السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Tampilkan postingan dengan label 2025. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2025. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Agustus 2025

Faidah; tiga kata yang sering dianggap sama, tapi sebenarnya berbeda اعلم،افهم، dan اعرف


Halimi Zuhdy

Menarik apa yang disampaikan Dr. Nuri dalam Tahqiq al-Makhthuth fi Awraq al-jamiah. Beliau mengutip syarah al-Kafiyah karya Syihabuddin al-Hindi tentang ketelitian para ulama klasik dalam menulis kitab, seperti kata: i'lam, ifham dan i'rif. 
Mari kita lirik, di tengah riuhnya dunia digital hari ini, kita bisa menulis dan menyebarkan apa saja dalam hitungan detik. Tapi para penulis klasik dalam tradisi keilmuan Arab punya cara pandang yang berbeda. Bagi mereka, memilih satu kata bukan sekadar soal selera atau gaya. Ia adalah keputusan ilmiah. Dan, ini sangat berpengaruh sekali pada pemahaman generasi selanjutnya, terutama di era ini. Era ngetik keluar kata-kata. 

Yuk! Kita lihat salah satu contohnya tampak dalam kebiasaan para penulis syarah (penjelasan) dan hasyiah (komentar kritis) saat mereka membuka atau menekankan bagian penting tulisan dengan kata-kata seperti: i'lam/اعلم (ketahuilah), ifham/افهم (pahamilah), atau i'rif/اعرف (camkanlah). Sekilas, bila kita tilik, ketiganya tampak sama. Tapi di balik kesamaan itu, tersembunyi perbedaan makna yang tajam dan menarik. Dan mungkin, kalau kita menulis hari ini (mungkin lo), cukup menuliskan "i'lam" saja.he

Dalam sebuah komentar terhadap Syarḥ al-Kāfiyah karya Syihabuddin al-Hindi (w. 849 H), seorang ulama menyoroti secara spesifik alasan penggunaan kata "faa'rif/فاعرف. Bukan "fa'lam/فاعلم", bukan pula "ifham/افهم". Alasannya, karena konteks kalimat yang dimaksud adalah suatu poin yang rinci, penuh kerumitan, dan berpotensi membuat pembaca tersesat dalam pemahaman. Maka, kata "i'rif/اعرف" dipilih karena ia “tepat sasaran” mengarah langsung pada makna yang spesifik.

Bandingkan dengan "i'lam/اعلم", yang lebih cocok untuk menjelaskan prinsip-prinsip besar, kaidah-kaidah umum, atau kesimpulan global dari suatu ilmu. Kata ini bersifat deklaratif ia menyampaikan, bukan menajamkan.

Sementara itu kata "ifham/افهم", memiliki cakupan makna yang lebih longgar. Ia bisa dipakai di banyak tempat, baik saat menyajikan contoh maupun saat memancing perhatian. Tapi justru karena sifatnya yang umum itulah, "ifham/افهم" kadang tak cukup kuat untuk menjelaskan maksud yang terlalu spesifik.

 وقد وجدت نصّاً في إحدى الحواشي على شرح الكافية للهندي الزوالي (ت849هـ) يفرّق بين بعض هذه الألفاظ؛ إذ يقول: (وحيثُ كان كلامُهُ -[أي شهاب الدين الهندي صاحب شرح الكافية]- مشتملا على دقّةٍ، وغموض بحيث يتحيّر فيه كثيرٌ من العقلاء أمرَ في خاتمته بالمعرفة المُنجية عن وصمة الحيرة فقال: (فاعرف) اختاره على (فاعلم) و (افهم)؛ لأن المراد الأمر بإدراك هذا الحكم الجزئي، والعلم مستعمل في الكليات، والفهم عامّ، والمعرفة نصّ في المقصود، فبالحري أن يأمر بالمعرفة (فاعرف)).ومن هذا النصّ يمكن تلمّس الفروق:1/ (اعرف) يستعمل في الأمور الجزئية المشتملة على دقة وغموض، وهي نص في المقصود.2/ (اعلم) يستعمل في الأمور الكلية العامة.3/ 

Mungkin sederhananya adalah bahwa kata-kata seperti i'lam, a'rif dan ifham memiliki makna dan fungsi yang berbeda meskipun sering dianggap serupa. Kata "i'rif/اعرف" digunakan untuk menyampaikan pengetahuan tentang hal-hal yang rinci, rumit, dan memerlukan ketelitian tinggi karena ia secara langsung menunjuk pada maksud yang spesifik. Sedangkan kata, "i'lam/اعلم" lebih cocok digunakan untuk menyampaikan prinsip-prinsip umum atau informasi yang bersifat menyeluruh. Adapun "ifham/افهم" bersifat lebih umum dan fleksibel, dapat digunakan dalam berbagai konteks, namun tidak setajam "i'rif/اعرف" dalam menyoroti hal penting, dan tidak seumum "i'lam/اعلم dalam menyampaikan kaidah. Pemilihan kata ini dalam teks-teks klasik menunjukkan betapa pentingnya ketepatan bahasa dalam menyampaikan makna secara ilmiah dan mendalam.

Allahu'alam bishawab.

***
Foto hanyalah pemanis

Hidup Paling Nikmat


(Jangan Tinggalkan 3 Hal dalam Hidup)

Halimi Zuhdy

Kadang saya iri pada tukang becak yang bisa mendengkur di atas becaknya meski matahari terik. Tidurnya lelap sekali. Saya juga iri pada para petani yang makan lahap di pinggir sawah walau hanya ikan kering dan sayur sederhana. Nelayan yang diterpa ombak pun tampak nyaman seakan perahunya rumah paling damai. Atau para pemulung dan tukang sampah yang menyeruput kopi di tumpukan sampah, tak peduli bau menyengat, mereka tertawa bebas bersama kawan-kawannya. Asyik betul. Dulu waktu ikut orang ke kebun, nasi jagung, sayur maronggih, sambal acan, dan ikan kering adalah hidangan paling nikmat. Sampai hari ini, belum ada tandingannya. Aha.
Saya jadi teringat pesan seorang al-Hakim (orang bijak):

قال حكيمٌ لابنه: يا بنيّ، في حياتك لا تتنازل عن ثلاثة: أن تأكل أفضل الطعام، وتنام على أفضل الفراش، وتسكن في أفضل البيوت. فقال الابن: نحن فقراء، فكيف لي أن أفعل ذلك؟ فقال الحكيم: إذا أكلتَ فقط عندما تجوع، سيكون ما تأكله أفضل طعام. وإذا عملتَ كثيرًا وأنت متعب، سيكون فراشك أفضل فراش. وإذا عاملتَ الناس بالمعروف، سَتسكن في قلوبهم، وبهذا تكون سكنتَ في أفضل البيوت.

Seorang lelaki bijak berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dalam hidup jangan pernah menyerah pada tiga hal: makanlah makanan terbaik, tidurlah di ranjang terbaik, dan tinggallah di rumah terbaik.” Anaknya menjawab, “Kita ini miskin. Bagaimana mungkin?” Si bijak berkata, “Jika kamu makan hanya ketika benar-benar lapar, apa pun yang kau makan akan terasa sebagai makanan terbaik. Jika kamu bekerja keras hingga lelah, tempat tidur apa pun akan menjadi paling nyaman. Dan jika kamu memperlakukan orang-orang dengan kebaikan, kamu akan tinggal di dalam hati mereka, itulah rumah terbaik.”
Pengalaman pribadi: waktu di pesantren, apa pun terasa enak. Tidur di mana pun nyenyak. Bahagia karena bersama teman-teman senasib; ngaji jauh pun ditempuh dengan gembira. Tidak kenal restoran, hotel, atau kafe. Makan ya duduk di dapur, kadang aroma sedap bercampur bau kamar mandi tetap saja lahap. 🤣

Ada lagi pesan kiai yang selalu saya ingat: “Santri kalau mau sukses lakukan tiga hal: satu, perbanyak tidur; dua, perbanyak makan; dan yang paling penting nomor tiga: kurangi belajar.”

Kita heran: kok bisa sukses kalau belajar justru dikurangi, sementara makan dan tidur diperbanyak? Kiai lalu menjelaskan sambil tersenyum. Maksud “perbanyak makan” adalah: santri akan makan lahap kalau belajarnya “berkurang” bukan malas, tapi selalu merasa kurang dalam belajar. Baca satu halaman kitab terasa belum cukup; lanjut lagi, dan lagi. Haus ilmu. Rakus kebaikan. Karena belajar tak pernah selesai, lapar pun gampang datang—makan jadi nikmat. Lelah belajar membuat tidur singkat pun terasa panjang dan pulas; inilah makna “perbanyak tidur.” Bukan jumlah jamnya, tapi kualitas tidurnya.

Jadi, apa yang disampaikan al-Hakim: hidup itu paling nikmat justru lewat letih yang bermakna. Al-ajru ba‘da ta‘ab pahala (dan kenikmatan) datang setelah lelah.

Banyuwangi, 17 Juli 2025

***
Gambar diambil dari OmanisForTolerance. com

Fatwa vs Petuah: Menilik Asal Kata dan Implikasi Hukumnya


Halimi Zuhdy

Beberapa hari terakhir, kita sering mendengar kata “fatwa” dikaitkan dengan isu Sound Horeg. Ada yang menyetujui, ada yang menolak, meski sebagian penolakan, setahu al-faqir, tidak disertai telaah hukum yang merujuk pada turats. Di saat yang sama, kita juga akrab dengan kata “petuah.” Keduanya kerap bersumber dari lisan tokoh agama, kiai, atau ustaz; beredar luas, jadi kutipan viral, lalu memengaruhi cara publik bersikap. Mirip? Ya. Sama? Tidak selalu. Ada hubungan historis di antara keduanya, tetapi makna dan konsekuensi hukumnya berbeda.
Dalam bahasa Arab, fatwa (فتوى) berarti jawaban atau penetapan hukum yang diberikan seorang mufti terhadap persoalan syariat. Di Indonesia (dan sebelumnya di ranah Melayu), istilah ini diadopsi dan mengalami perubahan. Secara fonologis, bunyi “f” dalam fatwa sering bergeser menjadi “p” dalam ujaran lokal, sebagaimana fikr = pikir; fiqh = pikih (dalam beberapa dialek). Dari sinilah muncul bentuk petuah. Secara semantis, makna teknis-hukum “fatwa” meluas dan melunak menjadi “nasihat bijak,” “wejangan moral,” atau “pesan hidup” yakni petuah. Proses ini mencerminkan kulturalisasi istilah Arab ke dalam lingkungan lokal yang lebih menonjolkan nilai kebijaksanaan sehari-hari ketimbang ketetapan hukum formal.

Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, petuah hadir di banyak ruang: nasihat orang tua kepada anak, wejangan guru kepada murid, pitutur kiai kampung kepada jamaahnya. Petuah tidak bersifat mengikat secara hukum; ia mengajak, mengingatkan, menuntun. Contoh sederhana: seorang ibu berkata, “Jangan pelit, nanti rezekimu seret.” Itu petuah. Tidak ada sitiran kitab fiqih atau pasal hukum. Yang ada: pengalaman, kasih sayang, dan kebijaksanaan. (Meski kadang, kalau mau dicari, bisa saja ditemukan dalil pendukungnya.)

Berbeda dengan petuah, fatwa berakar langsung pada tradisi Islam klasik. Ia merupakan penjelasan atau keputusan hukum syar’i atas suatu persoalan, dikeluarkan oleh mufti atau lembaga berwenang misalnya MUI pada konteks Indonesia. Fatwa bisa merespons pertanyaan umat: “Apakah vaksin ini halal?” “Bagaimana hukum penggunaan teknologi tertentu?” “Bolehkah menikah beda agama?” Fatwa disusun dengan metode istinbath: menimbang nash, ijma’, qiyas, maqashid, dan perangkat ushul lain. Ia tidak otomatis setara dengan putusan pengadilan agama, tetapi dapat menjadi dasar kebijakan negara maupun rujukan moral-hukum bagi individu Muslim. (Kasus hangat: polemik ‘Fatwa Sound Horeg’.)

Dalam khazanah Melayu dan Jawa klasik, kata fatwa kadang dipakai longgar. Ungkapan “fatwa raja” pada sejumlah naskah lama dapat bermakna petunjuk atau nasihat, bukan keputusan hukum agama yang formal. Dari ruang makna longgar inilah petuah muncul sebagai bentuk budaya turunan rasa dari fatwa dengan nada lebih lembut, akrab, dan etis.

Masalahnya, pergeseran makna ini dapat memunculkan kerancuan. Tidak semua ucapan tokoh agama otomatis berstatus fatwa. Bisa jadi itu hanya petuah pribadi, motivasi, atau opini yang bersandar pada pengalaman, bukan hasil kajian hukum. Sebaliknya, ada orang yang menyepelekan fatwa sah karena mengira semuanya sekadar nasihat.

Agar tidak salah paham, mari ringkas perbedaannya: Petuah: bernuansa etis, moral, kultural; tidak mengikat secara hukum. Fatwa: bernuansa syar’i; merespons persoalan hukum; dikeluarkan otoritas (mufti/lembaga).

Contoh: seorang kiai berkata, “Biasakan bangun pagi, itu sunnah Rasul.” Dalam banyak konteks Nusantara, ini diterima sebagai petuah—dorongan akhlak. Tetapi jika kiai diminta menjelaskan hukum tidur setelah Subuh, lalu memaparkan status makruh atau mubah berdasarkan kitab fiqih, itu sudah memasuki wilayah fatwa.

Mengira petuah sebagai fatwa dapat menimbulkan kebekuan: semua nasihat seakan wajib ditaati, lalu muncul sikap menghakimi. Sebaliknya, menganggap fatwa hanya opini membuat umat ringan mengabaikan bimbingan syar’i yang seharusnya diperhatikan. Di tengah riuh media sosial, batas antara candaan, kutipan kitab, petuah kultural, dan fatwa otoritatif makin kabur—karena potongan video, caption pendek, dan headline klikbait.

Baik petuah maupun fatwa memiliki peran penting. Petuah membentuk rasa, karakter, adab, sensitivitas moral. Fatwa memberi arah hukum: halal-haram, boleh-tidak, sah-batal, maslahat-mafsadat. Keduanya saling menguatkan bila ditempatkan proporsional. Yang bahaya adalah dua ujung ekstrem: menjadikan petuah sebagai alat memaksa, atau menurunkan fatwa menjadi sekadar pendapat ringan.

Mari lebih teliti saat menerima pernyataan keagamaan: ini petuah, fatwa, atau sekadar komentar? Tanyakan konteks, sumber, dan otoritasnya. Dengan begitu, kita bisa berdialektika tanpa mudah memvonis, dan tetap menjaga maslahat umat.

Wallahualma Bishawab 

***
Foto diambil dari omanisForTolerance. Com

Perbedaan Walad dan Ibnu dalam Al-Qur'an


Halimi Zuhdy

Menarik bila menilik kata "anak" dalam Al-Qur'an. Anak yang digambarkan dengan banyak hal, di antaranya sebagai: musuh, cobaan atau fitnah, hiasan, dan sebagai penyejuk hati. Dalam Al-Qur'an juga penyebutan anak terdapat beberapa kata, di antaranya adalah walad dan ibnu. Dan setiap peletakan kata dalam Al-Qur'an, memiliki arti, makna dan maksud sendiri? 
Dalam Mu’jam Al-Ma’ani, kata walad/وَلَد bermakna segala sesuatu yang dilahirkan, baik laki-laki maupun perempuan, tunggal maupun jamak. Kata ini mencakup arti yang lebih umum, bukan hanya terbatas pada anak laki-laki. Bentuk jamaknya antara lain wildah/أولاد, wuld/ولد, wildan/ولدان, wildah/ولدة. Sebagai kata kerja, وَلَدَ berarti melahirkan atau membantu melahirkan (misalnya peran bidan), juga dapat bermakna melahirkan sesuatu dalam arti kiasan, seperti menimbulkan kebencian (وَلَد أحقادًا) atau memunculkan ide (وَلَد الشخص الكلام). Dengan demikian, وَلَد lebih luas penggunaannya dan mencakup makna biologis maupun kiasan.

Sedangkan ibnu/اِبْن secara khusus digunakan untuk menyebut anak laki-laki yang dinisbahkan kepada ayahnya. Kata ini menekankan hubungan keturunan atau nasab, seperti ungkapan فلان ابن فلان (si Fulan anaknya si Fulan). Dalam bentuk tasghirnya (بُنَيّ), kata ini digunakan sebagai panggilan kasih sayang, seperti "anakku" atau "wahai anak muda". Ibnu/اِبْن tidak digunakan untuk anak perempuan, melainkan hanya untuk anak laki-laki dan lebih menitikberatkan pada garis keturunan atau hubungan keluarga secara langsung.

Dalam Al-Lamasat Al-Bayaniyah, perbedaan antara abna'/ الأبناء dan aulad/الأولاد menurut Dr. Fadhil Al-Samarrai abna'/الأبناء adalah jamak dari ibnu/ابن yang berarti anak laki-laki. Contoh: "يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ" (QS. Al-Baqarah: 49) yang maksudnya hanya anak laki-laki.
Aulad/الأولاد adalah jamak dari walad/ولد yang mencakup laki-laki dan perempuan. Contoh: "يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ" (QS. An-Nisa: 11) yang mencakup kedua jenis kelamin.

Menarik apa yang disampaikan oleh Dr. Ahmad Abdu al-Dhahir dalam Rihab Lugha al-Qur'an al-walad wal ibnu. Perbedaan antara ibn/ابن dan walad/ولد terkait hubungan dengan ayah atau orang tua dapat diringkas begini: kata walad meniscayakan adanya proses kelahiran biologis—seseorang disebut walid/والد hanya jika ia benar‑benar memiliki anak yang ia lahirkan (dari sulbi/rahimnya); sementara ibn tidak mensyaratkan lahir biologis, melainkan nisbah atau keterkaitan kepada seorang ab/أب, dan kata "ab" sendiri dalam pemakaian Arab lebih longgar (misalnya kunyah “Abu Fulan” bisa dipakai meski tidak melahirkan Fulan). Dari sini lahirlah konsep “tabannî” (adopsi/pengasuhan): siapa pun yang engkau besarkan dan rawat dapat secara bahasa dan (dalam konteks tertentu) secara hukum disebut ibn‑mu, meskipun bukan anak kandung. 

Adapun "walad" lazim dipakai untuk anak kandung secara khusus. Karena cakupannya yang terkait langsung dengan kelahiran nyata—dan dapat mencakup laki‑laki maupun perempuan, Al‑Qur’an ketika menjelaskan hukum waris menggunakan bentuk al‑awlâd / walad (mis. “يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ” dan “إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ” \[an‑Nisâ’ 4:11]) alih‑alih memakai ibn atau bint, guna menegaskan status anak kandung dan membedakan bagian waris antara laki‑laki dan perempuan dalam teks yang bersifat hukum.

Malang-Solo, 21 Juli 2025

Mendengar” dalam Perspektif Al-Qur’an(Perbedaan: sam', istima', isgha, inshat)

Halimi Zuhdy

Setelah saya menulis tentang "Kyai Tidak Memihak orang Desa?" dan "Fatwa vs Petuah",  kok ingin menulis tetang "fiqih", "fahm", "faqih", "fahim" dan beberapa hal terkait denga pemahaman teks agama. Mengapa? Karena tidak sedikit yang merasa paham, tidak benar-benar paham. Ada yang dianggap benar-benar paham (teks agama, dalil dll), tapi, tidak mengerti maksudnya. Maka, dalam hal ini ada istilah "ikhtilaf darajatil ulama fi fahm wal fiqhi". Bahasanya Gus Rijal Mumazziq Z, berbeda antara al-faqih wal mutafaqqih. Sebelum ke persoalan yang lebih rumit; fiqih dan fahm. Ada yang sebenarnya "derajat pendengaran yang kadang lupa dipahami. He. 
Di tengah hiruk pikuk persoalan per-Horegan, kita sering kali hanya “mendengar” hukum haram tanpa benar-benar memahami maksud-nya. Bahkan, yang menolak mentah-mentah tidak membaca teks keharamannya. Ini perbedaan tahu, mengerti, paham, dan istilah lainnya. Dan istilah dalam bahasa Arab tambah rumit dan banyak sekali. Coba, kita mulai dari pemahaman kata "mendengar" dalam Al-Qur'an. Karena persoalan Horeg, adalah persoalan kuping🤣telinga dan udzun.

Lah, ada yang hanya sering “mendengar” tanpa benar-benar mendengarkan. Suara masuk ke telinga, tetapi hati tetap tertutup. Dalam Al-Qur’an, kata السَّمْع/as-sam‘/mendengar bukan sekadar fungsi biologis, melainkan sebuah proses kesadaran. Ia menjadi gerbang bagi manusia untuk memahami kebenaran.

Menariknya, Al-Qur’an tidak hanya menyebut satu istilah untuk mendengar, tetapi membedakannya dalam empat tingkatan: السَّمْع/sam‘, الاستماع/istima‘, الإصغاء/ishgha‘, dan الإنصات/insat. Perbedaan ini bukan hanya soal kata sajo, tapi menggambarkan kedalaman sikap batin terhadap apa yang kita dengar.

Tingkatan pertama adalah السمع/sam‘, yakni sekadar mendengar suara tanpa memahami maknanya. Al-Qur’an mengibaratkan orang kafir seperti ternak yang hanya mendengar panggilan tanpa mengerti maksudnya (QS. Al-Baqarah: 171). Ini bukan sekadar perumpamaan, tetapi kritik tajam terhadap mereka yang telinganya berfungsi, tetapi hatinya tertutup.

Berikutnya adalah الاستماع/istima'. Berbeda dengan sam‘ dan istima‘ adalah mendengar dengan kesadaran, fokus, dan niat mengambil pelajaran. Kata ini dipakai ketika Al-Qur’an menceritakan sekelompok jin yang datang “mendengarkan (يستمعون) Al-Qur’an” (QS. Al-Ahqaf: 29). Ada usaha, ada perhatian, ada keseriusan untuk memahami.

Berikutnya, yang ketiga adalah الإصغاء/Ishgha‘ adalah mendengar yang melibatkan hati. Ini bukan sekadar soal telinga, tetapi bagaimana suara itu menyentuh batin. Menariknya, kata صغت قلوبكما dalam QS. At-Tahrim: 4 memiliki akar kata yang sama dengan ishgha‘, menunjukkan bahwa mendengar yang sejati lahir dari hati yang jernih. Ini, agak rumit juga. Tapi, mudah dipahami. 

Terrahkhir adalah الإنصات/Inshat berarti diam dan memberikan perhatian penuh. Saat Al-Qur’an dibacakan, Allah memerintahkan: “Dengarkanlah (فاستمعوا) dan diamlah (أنصتوا), agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A‘raf: 204). Ini adalah bentuk mendengar yang disertai penghormatan, bukan sekadar proses fisik. Bisa dilihat di vedio YT Lil Jamik (lebih lengkap)

Al-Qur’an berkali-kali menyebut bahwa pendengaran erat kaitannya dengan hati. Jika hati tertutup, telinga seolah-olah ikut tuli. Dalam QS. Al-An‘am: 25 disebutkan:
{ وَمِنۡهُم مَّن یَسۡتَمِعُ إِلَیۡكَۖ وَجَعَلۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ أَكِنَّةً أَن یَفۡقَهُوهُ وَفِیۤ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرࣰاۚ وَإِن یَرَوۡا۟ كُلَّ ءَایَةࣲ لَّا یُؤۡمِنُوا۟ بِهَاۖ حَتَّىٰۤ إِذَا جَاۤءُوكَ یُجَـٰدِلُونَكَ یَقُولُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوۤا۟ إِنۡ هَـٰذَاۤ إِلَّاۤ أَسَـٰطِیرُ ٱلۡأَوَّلِینَ }

Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “Ini (Al-Qur`ān) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” Para mufasir seperti Al-Tabari menegaskan bahwa hati yang keras ibarat telinga yang tak lagi berguna. Orang seperti ini bukan tidak bisa mendengar, tetapi tidak mau mendengarkan.

Al-Qur’an menggambarkan pendengaran sebagai salah satu bentuk kenikmatan di akhirat. Orang beriman hanya akan mendengar salam dan ucapan damai (QS. Al-Waqi‘ah: 25-26). Sebaliknya, orang kafir yang menutup telinga di dunia akan merasakan kebisuan telinga di akhirat (QS. Al-Anbiya: 100).

Mengapa Pendengaran Disebut Lebih Dahulu?

Penelitian modern menunjukkan bahwa indra pendengaran adalah yang pertama berkembang pada janin, lebih awal daripada penglihatan. Fakta ini selaras dengan urutan penyebutan dalam Al-Qur’an yang sering mendahulukan kata السَّمْع/as-sma (pendengaran) daripada البصر/al-bashar (penglihatan). Ini bukan kebetulan, tetapi ketelian bahasa Al-Qur'an. Diqqah balighah. 

Allhu'alam bishawab

Surakarta, 22 Juli 2025

Faidah: Bijak dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain (Perbedaan Mudahanah/مداهنة dan Mudarah/مداراة)



Seringkali kita dihadapkan pada situasi di mana seseorang melakukan kesalahan atau maksiat, namun kita ragu bagaimana harus bersikap, haruskah diam demi menjaga hubungan, atau menegur secara langsung?

Para ulama membedakan dua sikap penting dalam hal ini: "mudāhanah" dan "mudārāh". Mudāhanah adalah bersikap lunak kepada pelaku maksiat dengan menunjukkan kerelaan atau membiarkan perbuatannya, tanpa ada penolakan atau upaya meluruskan. Ini adalah sikap tercela, karena seolah-olah menyetujui keburukan dan meruntuhkan nilai amar ma’ruf nahi munkar.
Mudārāh, sebaliknya, adalah kelembutan dan kebijaksanaan dalam menyampaikan kebenaran. Misalnya: Bersikap lembut dalam mengajari orang awam yang belum paham. Menasihati pelaku maksiat dengan cara halus, tanpa menyudutkan, apalagi mempermalukan. Menghindari kekerasan dalam dakwah, selama kesalahan tidak tampak terang-terangan. Maka, mudāhanah adalah diam dalam kebatilan, sedangkan mudārāh adalah hikmah dalam berdakwah.

Dalam menasihati, jangan sampai kita jatuh pada mudāhanah yang membahayakan agama. Tapi juga jangan meninggalkan mudārāh yang menunjukkan kasih sayang dan kebijaksanaan dalam mengajak kepada kebaikan.

(Dikutip dari Tahqiq Al-makhthut fi awraq al-Jamiah Prof.Dr. Muhammad Nuri)

Masjid Butuh Kita, atau Kita Butuh Masjid?


Halimi Zuhdy

Ada pertanyaan menarik dari salah satu jamaah, "Ust, siapa yang wajib memakmurkan masjid?" Saya jawab spontan, "Kita semua yang masih hidup, masjid itu milik umat, bukan milik siapa pun, kalau toh ada pengurus masjid, mereka adalah kepanjangan tangan umat, tapi umat semua yang wajib memakmurkan!". (Baca tulisan sebelumnya, makna memakmurkan masjid). 
Kalau kita tilik, masjid tidak butuh siapa pun. Tapi, kita yang butuh masjid. Maka, hadis man bana masjidan (barang siapa yang membangun masjid), membangun adalah kebutuhan umat terhadap masjid, bukan masjid yang butuh umat. Karena dibangun atau tidak, masjid tidak akan pernah rugi. Masjid adalah jejak. Mungkin mirip dengan sedekah. Yang butuh terhadap sedekah adalah orang yang bersedekah, bukan yang diberi sedekah? Kalau mau jujur, maka yang harus berterima kasih adalah yang bersedekah, karena masih ada orang yang menerima sedekahnya. Dan ia mendapatkan pahala dari apa yang telah diberikan.  

Dalam diamnya, masjid tidak pernah menuntut siapa pun untuk datang. Ia tak memanggil dengan suara keras, tak memaksa siapa pun membuka pintunya. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Masjid adalah tempat yang tidak pernah butuh kita, tapi kita yang begitu sangat membutuhkannya. Kalau ada muadzin, ia tidak pernah memaksa untuk datang, ia hanya mengingatkan. Tapi yang butuh datang adalah kita. Tapi apakah semuanya mendatanginya? 

Sering kali kita merasa telah berjasa ketika mengisi saf-safnya, menyumbang untuk pembangunannya, atau meramaikannya saat Ramadan tiba. Padahal, hakikatnya, semua itu bukan bentuk kontribusi kita kepada masjid, tapi karunia besar dari Allah karena telah dipilih untuk mendekat ke rumah-Nya. Berterima kasih kepada Allah (baitullah), karena telah ada kesempatan untuk memakmurkannya. 

Masjid tak pernah kehilangan kemuliaannya meski kosong. Tapi hati kita akan gersang jika terlalu lama jauh darinya. Ia adalah tempat turunnya ketenangan, tempat jiwa bersimpuh mengakui kelemahan, tempat terindah untuk menumpahkan air mata dalam sujud yang tak terlihat siapa-siapa. Maka masjid tidak butuh hiasan, tapi kita yang butuh ada hiasan di masjid. Bukan karena masjid tindah, tapi mungkin kita masih butuh ukiran lain di dinding masjid. 

Masjid adalah rumah yang pintunya selalu terbuka tanpa syarat. Tak peduli siapa kita, seburuk apa masa lalu kita, seberat apa dosa kita selama datang dengan niat mendekat, masjid akan menyambut tanpa penolakan. 

Ketika kita meninggalkan masjid, ia tetap berdiri kokoh. Tapi ketika kita menjauhinya, kita perlahan runtuh. Runtuh dalam sunyi yang tidak disadari. Runtuh dalam kesibukan yang menjauhkan kita dari ketenangan hakiki. Ada masjid yang roboh lo, kalau tidak dirawat? Benar. Tapi robohnya masjid, karena kita sudah tidak peduli rumah kita (hati).

Al masjidu ussisa 'ala taqwa. Membangun masjid, bukan membangun dengan bata yang kuat, tapi dengan takwa. Itu pertama kali. Apa artinya? Sekokoh-kokohnya masjid, kalau yang memakmurkan tidak ada, ia sebenarnya roboh. Apalagi membangun karena riya dan kesombongan, atau membangun karena untuk pamer bukan dengan takwa, apalagi membangunnya untuk memecah belah persatuan. Maka selain masjidnya yang roboh yang membangunnya juga roboh. Maka, masjid dhirar dirobohkan oleh Nabi. 

Allahu'alam bishawab

Rahasia Nama Muhammad (محمد) dan Ahmad (أحمد) dalam Ilmu Bahasa Arab


Halimi Zuhdy

Nama Nabi kita Muhammad bukan sekadar rangkaian huruf atau lafaz biasa. Nama ini tersusun dari huruf-huruf indah yang menyimpan makna agung. Kata "Muhammad" (محمد) merupakan bentuk "mubālaghah" (penegasan yang berlebihan dalam pujian) dari kata "mahmūd" (محمود). Jika "mahmūd" berarti "terpuji", maka "muhammad" bermakna "sangat terpuji".
Dalam ilmu bahasa Arab, nama Muhammad dibentuk dari pola "ism maf‘ūl", yaitu kata benda yang menunjukkan objek atau sesuatu yang dikenai perbuatan. Nama ini bukan hanya bermakna pujian, tetapi juga menunjuk pada banyaknya pujian yang ditujukan kepada beliau.

إن محمداً هو المحمود حمداً بعد حمد، فهو دال على كثرة حمد الحامدين له، وذلك يستلزم كثرة موجبات الحمد فيه

Artinya: Sesungguhnya Muhammad adalah yang dipuji terus-menerus, satu pujian setelah pujian lainnya. Ini menunjukkan banyaknya orang yang memuji beliau, dan itu menandakan banyaknya alasan untuk memuji beliau.

Makna Kualitas dan Kuantitas dalam Nama Muhammad
Nama Muhammad mengandung makna "katsrah" (banyak); banyak disebut, banyak dipuji, diagungkan, dan dilantunkan oleh lidah umat manusia. Bahkan Allah-lah yang pertama kali memuji Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an dengan firmannya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Selain menunjukkan banyaknya pujian, kata Muhammad juga mengandung makna "tatabbu’" (berkesinambungan). Artinya, beliau terus-menerus dipuji dari masa ke masa, dari waktu ke waktu. Namanya senantiasa disebut, tidak hanya dalam majelis-majelis shalawat, tetapi juga dalam shalat lima waktu, berdampingan dengan nama Allah SWT.

Menyebut nama Muhammad bukanlah perbuatan biasa, sebab ada pahala dalam menyebutnya, bahkan pahala yang berlipat. Karena beliau adalah manusia yang sangat pantas untuk dipuji.

Pujiannya Tak Terbatas pada Muslim Saja

Yang menarik, pujian terhadap Nabi Muhammad tidak hanya datang dari kalangan umat Islam. Banyak tokoh dan penulis non-Muslim pun menyebut namanya dengan kekaguman luar biasa.

ومن العجيب أن مدح الرسول عليه السلام وحمده لم يقتصر على المسلمين والمؤمنين به، بل تجد بعض المنصفين من الكفار يثنون على النبي صلى الله عليه وسلم ثناء عجيباً

Artinya: Sungguh menakjubkan bahwa pujian terhadap Rasulullah SAW tidak terbatas hanya pada kaum Muslimin, tetapi beberapa orang non-Muslim yang adil pun turut memuji beliau dengan pujian yang luar biasa.

Perbedaan Makna antara Muhammad dan Ahmad

Kata "Muhammad" berasal dari "ḥammada" (حمّد) sebagaimana "nazzala" (نزّل) dan "qaddara" (قدّر), yang semuanya menunjukkan makna yang banyak (katsrah).

Sementara itu, nama "Ahmad" (أحمد) memiliki dua kemungkinan makna berdasarkan bentuk katanya: 1) Fi'il mudhāri’ (kata kerja bentuk sedang atau akan): bermakna "aku sedang memuji", seperti dalam kalimat:

   أحمد الله رب العالمين
 
Aku memuji Allah, Tuhan semesta alam.

Dalam konteks ini, "Ahmad" berarti pujian yang berlangsung terus-menerus (istimrār tajaddud).

Berikutnya 2.) Ism tafdhīl (kata banding): bermakna "yang lebih terpuji". Maka, Ahmad berarti manusia yang paling terpuji. Ia berasal dari akar kata "ḥamd" (pujian) dan menunjukkan bahwa pujian terhadap Nabi Muhammad lebih tinggi mutunya dibanding siapa pun.

أما أحمد فهو أفعل تفضيل من الحمد، فيدل على أن الحمد الذي يستحقه أفضل مما يستحقه غيره، فمحمد فيه زيادة حمد في الكمية، وأحمد فيه زيادة حمد في الكيفية، فيُحمد أكثر حمد، وأفضل حمد حمده البشر

Artinya: Kata Ahmad adalah bentuk tafdhil dari pujian, menunjukkan bahwa pujian yang layak diterima oleh beliau lebih baik daripada siapa pun. Maka "Muhammad" menunjukkan kuantitas pujian yang lebih banyak, sedangkan "Ahmad" menunjukkan kualitas pujian yang lebih tinggi.

"Muhammad" adalah nama yang menunjukkan betapa banyaknya beliau dipuji (kuantitas). Sementara "Ahmad" adalah nama yang menunjukkan betapa tinggi dan indahnya kualitas pujian itu sendiri.

Maka, beliau adalah manusia yang sangat layak untuk disebut, dikenang, dicintai, dan didoakan oleh siapa pun yang mengenal kebenaran ajarannya.

Allahumma shalli ‘alā Sayyidinā Muhammad

***
Keterangan gambar: Diambil dari web coptichistory.  org tentang bahwa sebagian Muslim meyakini bahwa kata "Fāriqlīṭ" dalam Injil adalah nubuat tentang Nabi Muhammad SAW, namun ditukar oleh umat Kristen. Gambar ini menunjukkan manuskrip Codex Sinaiticus (abad ke-4 M), jauh sebelum masa Nabi, yang menulis kata tersebut sebagai παρακλητος (Parakletos)—berarti penolong atau penghibur, bukan Periklutos (yang terpuji). Ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan naskah setelah masa Nabi.

Codex Sinaiticus (abad ke-4 M): tertulis “Parakletos”, bukan “Periklutos”.

Makna Kata Dhi'āfa (ضعافًا) dalam Al-Qur’an(Membincang Generasi Tangguh)


Halimi Zuhdy

Dalam Al-Qur’an, terdapat satu Ayat yang sangat menarik ketika membicarakan tentang generasi masa depan, yaitu firman Allah dalam Surat An-Nisā’ ayat 9:

{وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا}

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS. An-Nisā’: 9)
Dalam Ayat ini, Allah menyebut kata "ḍhi‘afā’" (ضعافًا) yang berarti "lemah-lemah" sebagai sifat dari generasi yang ditinggalkan. Padahal, jika dilihat dari kata sebelumnya yaitu "dzurriyyah" (ذُرِّيَّةً), yang merupakan bentuk tunggal (mufrad), seharusnya kata yang cocok secara struktur adalah "ḍha‘īfah" (ضعيفة), bentuk tunggal dari "lemah".

Namun Al-Qur’an dengan kebijaksanaan bahasanya justru menggunakan bentuk jamak: ḍhi‘afā’.

Mengapa Menggunakan Jamak, Bukan Tunggal?

Inilah letak keunikan dan kedalaman bahasa Al-Qur’an. Pemilihan kata jamak "ḍi‘afā’" bukannya tanpa maksud. Di balik penggunaan bentuk jamak ini, tersimpan pesan bahwa "kelemahan generasi tidak hanya dalam satu aspek, tetapi bisa dalam banyak hal".

Generasi yang lemah bisa berarti: Lemah dalam aqidah (keyakinan), lemah dalam ilmu pengetahuan, lemah dalam ekonomi, lemah dalam politik dan kepemimpinan, lemah secara fisik dan mental, dan lemah dalam kepribadian dan adab

Jika Al-Qur’an hanya menggunakan bentuk tunggal, maka pemahamannya akan terbatas pada satu sisi kelemahan saja. Namun dengan penggunaan bentuk jamak, Allah menunjukkan bahwa generasi masa depan bisa mengalami berbagai macam kelemahan, dan itu menjadi kekhawatiran nyata bagi orang tua yang bertanggung jawab.

Kewajiban Kita: Meninggalkan Generasi Tangguh

Ayat ini sebenarnya adalah teguran sekaligus peringatan bagi setiap orang tua atau siapa pun yang memiliki peran pendidikan dan pengasuhan. Allah mengingatkan: "jika kamu takut meninggalkan generasi yang lemah, maka bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah kata-kata yang benar".

Ini bermakna bahwa "ketangguhan generasi" tidak hanya dibangun melalui materi, tapi melalui keteladanan takwa, tutur kata yang baik, dan warisan nilai yang lurus.

Maka, jika kita ingin meninggalkan generasi yang kuat, maka harus dimulai dari sekarang: dengan memperkuat pendidikan, ketahanan ekonomi, spiritualitas, dan mentalitas mereka. Sebab, tidak ada gunanya meninggalkan warisan materi yang melimpah jika generasi yang mewarisinya justru rapuh dan kehilangan arah.

Ayat ini menegaskan: jangan tinggalkan generasi yang lemah, baik secara akidah maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Al-Qur’an mengajak kita berpikir jauh ke depan: jangan hanya pikirkan diri sendiri, pikirkan pula anak-anak dan cucu kita nanti, dalam kondisi seperti apa mereka akan tumbuh dan hidup. Karena generasi tangguh tidak tercipta secara instan, tetapi dibentuk dengan kesadaran, perencanaan, dan takwa yang ditanamkan sejak awal.

Semoga anak keturunan kita menjadi generasi tangguh.🤲

Allahu A‘lam bi al-Shawab

Masjid Akbar Surabaya
1 Agustus 2025

Nabi Yunus ditelan atau dimakan ikan? (Keunikan Kata dalam Al-Qur’an: “Iltaqama/Ditelan” Bukan “Ibtala'a”)


Halimi Zuhdy

Dr. Zaghloul Al-Najjar, seorang ilmuwan muslim yang dikenal luas dalam kajian ilmiah terhadap Al-Qur’an, mengisahkan pengalamannya yang mengubah cara pandangnya terhadap satu kata dalam kisah Nabi Yunus. Beliau mengaku telah membaca kisah Nabi Yunus ratusan kali selama puluhan tahun, namun baru dua tahun terakhir ia "berhenti sejenak" dan merenungi secara serius satu frasa dalam ayat:

"فَالْتَقَمَهُ الحُوتُ"
"Lalu ikan itu menelannya."
(Surat Ash-Shaffat: 142)
Yang membuatnya berhenti adalah satu kata kunci: "فَالْتَقَمَهُ" (fa-altaqamahu) yang berarti “menelan seperti mengulum”. Ia bertanya-tanya, mengapa Allah tidak menggunakan kata “ابتلعه” (ibtala‘ahu) yang juga berarti “menelan”? Apa bedanya?

Untuk menjawabnya, beliau mulai mempelajari jenis-jenis ikan besar yang mungkin disebut “hūt” (ikan besar) dalam ayat tersebut. Ia menemukan fakta mencengangkan: ikan biru (blue whale)— makhluk laut terbesar yang pernah hidup, bahkan lebih besar dari dinosaurus. Panjangnya bisa mencapai 35 meter, dan beratnya bisa melebihi 180 ton!

Tapi yang lebih menarik: ikan ini tidak punya gigi. Ia tidak memakan hewan besar, tapi hanya plankton — makhluk mikroskopis yang mengambang di air. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, mengambil air laut beserta isinya, lalu menyaring plankton dan membuang airnya ke samping. Artinya: mulutnya bisa sangat besar, namun kerongkongannya tidak bisa menelan sesuatu yang besar. Jika ada sesuatu yang besar masuk ke mulutnya, ia tidak bisa mengunyahnya, tidak pula menelannya.

Dan di sinilah keajaiban kata “فَالْتَقَمَهُ” terasa sangat tepat. Nabi Yunus bukan ditelan habis, tetapi dikulum— seperti sesuap makanan besar yang tidak bisa ditelan maupun dikunyah. Ia terjebak di dalam mulut ikan itu, bukan lambungnya. Maka, Nabi Yunus tetap hidup — bahkan bisa berdoa, bertasbih, dan akhirnya dikeluarkan dengan selamat.

Bayangkan, di dalam mulut ikan raksasa itu, lidahnya cukup luas untuk menampung beberapa orang dewasa berdiri, tanpa terhimpit. Dan karena ikan ini bernafas dengan oksigen, setiap 15 menit ia akan naik ke permukaan, sehingga memungkinkan udara masuk, yang membuat kondisi di dalam mulutnya menyerupai ruangan luas ber-AC.

Maka, tidak berlebihan jika Al-Qur’an tidak mengatakan “ditelan” atau “dihancurkan”, tapi “dikulum”. Ini bukan hanya soal bahasa, tapi soal ilmu, anatomi, dan mukjizat penyelamatan.

Lalu, bagaimana Nabi Yunus diselamatkan setelahnya?

Allah berfirman:
"وَأَنبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِّن يَقْطِينٍ"
"Dan Kami tumbuhkan untuknya pohon dari jenis labu (yaqthīn)."
(Surat Ash-Shaffat: 146)

Labu (yaqthīn) memiliki daun yang sangat besar dan mampu menaungi tubuh Nabi Yunus yang lemah setelah berada lama dalam mulut ikan. Bahkan menurut penelitian, daun labu mengandung banyak zat antibiotik alami, sehingga menghalau serangga dan membantu pemulihan luka.

Dr. Zaghloul membandingkan ini dengan kitab Perjanjian Lama (Taurat) versi bahasa Inggris, yang menyebut pohon anggur. Namun anggur memiliki daun kecil, penuh serangga, dan tidak memiliki manfaat penyembuhan seperti labu. Maka, jelaslah bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah yang jauh lebih akurat tidak hanya secara bahasa, tapi juga secara ilmiah dan medis.

Namun, menurut Dr. Mahmud Abdullah, bahwa  mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Nabi Yunus alaihis-salām ditelan oleh ikan dan masuk ke dalam perutnya, bukan sekadar berada di mulutnya sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Zaghlul al-Najjar. Kesepakatan ini berlandaskan pada pemahaman bahasa Arab terhadap kata التقمه yang secara tegas berarti menelan, bukan menggigit atau menahan di mulut. Lebih dari itu, Al-Qur’an dengan jelas menyebut:

 "فلولا أنه كان من المسبحين للبث في بطنه إلى يوم يبعثون", "maka, sekiranya ia bukan termasuk orang-orang yang banyak berdzikir (bertasbih) niscaya ia akan tetap tinggal di perutnya sampai hari dibangkitkan." 

(QS. As-Saffat: 143–144).

Ayat ini menegaskan bahwa tempat tinggal Nabi Yunus dalam kisah tersebut adalah batn al-hūt (perut ikan), bukan mulutnya, dan hal ini menolak spekulasi ilmiah yang tidak sejalan dengan nash yang qath’i (pasti). (Mahmud Abdullah Naja)

Setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung ilmu, hikmah, dan ketepatan makna. Perbedaan antara "فَالْتَقَمَهُ" dan "ابتلعه" bukan sekadar pilihan kata, melainkan kunci bagi pemahaman, keselamatan, dan mukjizat. Semakin dalam kita tadabbur, semakin kita yakin tak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang sia-sia.

***
Marja'
Maqalah "Limadza Qaulaallah Fal Taqamahu Al-Hut" Dr. Zaghlul

Menyelami Keterpaduan/Tanasub Ayat Al-Qur'an (Contoh Awal dan Akhir Surat Al-A'raf)

Halimi Zuhdy

Beberapa orang, baik yang awam maupun yang skeptis, mungkin menganggap Al-Qur’an sebagai kitab nasihat yang terpotong-potong, seolah-olah isinya hanya kumpulan pesan moral yang tidak saling berkaitan. Tapi kenyataannya, para ulama terdahulu sudah sejak lama membahas tanāsub, keterkaitan antara Ayat dengan Ayat, dan antara Surah dengan Surah. 
Ini bukan hal baru. Tetapi, generasi terus tumbuh. Walau sudah lama dikaji dan sudah banyak sumber yang menjelaskan (contoh Tanasub Ayat), masih banyak yang bertanya-tanya dan juga mungkin menolak akan keserasian Al Qur'an.  Bahkan menganggap Al-Qur'an tidak jelas, karena tidak ada judulnya, into pokoknya dan lainnya, yang disamakan dengan makalah, jurnal ilmiah atau buku-buku ajar. 

Dalam beberapa maraji', seperti "Min Lathaif Al-Qur'an Tanasub Al-Suwar, Dr. Al-Turk", "Tanasuq al-Dirar fi Tanasub al-Suwar", "Tadabbur Maqashi suwar Al-A'raf" dan beberapa kitab dan jurnal, menjelaskan tentang tanasub dalam Surat Al'Raf. Sering kali kita (maaf, kalau yang tidak termasuk Anda🤩🙏) membaca Al-Qur’an seolah-olah setiap Ayat berdiri sendiri, tanpa kita menyadari bahwa setiap bagian dari Kitab ini saling menjalin dan menyempurnakan. Namun, siapa sangka bahwa bahkan antara pembuka dan penutup sebuah surah, terdapat keserasian yang mengagumkan sebuah orkestra makna yang selaras dan tak mungkin terjadi tanpa kebijaksanaan Ilahiah.

Menarik, mari kita perhatikanlah Surah al-A‘rāf. Surah ini dibuka dengan firman Allah:

"المص. كِتَابٌ أُنْزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ، لِتُنْذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ" 

"Alif Lam Mim Shad. (Inilah) sebuah kitab yang diturunkan kepadamu (wahai Muhammad), maka janganlah ada kesempitan di dadamu karenanya, agar engkau memberi peringatan dengannya, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman."
(QS. Al-A‘rāf: 1-2)

Lalu perhatikan bagaimana Allah menutup surah ini dengan perintah yang sangat relevan:

"وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا، لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ"
"Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat."
(QS. Al-A‘rāf: 204)

Menariknya, Awal surah menegaskan bahwa Al-Qur’an ini diturunkan sebagai peringatan. Akhirnya menegaskan sikap yang seharusnya diambil terhadap peringatan itu: dengarkan (isma', sam') dan diamlah (anshitu), agar rahmat menyelimuti. Inilah harmoni yang tersembunyi namun nyata bagi mendabburonya. 

“القرآن كله كالكلمة الواحدة”
“Al-Qur’an secara keseluruhan seperti satu kata yang utuh.” 

Artinya, tidak ada satu pun bagian dari Al-Qur’an yang terpisah tanpa hubungan logis dan spiritual dengan bagian lainnya. Ini bukan buku biasa, ini adalah struktur yang kokoh dan presisi ilahi yang tak tertandingi.

Konsep tentang "القرآن كله كالكلمة الواحدة" menggambarkan betapa erat dan harmonisnya susunan ayat-ayat Al-Qur’an, baik dalam satu surat maupun antar surat. Para ulama seperti Al-Zarkasyi dan Asy-Syathibi menegaskan bahwa hubungan ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah kebetulan, melainkan satu jaringan makna yang saling mendukung dan menjelaskan, sehingga Al-Qur’an tampak seperti satu kata yang utuh, padat makna, dan rapi susunannya. Al-Zarkasyi mengutip bahwa memahami keterkaitan antar ayat merupakan ilmu besar yang hanya digeluti segelintir ulama. Sementara Asy-Syathibi menyatakan bahwa sebagian ayat tidak bisa dipahami secara utuh kecuali dengan merujuk pada ayat lain, baik dalam surat yang sama atau berbeda. Maka, dari sudut pandang ini, Al-Qur’an bukan sekadar kumpulan ayat dan surat, tapi merupakan satu kesatuan utuh dalam struktur dan tujuan, menjadikannya seperti satu kata yang sempurna dalam bentuk dan makna. (Idza'ussunah)

Kesesuaian antara awal dan akhir Surah Al-A‘rāf ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh bagaimana Al-Qur’an memiliki bangunan internal yang rapi dan saling menguatkan. Jika ini adalah hasil karangan manusia, tentu tidak akan ada kesinambungan yang begitu halus dan bermakna. Bahkan penulis ulung pun akan kesulitan mempertahankan keselarasan semacam ini dalam satu buku besar yang terdiri dari ratusan halaman.

Allahu'alma Bishawab

Gambar:
Surat Al-A'raf WIkipedia Arab khat kufi

Mengapa "al-Bashar/البصر" Didahulukan atas "Al-Sam'a/السمع" dalam Surat Al-Kahfi?

Halimi Zuhdy

Dr. Fadhil Al-Samarrai dalam Al-Lamasat Al-Bayaniyah menjelaskan bahwa kebanyakan Ayat Al-Qur’an mendahulukan pendengaran atas penglihatan karena pendengaran lebih penting dalam menerima informasi, bahkan orang buta masih dapat mendengar sementara orang tuli sulit memahami pesan. Namun, dalam Surat Al-Kahfi, Ayat ke 26 termaktub أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ urutannya dibalik karena konteks kisah Ashabul Kahfi: mereka bersembunyi di kegelapan gua, menjaga diri "agar tidak terlihat" oleh kaumnya, sehingga pada situasi ini penglihatan lebih utama daripada pendengaran.
Jika kita membaca Al-Qur’an secara keseluruhan, kita akan menemukan bahwa urutan yang paling sering muncul adalah "pendengaran" lebih dulu daripada "penglihatan". Contohnya, “سَمِيعٌ بَصِيرٌ” atau “وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ”. Hal ini masuk akal, sebab secara biologis, pendengaran bekerja lebih dulu dalam perkembangan manusia, dan dari sisi fungsi, informasi sering kali lebih cepat diterima lewat telinga. Bahkan, orang buta masih dapat menerima pesan dengan sempurna lewat suara, sedangkan orang tuli kesulitan memahami pesan yang bersifat visual tanpa bantuan tambahan. Dalam, kajian bahasa atau dalam pembelajaran bahasa, maka pendengaran (istima') lebih didahulukan, seperti anak kecil dalam belajar berbicara. 

Namun, menariknya, pada Ayat di atas justru البصر (penglihatan) didahulukan atas السمع (pendengaran). Mengapa?

Jawabannya terletak pada konteks kisah. Ayat ini berbicara tentang para pemuda Ashabul Kahfi yang melarikan diri dari kaumnya dan bersembunyi di dalam gua. Mereka menjauh dari pandangan orang, masuk ke “ظُلْمَة الكهف” (gelapnya gua), dan berusaha agar tidak terlihat oleh siapa pun. Dalam kondisi seperti itu, peran penglihatan menjadi krusial: memastikan bahwa tak seorang pun melihat mereka, dan bahwa tempat persembunyian aman dari pandangan musuh. Demikian pendapat Dr. Fadhil, dalam Al- Lamasat Al Bayaniyah

Dengan kata lain, di sini prioritasnya adalah “jangan sampai terlihat”, bukan “jangan sampai terdengar”. Bahkan, Allah menggambarkan seolah-olah Dia sedang “menyuruh” kita untuk memperhatikan betapa tajamnya penglihatan-Nya terhadap mereka: أبصر به — lihatlah bagaimana Dia melihat, lalu disusul وأسمع dan betapa Dia mendengar.
Maka, susunan kata ini bukanlah kebetulan, melainkan keindahan retorika Al-Qur’an (balghatul Qur'an) yang mempertimbangkan konteks cerita (Qishah). Dalam suasana gua yang gelap dan tersembunyi, urutan al-bashar/البصر lalu al-sam'a/السمع terasa sangat logis. Ayat ini mengajarkan bahwa setiap pilihan kata dalam Al-Qur’an punya alasan tersendiri, tidak hanya dari sisi bahasa, tapi juga dari sisi situasi yang sedang dibicarakan.

Allahu'alam Bishawab

Siapakah Mereka yang "Tidak Takut" dan "Tidak Bersedih" dalam Al-Qur'an?

Halimi Zuhdy

Rasa takut dan sedih adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, bila keduanya terus-menerus menghuni hati dan pikiran, kehidupan kita akan terasa berat dan terganggu. Ketenangan (mutmainnah) dan kebahagiaan (farah) yang menjadi dambaan setiap manusia akan menjauh. Padahal, kedua hal inilah yang sebenarnya kita inginkan. Lalu, bagaimana jika ketenangan dan kebahagiaan itu hilang hanya karena rasa takut dan sedih tidak pernah pergi dari hidup kita?
Dan, bayangkan jika hidup ini dijalani tanpa rasa takut akan masa depan dan tanpa kesedihan akan masa lalu, betapa tenteramnya hati. Ternyata, dalam Al-Qur’an, Allah menyebut ada 11 (sebelas) golongan yang memperoleh jaminan istimewa itu. Mereka bukanlah tokoh dongeng atau manusia tanpa ujian, tetapi orang-orang nyata yang mengisi hidupnya dengan iman, ketaatan, dan kebaikan. Setiap golongan memiliki ciri khas yang membuat mereka layak mendapat perlindungan langsung dari Allah: hati mereka teguh, amal mereka bersih, dan tujuan hidup mereka jelas. Pertanyaannya, siapakah mereka? Mari kita telusuri satu per satu sebagaimana Allah jelaskan dalam kitab-Nya.

1. فَمَن تَبِعَ هُدايَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 38)

2. مَن ءامَنَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الآخِرِ وَعَمِلَ صالِحًا فَلَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani, dan orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)

3. مَن أَسلَمَ وَجهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحسِنٌ فَلَهُ أَجرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sedang dia berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 112)

4. الَّذينَ يُنفِقونَ أَموالَهُم في سَبيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتبِعونَ ما أَنفَقوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan tidak pula menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 262)

5. الَّذينَ يُنفِقونَ أَموالَهُم بِاللَّيلِ وَالنَّهارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi maupun terang-terangan, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 274)

6. إِنَّ الَّذينَ ءامَنوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَءَاتَوُا الزَّكاةَ لَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِّهِم وَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berbuat kebajikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 277)

7. وَلا تَحسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلوا في سَبيلِ اللَّهِ أَمواتًا بَل أَحياءٌ عِندَ رَبِّهِم يُرزَقونَ ،، فَرِحينَ بِما ءاتاهُمُ اللَّهُ مِن فَضلِهِ وَيَستَبشِرونَ بِالَّذينَ لَم يَلحَقوا بِهِم مِن خَلفِهِم أَلّا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

 Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka bergembira dengan karunia yang Allah berikan kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Ali 'Imran: 169-170)

8. فَمَن ءامَنَ وَأَصلَحَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Maka barang siapa beriman dan memperbaiki diri, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-An’am: 48)

9. فَمَنِ اتَّقى وَأَصلَحَ فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Barang siapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-A’raf: 35)

10. أَلا إِنَّ أَولِياءَ اللَّهِ لا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Yunus: 62)

11. إِنَّ الَّذينَ قالوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ استَقاموا فَلا خَوفٌ عَلَيهِم وَلا هُم يَحزَنونَ
 
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Ahqaf: 13)

Janji Allah ini bukan untuk semua orang, tetapi untuk mereka yang menjaga iman, amal, dan hubungan dengan-Nya. Tidak takut berarti tenang menghadapi masa depan; tidak bersedih berarti lapang dada atas masa lalu. Dunia boleh saja penuh ujian, tapi hati mereka teduh karena Allah yang menjamin. Maka, jangan sekadar membaca daftar ini  berjuanglah untuk menjadi salah satu di antara mereka.

***
Sumber Gambar
Al-Qur'an, Terjemah Kementerian Agama RI
Hifdzul wa kharaith al-dziniyyah lil Quran

Trevel, Kuliner, dan Wisata

فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

 "Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya" Surah Al-Mulk.

Ayat 15 mengajarkan bahwa menjelajahi bumi adalah bentuk syukur atas nikmat Allah, sekaligus kesempatan menikmati rezeki yang tersebar di berbagai penjuru, termasuk kekayaan kuliner khas daerah. Traveling bukan hanya untuk melepas penat, tetapi juga menjadi sarana memperluas wawasan, menambah ilmu, dan menguatkan iman. 
Seperti Ibnu Batutah yang menjadikan perjalanan sebagai sumber ilmu dan hikmah, seorang Muslim dapat menjadikan traveling dan mencicipi kuliner lokal sebagai ladang pahala dengan niat yang lurus, menjauhi yang haram, serta mengisi perjalanan dengan zikir dan syukur. Dengan begitu, setiap langkah dan suapan pun menjadi ibadah yang menghidupkan hati.

***

Ketika pemakai sarung dan songkok menjadi satu-satunya peserta yang akan menaiki Balon 
Udara di Cappadocia. 🤩

Jumat, 18 Juli 2025

Menilik Asal Kata "Dakwah" dan Falsafahnya


Halimi Zuhdy 

Kemenag Kota Malang menghadirkan 100 Da'i Daiyah Kota Malang dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, LDII, dan lainnya dengan badan-badan otonomnya yang bergerak dalam dakwah, Muslimat, Fatayat, Aisyiah, Nasyatul Aisyiah, LDNU, IPNU, IPPNU, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Acara ini dibingkai "Pembinaan Dai Daiyah Tingkat Kota Tahun 2025". 
Menarik dalam pembukaan acara yang disampaikan oleh KH. Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang "Dai dan Daiyah harus sudah selesai dengan dirinya" kalimat ini cukup dalam, bagaimna seorang dai daiyah sudah selesai dengan dirinya, artinya kebutuhan keilmuan agamanya, emosinya, akhlaknya dan lainnya, walau memang harus terus belajar. Demikian juga apa yang disampaikan oleh KASI BIMAS Islam Kemenag, Ustadz Ahmad Hadiri, M.Ag, bahwa visi dai adalah memperbaiki umat, bukan sebaliknya, mengantarkan umat pada kebaikan-kebaikan, dan acara di atas sebagai ajang silaturahim dan memperkuat kesatuan para dai daiyah Se Kota Malang menuju satu gerakan, "memperbaiki umat"

Toyyib. Tadi pagi, sebelum memberikan materi tentang peluang dan tantangan Dai Daiyah di Era Gigital, sekilas saya menyampaikan tentang asal usul kata "Dakwah" beserta derivasinya. Karena, tidak sedikit orang atau juga dai yang memahami bahwa dakwah hanya sebagai "ceramah" atau ajakan lisan semata. Padahal, bila kita menelusuri lebih dalam, baik dari sisi bahasa Arab maupun pemaknaan istilahnya dalam Islam, dakwah (الدعوة) adalah konsep yang jauh lebih kaya dan mendalam. 
Pemahaman yang benar tentang asal katanya akan memperkaya cara kita memandang dan menjalankan misi dakwah itu sendiri. Secara bahasa, الدعوة berasal dari akar kata kerja دعا – يدعو – دعوةً, yang berarti “memanggil”, “mengajak”, atau “menyeru”. Orang yang melakukannya disebut داعية, dan dalam bentuk jamak disebut دعاة. Dari sinilah kita mengenal istilah dai atau pendakwah dalam bahasa Indonesia. (Kamus Ma'ani). 

Menariknya, para ahli bahasa Arab (lugawiyun) mengungkapkan bahwa kata الدعوة dalam penggunaannya memiliki banyak makna. Tidak hanya berarti ajakan, tetapi juga bisa bermakna: النداء (seruan), الطلب (permintaan), الدعاء (doa atau permohonan kepada Allah), الاستمالة (usaha untuk menarik hati seseorang), sebagaimana dikatakan oleh az Zamakhsyari: "دعوت فلاناً وبفلان ناديته وصحت به" "Aku memanggil si Fulan, menyerunya dan bersuara keras kepadanya." (dalam Asasul Lughah). 
 Sedangkan Al-Razi juga menambahkan "والدعوة إلى الطعام بالفتح، أي كنا في دعوة فلان"  "kata الدعوة jika dibaca fathah berarti undangan, seperti dalam kalimat 'kami berada dalam undangan si Fulan'." Dari sini kita memahami bahwa dakwah adalah aktivitas aktif untuk memanggil, menyeru, bahkan menarik simpati orang lain kepada sesuatu yang dianggap benar dan penting.

Dalam perspektif Islam, makna الدعوة tidak berhenti pada tataran bahasa. Secara istilah, kata ini berkembang menjadi dua makna besar: (1) Dakwah sebagai sinonim dari Islam itu sendiri, yaitu ketika الدعوة merujuk kepada agama Allah yang dibawa para nabi, sebagaimana disebut dalam salah satu definisi:"هي دين الله الذي بعث به الأنبياء جميعاً..." "Ia adalah agama Allah yang diutus bersama semua nabi..."

Sedangkan yang 2) Dakwah sebagai proses menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam. Dalam makna inilah, dakwah menjadi misi para ulama, dai, pendidik, bahkan siapa pun yang berusaha menghadirkan Islam di tengah umat manusia. Selain itu, dakwah juga dimaknai sebagai "الحث على فعل الخير واجتناب الشر، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر..." "Dorongan untuk berbuat baik, menjauhi keburukan, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."

Maka, melihat keluasan makna ini, menjadi jelas bahwa dakwah bukan hanya pekerjaan lisan atau podium, tetapi misi hidup yang mencakup seluruh aspek ajakan kepada kebaikan, nilai, akhlak, dan tauhid. Bahkan ketika seseorang menulis kebaikan, membantu sesama, atau memberikan teladan dalam perilaku sehari-hari, itu pun bagian dari dakwah. Apalagi jika kita menilik salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan suasana penghuni surga: دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  [Yunus: 10] "Seruan mereka di dalamnya adalah 'subhanakallahumma'..." Ini menunjukkan bahwa dakwah juga bisa bermakna doa, seruan, atau ekspresi ketundukan kepada Allah, dan bukan semata-mata ajakan kepada orang lain.

Oh ia, dalam penggunaannya juga vareatif  dan tergantung konteksnya. Kata الدعاء juga berarti memanggil atau memohon. Menurut Imam az-Zabidi, الدعاء dengan dhammah di awal dan huruf panjang di akhir, bermakna permohonan atau kerinduan kepada Allah atas kebaikan yang ada di sisi-Nya, disertai dengan pengharapan dan permintaan, sebagaimana dalam firman Allah:  ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً  (Al-A’raf: 55). Sementara itu, menurut Ibnu Faris, sebagian orang Arab menyebut الدعوة dalam bentuk muannast dengan tambahan alif di akhir menjadi الدعوى. 

Kata الدعوى juga digunakan dalam doa, seperti dalam ungkapan kaum muslimin: اللهم أشركنا في دعوى المسلمين yang berarti "Ya Allah, sertakan kami dalam doa kaum muslimin". Dalam Al-Qur’an, bentuk ini juga muncul dalam Ayat:  دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ  (Yunus: 10), yang menunjukkan bahwa seruan atau doa mereka di surga adalah bentuk pengagungan kepada Allah. Dengan demikian, kata الدعاء dan الدعوى memiliki akar makna yang sama, yaitu menyeru atau memohon, namun penggunaannya dapat berbeda tergantung konteks.

Allahua'lam bishawab

Semangat Membara Para Ulama



Ketika ramai tentang Iran dengan nuklirnya. Saya menemukan kutipan dan tulisan menarik dari Dr. Nuri dalam Tahqiq Al-Makhtuthat, tentang ulama masyhur, yang menulis kitab dalam keadaan di penjara dan dirantai. Kondisi yang sungguh musykil, tapi bagi pecinta ilmu, tidak ada yang tidak masuk akal. Sesuatu akan dilakukan, walau dalam kondisi tidak memungkinkan bagi orang biasa. Beliau seorang syair (penyair), muarrikh (sejarawan), katibus sair (penulis biografi), lahir di Yazid, Iran. Qutbut ad-Din al Yazdi. 
Dr. Nuri bercerita, bahwa dalam sebuah atsar yang terkenal disebutkan, "Ada dua orang yang tak pernah kenyang: pencari ilmu dan pencari harta." Kalimat ini menggambarkan betapa dahsyatnya gairah jiwa manusia dalam mengejar dua hal yang sangat berbeda arah; ilmu dan harta. Namun, yang pertama memiliki cahaya; dan siapa pun yang dikaruniai cinta terhadap ilmu serta semangat untuk mencarinya, maka tak ada yang bisa menghalangi langkahnya. Tidak derita, tidak pula kerasnya ujian hidup.

Dalam warisan peradaban kita, tak terhitung kisah ulama yang membuktikan hal itu. Di antara yang patut kita kenang dengan penuh takzim adalah sosok Qutb al-Din al-Yazdi. Ia bukan hanya seorang penyalin, tapi seorang pencinta ilmu sejati yang menorehkan tinta pengetahuan di tengah derita, saat dirinya terpenjara.

Saya pernah menemukan sebuah naskah tafsir al-Baydawi yang ditulis tangan oleh Qutb al-Din al-Yazdi. Naskah itu bukan ditulis di ruang studi yang lapang atau rumah yang tenang, tapi di dalam penjara, dengan tubuh terbelenggu rantai dan tangan yang menyalin dengan penuh kesabaran. Bayangkan, beliau menjalani dua belas tahun masa tahanan, dan di tengah belenggu itulah beliau tetap menulis, menyalin, dan menggali ilmu. Sungguh, inilah makna dari semangat yang agung himmatun 'āliyyah yang tak dikerdilkan oleh waktu dan keadaan.

Pada akhir naskah itu, yang kini tersimpan di perpustakaan Yozgat di wilayah Sulaimaniyah, Istanbul (no. 45), Qutb al-Din mencatat sebuah pengakuan menggetarkan hati. Ia menulis:

"Telah selesai penyalinan tafsir ini di tangan hamba yang tertawan, hamba yang fakir kepada Allah Subḥānah Qutb al-Din bin 'Ali al-Yazdi, dalam penjara salah satu benteng kaum Rūm, dalam keadaan terbelenggu dengan rantai dan besi di sebagian besar waktunya, setelah dua belas tahun masa penahanan berlalu. Aku memohon kepada Allah Ta‘ālā yang Maha Mengganti segala keadaan, agar mengubah keadaanku menjadi keadaan yang lebih baik dan memberiku keselamatan dari negeri penyesalan dan siksa. Tercatat pada hari Senin, tanggal tujuh belas bulan Jumadil Awwal tahun 931 Hijriah."

Betapa mendalam doanya, dan betapa luas cakrawala harapan yang ia bentangkan dalam kesempitan penjara. Ia tidak hanya menulis tafsir, tapi juga menulis jejak iman, tekad, dan cinta ilmu yang tak layu oleh siksaan.

Semoga Allah merahmati Qutb al-Din al-Yazdi, mengangkat derajatnya, dan menempatkannya di taman surga yang luas.

_
Semoga kita selalu diberikan waktu oleh Allah untuk membarakan ilmu, mencarinya dan mengamalnya. 

***
Tulisan di atas saya nukil dari tulisan Dr. Nuri Al-Misawi dalam Tahqiqul Mahtuthat

Halimi Zuhdy

Ailah, Di sinilah Kaum Yahudi dikutuk menjadi Kera.



Halimi Zuhdy

Ketika membuka Surat Al-Syuara' (para penyair) mendapatkan beberapa kalimat yang sama dan diulang empat kali, yaitu kata Akhuhum (saudara mereka). Dan setelah kata ini, disebutkan nama Nabi. Dari Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, dan Nabi Luth. Lahum Akhuhum Nuh, Lahu Akhum Hud, Lahum Akhuhum Shaleh, Lahum Akhum Luth. Ada juga Nabi yang disebut dalam Surat ini, tapi tidak didahului dengan kata Akhuhum, yaitu Nabi Suaib. 
إذ قال لهم شعيب ولم يقل أخوهم شعيب ; لأنه لم يكن أخا لأصحاب الأيكة في النسب ، فلما ذكر مدين قال : أخاهم شعيبا ; لأنه كان منهم . وقد مضى في ( الأعراف ) القول في نسبه . قال ابن زيد : أرسل الله شعيبا رسولا إلى قومه أهل مدين ، وإلى أهل البادية وهم أصحاب الأيكة ; وقاله قتادة وقد ذكرناه . ألا تتقون تخافون الله

Kenapa Nabi Syuaib tidak disebut "saudara mereka"? Karena menurut banyak mufassir, Nabi Syu‘aib bukan berasal dari kaum ashḥāb al-aykah secara nasab, meskipun ia diutus kepada mereka. Maka secara bahasa tidak menyebutnya “saudara mereka”. (Akhuhum).  

Terus apa hubungannya dengan nama-nama kota  di atas? Aila, Madyan dan Aikah?. Toyyib. Lima Nabi di atas, berada dekat dengan kota Ailah, yaitu Madyan dan Aikah. Dan kedua tempat ini memiliki sejarah panjang dalam kisah kenabian. Maka, untuk menelusuri kisah anbiya tentang Ailah, dapat ditilik dari beberapa kota yang berdekatan dengan Ailah. 

Ailah,  yang mungkin jarang didengar, tapi kota ini masih ada sampai sekarang. Dan diyakini (dalam beberapa sumber) sebagai tempat dimana orang-orang Yahudi dikutuk menjadi kera. Dan kisah ini cukup mengguncang sampai hari ini, dan dikaitkan dengan banyak hal dan juga banyak tafsir.  Sebuah peristiwa yang lebih dari sekadar keajaiban ia adalah tamparan keras bagi hati yang lalai.

فَلَمَّا عَتَوْاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina." (SQ Al-A'raf: 166)

Terus benarkah ia terjadi? Mayoritas ulama bersepakat, bahaa peristiwa itu benar-benar terjadi. Mereka bukan hanya sekadar berperilaku seperti binatang, tetapi tubuh mereka benar-benar berubah menjadi wujud kera. Mengapa kera? Karena kera adalah makhluk yang bentuknya paling mirip manusia, namun perilakunya tak lebih dari hewan yang bergerak atas naluri semata. Bentuk manusia, jiwa binatang.

Ibnu ‘Āsyūr, seorang mufasir, menyebut bahwa perubahan itu bukan hanya perubahan bentuk, tetapi bisa juga berarti perubahan akal dari akal manusia yang mulia, menjadi cara berpikir seekor kera yang tak memahami makna, hanya mengikuti gerak naluri. Ini pula yang menjadi tafsiran dari Mujāhid, bahwa yang dimaksud dengan “menjadi kera” bukanlah tubuh yang berubah, tapi hati dan akal yang sudah rusak. Namun, kebanyakan ulama melihatnya sebagai perubahan nyata, bahwa tubuh manusia, menjadi tubuh kera, namun dengan kesadaran manusia yang masih ada. Siksaan yang bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga secara batin.

Dan tidak berhenti di situ. Sebagian dari mereka bahkan dihukum lebih hina lagi menjadi babi. Bentuk yang menjijikkan, tabiat yang rendah, sebagai simbol dari kehinaan syahwat yang dilepaskan tanpa kendali. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa para pelanggar hari Sabtu yakni mereka yang menipu aturan Tuhan demi keuntungan dunia diubah menjadi kera. Sementara yang lainnya, seperti kaum yang mengingkari hidangan dari langit pada masa Nabi ‘Īsā, diubah menjadi babi. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, yang muda-muda berubah menjadi kera, dan yang tua-tua menjadi babi. Sebuah simbol bahwa kerusakan moral dan agama tak mengenal usia.

Syekh Muhammad ‘Abduh, dalam tafsirnya, menyebut bahwa pelanggaran itu terjadi karena mereka lebih mencintai dunia daripada mentaati Tuhan. Hari Sabtu yang seharusnya menjadi waktu untuk membersihkan jiwa dari kerak dunia, justru mereka rusak demi mengejar harta. Maka, pantaslah jika balasannya adalah dikeluarkan dari derajat kemanusiaan dan dilemparkan ke dalam kenistaan sifat-sifat hewani.

Terus di mana Ailah, posisi hari ini? Apakah penduduknya mirip kera, atau kota ini sudah benar-benar berubah menjadi kota lain dan manusia atau kerutunannya juga sudah berganti? Atau sudah dibinasakan semuanya? 

2# Aila, Madyan dan Aikah

Dalam Bahasa Arab, satu huruf bisa menjadi sebuah kalimat perintah?


Di antara keindahannya, ada sisi yang jarang kita dengar: dua puluh fi‘l amr (kata kerja perintah) yang hanya terdiri dari satu huruf saja. Iya, satu huruf. Tapi maknanya luas dan dalam.

Dan yang menarik, hampir semuanya dibaca dengan harakat kasrah, kecuali satu: huruf "رَ" dari kata "رأى" (melihat). Ia dibaca dengan fathah, seakan mengisyaratkan bahwa melihat itu membuka, menyibak, dan menyadarkan. 😁
Semuanya ditulis oleh Ahmad Taimur Pasha (wafat 1348 H) dalam kitab pilihan beliau, dan juga tercantum dalam kitab “Lijam al-Aqlam” karya Abu Turab az-Zahiri.

Berikut dua puluh fi‘l amr yang hanya satu huruf:

1. إِ – dari kata "وأى": artinya berjanjilah
2. تِ – dari "أتى": artinya datanglah
3. ثِ – dari "وثى": maksudnya melaporkan kepada penguasa
4. جِ – dari "وجى": artinya potonglah
5. حِ – dari "وحى": artinya sampaikanlah wahyu atau isyarat
6. خِ – dari "وخى": artinya berniat atau menujulah
7. دِ – dari "ودى": artinya bayarlah diyat
8. رَ – dari "رأى": lihatlah
9. رَ – dari "ورى": artinya rusakkan dari dalam
10. سِ – dari "وسى": artinya cukurlah
11. شِ – dari "وشى": artinya hias atau ukirlah (seperti pada kain)
12. صِ – dari "وصى": artinya sambungkanlah
13. عِ – dari "وعى": artinya ingat dan kumpulkan
14. فِ – dari "وفى": artinya tepati janji
15. قِ – dari "وقى": artinya lindungilah
16. كِ – dari "وكى": artinya ikatlah atau tutuplah
17. لِ – dari "ولى": artinya pimpinlah
18. مِ – dari "ومى": artinya tunjuklah dengan isyarat
19. نِ – dari "ونى": artinya istirahatlah atau lelahkan
20. هِ – dari "وهى": artinya melemahkan atau melemas

Apa pedannya😁 di zaman yang sibuk dan penuh bising ini, mungkin kita bisa belajar dari bahasa Arab, bahwa kekuatan tidak selalu datang dari panjangnya kata, tapi dari ketepatan dan kedalaman maknanya. Sedikit, tapi bermakna. Satu huruf, tapi membuka banyak hal. Toyyib.

KH. Muhammad Jailani Nasri, Penulis Profuktif dari Brumbung #1


Halimi Zuhdy

Membaca karya KH. M. Jailani Nasri dari Brumbung serasa menemukan harta karun yang lama tersembunyi. Nilainya bukan hanya pada lembaran kertas tua dan tinta hitam yang mulai pudar, tapi pada kedalaman isi yang menyejukkan jiwa, membuka cakrawala hati dan pikiran. 
Dua kitab dari beberapa kitab yang berhasil ditemukan Majmū‘atu al-Faḍā’il dan Asliḥatu al-Madārij menjadi bukti nyata bahwa di balik kesunyian kampung kecil, ada suara ilmu yang pelan namun dalam, mengalir dari seorang alim yang tidak banyak bicara, tapi meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu. 

Kitab Majmū‘atu al-Faḍā’il, Faiḍatul Ghufrān fī Faḍīlatil Qur’ān wa Tāliyah Minḥatul Ghaffār fī Faḍīlatil Istighfār wa Ba‘dahā Milḥatul Da‘awāt fī Faḍīlatish Shalawāt, disusun dalam bentuk nadham atau syair-syair ringkas yang padat makna. Di dalamnya terkumpul berbagai keutamaan amal dari membaca Al-Qur’an, memperbanyak istighfar, hingga bershalawat semuanya ditopang dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang shahih.

Yang menarik, kitab ini tidak hanya menampilkan nadham dalam bahasa Arab, tapi juga dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Madura. Ini menjadikannya akrab di telinga masyarakat kampung (terutama Brumbung, Desa Prenduan dan desa Aengpanas) dan sering dibaca di berbagai "kompolan" atau majelis rutin di desa-desa. Bahasa yang sederhana, namun maknanya merasuk.
Meski KH. Jailani Nasri bukan sosok yang sering muncul di mimbar besar, ilmunya tetap hidup lewat karya-karyanya. Tidak banyak yang menulis tentang beliau, tapi orang-orang yang pernah dekat dengannya tahu betul siapa beliau. Seorang alim yang tenang, tak banyak bicara, tapi meninggalkan cahaya ilmu yang nyata. 

Nama Jailani yang kita kenal, sejatinya adalah nama yang ditambahkan oleh KH. Ilyas Syarqawi, sehingga menjadi Muhammad Jailani. Beliau adalah santri dari pondok tua, Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau berguru langsung kepada KH. Abdullah Sajjad dan KH. M. Ilyas Syarqawi. Pernah tinggal di ndalem Temur (Late) dan ndalem Berek (Lubangsa).  disebut KH. Rumhol Islam. (Bersambung di #3: Tirakat di Pesantren).
Saya masih teringat wajahnya yang tenang dan teduh. Hidupnya bersahaja. Dulu saya tidak tahu, bahwa sosok sepuh itu diam-diam menyimpan begitu banyak karya. Hingga suatu hari, Abah saya, K. Achmad Zuhdy, pernah berkata, “Di Brumbung, hanya KH. M. Jailani yang menulis kitab. Beliau orang alim. Saya belum melihat yang seperti beliau di kampung ini.”

Senada dengan itu, KH. Nur Zaini menyebut, “Beliau bukan hanya penulis kitab, beliau itu Habibi-nya Brumbung (BJ. Habibi). Sepertinya ada tujuh kitab yang beliau tulis sendiri.”
Salah satu karya lainnya adalah Asliḥatul Madārij, sebuah terjemahan dalam bahasa Madura dari kitab klasik Alfiyah Ibnu Mālik. Kitab ini ditulis atas permintaan langsung dari KH. Waqit Khazin, hasil dari musyawarah asatidz. Terdiri dari beberapa jilid, kitab ini dulu pernah dijual di koperasi Annuqayah, harganya hanya 500 rupiah. (#4 keunikan Kitab Aslihatul Madarik)

"Kyai Habib Kalabeen, Guru saya, juga pernah belajar Faraidh pada Kyai Jailani, bahkan kyai Habib dawuh, bahwa beliau itu bukan hanya alim tapi allamah, dan cerita ini saya dapat dari Kyai Sedekah, teman sekelas beliau " kata KH. Ahamad Fauzi 

Karya beliau bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungi. Ia menjadi semacam wasiat abadi dari seorang alim kampung untuk generasi sesudahnya bahwa ilmu tidak harus lahir dari panggung besar, tapi bisa tumbuh di lorong-lorong sunyi, di kampung-kampung kecil, dari hati yang tulus, pena yang jujur, dan niat yang bersih.

Bersambung...
#2 Keterbatasan yang Melahirkan Karya

Kamis, 17 Juli 2025

Mengapa Kekerasan Masih Terjadi di Pondok Pesantren?


Pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang melahirkan generasi berakhlak, berilmu, dan beradab. Namun, realitas di lapangan tidak selalu seideal yang dibayangkan. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kasus kekerasan di lingkungan pesantren baik fisik, verbal, maupun psikologis masih terus bermunculan. Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan serius: mengapa kekerasan masih terjadi di pesantren?


1. Kekerasan yang Diwariskan Sebagai Tradisi

Salah satu akar utama adalah budaya senioritas yang diwariskan secara turun-temurun. Santri senior yang dulu menjadi korban kekerasan, sering kali berubah menjadi pelaku ketika mendapat posisi atau kuasa. Kekerasan dianggap sebagai “ujian mental” atau “proses pendewasaan”. Narasi ini berbahaya, karena menjadikan kekerasan sebagai tradisi yang dilegalkan, bukan disadari sebagai penyimpangan.

2. Minimnya Sistem dan Aturan Pencegahan

Banyak pesantren tidak memiliki kebijakan tertulis yang jelas tentang pencegahan kekerasan atau perundungan. Tanpa sistem yang kuat, pengawasan menjadi lemah, dan kekerasan kerap dianggap sebagai “urusan internal” yang tidak perlu dicampuri. Hal ini membuat kasus kekerasan sulit terdeteksi, dan pelaku tak tersentuh.

3. Komunikasi yang Kaku dan Satu Arah

Dalam sebagian pesantren, hubungan antara pengasuh dan santri masih bersifat sangat formal dan satu arah. Santri enggan melapor karena takut dianggap melawan, durhaka, atau kurang tawadhu’. Kurangnya ruang aman untuk berbicara dan menyampaikan keluhan membuat masalah kekerasan tersembunyi dan terus berulang.

4. Kurangnya Pendidikan Karakter bagi Pengurus dan Senior

Ironisnya, meskipun pesantren mengajarkan ilmu agama, tidak semua pembina dan senior memiliki kecakapan dalam mendidik dengan pendekatan psikologis dan empatik. Sebagian besar hanya melanjutkan pola yang ada: keras agar dituruti, tegas agar disegani, tanpa membedakan antara kedisiplinan dan kekerasan.

5. Ketiadaan Aktivitas Positif Pengganti

Ketika waktu santri hanya dipenuhi dengan rutinitas yang monoton dan tekanan belajar yang tinggi, mereka bisa mengalami kejenuhan dan stres. Dalam situasi itu, kekerasan bisa muncul sebagai pelampiasan emosi atau bentuk dominasi sosial. Minimnya aktivitas kreatif dan pengembangan diri menjadi celah munculnya perilaku menyimpang.

6. Tertutupnya Akses Pengawasan Eksternal

Beberapa pesantren masih menutup diri dari pengawasan eksternal, seperti dinas pendidikan, LSM, atau lembaga perlindungan anak. Ini menyulitkan evaluasi independen dan pencegahan dari luar. Padahal, pengawasan eksternal dapat memperkuat akuntabilitas dan membangun transparans

Mencegah kekerasan di pesantren bukan semata soal memberi sanksi, tapi mengubah pola pikir. Tradisi keras bukan warisan Nabi. Pendidikan sejati adalah yang membentuk santri dengan kasih sayang, bukan ketakutan. Sudah waktunya pesantren menata ulang sistem pendidikan, memperkuat kebijakan pencegahan kekerasan, dan membangun kultur dialog yang sehat.

Karena sejatinya, pesantren bukan tempat melahirkan trauma, tapi tempat tumbuhnya jiwa-jiwa yang tenang dan utuh.