Halimi Zuhdy
Membaca karya KH. M. Jailani Nasri dari Brumbung serasa menemukan harta karun yang lama tersembunyi. Nilainya bukan hanya pada lembaran kertas tua dan tinta hitam yang mulai pudar, tapi pada kedalaman isi yang menyejukkan jiwa, membuka cakrawala hati dan pikiran.
Dua kitab dari beberapa kitab yang berhasil ditemukan Majmū‘atu al-Faḍā’il dan Asliḥatu al-Madārij menjadi bukti nyata bahwa di balik kesunyian kampung kecil, ada suara ilmu yang pelan namun dalam, mengalir dari seorang alim yang tidak banyak bicara, tapi meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu.
Kitab Majmū‘atu al-Faḍā’il, Faiḍatul Ghufrān fī Faḍīlatil Qur’ān wa Tāliyah Minḥatul Ghaffār fī Faḍīlatil Istighfār wa Ba‘dahā Milḥatul Da‘awāt fī Faḍīlatish Shalawāt, disusun dalam bentuk nadham atau syair-syair ringkas yang padat makna. Di dalamnya terkumpul berbagai keutamaan amal dari membaca Al-Qur’an, memperbanyak istighfar, hingga bershalawat semuanya ditopang dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang shahih.
Yang menarik, kitab ini tidak hanya menampilkan nadham dalam bahasa Arab, tapi juga dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Madura. Ini menjadikannya akrab di telinga masyarakat kampung (terutama Brumbung, Desa Prenduan dan desa Aengpanas) dan sering dibaca di berbagai "kompolan" atau majelis rutin di desa-desa. Bahasa yang sederhana, namun maknanya merasuk.
Meski KH. Jailani Nasri bukan sosok yang sering muncul di mimbar besar, ilmunya tetap hidup lewat karya-karyanya. Tidak banyak yang menulis tentang beliau, tapi orang-orang yang pernah dekat dengannya tahu betul siapa beliau. Seorang alim yang tenang, tak banyak bicara, tapi meninggalkan cahaya ilmu yang nyata.
Nama Jailani yang kita kenal, sejatinya adalah nama yang ditambahkan oleh KH. Ilyas Syarqawi, sehingga menjadi Muhammad Jailani. Beliau adalah santri dari pondok tua, Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau berguru langsung kepada KH. Abdullah Sajjad dan KH. M. Ilyas Syarqawi. Pernah tinggal di ndalem Temur (Late) dan ndalem Berek (Lubangsa). disebut KH. Rumhol Islam. (Bersambung di #3: Tirakat di Pesantren).
Saya masih teringat wajahnya yang tenang dan teduh. Hidupnya bersahaja. Dulu saya tidak tahu, bahwa sosok sepuh itu diam-diam menyimpan begitu banyak karya. Hingga suatu hari, Abah saya, K. Achmad Zuhdy, pernah berkata, “Di Brumbung, hanya KH. M. Jailani yang menulis kitab. Beliau orang alim. Saya belum melihat yang seperti beliau di kampung ini.”
Senada dengan itu, KH. Nur Zaini menyebut, “Beliau bukan hanya penulis kitab, beliau itu Habibi-nya Brumbung (BJ. Habibi). Sepertinya ada tujuh kitab yang beliau tulis sendiri.”
Salah satu karya lainnya adalah Asliḥatul Madārij, sebuah terjemahan dalam bahasa Madura dari kitab klasik Alfiyah Ibnu Mālik. Kitab ini ditulis atas permintaan langsung dari KH. Waqit Khazin, hasil dari musyawarah asatidz. Terdiri dari beberapa jilid, kitab ini dulu pernah dijual di koperasi Annuqayah, harganya hanya 500 rupiah. (#4 keunikan Kitab Aslihatul Madarik)
"Kyai Habib Kalabeen, Guru saya, juga pernah belajar Faraidh pada Kyai Jailani, bahkan kyai Habib dawuh, bahwa beliau itu bukan hanya alim tapi allamah, dan cerita ini saya dapat dari Kyai Sedekah, teman sekelas beliau " kata KH. Ahamad Fauzi
Karya beliau bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungi. Ia menjadi semacam wasiat abadi dari seorang alim kampung untuk generasi sesudahnya bahwa ilmu tidak harus lahir dari panggung besar, tapi bisa tumbuh di lorong-lorong sunyi, di kampung-kampung kecil, dari hati yang tulus, pena yang jujur, dan niat yang bersih.
Bersambung...
#2 Keterbatasan yang Melahirkan Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar