Halimi Zuhdy
Keren Ayat ini. Dimulai dengan redaksi yang sama, tapi penutupnya berbeda. Dan penutup ini, menjadi pesan kuat bagi manusia. Dan kalau ditilik dari setiap kata, mengandung i'jaz lughawi yang mengantarkan pada pesan "nikmat" yang sering tidak dipedulikan oleh manusia. Misalnya penggunaan kata "in" bukan "idza", dan pengunaan kalimat "ta'uddu, la thushuha" dan kalimat lainnya.
Di tengah arus deras kehidupan modern, manusia terus-menerus dihujani berbagai bentuk nikmat—baik yang terlihat maupun tersembunyi. Kita dikelilingi oleh kemudahan teknologi, akses informasi instan, layanan kesehatan canggih, dan koneksi sosial tanpa batas. Namun ironisnya, semakin banyak nikmat yang kita peroleh, semakin besar pula peluang untuk lupa bersyukur.
Al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dengan sangat tepat, lewat dua ayat yang secara lahiriah tampak serupa, namun secara makna menyimpan perbedaan yang sangat mendalam:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(QS. Ibrahim: 34)
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
(QS. An-Nahl: 18)
Dua ayat ini mengandung pesan yang sama di awalnya: bahwa nikmat Allah tak akan pernah mampu kita hitung. Namun perhatikan penutupnya—di Surah Ibrahim, ayat ditutup dengan celaan terhadap manusia: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan sangat kufur." Sementara dalam Surah An-Nahl, penutupnya adalah pujian terhadap sifat Allah: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Apa makna dari dua penutup yang berbeda ini?
Ayat pertama adalah cermin bagi kita. Betapa pun limpahan nikmat diberikan, manusia cenderung melupakan Pemberi nikmat. Kita menzalimi diri dengan lalai dari ketaatan, dan kita kufur karena enggan mengakui nikmat itu berasal dari Allah. Dalam konteks kekinian, bentuk kekufuran itu bisa berupa ketergantungan total pada teknologi tanpa menyadari bahwa akal dan daya cipta itu juga nikmat-Nya. Atau ketika kesehatan menjadi komoditas, bukan lagi amanah yang dijaga dan disyukuri.
Sementara itu, Ayat kedua adalah pelukan hangat dari langit. Meski kita lalai, Allah tetap membuka pintu ampunan. Meski kita terlalu sibuk untuk menghitung nikmat, Allah tetap mengalirkannya setiap detik. Penutup ayat itu adalah bentuk kelembutan dan kasih-Nya yang tak pernah putus, bahkan saat hamba-Nya berpaling.
Dalam dunia modern, manusia kerap mengandalkan data, algoritma, dan pengukuran. Kita bisa menghitung detak jantung, kadar gula darah, bahkan emosi lewat sensor digital. Tapi tetap saja, kita tak akan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah—sebab banyak di antaranya tak kasat mata: ketenangan jiwa, cinta tulus, hidayah, kesempatan taubat, hingga senyum dari orang terkasih di tengah badai hidup.
Studi psikologi modern pun membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan, dan menyembuhkan luka batin. Ini adalah pembenaran ilmiah dari janji ilahi: لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ — "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian." (QS. Ibrahim: 7)
Maka dua ayat ini, bila direnungkan bersama, adalah keseimbangan antara tamparan dan pelukan, antara peringatan dan pengharapan. Ia mengajarkan bahwa kita harus menyadari keterbatasan kita dalam menghitung nikmat, sekaligus bersandar pada keluasan ampunan Allah.
Mari kita renungkan satu hal penting: kita hidup bukan karena kita layak, tapi karena Allah masih berkenan memberi. Nikmat-Nya tak terhitung, dan karunia-Nya melampaui kesadaran kita. Maka jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur. Jangan tunggu bencana untuk mengingat Tuhan. Nikmat-Nya terlalu luas untuk dihitung, maka cukupkan dengan sujud, syukur, dan amal yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar