Halimi Zuhdy
Ada pertanyaan menarik dari salah satu jamaah, "Ust, siapa yang wajib memakmurkan masjid?" Saya jawab spontan, "Kita semua yang masih hidup, masjid itu milik umat, bukan milik siapa pun, kalau toh ada pengurus masjid, mereka adalah kepanjangan tangan umat, tapi umat semua yang wajib memakmurkan!". (Baca tulisan sebelumnya, makna memakmurkan masjid).
Kalau kita tilik, masjid tidak butuh siapa pun. Tapi, kita yang butuh masjid. Maka, hadis man bana masjidan (barang siapa yang membangun masjid), membangun adalah kebutuhan umat terhadap masjid, bukan masjid yang butuh umat. Karena dibangun atau tidak, masjid tidak akan pernah rugi. Masjid adalah jejak. Mungkin mirip dengan sedekah. Yang butuh terhadap sedekah adalah orang yang bersedekah, bukan yang diberi sedekah? Kalau mau jujur, maka yang harus berterima kasih adalah yang bersedekah, karena masih ada orang yang menerima sedekahnya. Dan ia mendapatkan pahala dari apa yang telah diberikan.
Dalam diamnya, masjid tidak pernah menuntut siapa pun untuk datang. Ia tak memanggil dengan suara keras, tak memaksa siapa pun membuka pintunya. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Masjid adalah tempat yang tidak pernah butuh kita, tapi kita yang begitu sangat membutuhkannya. Kalau ada muadzin, ia tidak pernah memaksa untuk datang, ia hanya mengingatkan. Tapi yang butuh datang adalah kita. Tapi apakah semuanya mendatanginya?
Sering kali kita merasa telah berjasa ketika mengisi saf-safnya, menyumbang untuk pembangunannya, atau meramaikannya saat Ramadan tiba. Padahal, hakikatnya, semua itu bukan bentuk kontribusi kita kepada masjid, tapi karunia besar dari Allah karena telah dipilih untuk mendekat ke rumah-Nya. Berterima kasih kepada Allah (baitullah), karena telah ada kesempatan untuk memakmurkannya.
Masjid tak pernah kehilangan kemuliaannya meski kosong. Tapi hati kita akan gersang jika terlalu lama jauh darinya. Ia adalah tempat turunnya ketenangan, tempat jiwa bersimpuh mengakui kelemahan, tempat terindah untuk menumpahkan air mata dalam sujud yang tak terlihat siapa-siapa. Maka masjid tidak butuh hiasan, tapi kita yang butuh ada hiasan di masjid. Bukan karena masjid tindah, tapi mungkin kita masih butuh ukiran lain di dinding masjid.
Masjid adalah rumah yang pintunya selalu terbuka tanpa syarat. Tak peduli siapa kita, seburuk apa masa lalu kita, seberat apa dosa kita selama datang dengan niat mendekat, masjid akan menyambut tanpa penolakan.
Ketika kita meninggalkan masjid, ia tetap berdiri kokoh. Tapi ketika kita menjauhinya, kita perlahan runtuh. Runtuh dalam sunyi yang tidak disadari. Runtuh dalam kesibukan yang menjauhkan kita dari ketenangan hakiki. Ada masjid yang roboh lo, kalau tidak dirawat? Benar. Tapi robohnya masjid, karena kita sudah tidak peduli rumah kita (hati).
Al masjidu ussisa 'ala taqwa. Membangun masjid, bukan membangun dengan bata yang kuat, tapi dengan takwa. Itu pertama kali. Apa artinya? Sekokoh-kokohnya masjid, kalau yang memakmurkan tidak ada, ia sebenarnya roboh. Apalagi membangun karena riya dan kesombongan, atau membangun karena untuk pamer bukan dengan takwa, apalagi membangunnya untuk memecah belah persatuan. Maka selain masjidnya yang roboh yang membangunnya juga roboh. Maka, masjid dhirar dirobohkan oleh Nabi.
Allahu'alam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar