السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label Ijaz Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ijaz Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Agustus 2025

Mendengar” dalam Perspektif Al-Qur’an(Perbedaan: sam', istima', isgha, inshat)

Halimi Zuhdy

Setelah saya menulis tentang "Kyai Tidak Memihak orang Desa?" dan "Fatwa vs Petuah",  kok ingin menulis tetang "fiqih", "fahm", "faqih", "fahim" dan beberapa hal terkait denga pemahaman teks agama. Mengapa? Karena tidak sedikit yang merasa paham, tidak benar-benar paham. Ada yang dianggap benar-benar paham (teks agama, dalil dll), tapi, tidak mengerti maksudnya. Maka, dalam hal ini ada istilah "ikhtilaf darajatil ulama fi fahm wal fiqhi". Bahasanya Gus Rijal Mumazziq Z, berbeda antara al-faqih wal mutafaqqih. Sebelum ke persoalan yang lebih rumit; fiqih dan fahm. Ada yang sebenarnya "derajat pendengaran yang kadang lupa dipahami. He. 
Di tengah hiruk pikuk persoalan per-Horegan, kita sering kali hanya “mendengar” hukum haram tanpa benar-benar memahami maksud-nya. Bahkan, yang menolak mentah-mentah tidak membaca teks keharamannya. Ini perbedaan tahu, mengerti, paham, dan istilah lainnya. Dan istilah dalam bahasa Arab tambah rumit dan banyak sekali. Coba, kita mulai dari pemahaman kata "mendengar" dalam Al-Qur'an. Karena persoalan Horeg, adalah persoalan kuping🤣telinga dan udzun.

Lah, ada yang hanya sering “mendengar” tanpa benar-benar mendengarkan. Suara masuk ke telinga, tetapi hati tetap tertutup. Dalam Al-Qur’an, kata السَّمْع/as-sam‘/mendengar bukan sekadar fungsi biologis, melainkan sebuah proses kesadaran. Ia menjadi gerbang bagi manusia untuk memahami kebenaran.

Menariknya, Al-Qur’an tidak hanya menyebut satu istilah untuk mendengar, tetapi membedakannya dalam empat tingkatan: السَّمْع/sam‘, الاستماع/istima‘, الإصغاء/ishgha‘, dan الإنصات/insat. Perbedaan ini bukan hanya soal kata sajo, tapi menggambarkan kedalaman sikap batin terhadap apa yang kita dengar.

Tingkatan pertama adalah السمع/sam‘, yakni sekadar mendengar suara tanpa memahami maknanya. Al-Qur’an mengibaratkan orang kafir seperti ternak yang hanya mendengar panggilan tanpa mengerti maksudnya (QS. Al-Baqarah: 171). Ini bukan sekadar perumpamaan, tetapi kritik tajam terhadap mereka yang telinganya berfungsi, tetapi hatinya tertutup.

Berikutnya adalah الاستماع/istima'. Berbeda dengan sam‘ dan istima‘ adalah mendengar dengan kesadaran, fokus, dan niat mengambil pelajaran. Kata ini dipakai ketika Al-Qur’an menceritakan sekelompok jin yang datang “mendengarkan (يستمعون) Al-Qur’an” (QS. Al-Ahqaf: 29). Ada usaha, ada perhatian, ada keseriusan untuk memahami.

Berikutnya, yang ketiga adalah الإصغاء/Ishgha‘ adalah mendengar yang melibatkan hati. Ini bukan sekadar soal telinga, tetapi bagaimana suara itu menyentuh batin. Menariknya, kata صغت قلوبكما dalam QS. At-Tahrim: 4 memiliki akar kata yang sama dengan ishgha‘, menunjukkan bahwa mendengar yang sejati lahir dari hati yang jernih. Ini, agak rumit juga. Tapi, mudah dipahami. 

Terrahkhir adalah الإنصات/Inshat berarti diam dan memberikan perhatian penuh. Saat Al-Qur’an dibacakan, Allah memerintahkan: “Dengarkanlah (فاستمعوا) dan diamlah (أنصتوا), agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A‘raf: 204). Ini adalah bentuk mendengar yang disertai penghormatan, bukan sekadar proses fisik. Bisa dilihat di vedio YT Lil Jamik (lebih lengkap)

Al-Qur’an berkali-kali menyebut bahwa pendengaran erat kaitannya dengan hati. Jika hati tertutup, telinga seolah-olah ikut tuli. Dalam QS. Al-An‘am: 25 disebutkan:
{ وَمِنۡهُم مَّن یَسۡتَمِعُ إِلَیۡكَۖ وَجَعَلۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ أَكِنَّةً أَن یَفۡقَهُوهُ وَفِیۤ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرࣰاۚ وَإِن یَرَوۡا۟ كُلَّ ءَایَةࣲ لَّا یُؤۡمِنُوا۟ بِهَاۖ حَتَّىٰۤ إِذَا جَاۤءُوكَ یُجَـٰدِلُونَكَ یَقُولُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوۤا۟ إِنۡ هَـٰذَاۤ إِلَّاۤ أَسَـٰطِیرُ ٱلۡأَوَّلِینَ }

Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “Ini (Al-Qur`ān) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” Para mufasir seperti Al-Tabari menegaskan bahwa hati yang keras ibarat telinga yang tak lagi berguna. Orang seperti ini bukan tidak bisa mendengar, tetapi tidak mau mendengarkan.

Al-Qur’an menggambarkan pendengaran sebagai salah satu bentuk kenikmatan di akhirat. Orang beriman hanya akan mendengar salam dan ucapan damai (QS. Al-Waqi‘ah: 25-26). Sebaliknya, orang kafir yang menutup telinga di dunia akan merasakan kebisuan telinga di akhirat (QS. Al-Anbiya: 100).

Mengapa Pendengaran Disebut Lebih Dahulu?

Penelitian modern menunjukkan bahwa indra pendengaran adalah yang pertama berkembang pada janin, lebih awal daripada penglihatan. Fakta ini selaras dengan urutan penyebutan dalam Al-Qur’an yang sering mendahulukan kata السَّمْع/as-sma (pendengaran) daripada البصر/al-bashar (penglihatan). Ini bukan kebetulan, tetapi ketelian bahasa Al-Qur'an. Diqqah balighah. 

Allhu'alam bishawab

Surakarta, 22 Juli 2025

Makna Kata Dhi'āfa (ضعافًا) dalam Al-Qur’an(Membincang Generasi Tangguh)


Halimi Zuhdy

Dalam Al-Qur’an, terdapat satu Ayat yang sangat menarik ketika membicarakan tentang generasi masa depan, yaitu firman Allah dalam Surat An-Nisā’ ayat 9:

{وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا}

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS. An-Nisā’: 9)
Dalam Ayat ini, Allah menyebut kata "ḍhi‘afā’" (ضعافًا) yang berarti "lemah-lemah" sebagai sifat dari generasi yang ditinggalkan. Padahal, jika dilihat dari kata sebelumnya yaitu "dzurriyyah" (ذُرِّيَّةً), yang merupakan bentuk tunggal (mufrad), seharusnya kata yang cocok secara struktur adalah "ḍha‘īfah" (ضعيفة), bentuk tunggal dari "lemah".

Namun Al-Qur’an dengan kebijaksanaan bahasanya justru menggunakan bentuk jamak: ḍhi‘afā’.

Mengapa Menggunakan Jamak, Bukan Tunggal?

Inilah letak keunikan dan kedalaman bahasa Al-Qur’an. Pemilihan kata jamak "ḍi‘afā’" bukannya tanpa maksud. Di balik penggunaan bentuk jamak ini, tersimpan pesan bahwa "kelemahan generasi tidak hanya dalam satu aspek, tetapi bisa dalam banyak hal".

Generasi yang lemah bisa berarti: Lemah dalam aqidah (keyakinan), lemah dalam ilmu pengetahuan, lemah dalam ekonomi, lemah dalam politik dan kepemimpinan, lemah secara fisik dan mental, dan lemah dalam kepribadian dan adab

Jika Al-Qur’an hanya menggunakan bentuk tunggal, maka pemahamannya akan terbatas pada satu sisi kelemahan saja. Namun dengan penggunaan bentuk jamak, Allah menunjukkan bahwa generasi masa depan bisa mengalami berbagai macam kelemahan, dan itu menjadi kekhawatiran nyata bagi orang tua yang bertanggung jawab.

Kewajiban Kita: Meninggalkan Generasi Tangguh

Ayat ini sebenarnya adalah teguran sekaligus peringatan bagi setiap orang tua atau siapa pun yang memiliki peran pendidikan dan pengasuhan. Allah mengingatkan: "jika kamu takut meninggalkan generasi yang lemah, maka bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah kata-kata yang benar".

Ini bermakna bahwa "ketangguhan generasi" tidak hanya dibangun melalui materi, tapi melalui keteladanan takwa, tutur kata yang baik, dan warisan nilai yang lurus.

Maka, jika kita ingin meninggalkan generasi yang kuat, maka harus dimulai dari sekarang: dengan memperkuat pendidikan, ketahanan ekonomi, spiritualitas, dan mentalitas mereka. Sebab, tidak ada gunanya meninggalkan warisan materi yang melimpah jika generasi yang mewarisinya justru rapuh dan kehilangan arah.

Ayat ini menegaskan: jangan tinggalkan generasi yang lemah, baik secara akidah maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Al-Qur’an mengajak kita berpikir jauh ke depan: jangan hanya pikirkan diri sendiri, pikirkan pula anak-anak dan cucu kita nanti, dalam kondisi seperti apa mereka akan tumbuh dan hidup. Karena generasi tangguh tidak tercipta secara instan, tetapi dibentuk dengan kesadaran, perencanaan, dan takwa yang ditanamkan sejak awal.

Semoga anak keturunan kita menjadi generasi tangguh.🤲

Allahu A‘lam bi al-Shawab

Masjid Akbar Surabaya
1 Agustus 2025

Nabi Yunus ditelan atau dimakan ikan? (Keunikan Kata dalam Al-Qur’an: “Iltaqama/Ditelan” Bukan “Ibtala'a”)


Halimi Zuhdy

Dr. Zaghloul Al-Najjar, seorang ilmuwan muslim yang dikenal luas dalam kajian ilmiah terhadap Al-Qur’an, mengisahkan pengalamannya yang mengubah cara pandangnya terhadap satu kata dalam kisah Nabi Yunus. Beliau mengaku telah membaca kisah Nabi Yunus ratusan kali selama puluhan tahun, namun baru dua tahun terakhir ia "berhenti sejenak" dan merenungi secara serius satu frasa dalam ayat:

"فَالْتَقَمَهُ الحُوتُ"
"Lalu ikan itu menelannya."
(Surat Ash-Shaffat: 142)
Yang membuatnya berhenti adalah satu kata kunci: "فَالْتَقَمَهُ" (fa-altaqamahu) yang berarti “menelan seperti mengulum”. Ia bertanya-tanya, mengapa Allah tidak menggunakan kata “ابتلعه” (ibtala‘ahu) yang juga berarti “menelan”? Apa bedanya?

Untuk menjawabnya, beliau mulai mempelajari jenis-jenis ikan besar yang mungkin disebut “hūt” (ikan besar) dalam ayat tersebut. Ia menemukan fakta mencengangkan: ikan biru (blue whale)— makhluk laut terbesar yang pernah hidup, bahkan lebih besar dari dinosaurus. Panjangnya bisa mencapai 35 meter, dan beratnya bisa melebihi 180 ton!

Tapi yang lebih menarik: ikan ini tidak punya gigi. Ia tidak memakan hewan besar, tapi hanya plankton — makhluk mikroskopis yang mengambang di air. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, mengambil air laut beserta isinya, lalu menyaring plankton dan membuang airnya ke samping. Artinya: mulutnya bisa sangat besar, namun kerongkongannya tidak bisa menelan sesuatu yang besar. Jika ada sesuatu yang besar masuk ke mulutnya, ia tidak bisa mengunyahnya, tidak pula menelannya.

Dan di sinilah keajaiban kata “فَالْتَقَمَهُ” terasa sangat tepat. Nabi Yunus bukan ditelan habis, tetapi dikulum— seperti sesuap makanan besar yang tidak bisa ditelan maupun dikunyah. Ia terjebak di dalam mulut ikan itu, bukan lambungnya. Maka, Nabi Yunus tetap hidup — bahkan bisa berdoa, bertasbih, dan akhirnya dikeluarkan dengan selamat.

Bayangkan, di dalam mulut ikan raksasa itu, lidahnya cukup luas untuk menampung beberapa orang dewasa berdiri, tanpa terhimpit. Dan karena ikan ini bernafas dengan oksigen, setiap 15 menit ia akan naik ke permukaan, sehingga memungkinkan udara masuk, yang membuat kondisi di dalam mulutnya menyerupai ruangan luas ber-AC.

Maka, tidak berlebihan jika Al-Qur’an tidak mengatakan “ditelan” atau “dihancurkan”, tapi “dikulum”. Ini bukan hanya soal bahasa, tapi soal ilmu, anatomi, dan mukjizat penyelamatan.

Lalu, bagaimana Nabi Yunus diselamatkan setelahnya?

Allah berfirman:
"وَأَنبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِّن يَقْطِينٍ"
"Dan Kami tumbuhkan untuknya pohon dari jenis labu (yaqthīn)."
(Surat Ash-Shaffat: 146)

Labu (yaqthīn) memiliki daun yang sangat besar dan mampu menaungi tubuh Nabi Yunus yang lemah setelah berada lama dalam mulut ikan. Bahkan menurut penelitian, daun labu mengandung banyak zat antibiotik alami, sehingga menghalau serangga dan membantu pemulihan luka.

Dr. Zaghloul membandingkan ini dengan kitab Perjanjian Lama (Taurat) versi bahasa Inggris, yang menyebut pohon anggur. Namun anggur memiliki daun kecil, penuh serangga, dan tidak memiliki manfaat penyembuhan seperti labu. Maka, jelaslah bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah yang jauh lebih akurat tidak hanya secara bahasa, tapi juga secara ilmiah dan medis.

Namun, menurut Dr. Mahmud Abdullah, bahwa  mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Nabi Yunus alaihis-salām ditelan oleh ikan dan masuk ke dalam perutnya, bukan sekadar berada di mulutnya sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Zaghlul al-Najjar. Kesepakatan ini berlandaskan pada pemahaman bahasa Arab terhadap kata التقمه yang secara tegas berarti menelan, bukan menggigit atau menahan di mulut. Lebih dari itu, Al-Qur’an dengan jelas menyebut:

 "فلولا أنه كان من المسبحين للبث في بطنه إلى يوم يبعثون", "maka, sekiranya ia bukan termasuk orang-orang yang banyak berdzikir (bertasbih) niscaya ia akan tetap tinggal di perutnya sampai hari dibangkitkan." 

(QS. As-Saffat: 143–144).

Ayat ini menegaskan bahwa tempat tinggal Nabi Yunus dalam kisah tersebut adalah batn al-hūt (perut ikan), bukan mulutnya, dan hal ini menolak spekulasi ilmiah yang tidak sejalan dengan nash yang qath’i (pasti). (Mahmud Abdullah Naja)

Setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung ilmu, hikmah, dan ketepatan makna. Perbedaan antara "فَالْتَقَمَهُ" dan "ابتلعه" bukan sekadar pilihan kata, melainkan kunci bagi pemahaman, keselamatan, dan mukjizat. Semakin dalam kita tadabbur, semakin kita yakin tak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang sia-sia.

***
Marja'
Maqalah "Limadza Qaulaallah Fal Taqamahu Al-Hut" Dr. Zaghlul

Menyelami Keterpaduan/Tanasub Ayat Al-Qur'an (Contoh Awal dan Akhir Surat Al-A'raf)

Halimi Zuhdy

Beberapa orang, baik yang awam maupun yang skeptis, mungkin menganggap Al-Qur’an sebagai kitab nasihat yang terpotong-potong, seolah-olah isinya hanya kumpulan pesan moral yang tidak saling berkaitan. Tapi kenyataannya, para ulama terdahulu sudah sejak lama membahas tanāsub, keterkaitan antara Ayat dengan Ayat, dan antara Surah dengan Surah. 
Ini bukan hal baru. Tetapi, generasi terus tumbuh. Walau sudah lama dikaji dan sudah banyak sumber yang menjelaskan (contoh Tanasub Ayat), masih banyak yang bertanya-tanya dan juga mungkin menolak akan keserasian Al Qur'an.  Bahkan menganggap Al-Qur'an tidak jelas, karena tidak ada judulnya, into pokoknya dan lainnya, yang disamakan dengan makalah, jurnal ilmiah atau buku-buku ajar. 

Dalam beberapa maraji', seperti "Min Lathaif Al-Qur'an Tanasub Al-Suwar, Dr. Al-Turk", "Tanasuq al-Dirar fi Tanasub al-Suwar", "Tadabbur Maqashi suwar Al-A'raf" dan beberapa kitab dan jurnal, menjelaskan tentang tanasub dalam Surat Al'Raf. Sering kali kita (maaf, kalau yang tidak termasuk Anda🤩🙏) membaca Al-Qur’an seolah-olah setiap Ayat berdiri sendiri, tanpa kita menyadari bahwa setiap bagian dari Kitab ini saling menjalin dan menyempurnakan. Namun, siapa sangka bahwa bahkan antara pembuka dan penutup sebuah surah, terdapat keserasian yang mengagumkan sebuah orkestra makna yang selaras dan tak mungkin terjadi tanpa kebijaksanaan Ilahiah.

Menarik, mari kita perhatikanlah Surah al-A‘rāf. Surah ini dibuka dengan firman Allah:

"المص. كِتَابٌ أُنْزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ، لِتُنْذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ" 

"Alif Lam Mim Shad. (Inilah) sebuah kitab yang diturunkan kepadamu (wahai Muhammad), maka janganlah ada kesempitan di dadamu karenanya, agar engkau memberi peringatan dengannya, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman."
(QS. Al-A‘rāf: 1-2)

Lalu perhatikan bagaimana Allah menutup surah ini dengan perintah yang sangat relevan:

"وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا، لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ"
"Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat."
(QS. Al-A‘rāf: 204)

Menariknya, Awal surah menegaskan bahwa Al-Qur’an ini diturunkan sebagai peringatan. Akhirnya menegaskan sikap yang seharusnya diambil terhadap peringatan itu: dengarkan (isma', sam') dan diamlah (anshitu), agar rahmat menyelimuti. Inilah harmoni yang tersembunyi namun nyata bagi mendabburonya. 

“القرآن كله كالكلمة الواحدة”
“Al-Qur’an secara keseluruhan seperti satu kata yang utuh.” 

Artinya, tidak ada satu pun bagian dari Al-Qur’an yang terpisah tanpa hubungan logis dan spiritual dengan bagian lainnya. Ini bukan buku biasa, ini adalah struktur yang kokoh dan presisi ilahi yang tak tertandingi.

Konsep tentang "القرآن كله كالكلمة الواحدة" menggambarkan betapa erat dan harmonisnya susunan ayat-ayat Al-Qur’an, baik dalam satu surat maupun antar surat. Para ulama seperti Al-Zarkasyi dan Asy-Syathibi menegaskan bahwa hubungan ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah kebetulan, melainkan satu jaringan makna yang saling mendukung dan menjelaskan, sehingga Al-Qur’an tampak seperti satu kata yang utuh, padat makna, dan rapi susunannya. Al-Zarkasyi mengutip bahwa memahami keterkaitan antar ayat merupakan ilmu besar yang hanya digeluti segelintir ulama. Sementara Asy-Syathibi menyatakan bahwa sebagian ayat tidak bisa dipahami secara utuh kecuali dengan merujuk pada ayat lain, baik dalam surat yang sama atau berbeda. Maka, dari sudut pandang ini, Al-Qur’an bukan sekadar kumpulan ayat dan surat, tapi merupakan satu kesatuan utuh dalam struktur dan tujuan, menjadikannya seperti satu kata yang sempurna dalam bentuk dan makna. (Idza'ussunah)

Kesesuaian antara awal dan akhir Surah Al-A‘rāf ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh bagaimana Al-Qur’an memiliki bangunan internal yang rapi dan saling menguatkan. Jika ini adalah hasil karangan manusia, tentu tidak akan ada kesinambungan yang begitu halus dan bermakna. Bahkan penulis ulung pun akan kesulitan mempertahankan keselarasan semacam ini dalam satu buku besar yang terdiri dari ratusan halaman.

Allahu'alma Bishawab

Gambar:
Surat Al-A'raf WIkipedia Arab khat kufi

Siapakah Mereka yang "Tidak Takut" dan "Tidak Bersedih" dalam Al-Qur'an?

Halimi Zuhdy

Rasa takut dan sedih adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, bila keduanya terus-menerus menghuni hati dan pikiran, kehidupan kita akan terasa berat dan terganggu. Ketenangan (mutmainnah) dan kebahagiaan (farah) yang menjadi dambaan setiap manusia akan menjauh. Padahal, kedua hal inilah yang sebenarnya kita inginkan. Lalu, bagaimana jika ketenangan dan kebahagiaan itu hilang hanya karena rasa takut dan sedih tidak pernah pergi dari hidup kita?
Dan, bayangkan jika hidup ini dijalani tanpa rasa takut akan masa depan dan tanpa kesedihan akan masa lalu, betapa tenteramnya hati. Ternyata, dalam Al-Qur’an, Allah menyebut ada 11 (sebelas) golongan yang memperoleh jaminan istimewa itu. Mereka bukanlah tokoh dongeng atau manusia tanpa ujian, tetapi orang-orang nyata yang mengisi hidupnya dengan iman, ketaatan, dan kebaikan. Setiap golongan memiliki ciri khas yang membuat mereka layak mendapat perlindungan langsung dari Allah: hati mereka teguh, amal mereka bersih, dan tujuan hidup mereka jelas. Pertanyaannya, siapakah mereka? Mari kita telusuri satu per satu sebagaimana Allah jelaskan dalam kitab-Nya.

1. فَمَن تَبِعَ هُدايَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 38)

2. مَن ءامَنَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الآخِرِ وَعَمِلَ صالِحًا فَلَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani, dan orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)

3. مَن أَسلَمَ وَجهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحسِنٌ فَلَهُ أَجرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sedang dia berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 112)

4. الَّذينَ يُنفِقونَ أَموالَهُم في سَبيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتبِعونَ ما أَنفَقوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan tidak pula menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 262)

5. الَّذينَ يُنفِقونَ أَموالَهُم بِاللَّيلِ وَالنَّهارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi maupun terang-terangan, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 274)

6. إِنَّ الَّذينَ ءامَنوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَءَاتَوُا الزَّكاةَ لَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berbuat kebajikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 277)

7. وَلا تَحسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلوا في سَبيلِ اللَّهِ أَمواتًا بَل أَحياءٌ عِندَ رَبِّهِم يُرزَقونَ ،، فَرِحينَ بِما ءاتاهُمُ اللَّهُ مِن فَضلِهِ وَيَستَبشِرونَ بِالَّذينَ لَم يَلحَقوا بِهِم مِن خَلفِهِم أَلّا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka bergembira dengan karunia yang Allah berikan kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Ali 'Imran: 169-170)

8. فَمَن ءامَنَ وَأَصلَحَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Maka barang siapa beriman dan memperbaiki diri, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-An’am: 48)

9. فَمَنِ اتَّقى وَأَصلَحَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Barang siapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-A’raf: 35)

10. أَلا إِنَّ أَولِياءَ اللَّهِ لا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Yunus: 62)

11. إِنَّ الَّذينَ قالوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ استَقاموا فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Ahqaf: 13)

Janji Allah ini bukan untuk semua orang, tetapi untuk mereka yang menjaga iman, amal, dan hubungan dengan-Nya. Tidak takut berarti tenang menghadapi masa depan; tidak bersedih berarti lapang dada atas masa lalu. Dunia boleh saja penuh ujian, tapi hati mereka teduh karena Allah yang menjamin. Maka, jangan sekadar membaca daftar ini  berjuanglah untuk menjadi salah satu di antara mereka.

***
Sumber Gambar
Al-Qur'an, Terjemah Kementerian Agama RI
Hifdzul wa kharaith al-dziniyyah lil Quran

Jumat, 18 Juli 2025

Ailah, Di sinilah Kaum Yahudi dikutuk menjadi Kera.



Halimi Zuhdy

Ketika membuka Surat Al-Syuara' (para penyair) mendapatkan beberapa kalimat yang sama dan diulang empat kali, yaitu kata Akhuhum (saudara mereka). Dan setelah kata ini, disebutkan nama Nabi. Dari Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, dan Nabi Luth. Lahum Akhuhum Nuh, Lahu Akhum Hud, Lahum Akhuhum Shaleh, Lahum Akhum Luth. Ada juga Nabi yang disebut dalam Surat ini, tapi tidak didahului dengan kata Akhuhum, yaitu Nabi Suaib. 
إذ قال لهم شعيب ولم يقل أخوهم شعيب ; لأنه لم يكن أخا لأصحاب الأيكة في النسب ، فلما ذكر مدين قال : أخاهم شعيبا ; لأنه كان منهم . وقد مضى في ( الأعراف ) القول في نسبه . قال ابن زيد : أرسل الله شعيبا رسولا إلى قومه أهل مدين ، وإلى أهل البادية وهم أصحاب الأيكة ; وقاله قتادة وقد ذكرناه . ألا تتقون تخافون الله

Kenapa Nabi Syuaib tidak disebut "saudara mereka"? Karena menurut banyak mufassir, Nabi Syu‘aib bukan berasal dari kaum ashḥāb al-aykah secara nasab, meskipun ia diutus kepada mereka. Maka secara bahasa tidak menyebutnya “saudara mereka”. (Akhuhum).  

Terus apa hubungannya dengan nama-nama kota  di atas? Aila, Madyan dan Aikah?. Toyyib. Lima Nabi di atas, berada dekat dengan kota Ailah, yaitu Madyan dan Aikah. Dan kedua tempat ini memiliki sejarah panjang dalam kisah kenabian. Maka, untuk menelusuri kisah anbiya tentang Ailah, dapat ditilik dari beberapa kota yang berdekatan dengan Ailah. 

Ailah,  yang mungkin jarang didengar, tapi kota ini masih ada sampai sekarang. Dan diyakini (dalam beberapa sumber) sebagai tempat dimana orang-orang Yahudi dikutuk menjadi kera. Dan kisah ini cukup mengguncang sampai hari ini, dan dikaitkan dengan banyak hal dan juga banyak tafsir.  Sebuah peristiwa yang lebih dari sekadar keajaiban ia adalah tamparan keras bagi hati yang lalai.

فَلَمَّا عَتَوْاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina." (SQ Al-A'raf: 166)

Terus benarkah ia terjadi? Mayoritas ulama bersepakat, bahaa peristiwa itu benar-benar terjadi. Mereka bukan hanya sekadar berperilaku seperti binatang, tetapi tubuh mereka benar-benar berubah menjadi wujud kera. Mengapa kera? Karena kera adalah makhluk yang bentuknya paling mirip manusia, namun perilakunya tak lebih dari hewan yang bergerak atas naluri semata. Bentuk manusia, jiwa binatang.

Ibnu ‘Āsyūr, seorang mufasir, menyebut bahwa perubahan itu bukan hanya perubahan bentuk, tetapi bisa juga berarti perubahan akal dari akal manusia yang mulia, menjadi cara berpikir seekor kera yang tak memahami makna, hanya mengikuti gerak naluri. Ini pula yang menjadi tafsiran dari Mujāhid, bahwa yang dimaksud dengan “menjadi kera” bukanlah tubuh yang berubah, tapi hati dan akal yang sudah rusak. Namun, kebanyakan ulama melihatnya sebagai perubahan nyata, bahwa tubuh manusia, menjadi tubuh kera, namun dengan kesadaran manusia yang masih ada. Siksaan yang bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga secara batin.

Dan tidak berhenti di situ. Sebagian dari mereka bahkan dihukum lebih hina lagi menjadi babi. Bentuk yang menjijikkan, tabiat yang rendah, sebagai simbol dari kehinaan syahwat yang dilepaskan tanpa kendali. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa para pelanggar hari Sabtu yakni mereka yang menipu aturan Tuhan demi keuntungan dunia diubah menjadi kera. Sementara yang lainnya, seperti kaum yang mengingkari hidangan dari langit pada masa Nabi ‘Īsā, diubah menjadi babi. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, yang muda-muda berubah menjadi kera, dan yang tua-tua menjadi babi. Sebuah simbol bahwa kerusakan moral dan agama tak mengenal usia.

Syekh Muhammad ‘Abduh, dalam tafsirnya, menyebut bahwa pelanggaran itu terjadi karena mereka lebih mencintai dunia daripada mentaati Tuhan. Hari Sabtu yang seharusnya menjadi waktu untuk membersihkan jiwa dari kerak dunia, justru mereka rusak demi mengejar harta. Maka, pantaslah jika balasannya adalah dikeluarkan dari derajat kemanusiaan dan dilemparkan ke dalam kenistaan sifat-sifat hewani.

Terus di mana Ailah, posisi hari ini? Apakah penduduknya mirip kera, atau kota ini sudah benar-benar berubah menjadi kota lain dan manusia atau kerutunannya juga sudah berganti? Atau sudah dibinasakan semuanya? 

2# Aila, Madyan dan Aikah

Rabu, 21 Mei 2025

Tak Terhitung Nikmat-Nya, tapi Kita Tetap Lalai(Refleksi Dua Ayat Tentang Nikmat Allah)


Halimi Zuhdy

Keren Ayat ini. Dimulai dengan redaksi yang sama, tapi penutupnya berbeda. Dan penutup ini, menjadi pesan kuat bagi manusia. Dan kalau ditilik dari setiap kata, mengandung i'jaz lughawi yang mengantarkan pada pesan "nikmat" yang sering tidak dipedulikan oleh manusia. Misalnya penggunaan kata "in" bukan "idza", dan pengunaan kalimat "ta'uddu, la thushuha" dan kalimat lainnya. 
Di tengah arus deras kehidupan modern, manusia terus-menerus dihujani berbagai bentuk nikmat—baik yang terlihat maupun tersembunyi. Kita dikelilingi oleh kemudahan teknologi, akses informasi instan, layanan kesehatan canggih, dan koneksi sosial tanpa batas. Namun ironisnya, semakin banyak nikmat yang kita peroleh, semakin besar pula peluang untuk lupa bersyukur.

Al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dengan sangat tepat, lewat dua ayat yang secara lahiriah tampak serupa, namun secara makna menyimpan perbedaan yang sangat mendalam:

 وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ  
(QS. Ibrahim: 34)

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ  
(QS. An-Nahl: 18)

Dua ayat ini mengandung pesan yang sama di awalnya: bahwa nikmat Allah tak akan pernah mampu kita hitung. Namun perhatikan penutupnya—di Surah Ibrahim, ayat ditutup dengan celaan terhadap manusia: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan sangat kufur." Sementara dalam Surah An-Nahl, penutupnya adalah pujian terhadap sifat Allah: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Apa makna dari dua penutup yang berbeda ini?

Ayat pertama adalah cermin bagi kita. Betapa pun limpahan nikmat diberikan, manusia cenderung melupakan Pemberi nikmat. Kita menzalimi diri dengan lalai dari ketaatan, dan kita kufur karena enggan mengakui nikmat itu berasal dari Allah. Dalam konteks kekinian, bentuk kekufuran itu bisa berupa ketergantungan total pada teknologi tanpa menyadari bahwa akal dan daya cipta itu juga nikmat-Nya. Atau ketika kesehatan menjadi komoditas, bukan lagi amanah yang dijaga dan disyukuri.

Sementara itu, Ayat kedua adalah pelukan hangat dari langit. Meski kita lalai, Allah tetap membuka pintu ampunan. Meski kita terlalu sibuk untuk menghitung nikmat, Allah tetap mengalirkannya setiap detik. Penutup ayat itu adalah bentuk kelembutan dan kasih-Nya yang tak pernah putus, bahkan saat hamba-Nya berpaling.

Dalam dunia modern, manusia kerap mengandalkan data, algoritma, dan pengukuran. Kita bisa menghitung detak jantung, kadar gula darah, bahkan emosi lewat sensor digital. Tapi tetap saja, kita tak akan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah—sebab banyak di antaranya tak kasat mata: ketenangan jiwa, cinta tulus, hidayah, kesempatan taubat, hingga senyum dari orang terkasih di tengah badai hidup.

Studi psikologi modern pun membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan, dan menyembuhkan luka batin. Ini adalah pembenaran ilmiah dari janji ilahi: لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ — "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian." (QS. Ibrahim: 7)

Maka dua ayat ini, bila direnungkan bersama, adalah keseimbangan antara tamparan dan pelukan, antara peringatan dan pengharapan. Ia mengajarkan bahwa kita harus menyadari keterbatasan kita dalam menghitung nikmat, sekaligus bersandar pada keluasan ampunan Allah.

Mari kita renungkan satu hal penting: kita hidup bukan karena kita layak, tapi karena Allah masih berkenan memberi. Nikmat-Nya tak terhitung, dan karunia-Nya melampaui kesadaran kita. Maka jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur. Jangan tunggu bencana untuk mengingat Tuhan. Nikmat-Nya terlalu luas untuk dihitung, maka cukupkan dengan sujud, syukur, dan amal yang tulus.

Kebanyakan (Al-aktsariyah) dalam Al-Qur'an(Menilik Kebanyakan Perilaku Manusia)


Halimi Zuhdy

Pagi tadi saat membaca Surat Al-Kahfi bersama jamaah di Masjid Baiturrahman, saya terpaku pada satu Ayat:

وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah — QS. Al-Kahfi: 54. 

Ayat ini terasa hidup di tengah hiruk-pikuk media sosial kita hari ini. Perdebatan tak kunjung padam. Ada yang membangun keindahan, memotivasi, berbagi kebaikan, tapi tak sedikit yang hanya menebar permusuhan dan caci maki. Berdebat tanpa ujung, berakhir persaudaraan yang hancur.  Maka saya pun menelusuri lebih dalam: bagaimana Al-Qur’an menggambarkan “الأكثرية” (mayoritas, kebanyakan)?
Dalam Al-Qur'an, terdapat kata yang menunjukkan pada makna "banyak, berlimpah, kebanyakan"  dan derivasinya. Kurang lebih ada 90 kata. Terdapat beberapa lafaz yang memiliki akar makna yang sama, yaitu menunjukkan makna banyak atau berlimpah, seperti جم (banyak), غدق (melimpah ruah), لبد (berkerumun atau menumpuk), dan كثر (banyak atau banyak jumlahnya). Meskipun berasal dari makna dasar yang serupa, masing-masing lafaz ini memiliki nuansa makna tersendiri yang membedakannya dalam konteks penggunaannya.

Ternyata, dalam banyak Ayat, dengan penggunaan "al-aktsar, mayoritas, kebanyakan" manusia digambarkan dengan karakter yang negatif. Berikut beberapa contohnya:

1. Mayoritas tidak beriman
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan mereka mempersekutukan-Nya — Yusuf: 106.

وَمَا أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya— Yusuf: 103.

2. Mayoritas tidak tahu
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui— Al-A’raf: 187.

بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui — An-Nahl: 75.

3. Mayoritas tidak bersyukur
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur— Al-Baqarah: 243.

4. Mayoritas Kafir
فَأَبَىٰ أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ إِلَّا كُفُورًا 
Tetapi kebanyakan manusia tidak menghendaki kecuali kekafiran) — Al-Furqan: 50.

5. Mayoritas tidak menggunakan akal
قُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti) — Al-Ankabut: 63.

Fenomena ini bukan hanya data statistik spiritual, tapi juga realitas sosial. Al-Qur’an sedang memperingatkan kita: jangan terlalu terpesona dengan suara mayoritas. Yang ramai belum tentu benar. Yang viral belum tentu berakhlak dan baik. Bahkan dalam konteks dakwah, Allah mengingatkan:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah — Al-An’am: 116.

Sebaliknya, Al-Qur’an justru memuji mereka yang sedikit, namun kokoh:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur— Saba’: 13.

Kita hidup di zaman debat tanpa ujung. Ayat tentang “manusia paling banyak membantah, berdebat” seakan menyingkap tabir sosial kita hari ini. Maka marilah kita bercermin: apakah kita termasuk “yang banyak”, atau berjuang untuk menjadi “yang sedikit”? Karena dalam ukuran Al-Qur’an, kebenaran bukan ditentukan oleh kuantitas, tapi oleh kualitas iman, ilmu, dan syukur. Dan belum tentu yang sedikit benar lo ya?! Jangan disalah pahami. Lihat konteksnya. 

Al-Qur’an, melalui penyebutan sifat-sifat negatif yang sering dikaitkan dengan kelompok mayoritas (al-aktsariyyah), tidak sekadar menginformasikan kondisi manusia, tetapi mengungkap hakikat jiwa manusia di setiap waktu dan tempat. Jiwa manusia cenderung mengikuti hawa nafsu, lalai, ingkar, dan terpaut pada syahwat duniawi. Karena itu, Al-Qur’an hadir untuk mengarahkan manusia agar melawan kecenderungan-kecenderungan negatif tersebut, menahan syahwatnya, serta memperbanyak zikir dan syukur kepada Allah. Dengan demikian, manusia diajak untuk tidak larut dalam arus mayoritas yang menyimpang, melainkan membangun kesadaran pribadi yang menuntunnya pada jalan kebenaran.

Namun, Ayat-Ayat yang mencela mayoritas (al-aktsariyyah) harus dibaca dalam konteksnya masing-masing dan dipahami berdasarkan sebab turunnya. Sebab, sebagian besar Ayat-Ayat tersebut merujuk pada kelompok tertentu, seperti kaum musyrik atau Bani Israil, sehingga celaan terhadap mayoritas tidak berlaku secara mutlak. Meski demikian, terdapat juga beberapa Ayat yang menyifati mayoritas dengan sifat tercela secara umum, seperti tidak mengetahui, tidak bersyukur, dan tidak berpikir. Dalam hal ini, konteks dan susunan Ayat menjadi faktor utama dalam memahami maksud dari ayat tersebut, sehingga penting untuk memperhatikan konteks agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami pesan Al-Qur’an.

Asyik kan? 
Ayo ikuti kajian berikutnya tentang siapakah yang sedikit, minoritas atau paling sedikit dalam Al-Qur'an. Dan juga mengapa Al-Qur'an menggunakan kata "katsirun"?

Malang, 11 April 2025

Maraji':
Al-Qur'an Al-Karim
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, At-Tahrir wattanwir, Al-Alusi, Al-Muharrir Al-wajiz. 

Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy. com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Perbedaan Makna dan Penulisan "نعمة" dan "نعمت" dalam Al-Qur’an


(Kajian Bahasa Al-Qur'an #202)

Halimi Zuhdy

Pernah saya menulis tentang perbedaan penulisan (rasm) kata رحمت dan رحمة, tidak hanya perbedaan tulisan yang dikaji di dalamnya, tetapi tentang makna, rahasia dan juga tujuan tulisan tersebut. (Bisa dicek di www. Halimi Zuhdy. com).
Salah satu keindahan dan keunikan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada kandungan maknanya, tetapi juga dalam ragam gaya penulisan katanya, mungkin kita kenal dengan i'jaz rasmy Fil Qur'an (jangan bertanya ikhtilaf dalam i'jaz ini ya.he). Di antara contoh yang menarik untuk ditelaah dalam kajian kali ini adalah perbedaan penulisan antara "نعمة" (dengan tā’ marbūṭah) dan "نعمت" (dengan tā’ maftūḥah). Meski keduanya berasal dari akar kata yang sama, ternyata terdapat perbedaan makna dan penggunaan yang mendalam di dalamnya.

Secara umum, kata نِعْمَة berarti kondisi yang baik, kebahagiaan, atau kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Kata ini dapat merujuk pada kenikmatan secara umum yang diberikan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam Ayat:
 "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (An-Nahl: 18)
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.”

Kenikmatan tertentu yang Allah anugerahkan kepada suatu kaum atau individu, "اذكروا نعمتي التي أنعمت عليكم" (Al-Baqarah: 40). “Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu.” Namun yang menarik, kadang kata نِعْمَة ditulis dengan tā’ terbuka (نعمت) dalam beberapa Ayat. Misalnya dalam surah Ibrahim:  "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (Ibrahim: 34). Mengapa demikian?

Ibnu al-Bannā’ al-Marrākishī, seorang ahli qirā’āt dan ilmu rasm al-muṣḥaf (penulisan mushaf), menjelaskan bahwa perbedaan penulisan ini bukan tanpa alasan. Kata "نعمت" dengan tā’ terbuka menunjukkan bahwa nikmat tersebut telah terjadi dan berlalu, dan maknanya dekat dengan fi‘il māḍī (kata kerja lampau). Karena itu, bentuk penulisannya pun dibuka (نعمت) sebagaimana fi'il.

Sementara itu, "نعمة" dengan tā’ tertutup menunjukkan bahwa nikmat tersebut bersifat umum atau terus-menerus, sehingga lebih menyerupai ism (kata benda), dan karena itu ditulis dengan tā’ marbūṭah yang menunjukkan kestabilan atau keterikatan waktu. Sebagai contoh: "نعمت الله" (Ibrahim: 34) ditulis dengan tā’ terbuka karena konteks ayat membicarakan nikmat yang telah nyata diberikan dan tidak disyukuri, sebagaimana ditunjukkan oleh penutup ayat:  "إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ"

Sedangkan dalam An-Nahl: 18, bentuknya  "نِعْمَةَ اللَّهِ" dengan tā’ tertutup, karena konteksnya menggambarkan nikmat Allah yang terus mengalir dan tak terhingga, yang kemudian ditutup dengan sifat Allah
"إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Kata "نعمة" dengan tā’ tertutup muncul sebanyak 25 kali dalam Al-Qur’an. Sedangkan "نعمت" dengan tā’ terbuka muncul sebanyak 11 kali. Secara umum, penulisan "نعمة" digunakan untuk menggambarkan nikmat yang umum dan terbatas, sedangkan "نعمت" digunakan untuk nikmat yang bersifat khusus atau terbuka untuk direnungi lebih dalam oleh pembaca.

Menariknya, dalam ilmu rasm al-muṣḥaf, tidak hanya kata "نعمة" yang mengalami dua jenis penulisan. Kata-kata lain seperti:
رحمت، سنت، امرأت، لعنت، شجرت، ابنت، معصيت، فطرت
juga terkadang ditulis dengan tā’ terbuka dalam sebagian mushaf, mengikuti bahasa Quraisy dan Thayy yang membaca dan berhenti dengan suara tā’ bukan hā’. (Beberapa kata sudah pernah saya tulis, terkait dengan kata di atas).

Sebagian ulama qirā’at seperti Ibnu Katsīr, Abu ‘Amr, dan al-Kisā’ī mengikuti qirā’at dengan tā’ terbuka, sedangkan lainnya membacanya dengan hā’ di akhir. Perbedaan ini menjadi bukti bagaimana mushaf Al-Qur’an tidak hanya menjaga lafaz dan makna, tetapi juga memperhatikan keanekaragaman dialek dan qira’at yang sah. Perbedaan antara "نعمة" dan "نعمت" bukanlah sekadar teknis penulisan, tapi menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia menggambarkan waktu, konteks, dan bahkan peringatan tersirat bagi manusia agar merenungkan nikmat yang diberikan Allah—baik yang telah berlalu, yang sedang dirasakan, maupun yang akan datang. Inilah sebagian kecil dari keajaiban rasm al-muṣḥaf dan keindahan bahasa Al-Qur’an yang menantang akal dan menggetarkan hati.

Dan, insyallah berikutnya akan dikaji beberapa rasm (tulisan), dan perbedaan qira'at. Insyallah, semoga selalu diberikan keistiqamaah dan kesehatan. 

Maraji'
Al-Qur'an Al-Karim, Tafsir Ibnu Katsir, Mu'jam Ma'ani, Maqalah furuq rasm al-Qur'an, Furuq baina na'mah wa ni'maah, fidiyuhat Duktur Harun Jad, lamsaat Bayaniyah wa ghariha.

***
Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Senin, 24 Februari 2025

Dua Akhir Ayat Ini, Menggambarkan Betapa Manusia Itu Terkadang Tidak Sadar dan Tidak Mengatahui


(La Yasy'urun, La Ya'lamun)

Halimi Zuhdy

Menarik kalau kita cermati dalam kehidupan kita sehari-hari, entah itu terjadi pada diri kita atau pada orang lain. Ada orang yang "sok tahu", "sok pinter" dan "sok benar" atau mungkin kita sendiri yang sok, tapi kita tidak menyadarinya. Kadang sudah jelas-jelas salah, masih saja marah-marah dan ngotot. Seperti kejadian tadi pagi yang saya alami, sepeda motor terkena senggol mobil yang saya kendarai, posisinya berada di sebelah kiri mobil, berjalan dengan kecepatan luar biasa, sudah tahu tidak boleh nyalip sebelah kiri, eh masih ngotot dan merasa benar. Eh, turun marah-marah. Wkwkwwk
Ada juga, laut jelas-jelas milik negara, eh dibuat sertifikat hal milik pribadi. Entah yang salah negara yang memberi izin, atau oligarki yang punya uang dan yang punya kuasa, ngotot. Embuh, bingung juga. Memang benar, kalau orang selalu merasa benar dan tidak pernah merasa bersalah, akan menjadikan ia sombong, kalau sudah sombong, biasa suka marah-marah. Mengapa marah-marah, karena orang lain dianggap rendah. 

Dan banyak sekali contoh terkait dengan salah-menyalahkan, yang ternyata dirinya yang salah. Maka penting sekali untuk terus evaluasi diri, bukan sering-sering dan sedikit-sedikit evaluasi orang lain. Kayak lembaga survei dan lembaga evaluasi saja.kwkwwk. 

Mari kita lihat dan baca dengan pelan-pelan dua Ayat berikut; Al-Baqarah, Ayat 11-12 dan Ayat 13. Bahwa dalam kehidupan ini, sering kali manusia merasa bahwa mereka sedang berjalan di jalur yang benar, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan kesalahan. Mereka merasa menjadi pembangun, padahal tanpa sadar mereka adalah perusak. Inilah realitas yang Allah gambarkan dalam Al-Qur'an:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ۝١١ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِن لَّا يَشْعُرُونَ ۝١٢

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi!' Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami justru orang-orang yang mengadakan perbaikan.'  
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya."  (QS. Al-Baqarah: 11-12)

Perhatikan bagaimana Allah menggunakan kata لَّا يَشْعُرُونَ (lā yash‘urūn) yang berarti "mereka tidak menyadari" dalam ayat ini. Ini menunjukkan bahwa mereka melakukan kerusakan tanpa merasakan akibatnya. Kerusakan yang mereka buat bukan sesuatu yang mereka pahami secara langsung, tetapi mereka melakukannya dengan anggapan bahwa itu adalah perbaikan.

Namun, ada kelompok lain yang meskipun mereka telah diberi peringatan dan ajakan untuk beriman, mereka tetap terjebak dalam kebodohan mereka sendiri. Allah melanjutkan dalam ayat lain:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِن لَّا يَعْلَمُونَ ۝١٣

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.' Mereka menjawab, 'Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?' Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui."  (QS. Al-Baqarah: 13)

Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata لَّا يَعْلَمُونَ (lā ya‘lamūn) yang berarti "mereka tidak mengetahui." Ini bukan sekadar ketidaksadaran, melainkan kebodohan dalam memahami hakikat iman yang sebenarnya. Mereka menganggap diri mereka lebih cerdas daripada orang-orang beriman, padahal justru merekalah yang terjebak dalam kebodohan mereka sendiri.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ada dua jenis kesalahan yang sering terjadi (1) Kesalahan yang dilakukan tanpa disadari (لَّا يَشْعُرُونَ), seperti orang yang merasa dirinya sedang memperbaiki, tetapi sebenarnya merusak. (2) Kesalahan karena ketidaktahuan (لَّا يَعْلَمُونَ), yaitu mereka yang menolak kebenaran karena merasa lebih tahu, padahal mereka tidak memiliki pemahaman yang benar.

Kedua kondisi ini bisa menimpa siapa saja dalam kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu melakukan introspeksi dan mencari ilmu agar tidak terjebak dalam kebodohan dan kesalahan tanpa kita sadari. Semoga Allah memberikan kita hati yang peka terhadap kebenaran dan ilmu yang bermanfaat. Aamiin.

Allahu'alam bishawab

Malang, 15 Feb 2025

Keajaiban Angka dalam Al-Qur’an: I’jaz Ilmi


Halimi Zuhdy

Seringkali saya terpesona dengan angka-angka dalam Al-Qur'an, walau saya sendiri tidak cakap dalam matematik. Nilai raport ketika sekolah dulu yang paling rendah adalah mata pelajaran yang ada hubungannya dengan bilangan atau hitung-menghitung, seperti matematika, fisika, kimia, stistika, ilmu faraid dan lainnya. Nilai tidak pernah sampai 100, paling tinggi 90.wkww. tapi, saya lumayan cakap kalau menghitung uang berwarna merah.wkwkw. 
Saya punya rekan di UIN Malang, beliau dosen matematika, teman-teman menyebutnya dengan Kyai Matematika, Dr. Abdussakir Fadli Kafrawi . Beliau asyik, selain suka tersenyum, juga suka berfikir matematis.wkwkw bukan ekonomis. Beliau selalu mengaitkan ilmu matematika dengan Al-Qur'an, atau Ayat-ayat yang dianalisis dengan ilmu matematika. Dan sering kita membahasa tentang matematika dan bahasal/sastra dalam Qur'an. 

Awalnya saya sering mendengarkan kajian Prof Dr. Abdun Daim Al-Kahil, tentang Al-i'jaz Al-ilmy, mausu'ah al-kahil fi al-ijaz al-ilmi, mausu'ah i'jaz firraqmi, dan lainnya. Kajian beliau banyak di Youtube, Facebook dan lainnya, juga bisa ditemukan di webnya alkaheel7. 

Saya pernah menulis tentang 300 kata dalam Al-Qur'an, bunyi kata yang menggambarkan kata dalam Al-Qur'an, dan tulisan-tulisan ringan lainnya. Ada juga buku "73 Fatwa Cinta" di dalamnya banyak rahasia-rahasia angka dalam Al-Qur'an. Contoh sederhana, ketika Al-Qur'an menyebutkan احد عشر كوكبا maka kalau dihitung tersapat 11 huruf dalam kalimat di atas. Dan banyak sekali kajian-kajian tentang Al-'ada (bilangan, hitungan, matematika) dalam Al-Qir'an. Bisa dibaca; I‘jāz al-‘Adadī fī al-Qur’ān al-Karīm, Al-Raqm wa al-‘Adad fī al-Qur’ān al-Karīm,  ‘Ajā’ib al-I‘jāz al-‘Adadī fī al-Qur’ān,  Nazm al-Ādād fī al-Qur’ān. 

Bilangan terkecil (ash'gharu al-adad) dalam Al-Qur'an adalah 1/10 yang merupakan bilangan pecahan. Terdapat sebanyak 8 bilangan pecahan, yaitu: 2/3, 1/3, 1/2, 1/6, 1/4, 1/8, 1/5, 1/10. Bilangan terbesar( akbar al-adad) adalah 100.000 yang merupakan bilangan asli.  Terdapat 30 bilangan asli di al-Quran, yaitu 1,:2,:3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 19, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 99, 100, 200, 300, 1000, 2000, 3000, 5000, 50000, dan 100000.

 أصغر عدد ذكر في القرآن الكريم: العُشر 0.1 قال تعالى: ﴿وَمَا بَلَغُوا۟ ‌مِعۡشَارَ مَاۤ ءَاتَیۡنَٰهُمۡ﴾ سور_سبأ (45).
 وأكبر عدد: مائة ألف 100000 قال تعالى: ﴿وَأَرۡسَلۡنَٰهُ إِلَىٰ ‌مِا۟ئَةِ ‌أَلۡفٍ أَوۡ یَزِیدُونَ﴾سورة_الصافات (147) 

 Angka-angka yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan sekadar penyebutan bilangan biasa, tetapi memiliki makna mendalam dan sering kali mengandung pesan yang menggugah pemikiran.  

I’jaz (إعجاز) dalam Al-Qur’an mengacu pada keajaiban dan kemukjizatan yang tidak dapat ditandingi oleh manusia. Salah satu bentuk i’jaz ini adalah pola penggunaan angka dalam ayat-ayatnya. Dalam berbagai ayat, Allah menyebutkan angka-angka dengan konteks yang sangat relevan dan penuh hikmah.  

Misalnya; (1) angka 1/10, 1/8,  hingga pecahan lainnya menggambarkan konsep keadilan dan pembagian dalam hukum Islam, seperti dalam warisan dan hukum zakat. (2) angka 7 sering dikaitkan dengan penciptaan langit dan bumi serta keajaiban alam, seperti tujuh lapisan langit (QS. Al-Baqarah: 29) dan tujuh ayat dalam Surah Al-Fatihah.  (3) angka 19 ditemukan dalam hitungan huruf Basmallah dan sistem matematis yang terkait dengan struktur Al-Qur’an.  (4) angka 100, 1000, hingga 100.000 sering dikaitkan dengan konsep pahala, waktu, dan jumlah yang melambangkan kebesaran dan keberkahan, seperti ayat yang menyebutkan malam Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan (QS. Al-Qadr: 3).  

Angka dalam Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai informasi matematis, tetapi juga memiliki pesan moral, sosial, dan spiritual. Misalnya: (1) angka 3 menggambarkan keseimbangan, seperti tiga tahapan penciptaan manusia (nutfah, ‘alaqah, mudghah).  (2) Angka 40 melambangkan masa ujian dan kedewasaan, seperti Nabi Musa yang bermeditasi selama 40 hari di Gunung Sinai (QS. Al-Baqarah: 51). 

Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya berisi ajaran spiritual, tetapi juga memiliki sistematika numerik yang luar biasa. Keindahan ini adalah salah satu bukti i’jaz Al-Qur’an yang mengundang umat manusia untuk terus menggali dan memahami lebih dalam pesan yang terkandung di dalamnya. Walau tidak sedikit yang mengkritik terkait dengan ijaz ilmi seperti ini, tapi hal ini menjadi sesuatu pelajaran yang liar biasa. Allahu'lam bisshawab. 

Malang, 7 Februari 2015
Hidup bukanlah matematis, tapi hidup membutuhkan matematika🤩📿

Jumat, 07 Februari 2025

Hewan dalam Al-Qur'an dan Pelajarannya


Halimi Zuhdy

Menarik kitab tentang "Al Hayawat fil Qur'an, min Ayatil I'jaz al-Ilmy" karya Dr. Zaghlul Raghib Muhammad Najhar, terbitan Al-Ma'rifah. 

Dalam bahasa Arab - asal dari kata hewan itu muncul- bahwa manusia juga adalah hewan, hewan itu ada dua; hewan yang berakal (حيوان ناطق) dan hewan yang tidak berakal (حيوان غير ناطق).
Maka, hewan adalah setiap  makhluk yang punya ruh, baik berakal atau tidak.
كل ذي روح من المخلوقات عاقلا أم غير عاقل.
Hewan berasal dari kata hayiya (حيي), hidup, kehidupan, yang hidup. Satu derivasi dengan kata hayah (حياة), kehidupan. Dan kata ini, tergantung penggunaannya. Dalam bahasa Indonesia, kata hewan khusus pada binatang, atau dalam bahasa Inggris adalah animal, yang bermakna "punya nafas", sedangkan dalam bahasa  Sansekerta adalah "satwa" yang bermakna makhluk hidup. 

 Berbeda lagi dengan kata Hayawan (حيوان) dalam Al-Qur'an, yang memiliki banyak penafsiran, di antaranya adalah kehidupan yang abadi.
 
وَمَا هَـٰذِهِ ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ إِلَّا لَهۡوࣱ وَلَعِبࣱۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَ لَهِیَ ٱلۡحَیَوَانُۚ لَوۡ كَانُوا۟ یَعۡلَمُونَ 

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Surat Al-Ankabut: 64).

Hewan dalam penggunaannya dalam bahasa Arab adalah setiap organisme eukariotik (هو كل كائن حي حقيقي النواة) yang termasuk dalam kerajaan animal. Sedangkan Hewan dalam undang-undang (no 41/2014) adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

Dalam bahasa Jawa hewan adalah kewan, bahasa Madura keben, mirip, dalam satu bentuk kata. Hewan adalah kehidupan. Maka, sesama makhluk hidup harus saling menghargai dan berkasih. 

Bagaimana dengan hewan dalam Al-Qur'an?

Hewan-hewan dalam Al-Qur’an bukan sekadar makhluk hidup, tetapi juga membawa pelajaran bagi manusia. Keberadaan mereka mengingatkan kita akan kebesaran Allah dan pentingnya mengambil hikmah dari setiap ciptaan-Nya.
Dalam Al-Qur'an, banyak hewan disebut sebagai tanda; kebesaran Allah, pelajaran bagi manusia, dan bagian dari kisah para nabi. Setiap hewan memiliki keunikan dan peran tersendiri dalam kehidupan. Maka, hewan yang ada dalam Al-Qur'an bukan hanya sebuah nama atau sebutan saja, tetapi ada banyak pelajaran yang bisa dilirik dan menjadi ibrah dalam lehidupan kita. 

Hewan ternak dianggap sebagai sumber kehidupan, misal unta adalah hewan yang tahan di padang pasir dan disebut dalam Al-Qur’an sebagai bukti kebesaran Allah (QS. Al-Ghashiyah: 17). Sapi menjadi bagian dari kisah Bani Israil (QS. Al-Baqarah: 67-73), sementara domba dan kambing bermanfaat untuk makanan dan pakaian.  

Dalam al-Qur'an, juga hewan sebagai kendaraan seperti; Kuda, Bagal, dan Keledai. Kuda disebut sebagai hewan yang gagah dan digunakan dalam peperangan (QS. Al-Adiyat: 1-5). Bagal dan keledai berguna untuk mengangkut barang (QS. An-Nahl: 8).  

Sedangkan, serigala dan anjing adalah hewan yang berlawanan dalam perannya. Serigala muncul dalam kisah Nabi Yusuf sebagai alasan bohong saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 17). Sebaliknya, anjing dalam kisah Ashabul Kahfi setia menjaga pemuda yang tidur di gua (QS. Al-Kahfi: 18).  

Ada juga dalam Al-Qur'an gajah, monyet, dan babi, hewan ini adalah hewan dalam kisah hukuman.  Pasukan bergajah yang hendak menghancurkan Ka’bah dihancurkan oleh burung Ababil (QS. Al-Fil: 1-5). Monyet disebut sebagai hukuman bagi kaum yang melanggar perintah Allah (QS. Al-Baqarah: 65). Sementara itu, babi diharamkan untuk dikonsumsi (QS. Al-Ma'idah: 3).  

Burung dalam kisah NlNabi. Burung hud-hud menjadi pembawa berita bagi Nabi Sulaiman tentang Ratu Saba' (QS. An-Naml: 20-28). Gagak mengajarkan Qabil cara menguburkan Habil setelah membunuhnya (QS. Al-Ma'idah: 31).  

Tidak yang hewan-hewan yang di darat yang diceritakan Al-Qur'an, tapi juga ikan dan katak dalam Mukjizat. Ikan menelan Nabi Yunus sebagai ujian dari Allah (QS. As-Saffat: 139-148). Katak menjadi salah satu azab bagi Fir'aun dan kaumnya (QS. Al-A'raf: 133).  

Ada juga ular sebagai cerita atau kisah dalam mukjizat Nabi Musa. Tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular besar sebagai mukjizat untuk menghadapi sihir Fir’aun (QS. An-Naml: 10). Kalau ular punya cerita sendiri, demikian juga dengan serangga kecil, tapi mengandung pelajaran besar. Seperti lebah yang menghasilkan madu yang bermanfaat (QS. An-Nahl: 68-69). Semut dalam kisah Nabi Sulaiman menunjukkan kecerdasan dengan memperingatkan koloninya akan bahaya (QS. An-Naml: 18-19). Lalat dan nyamuk dijadikan perumpamaan tentang kebesaran Allah (QS. Al-Hajj: 73, QS. Al-Baqarah: 26).  

Laba-laba dan rayap adalah tanda keagungan Allah. Laba-laba dijadikan perumpamaan tentang rumah yang rapuh bagi orang yang tidak bersandar pada Allah (QS. Al-Ankabut: 41). Rayap memakan tongkat Nabi Sulaiman, hingga wafatnya baru diketahui setelah jasadnya jatuh (QS. Saba: 14).  

Dalam Fawaid Al-Qur'aniyah. Bahwa terdapat 26 jenis hewan yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Berikut adalah daftar hewan-hewan tersebut beserta keistimewaannya; hewan ternak (Al-An'am) ada 4 Jenis; Unta (الإبل) Disebut dalam Al-Qur'an sebagai bukti kekuasaan Allah (QS. Al-Ghashiyah: 17). Unta memiliki keistimewaan dapat bertahan tanpa air selama berhari-hari di gurun.  Sapi (البقر)– Memiliki nilai ekonomi tinggi dan disebut dalam Surah Al-Baqarah sebagai bagian dari kisah Bani Israil. Domba (الضأن) & Kambing (الماعز) – Hewan yang banyak dimanfaatkan manusia untuk daging, susu, dan bulu.  Dan seterusnya. 

Sedang hewan berkaki empat untuk transportasi – 3 Jenis; kuda (الخيل) – Disebut dalam QS. An-Nahl: 8 sebagai hewan yang digunakan untuk perjalanan dan peperangan.  Bagal (البغال) & Keledai (الحمير) – Bagal adalah hasil persilangan kuda dan keledai yang kuat untuk mengangkut beban berat.  

Untuk melengkapi keterangan di atas, sedangkan hewan buas ada 2 Jenis; Serigala (الذئب) dan Anjing (الكلب). Ada pula Hewan liar lainnya, gajah (الفيل)– Disebut dalam QS. Al-Fil, tentang pasukan bergajah yang ingin menghancurkan Ka'bah tetapi dihancurkan Allah dengan burung Ababil.  Ini sudah dijelaskan di atas. Monyet (القرد) dan juga Blbabi (الخنزير)

Dalam Al-Qur'an Burung ada  2 Jenis;  Hud-hud (الهدهد) dan Gagak (الغراب) kisah tentang gagak mengajarkan Qabil cara menguburkan jenazah saudaranya, Habil.  

Hewan-hewan yang ada satu jenis, yang disebutkan dalam Al Quran, ada Ikan (الحوت). Hewan amfibi satu 1 Jenis; katak (الضفدع. Hewan melata ular (الثعبان). Sesangkan serangga tersadapat 9 Jenis;  Lebah (النحل), semut (النمل), belalang (الجراد), upu-kupu (الفراش), kutu (القمل), lalat (الذباب), nyamuk (البعوضة), laba-laba (العنكبوت), rayap (دابة الأرض). Semuanya punya kisah indah penuh ibrah, dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.

Allahu'alam bishawab.

Mitsaqan Ghalidha dalam Al-Qur'an

Halimi Zuhdy

Nikah secara bahasa adalah ad-dhammu, berkumpul, menjadi satu, menyatu. Untuk menjadikan satu, maka ia harus melakukan akad. Akad adalah ikatan. Kalau kita tilik lebih dalam, antara ikatan dan akad itu sangat dekat, baik secara lafal dan maknanya. Secara etimologis, kata "ikat" dalam bahasa Indonesia diduga berasal dari kata عقد (aqad) dalam bahasa Arab. Kata "aqad" memiliki arti dasar "mengikat" atau "menghubungkan", yang dapat digunakan baik dalam konteks fisik (seperti mengikat tali) maupun dalam konteks abstrak (seperti mengikat janji atau kontrak). 
Hal di atas, seperti dalam konteks pernikahan dalam bahasa Arab, akad nikah (عقد النكاح) adalah perjanjian atau ikatan antara dua pihak yang disahkan dengan ritual. Ini serupa dengan konsep "ikatan pernikahan" dalam bahasa Indonesia. Juga, kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, "aqad" juga dapat berarti kontrak atau perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan hukum atau sosial, mirip dengan bagaimana "ikatan" di Indonesia sering merujuk pada suatu hubungan formal, baik kontrak, kesepakatan, atau hubungan emosional.

Dalam pernikahan, Al-Qur'an menjadikan ikatan dengan sesuatu yang dahsyat sekali, yaitu mitsaqan ghalidah. Istilah "mitsāqan ghalīdhā" (perjanjian yang kokoh) digunakan untuk menggambarkan tiga jenis ikatan penting dalam Al-Qur'an: pernikahan sebagai ikatan suci yang harus dijaga dengan tanggung jawab (An-Nisa' 4:21), perjanjian Allah dengan para Nabi untuk menyampaikan risalah-Nya (Al-Ahzab 33:7), dan perjanjian Allah dengan Bani Israil untuk menaati syariat-Nya (An-Nisa' 4:154). Ketiganya mengajarkan pentingnya menjaga amanah, tanggung jawab terhadap komitmen, dan ketaatan kepada Allah sebagai bentuk ketakwaan.

Pernikahan itu bukan main-main, ia sangat sakral, ikatannya adalah kekuatan, maka yang melepaskannya sangat dibenci oleh Allah. Maka, yang menjadi saksi bukan hanya manusia, tapi juga malaikat. 

***
Tema Khutbah Nikah dalam Pernikahan 
Mbak Alfina Nur Isyrofi dan Mas Raihan

Mengapa Nabi Isa Memanggil Kaumnya dengan Ya Bani Israel?

Halimi Zuhdy 

Dalam Al-Qur'an ada banyak panggilan (nida') dengan berbagai kata/huruf panggilan yang variatif, seperti ya dan ya ayyatuha, sedangkan munada (yang dipanggil) seperti ya bunayya, ya ayyuhal insan, ya busyra, ya ayyuhannas, ya ayyuhannabi, ya Bani Israil, ya qaum dan lainnya. 
Dan tulisan ini, melirik perbedaan panggilan antara Nabi Musa dan Nabi Isa, yang keduanya adalah Nabi dari Bani Israil, tetapi mengapa mengapa Nabi Musa memanggil dengan "Ya Qaum" (wahai laum), sedangkan Nabi Isa dengan Ya Bani Israil. 

Dalam kajian naratologi, terdapat keindahan dan hikmah dalam penggunaan bahasa Al-Qur'an yang menyoroti perbedaan cara Nabi Musa dan Nabi Isa dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya, yaitu Bani Israil. Ketika Nabi Musa berbicara kepada mereka, ia menggunakan panggilan "يا قوم" (wahai kaumku), sedangkan Nabi Isa menggunakan panggilan "يا بني إسرائيل" (wahai Bani Israil). 

Ali As-Shalabi, dalam Isa Rasulun li Bani Israil, mengungkapkan bahwa perbedaan keduanya memberikan pesan mengenai hubungan personal dan asal-usul keduanya. Nabi Musa, sebagai keturunan langsung dari Bani Israil melalui ayahnya, secara alami menganggap mereka sebagai kaumnya. Oleh karena itu, ia menyapa mereka dengan panggilan "يا قوم" yang menunjukkan kedekatan kekerabatan. Sebaliknya, Nabi Isa tidak memiliki hubungan langsung seperti itu. Nabi Isa lahir tanpa ayah, dan karena itu ia tidak memiliki "kaum" dalam pengertian nasab. Oleh sebab itu, ia menyapa mereka dengan panggilan "يا بني إسرائيل," yang menegaskan bahwa ia adalah utusan Allah yang diutus khusus kepada Bani Israil, tanpa keterikatan hubungan nasab.

Dalam Tafsir Al-Zamakhsyari 4/525, Tafsir Ibnu ‘Athiyah 5/302, dan Tafsir Al-Qurthubi 18/83, bahwa Nabi Isa bin Maryam AS berasal dari Bani Israil dan diutus kepada mereka, tetapi beliau selalu memanggil kaumnya dengan seruan "Ya Bani Israil" (lihat QS. Al-Ma’idah: 72, QS. Ash-Shaff: 6) dan tidak menggunakan panggilan "Ya Qaumi" (wahai kaumku). Hal ini karena dalam tradisi bahasa Arab, istilah "kaum" merujuk kepada mereka yang memiliki hubungan nasab dengan seseorang melalui ayahnya, sedangkan Nabi Isa AS tidak memiliki ayah. Oleh karena itu, beliau menggunakan panggilan "Bani Israil" untuk menegaskan kedudukannya sebagai seorang nabi yang diutus kepada keturunan Nabi Ya’qub AS. 

Hal ini tidak menunjukkan pengurangan dalam kedudukan Nabi Isa atau misinya. Dalam Al-Qur'an, semua nabi disebutkan diutus untuk kaumnya masing-masing. Firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 47 menegaskan, "Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum engkau kepada kaum mereka...". Namun, ada satu pengecualian, yaitu Nabi Muhammad, yang diutus untuk seluruh umat manusia.

Allah dengan bijaksana mengatur setiap risalah para nabi sesuai dengan waktu dan tempat mereka diutus. Nabi-nabi dari kalangan Bani Israil, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa, diutus hanya kepada mereka dan dakwah mereka tidak melewati batas geografis wilayah Irak, Syam, dan Mesir. Hal ini sejalan dengan rencana Allah, di mana syariat para nabi sebelumnya akan disempurnakan dan digantikan oleh risalah universal Nabi Muhammad.

Nabi Isa telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Ia menyeru Bani Israil untuk menyembah Allah semata, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Maidah ayat 72: "Dan Al-Masih berkata, 'Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.'"

Dengan demikian, perbedaan dalam sapaan antara Nabi Musa dan Nabi Isa adalah refleksi dari kebijaksanaan Allah, yang memilih setiap nabi untuk misinya masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan umatnya. 

Allahu'alam Bis Shawab

Memahami Kata Wafat dan Maut dalam Linguistik Arab


Halimi Zuhdy

Bahasa adalah cerminan dari budaya suatu bangsa, dan setiap bahasa memiliki keistimewaan dan karakter sendiri. Bahasa yang digunakan dalam suatu bangsa, dianggap mewakili karakter dari bangsa tersebut.

Misalnya, dalam mengungkapkan kata “kematian”, antara suatu bangsa dan bangsa lainnya berbeda, baik dari ungkapannya atau perlakuannya.
Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” memiliki banyak sinonim (al-mutaradifat), di antaranya; berkalang tanah, berkubur, binasa, bobrok, buang nyawa, gugur, hilang hayat, hilang jiwa, hilang nyawa, jangkang, kaku, kembali ke pangkuan Allah Swt, koh, mampus, mangkat, maut, melayang jiwanya, membaham tanah, meninggal, menutup mata, modar, musnah, padam hayat, padam nyawa, punah, putih tulang, putus jiwa, putus napas, putus nyawa, putus umur, tenang, terjengkang, tersekat, tersumbat, tertutup, tetap, tewas, tumpar, tumpas, wafat, dan masih ada kosakata lainnya, dengan penggunaannya yang berbeda.

Dalam tradisi Nusantara, kematian adalah sesuatu yang sangat sakral, bukan hal yang sederhana, sehingga muncul dengan istilah-istilahnya yang bervarian. Karena kematian merupakan hal yang penting, sebagaimana kelahiran, maka banyak memunculkan ungkapan-ungkapan atau kosakata yang tidak sedikit.

Dampak dari kesakralan tersebut, orang yang meninggal tidak cukup dikebumikan, tetapi ada tahapan-tahapannya, dan setelah dikebumikan dibuatkan kijing, diberi nama, tanggal lahir dan tanggal kematiannya, ada pula yang dibangunkan rumah di atasnya. Sedangkan beberapa negara di Arab, bahkan mayoritas, kijing juga jarang didapatkan, dan tidak terdapat nama dan tanggal kematiannya. Seperti pekuburan Baqi’ dan Ma’la.

Semakin banyak kosakata (sinonim) dari sesuatu hal atau barang, maka semakin penting sesuatu hal tersebut dalam sebuah komunitas atau bangsa, semisal kata “unta” yang memiliki banyak kosakata, ada sekitar 1000 kosakata terkait dengan kata “ibil, unta” dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan kata “pedang” atau saif yang memiliki banyak sinonim. Mengapa? Karena orang Arab sangat memperhatikan dua hal tersebut di atas.

Kata “wafat” dan “mati”, adalah serapan dari bahasa Arab “wafatun” dan “mautun” yang bermakna mati. Kedua kata tersebut, dalam bahasa Arab memiliki perbedaan fungsi, walau memiliki kesamaan makna.

Kata “wafat” dan “maut” tersebar dalam Ayat Alquran, bila ditilik lebih dalam, keduanya memiliki fungsi yang berbeda, kata “maut” adalah keluarnya ruh dari makhluk hidup, apakah itu manusia, hewan atau tumbuhan. Setiap organisme yang hidup di muka bumi ini memiliki kehidupan, apabila ruh tersebut keluar pada waktunya (ajal) dan berhenti aliran darah tubuh, maka dikatakan “mati”.

Demikian menurut al-Adnan, “Tercerabutnya ruh dari tubuh dan berhentinya aliran darah yang mengalir dari anggota tubuh, dan tidak terdapat tanda-tanda kehidupan.”

نْتِزَاعُ رُوْحُ الْكَائِنِ الْحَيِّ مِنْ جَسَدِهْ فَيَتَوَقَّفُ الدَّمُ عَنِ الجَرَيانِ فِيْ أعْضَائِهِ وتَنْتَفِيْ عَنْهُ الْحَيَاة وَعَلاَمَاتِهَا، ويَقَعُ المَوْتُ حَتْماً عَلَى كُلِّ حَيِّ بَشَراً كَانَ أوْ سِوَاهْ

Sedangkan “Wafat” adalah berhentinya catatan amal seorang hamba yang sudah mukallaf dan dinyatakan selesai, serta mendapatkan semua balasannya dari Allah atas apa yang telah dilakukan, dan dikeluarnya ruh dari jasadnya.

وَقُّفُ جَرَيَانِ الْقَلَمِ وَ انْقِطَاعُ عَمَلِ العَبْد العَاقِلِ الْمُكَلَّفِ وَوَفاءَهُ وَتَمَاَمه، وَجَزَاءُ أجْرِهِ مِنَ الله واسْتِيْفَاءهِ بِخُرُوْجِ نفَسِهِ مِنْ جَسَدِهِ

Secara umum keduanya bermakna meninggal dunia, namun berbeda dalam penggunaannya, kata “maut” digunakan untuk semua makhluk yang memiliki ruh atau nafas, baik hewan atau manusia, atau mungkin makhluk lainnya. sedangkan “Wafat” hanyalah untuk mereka yang dikenai perintah atau larangan (mukallaf) oleh Allah dan dari perintah dan larangan itu mengalirlah catatan-catatan itu, dan makhluk yang dikenahi perintah itu, adalah manusia.

Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, “al-Wafat” adalah “Maut”, dan wafat itu ada dua; wafat shugra (kecil) dan wafat kubra (besar), wafat Sughra adalah tidur, sedangkan wafat kubra adalah mati (maut) sebagai dalam ayat 42, surat Azzumar

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى (الزمر، 42).

Ibnu Katsir tentang ayat di atas juga menafsirkan sebagaimana dalam Lisan al-Arab, bahwa wafat ada dua; Wafat kubra (kematian besar) dan wafat shugra (kematian kecil), “An-naum” bermakna “al-maut”.

Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” bersifat umum, dan bisa digunakan untuk semua makhluk hidup, sedangkan “wafat” hanya untuk manusia, itupun digunakan untuk orang-orang yang terhormat.

***
Lanjut makna Al-wafat dalam Al-Qur'an

Kamis, 16 Januari 2025

Kata "Wawasshoina" dan "Uff" dalam Al-Qur'an


Halimi Zuhdy

Al-Qur'an selalu memilik kata yang unik dan menarik. Dalam berbuat baik pada orang tua, Al-Qur'an menggunakan beberapa kata di antaranya "ihsana" dan "husna", dan menariknya  di dahului dengan kata Wawashoina, wasiat. 

Dalam Al-Qur'an, Allah menggunakan kata "wawasshoina/ووصينا" (dan Kami wasiatkan) untuk memberikan penekanan khusus pada hakikat hubungan anak dengan orang tua. Wasiat ini tidak hanya sekadar perintah, melainkan pesan luhur yang memuat pengingat mendalam tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, terutama dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
Frasa ini menunjukkan bahwa hubungan anak dan orang tua tidak bersifat transaksional, melainkan penuh makna spiritual dan emosional. Misalnya, dalam Surah Luqman (31:14), Allah menyebutkan perihal kesulitan seorang ibu yang mengandung dan menyusui sebagai bukti pengorbanan tanpa syarat yang harus disyukuri oleh setiap anak. Dengan kata "wawashoina", Allah seolah mengingatkan bahwa wasiat tersebut adalah bentuk kasih sayang ilahi, agar manusia tidak melupakan dasar hubungan ini di tengah kesibukan duniawi.  

Selain itu, kata wawasshoina (ووصينا) menggambarkan urgensi dan kesinambungan pesan ini melintasi generasi. Ayat-ayat tersebut menanamkan bahwa hakikat wasiat kepada orang tua adalah fondasi nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, ia menjadi bagian dari akhlak yang harus tertanam dalam setiap individu Muslim. Wasiat ini diulang dalam berbagai konteks Al-Qur'an untuk menunjukkan bahwa birrul walidain (berbakti kepada orang tua) adalah landasan moral yang melengkapi keimanan kepada Allah. Namun, jarang dibahas bahwa bentuk wasiat ini juga mengandung peringatan agar seorang anak tidak hanya bersikap baik secara lahiriah, tetapi juga menjaga hati dari rasa dendam, kecewa, atau prasangka buruk terhadap orang tua, meskipun terkadang mereka bisa saja tidak sempurna. Hal ini menunjukkan kedalaman spiritual dari pesan ini, bahwa hakikat bakti bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah.

**** 
Bagaimana dengan "Uff"? 

Huruf paling ringan dalam bahasa Arab adalah huruf "Fa’" (الفاء), maka huruf ini yang digunakan al-Qur’an ketika Allah melarang manusia mendurhakai orang tua, dengan mengatakan “Wala Taqul Lahuma Uff, ولاتقل لهما أف", maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan "Uff" (dalam terjemahan bahasa Indonesia “Ah”).

Ketika saya membaca beberapa referensi (maraji’), saya menemukan bahwa huruf Hijaiyah ada yang ringan/lemah (dhaif) dan ada yang berat/kuat (qowi), dan huruf yang paling berat pengucapannya adalah huruf “Tha”! karena di dalam huruf Tha’ tidak ditemukan sifat huruf; hams (desis, samar), rakhawah (lembut, lunak, tidak ditahan), laiin dll. Sedangkan dalam huruf “Fa’” tidak terdapat sifat huruf; Jahr (terang, nyaring, jelas), Syiddah (kuat, ditahan), Ithbaq (melekatkan lidah ke langit-langit, lekat) dan lainnya. 

Ini adalah kemu’jizatan bahasa Al-Qur'an, bahwa kita dilarang untuk mengungkapkan kata “Uff, ah” kepada orang tua walau pun huruf tersebut adalah huruf yang paling paling lembut dan paling ringan, apalagi kita menggunakan dengan kata yang kasar, yang kuat dan membentak. (Sumber, Fatayat)

Perbedaan Konsep الفعل, العمل, dan الصنع dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Menilik istilah-istilah dalam Al-Qur'an tidak pernah selesai, sangat banyak kata yang dianggap mutaradifat (sinonim), tapi sebenarnya banyak perbedaan antara satu dengan lainnya, sehingga dikenal dengan furuq lughawiyah dalam istilah kajian bahasa Arab.
Dalam Al-Qur'an, terdapat istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan atau tindakan, yaitu الفعل (al-fi'l), العمل (al-'amal), dan الصنع (ash-shan'). Ketiga kata di atas memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, meskipun sering dianggap serupa. 

Pertama kata al-fi'il (الفعل) adalah istilah umum yang mencakup semua bentuk tindakan atau perbuatan, baik dilakukan dengan ilmu maupun tanpa ilmu, dengan niat atau tanpa niat. Bahkan, fi'il (الفعل) juga mencakup perbuatan yang terjadi dari makhluk selain manusia, seperti hewan atau benda mati. Misalnya, dalam firman Allah:

{ كَانُوا۟ لَا یَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرࣲ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَفۡعَلُونَ }

"Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat". [Surat Al-Ma'idah: 79]

Ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan (mungkar) yang disebutkan dapat terjadi tanpa kesadaran atau niat. الفعل menggambarkan tindakan dalam pengertian yang sangat luas.

Kedua al-'amal (العمل), kata ini lebih spesifik karena mengacu pada perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran, ilmu, dan niat. Al-amal melibatkan maksud tertentu dari pelakunya, sehingga lebih bernilai dibandingkan al-fi'il yang bisa terjadi tanpa kesadaran. Sebagai contoh, Allah berfirman:

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِّنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Kamu melihat banyak di antara mereka tolong menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sungguh, sangat buruk apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah, dan mereka akan kekal dalam azab". (QS Al-Ma'idah: 62). 

Ayat ini menunjukkan bahwa al-'amal adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, meskipun dalam konteks negatif.

Ketiga adalah al-shon'u (الصنع) adalah tindakan yang lebih spesifik lagi karena melibatkan keahlian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Al-shona' sering kali digunakan untuk menggambarkan proses penciptaan sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Sebagai contoh, Allah berfirman:

{ لَوۡلَا یَنۡهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّـٰنِیُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوۡلِهِمُ ٱلۡإِثۡمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُوا۟ یَصۡنَعُونَ }

"Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat." [Surat Al-Ma'idah: 63]

Ayat ini menjelaskan bagaimana perbuatan itu dari ulama, atau dilakukan oleh ulama, dan menggambarkan keahlian mereka.

Memahami perbedaan ini membantu kita untuk lebih menghargai makna mendalam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan memperkuat pemahaman kita tentang bagaimana setiap kata digunakan dengan sangat tepat dalam bahasa Arab. 

Insyallah, kajian berikutnya adalah ja'ala dan khalaqa

Al-Mar'ja;
Fawaid Qur'aniyah dari Al-Mufrodat fi gharibil al-Qur'an li Ashfahani.

Asal-usul Kata Jin, Majnun, Janin, dan Jannah



Halimi Zuhdy

Bahasa Arab disinyalir sebagai bahasa tertua dan satu-satunya bahasa yang tidak punah, dari bahasa-bahasa yang pernah hidup semasa dengannya. Ia tidak hanya berumur 1400 tahun ketika Alquran diturunkan, tapi sudah ribuan tahun sebelumnya, bahkan dianggap menjadi bahasa Nabi Adam AS.
Ketika banyak bahasa Ibu sudah tergantikan, seperti; Bahasa Afrika, Asia Fasifik, Amerika Selatan, Amerika, Ethiopia dan bahasa yang berada diberbagai belahan negara atau benau lainnya hanya tinggal cerita, dan dimuseumkan. Namun, bahasa Arab, terutama yang digunakan oleh Alquran masih utuh, tidak ada perubahan, bukan kemudian kaku, namun ia terus berkembang dengan indah sesuai dengan kadar lerubahannya.

Dan bahasa Arab, bukan hanya sebagai bahasa biasa, yang tumbuh dan berkembang satu persatu sesuai kebutuhan, tapi bahasa ini (Arab) adalah bahasa yang ilmiah (saintifik), yang dapat dirunut sampai ke kata awal, dan kata paling awal, dan setiap kalimat-kalimat yang muncul dapat merujuk pada akar (judzur) kata yang sama atau kata tertentu.

Lihatlah kata seperti Din (Agama), Dain (Hutang), Dunya (Dunia), Madinah (kota), Dayyan (hakim), dan kata yang berdekatan lainnya. Kata-kata tersebut di atas, tidak hanya memiliki makna tersendiri, namun memiliki keterkaitan makna dan maksud. Insyallah, akan penulis analisis pada kajian berikutnya.

Kali ini, penulis hadirkan empat kata, “Janin (Janin), Jin (Jin), Majnun (Gila), dan Jannah (Surga)”. Kata yang lain yang memiliki satu akar adalah; Jan, Majjanan, Jani, Jinayah, Majun, junun dan lainnya.

Dalam kitab Mufrodat (kata-kata), Raghib al-Ashfahani, bahwa kata, “Jan” adalah tutup (satr) atau tertutupnya sesuatu dari panca indra, maka, kata “Jannah (Surga, kebun)” maknanya “tertutup”, ia tertutup oleh rerimbunan pohon, karena banyaknya pepohonan, bunga-bunga dan lainnya yang berada di dalamnya. Kata “Janin (Janin)” juga bermakna “tertutup”, karena ia tidak mampu dilihat oleh mata telanjang, bahkan oleh alat canggih pun, ia masih samar, walau kadang bisa ditebak.

Kata “Majnun (Gila)”, adalah orang yang pikirannya “tertutup” atau terhalang, tidak mampu berfikir dengan baik, bahkan tertutup oleh apapun dari luar dirinya dan dari dalam dirinya.

Sedangkan kata “Jin (Jin)” berasal dari “Jann” yang juga tertutup, tertutup dari pandangan manusia, ia tidak mampu dilihat oleh siapa pun, kecuali Allah tampakkan, dan ia masuk pada makhluq ghaib. Dalam kitab “Tadzhib al-Lughah lil Harwi” ia bermakna bersembunyi, menahan diri, atau menutupi dirinya dari manusia.

وجاء في تهذيب اللغة للهروي: الجِنُّ: جماعةُ ولد الجانّ، وجَمْعُهُم: الجِنَّةُ، والجانُّ، وَإِنَّمَا سُمُّوا جناً لأنّهُمُ اسْتَجنُّوا من النَّاس، فَلَا يُرَوْنَ، والجانُّ هُوَ أَبُو الجِنِّ خُلِقَ من نارٍ، ثمَّ خُلِق مِنْهُ نَسْلُه.

Dan ada yang memaknai kata-kata, “Jin, Janin, Jan, Jannah, Majnun, dan Majjnan” dengan “Hubungan dua arah, yang saling membutuhkan, saling memberi, saling bersinergi”. Misal; kata “Janin” ia memiliki dua huruf nun, “Tabaduliyyah Fa’aliyah al-ihtiwa'”.

Janin dan Ibunya memiliki hubungan yang kuat (yatabadaalani), Janin membutuhkan atau mengambil oksigen dari Ibunya, dan Janin memberi oksigen karbon. Demikian dengan kata-kata yang lain di atas. Allah ‘alam bishawab

***
Repost 2019

Hubungan antara Sumpah, Tempat dan Diutusnya Nabi dalam Surat At-Thin


Halimi Zuhdy

Beberapa tahun lalu saya mengunjungi benteng Ajloun. Benteng ini dikenal pula dengan benteng Shalahuddin Ayyubi dan Benteng Ribdhi. Berada di atas puncak bukit Bani Auf propinsi Ajloun Yordania. Benteng ini di kelilingi kebun-kebun Zaitun, dan termasuk kebun Zaitun terbesar di Yordania. Ketika berada di kebun ini, seakan-akan saya membaca surat At-Thin yang di dalamnya terdapat kalimat - At-Thin, Zaitun dan Turisinin. 
Ayat ini sangat menarik ketika dikaji dari beberapa aspek; aspek kemu’jizatan matematis, aspek kemu’jiztan Bahasa, dan aspek I’jaz Ilmi (Keilmuan, kesehatan). Saya tidak akan mengurai ketiganya, dan insyallah pada kesempatan yang lain penulis akan mengurai dengan beberapa rujukan yang lebih lengkap.

Menurut Dr. Thaha Ibrahim, Salah satu kisah terbaik tentang mukjizat ilmiah Al-Qur’an adalah tentang materi metalonides, Zat ini sangat penting untuk tubuh manusia (pengurangan kolesterol, metabolisme, kekuatan jantung, dan kontrol pernapasan). Zat ini adalah zat yang mengekskresikan tulang manusia dan hewan dalam jumlah kecil. Zat ini adalah zat protein dengan sulfur sehingga dapat dengan mudah bergabung dengan seng, besi dan fosfor.

Dari penelitian Dr Taha Ibrahim, bahwa dalam Al-Qur’an kata Tin disebutkan hanya sekali, sedangkan kata Zaitun disebutkan 6 kali dan 1 kali secara tersirat dalam Surat Al-Mu'minin, “Wa syajarotan Takhruju min Tur Saina’ Tanbutu Biduhni wa Shibghin lil Akilin,  dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. 

Sedangkan dalam I’Jaz Lughawi, Pertama dalam aspek urutannya, beberapa Mufassir menyebutkan, al-Zaitun disebutkan setelah At-Tin, karena Zaitun lebih mulia (Asyraf) dan lebih utama (afdal) dari at-Tin , sebagaimana dalam QS An-Nur; 35.

Selanjutnya adalah Tur Sinin (Tur Sina), dan hal ini disebutkan setelahnya, karena ia lebih utama dari At-Tin dan al-Zaitun. Dan mengapa kata Zaitun, dekat dengan kata Tur Sinin, tidak dengan at-Tin, dan hal ini disebutkan dalam Ayat; “dan (kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan”. QS Al-Mu’minun; 20. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Zaitun.

Kemudian, setelah beberapa ayat tadi disebutkan, maka Ayat berikutnya adalah kata “Balad Amin”, yang dimaksud dengan “Balad Amin” adalah Makkah Mukarramah, tempat lahirnya pembawa risalah Rahmatan Lil Alamain, Nabi Muhammad saw. Dan ini tempat yang paling dimuliakan oleh Allah dan tempat yang paling dicintai. (Dan juga sangat menarik adalah ayat setelahnya, namun penulis hanya mengkaji Tin Zaintun, Insyallah akan dikaji setelahnya).

Dan yang menarik adalah bila “At-Tin, Zaitun, Tur Sinin dan Balad Amin” dikaji dari tempat tumbuhnya, dan terkait dengan pembawa risalah dari masing-masing tempat tersebut, menurut mufassir tempat tembuhnya Tin dan Zaitun adalah Syam (Palestina, dll) dan yang lahir dari tempat ini adalah Nabi Isa As. Sedangkan terkait dengan Tur Sina adalah Musa AS, dan berikutnya yang disebutkan Balad Amin, adalah Negeri Makkah yang di tanah sucinya lahirlah Nabi Muhammad saw. Dan urutan ini pun sangat menarik, serta peran ketiganya dalam membawa risalah Allah. [Allah a’lam bishawab]

Marja’: Lamasat Bayaniyyah lil Thaha Ibrahim, Tafsir Ibnu Kasir, Tafsir Fathul Qadir lil Syaukani, Ruh Ma’ani.