Halimi Zuhdy
Beberapa hari terakhir, kita sering mendengar kata “fatwa” dikaitkan dengan isu Sound Horeg. Ada yang menyetujui, ada yang menolak, meski sebagian penolakan, setahu al-faqir, tidak disertai telaah hukum yang merujuk pada turats. Di saat yang sama, kita juga akrab dengan kata “petuah.” Keduanya kerap bersumber dari lisan tokoh agama, kiai, atau ustaz; beredar luas, jadi kutipan viral, lalu memengaruhi cara publik bersikap. Mirip? Ya. Sama? Tidak selalu. Ada hubungan historis di antara keduanya, tetapi makna dan konsekuensi hukumnya berbeda.
Dalam bahasa Arab, fatwa (فتوى) berarti jawaban atau penetapan hukum yang diberikan seorang mufti terhadap persoalan syariat. Di Indonesia (dan sebelumnya di ranah Melayu), istilah ini diadopsi dan mengalami perubahan. Secara fonologis, bunyi “f” dalam fatwa sering bergeser menjadi “p” dalam ujaran lokal, sebagaimana fikr = pikir; fiqh = pikih (dalam beberapa dialek). Dari sinilah muncul bentuk petuah. Secara semantis, makna teknis-hukum “fatwa” meluas dan melunak menjadi “nasihat bijak,” “wejangan moral,” atau “pesan hidup” yakni petuah. Proses ini mencerminkan kulturalisasi istilah Arab ke dalam lingkungan lokal yang lebih menonjolkan nilai kebijaksanaan sehari-hari ketimbang ketetapan hukum formal.
Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, petuah hadir di banyak ruang: nasihat orang tua kepada anak, wejangan guru kepada murid, pitutur kiai kampung kepada jamaahnya. Petuah tidak bersifat mengikat secara hukum; ia mengajak, mengingatkan, menuntun. Contoh sederhana: seorang ibu berkata, “Jangan pelit, nanti rezekimu seret.” Itu petuah. Tidak ada sitiran kitab fiqih atau pasal hukum. Yang ada: pengalaman, kasih sayang, dan kebijaksanaan. (Meski kadang, kalau mau dicari, bisa saja ditemukan dalil pendukungnya.)
Berbeda dengan petuah, fatwa berakar langsung pada tradisi Islam klasik. Ia merupakan penjelasan atau keputusan hukum syar’i atas suatu persoalan, dikeluarkan oleh mufti atau lembaga berwenang misalnya MUI pada konteks Indonesia. Fatwa bisa merespons pertanyaan umat: “Apakah vaksin ini halal?” “Bagaimana hukum penggunaan teknologi tertentu?” “Bolehkah menikah beda agama?” Fatwa disusun dengan metode istinbath: menimbang nash, ijma’, qiyas, maqashid, dan perangkat ushul lain. Ia tidak otomatis setara dengan putusan pengadilan agama, tetapi dapat menjadi dasar kebijakan negara maupun rujukan moral-hukum bagi individu Muslim. (Kasus hangat: polemik ‘Fatwa Sound Horeg’.)
Dalam khazanah Melayu dan Jawa klasik, kata fatwa kadang dipakai longgar. Ungkapan “fatwa raja” pada sejumlah naskah lama dapat bermakna petunjuk atau nasihat, bukan keputusan hukum agama yang formal. Dari ruang makna longgar inilah petuah muncul sebagai bentuk budaya turunan rasa dari fatwa dengan nada lebih lembut, akrab, dan etis.
Masalahnya, pergeseran makna ini dapat memunculkan kerancuan. Tidak semua ucapan tokoh agama otomatis berstatus fatwa. Bisa jadi itu hanya petuah pribadi, motivasi, atau opini yang bersandar pada pengalaman, bukan hasil kajian hukum. Sebaliknya, ada orang yang menyepelekan fatwa sah karena mengira semuanya sekadar nasihat.
Agar tidak salah paham, mari ringkas perbedaannya: Petuah: bernuansa etis, moral, kultural; tidak mengikat secara hukum. Fatwa: bernuansa syar’i; merespons persoalan hukum; dikeluarkan otoritas (mufti/lembaga).
Contoh: seorang kiai berkata, “Biasakan bangun pagi, itu sunnah Rasul.” Dalam banyak konteks Nusantara, ini diterima sebagai petuah—dorongan akhlak. Tetapi jika kiai diminta menjelaskan hukum tidur setelah Subuh, lalu memaparkan status makruh atau mubah berdasarkan kitab fiqih, itu sudah memasuki wilayah fatwa.
Mengira petuah sebagai fatwa dapat menimbulkan kebekuan: semua nasihat seakan wajib ditaati, lalu muncul sikap menghakimi. Sebaliknya, menganggap fatwa hanya opini membuat umat ringan mengabaikan bimbingan syar’i yang seharusnya diperhatikan. Di tengah riuh media sosial, batas antara candaan, kutipan kitab, petuah kultural, dan fatwa otoritatif makin kabur—karena potongan video, caption pendek, dan headline klikbait.
Baik petuah maupun fatwa memiliki peran penting. Petuah membentuk rasa, karakter, adab, sensitivitas moral. Fatwa memberi arah hukum: halal-haram, boleh-tidak, sah-batal, maslahat-mafsadat. Keduanya saling menguatkan bila ditempatkan proporsional. Yang bahaya adalah dua ujung ekstrem: menjadikan petuah sebagai alat memaksa, atau menurunkan fatwa menjadi sekadar pendapat ringan.
Mari lebih teliti saat menerima pernyataan keagamaan: ini petuah, fatwa, atau sekadar komentar? Tanyakan konteks, sumber, dan otoritasnya. Dengan begitu, kita bisa berdialektika tanpa mudah memvonis, dan tetap menjaga maslahat umat.
Wallahualma Bishawab
***
Foto diambil dari omanisForTolerance. Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar