnya  pembelajaran Bahasa Arab Ammiyah serta minimnya referensi untuk TKI, maka mahasiswa BSA Humaniora UIN Malang, yang mengambil konsentrasi Siyahah/pariwisata, membuat beberapa media di antaranya percakapan yang disebar lewat youtube dll. Dan diakhir percakapan ada beberapa kosa kata baru yang biasa digunakan di Arab, terutama bagi TKW, jamaah haji, umrah dan bahasa keseharian (Ammiyah). Vedio ini diperuntukkan bagi yang berkepentingan untuk melakukan perjalanan, percakapan sehari hari dengan Amniyah.  Tapi bagi pembelajar bahasa Arab umumnya hendaknya lebih menghukhususkan pada bahasa Arab fushah. Di Konsentrasi Pariwisata BSA yang kami ajarkan adalah _Bhs Arab lil A'mal, Al Arabiyah lil siyahah, Al arabiyah lil Hajj, dan Asshifah Arabiyah.
Akhukum Halimi Zuhdy
 


3.Kosa Kata hajj wa Umroh :https://youtu.be/jqM1FVhgQnc


5. Penukaran uang :https://youtu.be/-xa1puxeDe4



8.di Bandara dan Hotel :https://youtu.be/dxcr13Jx80s

9. Taarum/perkenalan :https://youtu.be/qKvnAZwUPIk


*Rehat sejenak tuk _nyanyian Arab Ammiyah TKW Dan Hindi_ https://youtu.be/Am9eYWzrdUk
Mudah-mudahan bermanfaat, mohon saran dan kritiknya. 

Halimi Zuhdy
Mentor pembelajaran Bahasa  Arab _lil aghrod khasshoh_ (trevel and tour, jurnalistik, pekerja, muthawwif, dll)
Cp. 085729320568

Jumat, 31 Maret 2017

Pengantar Buku Antologi Puisi “Puisiku Sunyi"


Seuntai Kata :  “Tak Seindah Puisi”, Katamu!



Halimi Zuhdy

Puisi lahir dari imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang diwarnai dengan khayal. Kata-katanya; kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun tidak mencair. Ia selalu hadir dalam lintasan senjarah, menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya menjadi teman dalam sepi bagi yang selalu merasa kesepian. Ia selalu unik dalam kehadirannya.
Puisi, tidak sebatas kata yang diikat kalimat, dipoles dengan titik dan koma, yang menjadi bait-bait indah disanggul larik, yang liriknya membariskan rasa, membuat prasa sendiri dalam tubuhnya. Fisiknya; kadang kurus, kadang gemuk, terkadang sedang. Kurus, gemuk dan sedang tidak membuatnya harus  diet, tambah makana pala ginutrisi, ia selalu menjadi dirinya sendiri. Ia memliki cara gaya yang berbeda; metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

Rabu, 10 Agustus 2016

CARA MUDAH DAN CEPAT MEMBACA KITAB KUNING





 Selalu ada yang menarik, ketika melakukan sesuatu, mencoba yang baru, membongkar yang lama dimodifikasi kembali, atau yang lebih menarik adalah berani untuk berbeda dengan merasakan hasilnya. Sesuatu tidak harus tetap, istiqomah, dan paten. Karena sesuatu yang dianggap bagus, belum tentu selamanya bagus, bisa saja ada yang lebih bagus, walau anggapan bagus dan lebih bagus sesuai dengan selera yang menilainya.

Kita sama-sama mengetahui, bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, bahkan sesuatu yang dianggap sempurna, selalu tampak kekurangannya. Maka alFaqir beberapa tahun terakhir memperhatikan beberapa metode Membaca Kitab Kuning yang dianggap bagus oleh orang, tertanyata hasilnya diluar kenyataannya, atau kurang memuaskan, baik bagi pengguna dan juga bagi tutornya. Ketidakpuasan yang saya maksud, adalah ketika metode ini saya ujicoba sendiri setelah mengikuti serangkaian pembelajaran yang harus ditempuh, ya…metode itu hanya menjadi serangkaian seremonial tetapi kurang memuaskan. Tetapi, saya sangat salut bagi pendidik, guru, ustadz, kyai yang selalu mencari metode terbaru dalam mempermudah atau mempercepat bisa membaca kitab kuning, Karena tidak semua orang memiliki ide dan kemudian dituangkan dalam satu buku, yang kemudian diujicobakan, ada yang berhasil, ada pula yang tidak berhasil.

Selasa, 18 September 2012

CARA MEMBUAT DIKSI PUISI YANG BAIK

Halimi Zuhdy

1.      Memilih bentuk tulisan
Penulis memilih bentuk tulisan yang akan ditulis, akan menulis puisi atau cerita, jika ingin menulis puisi maka memilih uslub/diksi lebih selektif, karena ada keterkaitan antara kata, makna, bunyi (musikalitas) dan lainnya. Sedangkan kalau cerita lebih sederhana dan tidak memerlukan keserasian dalam kata.

2.       Memilih kata yang tepat
Dalam pemilihan kata, penulis dituntut untuk memiliki kemampuan kreatifitas, intuisi dan imajinasi serta pengalaman dan pengetahuan. Misalkan ingin mengatakan “aku mencintaimu” dirubah dengan “aku ingin mencium bunga yang ada di telapak kakimu”. Dari yang sederhana berubah menjadi bahasa yang penuh imajinatif dan tidak biasa. Ini diperlukan keselektifan dalam memlih kata disesuaikan dengan keinginan penulis. Atau kata cinta disandingkan dengan ombak, padamu orang keduan disandingkan dengan pantai, pasir, karang, dan lainnya.

3.      Perenungan
Setelah mendapatkan beberapa kata yang akan disandingkan dengan kata yang asli, atau pengganti kata atau kalimat yang lebih cocok dengan imajinasi, rima, dan makna yang dimaksud,. Maka direnungkan kembali, apakah ia memiliki sugesti yang kuat yang mampu memberikan pengaruh pada pembaca, dan menjadi bahasa yang tidak biasa, dan memiliki imajinasi yang tinggi. Dalam memilih kata-kata yang akan ditulis hendaknya disesuaikan dengan Nada dan perasaan.

4.      Merasakan
Pada setiap kata, frasa, bahkan larik diusahana penyair benar-benar hadir dan merasakan setiap ungkapan yang akan ditorehkan, tidak hanya sekedar lipstick dan pemanis saja. Ia mampu dirasakan sendiri, dan bahkan mampu membangkitkan rasa pembaca, kata-kata yang dipilih bernas, telak, sekaligus enak didengar dan membekas dalam benak pembaca. Merasakan berbeda dengan merenungan, merasakan berarti bagaimana setiap kata mampu menembus hati dan membangkitkan emosi pembaca, dan sangat dekat dengan pembaca, baik dari pemilihan tema, gaya bahasa, bunyi, dan lainnya. Hal itu bisa dirasakan apabila penulis sendiri merasakan, baik lewat pengalaman, pergolakan pemikiran, atau hasil internalisasi idiom orang lain dan sesuai dengan tema penulis.  Dan merasakan ini terkait sekali dengan imajinasim Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

5.      Menyusun
Setelah memilih kata atau kalimat dengan sebaik mungkin yang sudah terkait dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Maka kemudian penulis mencoba untuk menyusun setiap kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi lirik, dan dari lirik satu dengan lirik yang lain ada kepaduan dengan tema, walau mengandung imajinasi yang berbeda, tapi tidak jauh dari tema dan amanah dalam puisi tersebut. Perhatikan kembali puisi-puisi di atas, bagaimana seorang penyair memilih kata yang tepat. 

http://sastrahalimi.blogspot.com/2012/09/blog-post.html