Halimi Zuhdy
Di zaman digital, di era ini. Banyak sekali lahir generasi baru, para dai muda, mereka bersemangat, kreatif, dekat dengan bahasa anak muda, dan cepat diterima publik. Mereka hadir melalui podcast, TikTok, live streaming, dan potongan ceramah yang menyebar hanya dalam hitungan menit. Keren banget.
Aha. Fenomena ini sesungguhnya membawa kabar baik: gairah dakwah berkembang, terus menyala (ikut bahasa anak muda), kita sangat senang sekali. Namun di balik hal ini, seperti beberapa tahun terakhir yang viral, tidak sedikit kasusnya adalah dai muda (syabab). Walau, tidak sedikit juga dai sepuh (Syaikh) yang viral. Viralnya yang negatif juga. Lalu, bagaimana menyikapi fenomena ini? Apakah perlu batasan umur? Sertifikasi? Atau langkah-langkah lain? Mungkin ada yang mau berbagi ide, (bisa ditulis di kolom komentar) ini hanya kepikiran Al faqir saja.
Karena fenomena ini menuntut perhatian serius, bukan untuk membatasi ruang dakwah generasi baru, tetapi untuk memastikan bahwa dakwah tetap berjalan dalam koridor ilmu, akhlak, dan tanggung jawab sosial.
Pertama, persoalan usia perlu ditempatkan secara proporsional. Dalam tradisi Islam, tidak ditemukan batasan umur tertentu untuk berdakwah. Sejarah mencatat banyak tokoh muda yang berperan penting dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, kelayakan berdakwah tidak ditentukan oleh usia biologis lo, melainkan kedewasaan ilmu dan kematangan akhlak.
Banyak kegaduhan yang muncul di ruang publik bukan karena kemudaan seorang dai, melainkan kurangnya pendampingan dan kurangnya kedisiplinan dalam mengelola kata dan sikap di hadapan audiens yang sangat luas.
Kedua, gagasan sertifikasi dai kerap menjadi perdebatan. Sebagian menilai sertifikasi dapat menjaga kualitas dakwah, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berdakwah.
Jalan tengah yang mungkin ditempuh adalah mendorong hadirnya standar pembinaan yang tidak bersifat membatasi, tetapi memberikan panduan etik dan ilmiah bagi mereka yang tampil sebagai rujukan agama di ruang publik. Sertifikasi dalam bentuk pelatihan atau program akhlak-profesional dapat menjadi solusi tanpa menimbulkan resistensi yang berlebihan.
Dan penting afiliasi dengan lembaga dakwah, untuk pembinaan atau menegur apalabila keliru. Misalnya, kalau di NU ada LDNU, maka penting dapat kartu atau apalah, sebagai bukti ia layak berdakwah (dalam ukuran ini), bukan untuk mematikan dai lainnya, tapi untuk memastikan dalam bimbingan, karena urusan umat. Tapi, entahlah🤩
Ketiga, pentingnya peran ulama senior dalam membimbing dai muda tidak dapat diabaikan. Rantai keilmuan dalam tradisi Islam selalu berjalan melalui mekanisme talaqqi dan pendampingan. Dai muda membutuhkan tempat untuk bertanya, guru untuk menegur, dan figur untuk menanamkan nilai-nilai adab sebelum ilmu. Tanpa ekosistem mentoring, kecepatan popularitas dapat melampaui kedalaman keilmuan, dan di sinilah potensi kesalahan mulai bermunculan. Ini berjalan, tapi tidak merata?
Kenapa, apa karena banyaknya masyarakat muslim di Indonesia, sehingga kalau kita lihat, terutama di desa desa terpencil sangat langka sekali. Maka, atau kebaikan lembaga-lembaga tertentu, mengirimkan dai ke pelosok (walau tidak ada dana sedikit pun), lah pemerintah harus hadir di sini.
Keempat, dakwah di media sosial memerlukan etika khusus. Logika algoritma sering mendorong munculnya konten yang cepat, provokatif, atau kontroversial. Tanpa kesadaran etis, dakwah dapat terjebak dalam pola pencarian perhatian semata. Oleh karena itu, perlu ada kode etik dakwah digital yang mencakup kehati-hatian dalam memilih topik, pengendalian gaya penyampaian, serta komitmen menjaga kehormatan mimbar dakwah dari unsur-unsur hiburan yang berlebihan. Sering kali ada tagar # atau tulisan fyp walau tidak beretika.
Kelima, kualitas dakwah juga bergantung pada literasi publik. Jamaah perlu dibimbing untuk memahami perbedaan antara ilmu dan hiburan, antara viral dan benar. Ketika selera publik hanya tertarik pada konten sensasional, ruang dakwah akan semakin jauh dari esensi keilmuan. Peningkatan literasi umat menjadi bagian penting agar dakwah dapat berkembang secara sehat.
Aha. Maka, kolaborasi antara generasi menjadi kunci. Dai senior menawarkan keluasan ilmu dan kebijaksanaan, sementara dai muda membawa kreativitas dan kemampuan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Sinergi keduanya dapat menghasilkan wajah dakwah yang lebih matang, relevan, dan tetap berakar pada nilai-nilai Islam yang autentik. Dan, penting juga menghindari pertengkaran antar dai di medsos🤣🤣🤣.
Fenomena dai muda seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang besar bagi kebangkitan dakwah. Meski demikian, dakwah tetap merupakan amanah yang menuntut integritas, kedalaman ilmu, dan kedewasaan etika. Tanpa itu semua, dakwah hanya akan menjadi konten yang berlalu bersama arus viralitas, bukan cahaya yang membimbing umat. Semoga dakwah di era digital tetap menjadi jalan kebaikan yang memuliakan agama dan masyarakat.
Yah! Menurut jenengan bagimana yuk berbagi!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar