Halimi Zuhdy
Dalam sejarah sastra Arab, "Maqāmāt al-Ḥarīrī" menempati posisi yang sulit ditandingi. Ditulis oleh al-Ḥarīrī al-Baṣrī (446 H/1054 M – 516 H/1122 M), karya ini bukan hanya dikenal karena keindahan bahasanya, tetapi juga karena kisah penggandaan manuskripnya yang hampir tak ada duanya.
Dr. Nursi dalam Tahqiqat menulis
من أشهر ما كُتب في أدبنا العربي المقامات التي تُنمى إلى الحريري ت ٥١٦ هجرية، فقد رواها عنه الجم الغفير الذين لا يكادون يحصون، وتكاثرت نسخها حتى نقل لنا ياقوت الحموي أن الحريري نفسه قال: ( كتبتُ بخطي على سبع مئة نسخةٍ من المقامات قُرئت عليّ). وهذا مبلغ من الشهرة كبير، ومن الكثرة كثير، رحم الله علماءنا الذين خدموا التراث بمؤلفاتهم.
Menurut catatan Yāqūt al-Ḥamawī, al-Ḥarīrī sendiri menyalin tujuh ratus (700) naskah dari karya tersebut dengan tangannya, dan setiap naskah itu dibacakan kembali kepadanya. Ini tidak biasa, dan langka, apalagi di era digital. Disalin (nuskhah, ditulis kembali dengan tangan), bukan dicetak lo ya.
Bagi masyarakat modern yang akrab dengan mesin cetak dan file digital, angka tujuh ratus mungkin sekadar statistik. Namun pada abad ke-12, penyalinan naskah adalah pekerjaan yang menuntut waktu panjang, ketelitian tinggi, dan ketahanan fisik. Hal ini menunjukkan betapa besar minat terhadap "Maqāmāt al-Ḥarīrī", sebuah indikasi bahwa karya tersebut menjadi rujukan penting bagi para pelajar, ahli bahasa, dan cendekiawan pada masa itu.
Genre "maqāmah" sendiri diperkenalkan oleh Badi‘ az-Zamān al-Hamadhānī, lalu mencapai puncak teknis melalui tangan al-Ḥarīrī. Bentuk ini menggabungkan cerita ringkas dengan dialog cepat, permainan kata, dan saj‘, prosa berirama yang menjadi ciri khas retorika Arab klasik. Di dalamnya, pembaca menemukan perpaduan antara kecerdasan, humor halus, dan ketangkasan berbahasa.
Keunikan "Maqāmāt al-Ḥarīrī" bukan hanya pada tekniknya, tetapi juga pada cara ia diposisikan dalam tradisi belajar. Karya ini menjadi semacam “buku latihan” bagi mereka yang ingin menguasai bahasa Arab pada tingkat tinggi. Membacanya ibarat memasuki ruang kelas besar, tempat keahlian bahasa diuji melalui narasi yang singkat namun padat.
Penyalinan 700 naskah oleh al-Ḥarīrī sendiri mengisyaratkan dua hal, luasnya peminat saat itu dan komitmen sang pengarang dalam memastikan kualitas setiap salinan. Di era sebelum percetakan, tindakan ini setara dengan menjaga standar intelektual dan estetika karya agar tidak berubah dari satu kota ke kota lainnya.
Hari ini, "Maqāmāt al-Ḥarīrī" tetap dipelajari di berbagai negara dan dianggap sebagai salah satu monumen sastra Arab klasik. Kisah di balik proses penyalinannya memberi kita gambaran tentang tradisi keilmuan masa lalu, ketika sebuah buku tidak hanya ditulis, tetapi dirawat secara serius oleh pengarangnya sendiri.
Di tengah dunia digital yang serba cepat, cerita tentang tujuh ratus salinan ini mengingatkan bahwa kualitas pengetahuan sering lahir dari kesabaran dan ketekunan. Sebuah pelajaran sederhana yang tidak lekang oleh waktu.
Menulis, berkarya, butuh ketekunan dan konsistensi. Batu berlubang, terkadang bukan dengan kekuatan paku san besi yang menghujam, tapi dengan tetesan air yang istiqamah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar