السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Rabu, 21 Mei 2025

KUNCI KEMENANGAN


(Pelajaran dari Al-Qur'an dan Realitas Masa Kini)

Halimi Zuhdy

Sedih, melihat realitas hari ini, umat Islam yang masih terus berkonflik, di Arab misalnya. Walau ada Liga Arab, tapi masih belum mampu mempersatukan umat. Tidak hanya di Arab (Timur Tengah), tapi juga di Indonesia, dengan berbagai permasalahannya. Memang, dalam setiap perkumpulan, organisasi, negara, dan umat tidak pernah lepas dari komflik, tetapi tidak harus terus berlanjut dan terus menerus, dan bisa dicarikan soluasinya. Dari konflik itu mendatangkan banyak kelemahan, bahkan sulit untuk menjadi pemenang. Maka, bisa dilihat hari ini, apa yang bisa dibanggakan oleh umat yang terus berkomflik? Semoga Allah selalu memberi pertolongan kepada kita. 
Menarik, bila menilik Surat Al-Anfal Ayat 45-46, yang memberikan solusi sebab-sebab kemenangan

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴾
﴿ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴾
(QS. Al-Anfal: 45-46)

Menarik Ibnu katsir (774 H) dalam tafsirnya menjelaskan Ayat di atas, "hadza ta'limillah, inilah pelajaran dari Allah tentang adab pertemuan, dan bagaimana menghadapi musuh dengah penuh keberanian" dan beliau mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pada suatu hari ketika berhadapan dengan musuh, menunggu hingga matahari condong (ke barat), lalu beliau berdiri di tengah-tengah mereka dan bersabda: 'Wahai manusia, janganlah kalian mengharapkan pertemuan dengan musuh, dan mintalah keselamatan (kepada Allah). Namun jika kalian benar-benar berhadapan dengan mereka, maka bersabarlah! Dan ketahuilah bahwa surga berada di bawah naungan pedang.'" Umat Islam itu bukan mencari musuh, tapi kalau ada yang datang membawa pedang, bom, parang, celurit dan sejenisnya, maka tidak bersabar - bukan diam lo? Tapi, terus mencari solusi terbaik, bukan dengan kekerasan dibalas dengan kekerasan, baru kalau sudah mentok, harus dihadapi dengan gagah berani.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: "Jika kalian menghadapi musuh di medan pertempuran, maka bersabarlah dan jangan gentar. Perbanyaklah mengingat Allah, karena hal itu akan menanamkan ketenangan dalam hati dan menguatkan jiwa, sehingga kalian akan meraih kemenangan."

Imam Al-Qurthubi menambahkan: "Keteguhan dalam menghadapi musuh adalah kewajiban. Meninggalkan dunia dan berserah diri kepada Allah membantu seseorang untuk tetap teguh, sedangkan mengingat Allah menjadikan hati tenang dan semakin berani."  Rasulullah SAW bersabda: "Ketahuilah bahwa kemenangan itu datang bersama kesabaran." (HR. Tirmidzi)

Ibnu Qayyim dalam kitabnya Al-Furusiyyah (yang dikutip dari Tadabburiyah di atas) berkata: "Kemenangan sejati tidak bergantung hanya pada jumlah dan perlengkapan, tetapi pada kekuatan iman, keteguhan hati, dan persatuan umat."

Toyyib. Sebab-Sebab Kemenangan dalam Islam dalam gambar di atas, berdasarkan Ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa kemenangan dalam Islam bergantung pada lima faktor utama: 1). Keteguhan Hati (الثَّبَاتُ) – Keberanian dan keyakinan yang kokoh di medan juang. 2). Banyak Mengingat Allah (كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ) – Memperkuat hubungan dengan Allah sehingga hati menjadi tenang. 3). Taat kepada Allah dan Rasul-Nya (طَاعَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ) – Melaksanakan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah. 4). Persatuan dan Kesatuan (اتِّفَاقُ الكَلِمَةِ) – Menghindari perpecahan yang melemahkan umat. 5). Kesabaran (الصَّبْرُ) – Kunci utama dalam menghadapi ujian dan rintangan menuju kemenangan.

Toyyib. Bagaimana kita tilik Ddi era modern ini, umat Islam menghadapi berbagai tantangan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Namun, kelemahan terbesar yang terlihat jelas adalah kurangnya persatuan dan penerapan nilai-nilai Islam yang sejati.

Sebagai contoh, dalam banyak konflik, kita melihat bagaimana perselisihan internal melemahkan posisi umat Islam. Ketika umat kehilangan keteguhan dan meninggalkan zikir kepada Allah, mereka kehilangan kekuatan dan mudah dikalahkan. Sebaliknya, jika kita melihat negara atau kelompok yang berpegang teguh pada iman, sabar, dan bersatu, mereka cenderung lebih kuat dan berpengaruh dalam percaturan global.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah bahwa kemenangan tidak hanya bergantung pada strategi dan kekuatan fisik semata, tetapi juga pada keimanan, ketaatan, persatuan, dan kesabaran. Umat Islam harus kembali kepada nilai-nilai ini dan menghindari perpecahan yang melemahkan mereka. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan, maka kemenangan yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan.

Semoga kita selalu diberikan kemenangan oleh Allah.🤲

Tak Terhitung Nikmat-Nya, tapi Kita Tetap Lalai(Refleksi Dua Ayat Tentang Nikmat Allah)


Halimi Zuhdy

Keren Ayat ini. Dimulai dengan redaksi yang sama, tapi penutupnya berbeda. Dan penutup ini, menjadi pesan kuat bagi manusia. Dan kalau ditilik dari setiap kata, mengandung i'jaz lughawi yang mengantarkan pada pesan "nikmat" yang sering tidak dipedulikan oleh manusia. Misalnya penggunaan kata "in" bukan "idza", dan pengunaan kalimat "ta'uddu, la thushuha" dan kalimat lainnya. 
Di tengah arus deras kehidupan modern, manusia terus-menerus dihujani berbagai bentuk nikmat—baik yang terlihat maupun tersembunyi. Kita dikelilingi oleh kemudahan teknologi, akses informasi instan, layanan kesehatan canggih, dan koneksi sosial tanpa batas. Namun ironisnya, semakin banyak nikmat yang kita peroleh, semakin besar pula peluang untuk lupa bersyukur.

Al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dengan sangat tepat, lewat dua ayat yang secara lahiriah tampak serupa, namun secara makna menyimpan perbedaan yang sangat mendalam:

 وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ  
(QS. Ibrahim: 34)

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ  
(QS. An-Nahl: 18)

Dua ayat ini mengandung pesan yang sama di awalnya: bahwa nikmat Allah tak akan pernah mampu kita hitung. Namun perhatikan penutupnya—di Surah Ibrahim, ayat ditutup dengan celaan terhadap manusia: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan sangat kufur." Sementara dalam Surah An-Nahl, penutupnya adalah pujian terhadap sifat Allah: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Apa makna dari dua penutup yang berbeda ini?

Ayat pertama adalah cermin bagi kita. Betapa pun limpahan nikmat diberikan, manusia cenderung melupakan Pemberi nikmat. Kita menzalimi diri dengan lalai dari ketaatan, dan kita kufur karena enggan mengakui nikmat itu berasal dari Allah. Dalam konteks kekinian, bentuk kekufuran itu bisa berupa ketergantungan total pada teknologi tanpa menyadari bahwa akal dan daya cipta itu juga nikmat-Nya. Atau ketika kesehatan menjadi komoditas, bukan lagi amanah yang dijaga dan disyukuri.

Sementara itu, Ayat kedua adalah pelukan hangat dari langit. Meski kita lalai, Allah tetap membuka pintu ampunan. Meski kita terlalu sibuk untuk menghitung nikmat, Allah tetap mengalirkannya setiap detik. Penutup ayat itu adalah bentuk kelembutan dan kasih-Nya yang tak pernah putus, bahkan saat hamba-Nya berpaling.

Dalam dunia modern, manusia kerap mengandalkan data, algoritma, dan pengukuran. Kita bisa menghitung detak jantung, kadar gula darah, bahkan emosi lewat sensor digital. Tapi tetap saja, kita tak akan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah—sebab banyak di antaranya tak kasat mata: ketenangan jiwa, cinta tulus, hidayah, kesempatan taubat, hingga senyum dari orang terkasih di tengah badai hidup.

Studi psikologi modern pun membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan, dan menyembuhkan luka batin. Ini adalah pembenaran ilmiah dari janji ilahi: لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ — "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian." (QS. Ibrahim: 7)

Maka dua ayat ini, bila direnungkan bersama, adalah keseimbangan antara tamparan dan pelukan, antara peringatan dan pengharapan. Ia mengajarkan bahwa kita harus menyadari keterbatasan kita dalam menghitung nikmat, sekaligus bersandar pada keluasan ampunan Allah.

Mari kita renungkan satu hal penting: kita hidup bukan karena kita layak, tapi karena Allah masih berkenan memberi. Nikmat-Nya tak terhitung, dan karunia-Nya melampaui kesadaran kita. Maka jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur. Jangan tunggu bencana untuk mengingat Tuhan. Nikmat-Nya terlalu luas untuk dihitung, maka cukupkan dengan sujud, syukur, dan amal yang tulus.

Asal Kata "Shalat"



Para ahli bahasa berbeda pendapat mengenai akar kata "الصلاة/shalat". Sebagian dari mereka lebih cenderung bahwa kata tersebut berasal dari akar kata "ص-ل-ي/ṣ-l-y" yang berarti “terbakar oleh api.” (Misbah Munir, Al Fayumi). 

Dalam bahasa Arab dikatakan "ṣalaytu al-‘ūda bi al-nār" (aku memanaskan kayu dengan api) jika seseorang melunakkannya; karena orang yang shalat menjadi lembut hatinya karena khusyuk. لأن المصلي يلين بالخشوع. Ada pula yang lebih memilih bahwa asal kata "shalat" adalah dari akar kata "ص-ل-و/ṣ-l-w", karena bentuk jamaknya adalah "صلاوات/ṣalawāt" dan bentuk dua-nya adalah "صلوان/ṣalawān". (Al-Ain, Al-Farabidi)
Kedua akar kata ini sama-sama mencakup makna umum dari "shalat". Shalat dari Allah Ta’ala berarti rahmat (الرحمة) dan pujian (الثناء), sedangkan dari makhluk berarti permohonan ampun (الاستغفار) dan doa (الدعاء). (Mukhtar Shahah, Al-Razi). 

Az-Zajjāj berkata: “Asal makna shalat adalah "melazimi" atau "konsisten". Dalam bahasa Arab dikatakan "ṣalā wa iṣṭalā" jika seseorang terus-menerus melakukan sesuatu. Maka, shalat berarti melazimi apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Shalat adalah salah satu dari shalat-shalat yang diwajibkan, dan kata ini merupakan nama yang digunakan dalam posisi sebagai mashdar. Aku berkata: "صليت صلاة/ṣallaytu ṣalātan" (aku melakukan shalat), dan tidak dikatakan "taṣliyyatan". Shalat adalah ibadah khusus, dan karena asal maknanya adalah doa, maka ia dinamakan dengan salah satu bagiannya. Ada juga yang mengatakan bahwa asal kata "shalat" dalam bahasa adalah pengagungan ("ta‘ẓīm"), dan ibadah shalat yang khusus dinamakan "shalat" karena di dalamnya terkandung pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi." (Lisanul Arab, Ibnu Mandhur). 

***
Mausu'atut tafsir Al-Maudhu'i

Neng Dr. Hj. Syafiyah, Pendidik Penuh Senyum dan Kedamaian


Halimi Zuhdy

"Bu Nyai Syafiyah tak pernah marah dan selalu tersenyum" kata salah satu dosen Humaniora. "Walau beliau sakit, sudah dalam kondisi tidak memungkinkan masuk kelas, beliau masih maksa untuk mengajar" tambah mahasiswa Sastra Inggris Humaniora. "Selama beliau memimpin Humaniora, tak pernah saya lihat di wajahnya amarah, walau kadang ada yang mengkritiknya, tetap tenang dan berusaha untuk menyelesaikan dengan dingin" tambah salah seorang pimpinan Humaniora. 
Bu Nyai Dr. Syafiyah. Saya sulit melukiskan kebaikannya. Selama berinteraksi sama beliau, baik di Pondok Al-Hikmah Fatimiyah Malang dan juga di kampus UIN Malang, khususnya di Fakultas Humaniora, tak pernah sekali pun melihat beliau tanpa tersenyum. Damai melihat wajahnya. Dan seringkali beliau dengan bahasanya akrab sekali, "Ust Halimi ini keluarga pondok Ahaf, sudah lama mengaji di pondok, mulai mahasiswa sampai sekarang". Beliau sampaikan di hadapan para santri. Maka, berat sekali kalau tidak ngaji, apalagi izin. Karena, beliau yang selalu asyik dan perhatian. 

Ketika beliau menjadi Dekan, beliau selalu keliling ke prodi-prodi, dan terkadang bertanya apa pun, dan membincang apa pun. "Enggeh, nanti kita tindak lanjuti" kata beliau, bila kita mengeluhkan sesuatu dan ada curhatan tentang mahasiswa atau apa pun, dan kebetulan waktu saya menjadi Kaprodi di BSA. Tak lupa senyumnya yang tersisa sebelum keluar. "Insyallah, semuanya akan selesai". Optimisme selalu dibangun, walau mendesak, beliau selalu berusaha tenang. 

"Neng Syafiyah" demikian beliau kalau dipanggil oleh Kyai Marzuki, Gus Isyraqun Najah, dan Pak Rektor, Prof Zainuddin. Beliau putri dari Kyai karismatik, KH Fattah Hasyim adalah sosok ulama istikamah dan berilmu luas yang menjadi pendiri Madrasah Muallimin-Muallimat Tambakberas. Dikenal karena kedisiplinannya dalam ibadah, ia tetap memimpin shalat berjamaah meski dalam kondisi fisik yang melemah. Kiai Fattah, yang lahir dengan nama Abdullah Marwan, mengawali perjalanan intelektualnya dari bimbingan sang ayah, KH Hasyim Idris, sebelum melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren di Jawa. Wawasan keilmuannya yang mendalam dan keteguhan akhlaknya menjadi warisan penting bagi generasi penerus, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.

Dr. Hj. Syafiyah Fattah. Beliau adalah seorang dosen yang saat ini mengabdikan diri di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, di prodi Bahasa Sastra Inggris, Fakultas Humaniora. Jejak akademiknya dimulai dari studi di Universitas Islam Negeri Malang dulu masih IAIN Sunan Ampel Malang, hingga melanjutkan pendidikan di University of Canberra dengan konsentrasi di bidang English Education. Komitmennya terhadap dunia pendidikan tercermin dari dedikasinya dalam mendampingi mahasiswa dan santri, baik dalam aspek akademik maupun spiritual.

Beliau dikenal sangat perhatian terhadap perkembangan ibadah dan pergaulan mahasiswanya. Nasihat-nasihatnya selalu penuh semangat dan makna, mendorong setiap anak didiknya untuk menjadi pribadi yang bergerak, bertumbuh, dan tetap rendah hati. Ungkapan yang sering beliau sampaikan: "Hidup itu harus tergerak, semangat terus, tapi jangan sampai menyakiti banyak orang."  

Khidmah beliau tidak hanya di masyarakat kampus tapi juga di masyarakat luas, dengan mendirikan PP. Al-Hikmah Al-Fatimiyah bersama Kyai Dr. Yahya Jakfar (Dosen UIN Malang). Selain mendirikan pondok di Malang, beliau juga mendirikan madrasah Diniyah dan lainnya. "Tenang, pasti Allah selalu memberikan jalan keluar" ungkap beliau dengan lembut. Maka, kesibukan apa pun, kesulitan apa pun, insyallah akan diberikan jalan keluar terbaik oleh Allah. Demikian ungapan indah dan damai dari beliau. Kini, ungkapan itu terus mengiang dan terus menggema di hati. Suara lembut dengan petuah-petuah itu akan terus menjadi kenangan, dan pengingat bagi yang pernah berinteraksi dengan beliau, atau bagi yang pernah punya cerita dengan beliau. 

Innalillahi wainna ilaihi rajiun, selamat jalan Neng Dr. Hj. Syafiyah Fattah Syafiyah Fattah 

Malang-Jombang, 9 April 2025

Kebanyakan (Al-aktsariyah) dalam Al-Qur'an(Menilik Kebanyakan Perilaku Manusia)


Halimi Zuhdy

Pagi tadi saat membaca Surat Al-Kahfi bersama jamaah di Masjid Baiturrahman, saya terpaku pada satu Ayat:

وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah — QS. Al-Kahfi: 54. 

Ayat ini terasa hidup di tengah hiruk-pikuk media sosial kita hari ini. Perdebatan tak kunjung padam. Ada yang membangun keindahan, memotivasi, berbagi kebaikan, tapi tak sedikit yang hanya menebar permusuhan dan caci maki. Berdebat tanpa ujung, berakhir persaudaraan yang hancur.  Maka saya pun menelusuri lebih dalam: bagaimana Al-Qur’an menggambarkan “الأكثرية” (mayoritas, kebanyakan)?
Dalam Al-Qur'an, terdapat kata yang menunjukkan pada makna "banyak, berlimpah, kebanyakan"  dan derivasinya. Kurang lebih ada 90 kata. Terdapat beberapa lafaz yang memiliki akar makna yang sama, yaitu menunjukkan makna banyak atau berlimpah, seperti جم (banyak), غدق (melimpah ruah), لبد (berkerumun atau menumpuk), dan كثر (banyak atau banyak jumlahnya). Meskipun berasal dari makna dasar yang serupa, masing-masing lafaz ini memiliki nuansa makna tersendiri yang membedakannya dalam konteks penggunaannya.

Ternyata, dalam banyak Ayat, dengan penggunaan "al-aktsar, mayoritas, kebanyakan" manusia digambarkan dengan karakter yang negatif. Berikut beberapa contohnya:

1. Mayoritas tidak beriman
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan mereka mempersekutukan-Nya — Yusuf: 106.

وَمَا أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya— Yusuf: 103.

2. Mayoritas tidak tahu
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui— Al-A’raf: 187.

بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui — An-Nahl: 75.

3. Mayoritas tidak bersyukur
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ 
Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur— Al-Baqarah: 243.

4. Mayoritas Kafir
فَأَبَىٰ أَكْثَرُ ٱلنَّاسِ إِلَّا كُفُورًا 
Tetapi kebanyakan manusia tidak menghendaki kecuali kekafiran) — Al-Furqan: 50.

5. Mayoritas tidak menggunakan akal
قُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti) — Al-Ankabut: 63.

Fenomena ini bukan hanya data statistik spiritual, tapi juga realitas sosial. Al-Qur’an sedang memperingatkan kita: jangan terlalu terpesona dengan suara mayoritas. Yang ramai belum tentu benar. Yang viral belum tentu berakhlak dan baik. Bahkan dalam konteks dakwah, Allah mengingatkan:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah — Al-An’am: 116.

Sebaliknya, Al-Qur’an justru memuji mereka yang sedikit, namun kokoh:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur— Saba’: 13.

Kita hidup di zaman debat tanpa ujung. Ayat tentang “manusia paling banyak membantah, berdebat” seakan menyingkap tabir sosial kita hari ini. Maka marilah kita bercermin: apakah kita termasuk “yang banyak”, atau berjuang untuk menjadi “yang sedikit”? Karena dalam ukuran Al-Qur’an, kebenaran bukan ditentukan oleh kuantitas, tapi oleh kualitas iman, ilmu, dan syukur. Dan belum tentu yang sedikit benar lo ya?! Jangan disalah pahami. Lihat konteksnya. 

Al-Qur’an, melalui penyebutan sifat-sifat negatif yang sering dikaitkan dengan kelompok mayoritas (al-aktsariyyah), tidak sekadar menginformasikan kondisi manusia, tetapi mengungkap hakikat jiwa manusia di setiap waktu dan tempat. Jiwa manusia cenderung mengikuti hawa nafsu, lalai, ingkar, dan terpaut pada syahwat duniawi. Karena itu, Al-Qur’an hadir untuk mengarahkan manusia agar melawan kecenderungan-kecenderungan negatif tersebut, menahan syahwatnya, serta memperbanyak zikir dan syukur kepada Allah. Dengan demikian, manusia diajak untuk tidak larut dalam arus mayoritas yang menyimpang, melainkan membangun kesadaran pribadi yang menuntunnya pada jalan kebenaran.

Namun, Ayat-Ayat yang mencela mayoritas (al-aktsariyyah) harus dibaca dalam konteksnya masing-masing dan dipahami berdasarkan sebab turunnya. Sebab, sebagian besar Ayat-Ayat tersebut merujuk pada kelompok tertentu, seperti kaum musyrik atau Bani Israil, sehingga celaan terhadap mayoritas tidak berlaku secara mutlak. Meski demikian, terdapat juga beberapa Ayat yang menyifati mayoritas dengan sifat tercela secara umum, seperti tidak mengetahui, tidak bersyukur, dan tidak berpikir. Dalam hal ini, konteks dan susunan Ayat menjadi faktor utama dalam memahami maksud dari ayat tersebut, sehingga penting untuk memperhatikan konteks agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami pesan Al-Qur’an.

Asyik kan? 
Ayo ikuti kajian berikutnya tentang siapakah yang sedikit, minoritas atau paling sedikit dalam Al-Qur'an. Dan juga mengapa Al-Qur'an menggunakan kata "katsirun"?

Malang, 11 April 2025

Maraji':
Al-Qur'an Al-Karim
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, At-Tahrir wattanwir, Al-Alusi, Al-Muharrir Al-wajiz. 

Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy. com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Perbedaan Makna dan Penulisan "نعمة" dan "نعمت" dalam Al-Qur’an


(Kajian Bahasa Al-Qur'an #202)

Halimi Zuhdy

Pernah saya menulis tentang perbedaan penulisan (rasm) kata رحمت dan رحمة, tidak hanya perbedaan tulisan yang dikaji di dalamnya, tetapi tentang makna, rahasia dan juga tujuan tulisan tersebut. (Bisa dicek di www. Halimi Zuhdy. com).
Salah satu keindahan dan keunikan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada kandungan maknanya, tetapi juga dalam ragam gaya penulisan katanya, mungkin kita kenal dengan i'jaz rasmy Fil Qur'an (jangan bertanya ikhtilaf dalam i'jaz ini ya.he). Di antara contoh yang menarik untuk ditelaah dalam kajian kali ini adalah perbedaan penulisan antara "نعمة" (dengan tā’ marbūṭah) dan "نعمت" (dengan tā’ maftūḥah). Meski keduanya berasal dari akar kata yang sama, ternyata terdapat perbedaan makna dan penggunaan yang mendalam di dalamnya.

Secara umum, kata نِعْمَة berarti kondisi yang baik, kebahagiaan, atau kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Kata ini dapat merujuk pada kenikmatan secara umum yang diberikan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam Ayat:
 "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (An-Nahl: 18)
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.”

Kenikmatan tertentu yang Allah anugerahkan kepada suatu kaum atau individu, "اذكروا نعمتي التي أنعمت عليكم" (Al-Baqarah: 40). “Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu.” Namun yang menarik, kadang kata نِعْمَة ditulis dengan tā’ terbuka (نعمت) dalam beberapa Ayat. Misalnya dalam surah Ibrahim:  "وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا" (Ibrahim: 34). Mengapa demikian?

Ibnu al-Bannā’ al-Marrākishī, seorang ahli qirā’āt dan ilmu rasm al-muṣḥaf (penulisan mushaf), menjelaskan bahwa perbedaan penulisan ini bukan tanpa alasan. Kata "نعمت" dengan tā’ terbuka menunjukkan bahwa nikmat tersebut telah terjadi dan berlalu, dan maknanya dekat dengan fi‘il māḍī (kata kerja lampau). Karena itu, bentuk penulisannya pun dibuka (نعمت) sebagaimana fi'il.

Sementara itu, "نعمة" dengan tā’ tertutup menunjukkan bahwa nikmat tersebut bersifat umum atau terus-menerus, sehingga lebih menyerupai ism (kata benda), dan karena itu ditulis dengan tā’ marbūṭah yang menunjukkan kestabilan atau keterikatan waktu. Sebagai contoh: "نعمت الله" (Ibrahim: 34) ditulis dengan tā’ terbuka karena konteks ayat membicarakan nikmat yang telah nyata diberikan dan tidak disyukuri, sebagaimana ditunjukkan oleh penutup ayat:  "إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ"

Sedangkan dalam An-Nahl: 18, bentuknya  "نِعْمَةَ اللَّهِ" dengan tā’ tertutup, karena konteksnya menggambarkan nikmat Allah yang terus mengalir dan tak terhingga, yang kemudian ditutup dengan sifat Allah
"إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Kata "نعمة" dengan tā’ tertutup muncul sebanyak 25 kali dalam Al-Qur’an. Sedangkan "نعمت" dengan tā’ terbuka muncul sebanyak 11 kali. Secara umum, penulisan "نعمة" digunakan untuk menggambarkan nikmat yang umum dan terbatas, sedangkan "نعمت" digunakan untuk nikmat yang bersifat khusus atau terbuka untuk direnungi lebih dalam oleh pembaca.

Menariknya, dalam ilmu rasm al-muṣḥaf, tidak hanya kata "نعمة" yang mengalami dua jenis penulisan. Kata-kata lain seperti:
رحمت، سنت، امرأت، لعنت، شجرت، ابنت، معصيت، فطرت
juga terkadang ditulis dengan tā’ terbuka dalam sebagian mushaf, mengikuti bahasa Quraisy dan Thayy yang membaca dan berhenti dengan suara tā’ bukan hā’. (Beberapa kata sudah pernah saya tulis, terkait dengan kata di atas).

Sebagian ulama qirā’at seperti Ibnu Katsīr, Abu ‘Amr, dan al-Kisā’ī mengikuti qirā’at dengan tā’ terbuka, sedangkan lainnya membacanya dengan hā’ di akhir. Perbedaan ini menjadi bukti bagaimana mushaf Al-Qur’an tidak hanya menjaga lafaz dan makna, tetapi juga memperhatikan keanekaragaman dialek dan qira’at yang sah. Perbedaan antara "نعمة" dan "نعمت" bukanlah sekadar teknis penulisan, tapi menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia menggambarkan waktu, konteks, dan bahkan peringatan tersirat bagi manusia agar merenungkan nikmat yang diberikan Allah—baik yang telah berlalu, yang sedang dirasakan, maupun yang akan datang. Inilah sebagian kecil dari keajaiban rasm al-muṣḥaf dan keindahan bahasa Al-Qur’an yang menantang akal dan menggetarkan hati.

Dan, insyallah berikutnya akan dikaji beberapa rasm (tulisan), dan perbedaan qira'at. Insyallah, semoga selalu diberikan keistiqamaah dan kesehatan. 

Maraji'
Al-Qur'an Al-Karim, Tafsir Ibnu Katsir, Mu'jam Ma'ani, Maqalah furuq rasm al-Qur'an, Furuq baina na'mah wa ni'maah, fidiyuhat Duktur Harun Jad, lamsaat Bayaniyah wa ghariha.

***
Kajian-kajian Al-Qur'an, Mukjizat Al-Quran, Balaghah, Sastra Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🧷 *Fatwa Cinta* _(Saluran WA)_
🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy*
🎼 TikTok *HalimiZuhdy*

Menilik Istilah "Masjid/tempat ibadah Muslim" di beberapa Negara


Halimi Zuhdy

Loh kok "mescit"  kecil banget ya? gumam saya dalam hati. Kebetulan "mescit" atau dalam bahasa Arab adalah masjid (مسجد) berada di rest area perjalanan saya dari Angkra Turki. Sambil menikmati kopi Turki, saya membaca bebeapa maklumat yang ada di dinding mascit tersebut. Aha. Sambil saya bertanya pada orang Turki, apakah mascit ini sama dengan camii? Kata mereka, "berbeda mas". 
Tulisan ini, sedikit mengulik beberapa "istilah" rumah Allah atau tempat beribadah umat Islam di beberapa negara. Bukan untuk memastikan hukum terkait dengan waqaf-nya, apakah boleh dan tidak i'tikaf di dalamnya (sah/tidak), dan hukum lainnya. Hanya terkait dengan nama atau istiah saja. 

Toyyib. Di setiap azan yang berkumandang dari menara-menara masjid, umat Islam di seluruh dunia merespons dengan langkah dan arah yang sama: menuju rumah Allah (baitullah, dan istilah ini sudah saya tulis agak panjang, bisa digoogling ya).he. Namun, tahukah kita bahwa di balik satu kata “masjid” tersembunyi aneka istilah, struktur, bahkan dimensi sosiologis yang berbeda di tiap negara?

Di Indonesia, negeri dengan jumlah masjid terbanyak di dunia, istilah masjid dibedakan secara administratif dan fungsional. Masjid Negara seperti Istiqlal berdiri megah sebagai simbol kebangsaan. Di bawahnya, Masjid Nasional, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, dan Masjid Jami' diklasifikasi berdasarkan wilayah administratif dari provinsi hingga desa. Bahkan mushalla pun punya tempat tersendiri dalam kehidupan sosial, menjadi ruang transendensi di lingkungan terdekat. Loh kok beda-beda? Kok tidak semua tempat dinamakan masjid atau mushallah saja? Dan mengapa di Indoensia berbeda antara masjid dan mushalla? 

Di Indonesia, perbedaan antara masjid, mushalla, langgar, dan surau terletak pada fungsi, ukuran, dan konteks sosial-budaya masing-masing (ini menurut yang saya pahami ya). Masjid adalah tempat ibadah utama umat Islam yang digunakan untuk salat lima waktu, salat Jumat, dan kegiatan keagamaan besar seperti pengajian dan i’tikaf, serta diakui secara resmi dalam administrasi keagamaan. Terus Mushalla?, mushalla yang juga dikenal sebagai langgar atau surau di berbagai daerah, umumnya berukuran lebih kecil dan tidak digunakan untuk salat Jumat, melainkan hanya salat lima waktu berjamaah dan kegiatan keagamaan lokal. Langgar adalah istilah yang banyak digunakan di wilayah Jawa untuk mushalla, kalau di Madura dikenal dengan langger😁. Sementara surau lazim ditemukan di Sumatra Barat dan memiliki peran lebih luas sebagai tempat mengaji, membina generasi muda, bahkan menjadi pusat pendidikan Islam tradisional. Meskipun secara fungsi ketiganya mirip sebagai tempat ibadah harian, nilai historis dan budaya lokal membuat istilah-istilah tersebut hidup dalam ruang sosial yang berbeda di masyarakat.

Lah lalau di Turki, negeri yang dulunya pusat Kekhalifahan Utsmani, hanya ada dua istilah dominan: "Camii" dan "Mescit". "Camii" adalah masjid besar tempat salat Jumat dan kegiatan keagamaan utama. Istilah ini berasal dari kata Arab جامع (jamiʿ), menandakan fungsi himpunannya (pernah saya tulis, asal dari Jamiah, universitas, adalah masjid jami'). Sementara "mescit" mengacu pada tempat ibadah kecil setara mushalla—tanpa khutbah Jumat, namun tak kalah penting sebagai tempat salat lima waktu. 

Di dunia Arab, istilah "masjid" dan "jami’" telah mengakar sejak awal Islam. "Masjid" merujuk pada semua tempat sujud, tetapi "jami’"—dari akar kata "jamaʿa" (menghimpun)—khusus dipakai untuk masjid tempat dilaksanakannya salat Jumat. Lebih menarik lagi, mereka mengenal istilah "musalla" untuk tempat ibadah yang kecil dan sementara. Dan fuangsinya juga tidak jauh berbeda, walau istilah ini di Suadi dan beberapa negara yang pernah saya singgahi agak jarang saya temukan, mungkin kurang jalan-jalan.he. butuh diajak niyeee. 🤩 

Di anak benua India dan Pakistan, istilah "Jama Masjid" menggema sebagai simbol historis dan keagamaan. Contohnya Jama Masjid Delhi, yang dibangun oleh Shah Jahan, menjadi cerminan kejayaan arsitektur sekaligus pusat spiritual umat Islam. Di sini, istilah "jama" tak sekadar merujuk fungsi salat Jumat, melainkan menjadi penanda identitas komunitas Muslim di tengah keragaman. Tapi, karena belum pernah menjejak di bumi India, hanya sekedar mendengar, maka butuh verifikasi dari alumninya.😁 

Beranjak ke Eropa, kita menemukan istilah "mosque" yang umum digunakan, meski di lingkungan diaspora Asia Selatan, istilah "jami masjid" tetap hidup dan ada lo ya. Komunitas Muslim di London, Berlin, atau Paris tak sekadar membangun ruang ibadah, tetapi juga pusat budaya, dialog lintas agama, bahkan benteng identitas di tengah sekularisme modern. Mungkin ada istilah lain, bisa berbagai Ya? 

Menariknya, perbedaan istilah ini tidak hanya semantik. Ia mencerminkan bagaimana umat Islam membingkai fungsi rumah ibadah, bukan hanya sebagai tempat ritual, tetapi juga pusat pendidikan, kebudayaan, dan perjuangan. Di Indonesia, masjid menjadi pusat zakat, pengajian, bahkan kegiatan sosial. Di Eropa, ia menjadi simbol ketahanan identitas. Di Turki, camii" memadukan estetika Bizantium dan spiritualitas Islam. Di Arab, "jami’" menjadi titik pusat masyarakat. Dan mungkin di belahan dunia lain, ada istilah yang berbeda bisa ditulis juga, agar tambah kaya istilah tentang "masjid". 

Asyiknya! Masjid, apapun namanya, selalu menjadi ruang sakral tempat bumi bersujud, manusia bersimpuh, dan peradaban ditata.

Saya jadi teringat sabda Rasulullah SAW
(وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا) رواه البخاري

***
Ket Foto; Masjid Sultan Bayazed II Amasya

Ketika Janda Bertanya


Halimi Zuhdy

Ketika mengisi pengajian di majlis taklim ibu-ibu dan ukhti-ukti, terkadang agak rikuh, selain ganteng sendiri, juga harus selektif memilih kata-kata, takut ada yang baperan dan takut keselio lidah, akan menjadi berabe.wkwkw
ketika memberikan kajian plus pengajian di masjid di ujung kampung tentang besarnya pahala seorang istri yang berbakti kepada suaminya, tentang betapa mudahnya jalan menuju surga bagi wanita yang taat dan sabar dalam rumah tangganya. Jamaah pun terdiam, hanyut bersama suasa. Wkwkw. Apalagi ditambah tema, istri yang romantis dan tidak suka marah-marah sama suaminya, maka pahala akan berlipat.

Di sudut ruang pengajian, seorang wanita paruh baya yang -sepertinya- sudah lama menjanda duduk terdiam. Sepertinya matanya berkaca-kaca (loh kok tahu?). Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Setelah saya selesai berbicara, ia pun mengangkat tangan, suaranya bergetar saat bertanya, "Ustadz... bagaimana dengan saya yang sudah tidak punya suami lagi? Apakah saya masih bisa meraih pahala sebesar itu?"

Seketika suasana hening. Saya hanya bisa diam dan mencoba tersenyum; 

"Ibu... Allah itu Maha Adil dan Maha Penyayang. Jangan pernah merasa bahwa peluang Ibu untuk mendapatkan surga lebih kecil. Justru, di balik setiap keadaan, Allah membukakan jalan pahala yang lain. Ketika Ibu tidak lagi memiliki suami, Allah memberikan Ibu waktu lebih untuk lebih dekat kepada-Nya. Dengan tahajjud Ibu di sepertiga malam, dengan lantunan Ayat-Ayat suci yang Ibu baca, dengan doa-doa panjang yang Ibu panjatkan dalam sepi, semua itu menjadi jalan yang luas menuju rahmat-Nya."

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seutama-utama shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.’” (HR. Muslim, no. 1163). Ibu sekarang punya lebih banyak kesempatan untuk memperbanyak amalan itu."

"Dan bila Ibu menjaga anak-anak Ibu, membesarkan mereka dengan iman dan akhlak yang mulia, itu adalah jalan besar menuju surga. Rasulullah bersabda, ‘Aku dan wanita yang rambutnya kusut dan hitam karena mengurus anak-anaknya (dengan sabar) akan bersama-sama di surga seperti ini,’ beliau mengisyaratkan dua jarinya yang dirapatkan.' (HR. Ahmad, no. 16644)."

"Ketahuilah, setiap pengorbanan Ibu tidak pernah sia-sia. Allah berfirman: ‘Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.’ (QS. Al-Insyirah: 6). Ibu diuji bukan untuk disakiti, tapi untuk dimuliakan. Setiap tetesan air mata dalam kesabaran, setiap kelelahan dalam mendidik anak, setiap doa dalam sunyi malam, itu semua disaksikan dan akan diganjar oleh Allah dengan balasan terbaik."

"Bagi wanita yang masih memiliki suami, jalan mereka melalui ketaatan kepada suami. Bagi wanita yang suaminya telah dipanggil Allah, jalan mereka adalah pengabdian penuh kepada Allah dan amanah keluarga. Kedua-duanya mulia di sisi Allah. Tinggal bagaimana kita husnudhan kepada-Nya."

"Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ajaib sekali urusan orang beriman. Semua perkaranya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, itu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, itu pun kebaikan baginya.’ (HR. Muslim, no. 2999)."

"Jadi Ibu, jangan bersedih. Suami yang telah wafat bukanlah akhir dari kebahagiaan. Ini adalah awal dari perjalanan cinta yang lebih dalam kepada Allah. Hidup akan tetap indah bila kita memandang segala sesuatu dengan mata hati yang bersyukur."

Sepertinya ibu itu pun terdiam dan semoga dapat menjawab pertanyaan ibu tersebut. Dan semoga tulisan di atas, sedikit menjawab pertanyaan janda tersebut atau mungkin yang lainnya.

Mengapa Dinamakan Fi’il Mudhari’?



Halimi Zuhdy

Mungkin pertanyaan di atas, dianggap pertanyaan receh. Semua sudah kenal dan tahu. Tapi, ketika ditanya, tidak sedikit yang mengercitkan dahi alias tidak paham. Sudah dicoba ditanyakan pada beberapa orang, juga tidak tahu, mungkin kebetulan saja.wkwkw. 

Bagi pelajar bahasa Arab, istilah fi’il madhi (ماضى), fi’il mudhari’ (مضارع), dan fi’il amar (الأمر) adalah makanan sehari-hari. Dan biasanya, fi’il madhi dan fi’il amar tidak banyak dipertanyakan. Fi’il madhi artinya lampau—sudah jelas: menunjukkan sesuatu yang sudah terjadi. Fi’il amar artinya perintah—juga terang benderang: digunakan untuk menyuruh.
Namun, bagaimana dengan fi’il mudhari’?
Kenapa tidak dinamakan saja “fi’il hadir” atau “fi’il masa kini”? Bukankah fungsinya memang untuk menunjukkan sesuatu yang sedang atau akan terjadi? Lah. Mereka baru sadar, ketika ditanyakanengapa tidak hal (sekarang) atau mustaqbal (akan datang), atau digabung fi'il فعل الحال والمستقبل.wkwwk. ini hanya ngarang saja. Siapa tahu disetujui. 

Ternyata, jawabannya tidak sesederhana itu. Dalam bahasa Arab, kata "mudhari’" berasal dari akar kata "ض ر ع" yang bermakna "menyerupai atau mirip". Maka, fi’il mudhari’ adalah fi’il yang menyerupai sesuatu (المشابهة). Tapi menyerupai apa? Jawabannya bukan fi’il lain, melainkan isim, lebih tepatnya lagi: isim fa’il (kata benda pelaku). Loh kok bisa, fi'il menyerupai isi. (Sambil merunduk dan senyum kecut).he.

Coba kita bandingkan:

يكتب (ia menulis) → كاتب (penulis)
يجاهد (ia berjihad) → مجاهد (pejuang)
يستعطف (ia memohon belas kasih) → مستعطف (pemohon belas kasih)

Bentuk fi’il mudhari’ dalam contoh di atas secara struktur sangat mirip dengan bentuk isim fa’il. Jumlah hurufnya sama, letak harakat dan sukunnya seirama, bahkan fungsinya pun serupa: menunjukkan keadaan yang sedang atau akan berlangsung.

Lebih dari itu, fi’il mudhari’ dalam kaidah nahwu bersifat "mu’rab"—bisa beubah-ubah sesuai posisi dalam kalimat, sama seperti isim. Bandingkan dengan fi’il madhi dan fi’il amar yang sifatnya mabni—bentuknya tetap dan tidak berubah.

Jadi, ketika para ulama bahasa menamai fi’il mudhari’ bukan dengan nama waktu atau fungsi, melainkan berdasarkan "kemiripan bentuknya dengan isim", mereka sedang menunjukkan bahwa dalam bahasa Arab, penamaan tidak selalu didasarkan pada apa yang dilakukan, tapi bisa juga pada bagaimana bentuknya terlihat.

Di sinilah menariknya:  Fi’il madhi dinamai berdasarkan waktu (telah terjadi). Fi’il amar dinamai berdasarkan fungsi(memerintah). Fi’il mudhari’ dinamai berdasarkan penampilan (menyerupai isim)

Bahasa Arab ternyata tidak hanya logis, tapi juga estetik. Ia tidak cuma bicara tentang apa dan kapan, tapi juga tentang bagaimana sesuatu itu terlihat dan berperilaku. Dan fi’il mudhari’ adalah contoh bahwa sebuah nama dalam bahasa bisa menyimpan filosofi yang dalam. Wkwwkkw. Pasti ada yanb komen, kok bisa tertarik dengan bahasa orang lain.wkwwkw. Kok tidak bangga dengan bahasa Indoensia. Et, jangan ngarang lo ya! 

Maka, tak berlebihan jika kita katakan: nama “fi’il mudhari’” adalah hasil pemikiran yang tidak asal-asalan, melainkan lahir dari perenungan yang mengakar pada kecintaan terhadap struktur bahasa dan keindahannya. Lah, apakah ini ilmiah? Allahua'lam bishawab.

Senin, 21 April 2025

Takhta Kemenangan: Idul Fitri dan Makna Sejati Sebuah Kemenangan #30


_Halimi Zuhdy_

Kemenangan seringkali dikaitkan dengan kejayaan duniawi—politik, bisnis, olahraga, atau akademik. Sorak-sorai dan perayaan mengiringi mereka yang meraih puncak. Namun, adakah kemenangan yang lebih bermakna daripada sekadar euforia sesaat? Kini, Ramadan akan usai, dan Idul Fitri akan kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Ataukah hanya menyelesaikan satu bulan ibadah tanpa perubahan berarti?
Idul Fitri: Kembali ke Fitrah, Bukan Sekadar Perayaan

Banyak orang menganggap Idul Fitri sekadar hari makan bersama, bersilaturahmi, dan berpesta setelah sebulan penuh berpuasa. Padahal, Idul Fitri memiliki makna yang jauh lebih dalam.

Secara etimologi, Idul Fitri berasal dari kata الإفطار (al-iftār), yang berarti “berbuka” setelah menahan diri dari makan dan minum. Kata العيد (al-‘īd) sendiri berasal dari akar kata yang berarti “kembali,” merujuk pada kebahagiaan yang senantiasa datang setiap tahun setelah umat Muslim menuntaskan ibadah mereka (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 694).

Namun, “berbuka” dalam Idul Fitri bukan hanya tentang makanan. Ini adalah perayaan kembalinya manusia kepada fitrah, sebuah kesucian spiritual yang telah ditempa oleh Ramadan. Idul Fitri mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya keberhasilan menahan lapar dan dahaga, tetapi bagaimana seseorang kembali menjadi pribadi yang lebih bersih, lebih baik, dan lebih bertakwa.
Sebagai bagian dari perayaan ini, Islam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyucian jiwa dan harta. Ini bukan hanya amal sosial, melainkan simbol bahwa kemenangan bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.

Dalam Islam, bahkan kebahagiaan pun memiliki aturan. Rasulullah melarang umatnya berpuasa pada hari pertama Idul Fitri sebagai tanda bahwa kebahagiaan setelah Ramadan adalah bagian dari ibadah (Sunan Abu Dawud, 6/305). Namun, apakah perayaan ini cukup untuk disebut sebagai kemenangan sejati?

Kemenangan Hakiki: Takwa sebagai Mahkota Kejayaan

Kemenangan bukan hanya tentang merayakan akhir dari sebuah perjalanan, melainkan tentang hasil dari perjalanan itu sendiri. Allah SWT menegaskan dalam Surat An-Nazi'at ayat 31: “Inna lil muttaqina mafaza”—bahwa kemenangan sejati adalah milik mereka yang bertakwa.

Jika Ramadan adalah medan perjuangan, maka Idul Fitri adalah podium pemenang. Tetapi, siapa pemenang sejati? Mereka bukan hanya yang sukses menahan lapar, melainkan yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik menuju kehidupan yang lebih bertakwa.

Takwa bukanlah sekadar teori, melainkan prinsip hidup. Kemenangan sejati bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga keselamatan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran ayat 185: “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” Maka, kejayaan yang sesungguhnya bukan pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada keteguhan iman dan amal kebaikan yang membawa manusia ke surga.

Pasca-Ramadan: Pembuktian Sejati

Berakhirnya Ramadan bukanlah akhir dari perjalanan spiritual kita. Justru, di sinilah ujian sebenarnya dimulai. Apakah kita hanya menjadi hamba Ramadan, atau benar-benar menjadi hamba Allah? Apakah kebiasaan baik selama Ramadan akan terus kita pertahankan, atau hanya menjadi ritual tahunan yang segera kita tinggalkan? Apakah kita tetap menjaga shalat berjamaah setelah Ramadan? Apakah kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari? Apakah kita tetap menjaga lisan, menahan amarah, dan menjauhi kemaksiatan?

Jangan sampai Ramadan berlalu tanpa meninggalkan bekas dalam diri kita. Sebab, kemenangan sejati bukanlah mereka yang hanya kuat dalam sebulan, tetapi mereka yang mampu istiqamah sepanjang hayati

Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan setelah Ramadan, tetapi tentang pengingat bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kemenangan yang lebih besar: kemenangan di akhirat. Dunia akan terus menawarkan kejayaan semu, tetapi hanya satu kemenangan yang benar-benar berharga: ketika kita kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Ankabut ayat 58: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.”

Jadi, Ramadan telah usai. Idul Fitri kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Atau hanya terjebak dalam euforia sesaat? Jawabannya ada dalam pilihan kita sendiri.

Injury Time Ramadan: Masih Adakah Kesempatan untuk Mencetak Gol? #29


_Halimi Zuhdy_

Ramadan adalah madrasah ruhani yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan pengendalian diri. Bulan ini bak sungai jernih tempat kita mencuci dosa, tempat kita menambal kebocoran iman, dan tempat kita menajamkan kembali tekad ketakwaan. Namun kini, Ramadan hampir berlalu. Kita di ambang fajar kemenangan. Tapi benarkah kita telah menang?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa goal (tujuan akhir) Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Maka, kemenangan bukan tentang berhasil menuntaskan ibadah puasa, melainkan apakah puasa telah membentuk kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa.

Jika Ramadan adalah ladang, maka Syawal adalah masa panen. Seorang petani tidak merayakan panennya jika ia tahu ladangnya hampa. Seorang musafir tidak bergembira di akhir perjalanan jika ia sadar bahwa ia telah tersesat. Maka, hari kemenangan sejati adalah bagi mereka yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik dalam hidupnya.

Rasulullah SAW bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا ٱلجُوعُ وَٱلعَطَشُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini adalah cermin untuk diri kita. Ramadan seharusnya membentuk kita menjadi lebih jujur, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih dekat kepada Allah. Jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan lama, kembali lalai dalam ibadah, kembali membiarkan hawa nafsu berkuasa, lalu di mana letak kemenangan itu?

Ulama besar Hasan Al-Bashri dalam Lathaiful Ma'arif pernah berkata:

إِنَّ ٱللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِخَلْقِهِ يَتَنَافَسُونَ فِيهِ فِي ٱلطَّاعَةِ فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai perlombaan bagi hamba-hamba-Nya dalam ketaatan. Maka, ada yang menang dan ada yang kalah. Betapa menyedihkan orang yang hanya sibuk bermain dan bersenang-senang di hari kemenangan, padahal ia termasuk yang kalah dalam perlombaan itu."

Injury Time Ramadan: Masih Bisa Mencetak Gol?

Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Waktu hampir habis, injury time sudah berjalan. Di momen seperti ini, tim yang unggul tetap waspada agar tidak lengah, sementara tim yang tertinggal masih berjuang mati-matian untuk mencetak gol terakhir. Begitulah kita di penghujung Ramadan. Apakah kita tim yang siap meraih kemenangan, ataukah kita masih harus mengejar ketertinggalan?

Bagi mereka yang merasa belum maksimal dalam ibadah, masih ada injury time Ramadan untuk mengejar gol terakhir. Masih ada malam-malam penuh doa, masih ada kesempatan untuk bertaubat, masih ada peluang mencetak gol kemenangan dengan memperbanyak sedekah, dzikir, dan amal saleh.

Namun, bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhir kita?

Bagaimana jika ini adalah saat-saat terakhir kita memohon ampun? Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhir kita untuk sujud, menangis, dan meminta Allah menghapus dosa-dosa kita? Tidak ada yang tahu apakah kita akan bertemu Ramadan lagi. Maka, jangan sia-siakan injury time ini. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita memastikan diri keluar sebagai pemenang sejati.

Goal Puasa: Apakah Kita Berhasil Mencetaknya?

Setiap ibadah memiliki tujuannya. Goal dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Goal dari zakat adalah menyucikan harta dan jiwa. Lalu, apa goal dari puasa? Tak lain adalah takwa, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 183. Jika setelah Ramadan kita tetap istiqamah dalam ibadah, menjaga lisan dari ghibah dan dusta, tetap rendah hati dan dermawan, serta semakin dekat kepada Allah, maka kita telah mencetak goal kemenangan.

Namun, jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan buruk, meninggalkan shalat berjamaah, lalai dalam ibadah, atau kembali dikuasai hawa nafsu, maka puasa kita hanya menjadi ritual tanpa makna. Seperti tim yang gagal mencetak gol, kita hanya berlari-lari di lapangan tanpa hasil.

Hari Raya Idulfitri bukanlah sekadar pesta, bukan ajang bermegah-megahan. Ia adalah perayaan bagi mereka yang telah berjuang. Maka, sebelum takbir kemenangan menggema, mari bertanya pada diri sendiri: apakah Ramadan telah menjadikan kita hamba yang lebih baik? Apakah kita layak merayakan kemenangan, atau justru kita harus menangisi kekalahan?

Bagi mereka yang masih merasakan air mata tobat membasahi pipi, yang hatinya bergetar di ujung malam-malam terakhir Ramadan, yang tetap istiqamah dalam ibadah meski Ramadan hampir berlalu—merekalah pemenang sejati. Dan bagi yang merasa masih jauh dari kemenangan, masih ada waktu untuk bersimpuh, memohon agar Allah menjadikan kita bagian dari mereka yang benar-benar kembali dalam keadaan fitrah.

Jika ini Ramadan terakhir kita, maka pastikan kita menutupnya dengan kemenangan sejati. Sebab pemenang sejati adalah mereka yang menjadikan setiap bulan layaknya Ramadan, dan menjadikan hidup ini sebagai perjalanan menuju Allah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Mudik vs Iktikaf: Dilema Ramadan di Era Modern #28



Halimi Zuhdy

Ramadan adalah bulan penuh berkah di mana umat Islam berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah. Namun, di era modern, banyak Muslim menghadapi dilema antara menjalankan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan atau mudik untuk bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman.
Mudik bukanlah fenomena baru. Tradisi pulang kampung telah berlangsung sejak lama, bahkan di era sebelum transportasi modern berkembang. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi bagian dari penghormatan kepada orang tua, mempererat hubungan keluarga, dan menghidupkan tradisi kebersamaan dalam menyambut Idulfitri. Namun, di tengah semangat mudik, umat Islam tetap perlu memperhatikan pentingnya mengoptimalkan sepuluh malam terakhir Ramadan, yang merupakan waktu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mudik dan Keutamaannya dalam Islam

Mudik erat kaitannya dengan silaturahim, yang merupakan ajaran utama dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, Islam juga mengajarkan bahwa iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan memiliki keutamaan luar biasa. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187).

Rasulullah SAW sendiri selalu melaksanakan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan, sebagaimana dalam hadis:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Rasulullah SAW selalu beriktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana Pemudik Bisa Mengoptimalkan Sepuluh Malam Terakhir?

Agar tetap mendapatkan keutamaan sepuluh malam terakhir di tengah tradisi mudik, berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Mudik Lebih Awal
Jika memungkinkan, lakukan mudik sebelum sepuluh malam terakhir Ramadan. Dengan demikian, ketika malam-malam istimewa itu tiba, fokus ibadah bisa lebih maksimal. 10 hari terkahir tidak pernah datang kembali, kecuali hanya sekali dalam setahun, atau mudik setelah hari raya, memang satu sisi berat, tapi satu sisi lainnya "eman" meninggalkan malam-malam istimewa.


2. Memanfaatkan Waktu di Perjalanan
Perjalanan mudik sering memakan waktu lama. Gunakan waktu ini dengan memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, atau mendengarkan kajian Islam agar perjalanan tetap bernilai ibadah. Dan atau memanfaatkan dalam perjalanan dengan merenungkan diri, bertaddubur, dan mengkaji Al-Qur'an, dan hal-hal lain yang bermanfaat. 

3. Iktikaf di Masjid Kampung Halaman
Banyak masjid di kampung halaman juga mengadakan iktikaf. Jika sudah sampai di rumah orang tua, cobalah tetap meluangkan waktu untuk iktikaf, meskipun hanya beberapa malam. 

4. Meningkatkan Kualitas Ibadah di Rumah
Jika tidak bisa iktikaf secara penuh, tetaplah menghidupkan malam-malam Ramadan dengan shalat malam, membaca Al-Qur'an, dan berdoa di rumah. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya pada malam hari ada suatu saat di mana seorang Muslim yang memohon kepada Allah suatu kebaikan dari urusan dunia dan akhirat, pasti akan dikabulkan. Dan itu terjadi setiap malam." (HR. Muslim).


5. Menggunakan Teknologi untuk Silaturahim
Jika tidak bisa mudik atau ingin lebih memanfaatkan malam-malam terakhir untuk iktikaf, manfaatkan teknologi untuk tetap bersilaturahim dengan keluarga melalui video call atau pesan digital.

Mudik dan iktikaf sama-sama memiliki keutamaan besar dalam Islam. Silaturahim memperkuat hubungan antar sesama manusia, sementara iktikaf memperkuat hubungan dengan Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menyeimbangkan keduanya dengan bijak agar tidak kehilangan keutamaan dari salah satu ibadah ini.

Dengan perencanaan waktu yang baik, setiap Muslim dapat menjalankan mudik sekaligus tetap mendapatkan keberkahan sepuluh malam terakhir Ramadan. Ramadan adalah waktu terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam menjaga silaturahim dengan sesama.

Bukan Sekadar Ritual: Makna Sejati Zakat Fitrah #27


Halimi Zuhdy

Setiap tahun, ketika memasuki hari-hari terakhir Ramadan, umat Islam mulai berbondong-bondong menunaikan zakat fitrah. Tren ini semakin terasa dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat sebagai penyempurna ibadah puasa. Masjid-masjid, lembaga amil zakat, hingga platform digital sibuk menerima dan menyalurkan zakat dari berbagai kalangan. Namun, di tengah kemudahan akses pembayaran zakat yang semakin berkembang, muncul pula fenomena di mana sebagian orang menunaikannya hanya sebagai rutinitas tanpa memahami makna dan hikmahnya. Padahal, zakat fitrah bukan sekadar kewajiban, melainkan sarana penyucian diri sekaligus bentuk kepedulian sosial agar kebahagiaan Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika kita menggali lebih dalam, zakat fitrah memiliki makna spiritual, sosial, dan ekonomi yang sangat kuat.  
Kewajiban yang Wajib Dijalankan Tepat Waktu

Secara syariat, zakat fitrah diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta pada hari raya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Rasulullah SAW menetapkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari Ramadan:  

"طـُهرة للصائم من اللغو والرفث، وطـُعمة للمساكين" 

(Ia adalah penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor, serta makanan bagi orang miskin).  

Ketentuan pembayarannya pun jelas. Zakat fitrah wajib ditunaikan sebelum salat Idulfitri, dengan jumlah sekitar satu sha’ (sekitar 2,5–3 kg) makanan pokok, seperti beras atau gandum, atau dapat diganti dengan nilai setara dalam bentuk uang, sesuai kebijakan ulama setempat.  

Adapun waktu terbaik membayar zakat fitrah adalah sejak awal Ramadan, namun paling lambat sebelum salat Idulfitri. Jika diberikan setelah itu, hukumnya menjadi sedekah biasa, bukan lagi zakat fitrah.  

Hikmah di Balik Zakat Fitrah

Lebih dari sekadar kewajiban, zakat fitrah menyimpan berbagai hikmah mendalam:  

1. Penyucian Jiwa dan Kesempurnaan Puasa  
   Selama sebulan penuh, kita berusaha menahan diri dari makan, minum, dan berbagai hal yang membatalkan puasa. Namun, manusia tidak luput dari kesalahan. Bisa jadi, ada ucapan sia-sia atau sikap yang kurang baik selama berpuasa. Zakat fitrah menjadi penyempurna ibadah puasa kita, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW di atas.  

2. Membantu Fakir Miskin Merayakan Idulfitri
   Salah satu tujuan utama zakat fitrah adalah agar kaum dhuafa tidak merasa kekurangan di hari raya. Rasulullah SAW menegaskan bahwa zakat fitrah adalah makanan bagi orang miskin, sehingga mereka tidak perlu meminta-minta di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan: "Zakat fitrah diwajibkan untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin di hari raya, sehingga mereka tidak merasakan kesulitan di saat kaum Muslimin merayakan kemenangan." 

3. Mengokohkan Solidaritas Sosial  
   Islam tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama. Zakat fitrah menumbuhkan rasa empati dan kepedulian sosial, serta memastikan bahwa tidak ada kesenjangan ekonomi yang mencolok di hari kemenangan.  

4. Meneguhkan Prinsip Keadilan dan Keberkahan Harta
   Dalam Islam, harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita. Ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Firman Allah dalam QS. Az-Zariyat ayat 19 menegaskan:  

"وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ"
   (Dan pada harta-harta mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian).

   Dengan membayar zakat fitrah, kita diajarkan bahwa harta yang berkah adalah harta yang bermanfaat bagi banyak orang.  

Mengembalikan Makna Sejati Zakat Fitrah 

Di era modern ini, zakat fitrah sering kali dianggap sebagai formalitas belaka. Tidak sedikit yang membayarnya hanya agar sah berlebaran, tanpa memahami nilai-nilai spiritual dan sosial di baliknya. Padahal, jika ditunaikan dengan kesadaran penuh, zakat fitrah bisa menjadi instrumen penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.  

Karena itu, mari kita jadikan zakat fitrah lebih dari sekadar kewajiban tahunan. Tunasikan tepat waktu, pahami hikmahnya, dan hayati esensinya. Dengan begitu, Idulfitri benar-benar menjadi hari kemenangan, bukan hanya bagi yang mampu, tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan. Sebab, kebahagiaan sejati adalah ketika semua orang dapat tersenyum bersama.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Zakat, Konsumsi, dan Keadilan Sosial: Ramadan yang Belum Selesai* #26



_Halimi Zuhdy_

Setiap Ramadan selalu muncul pertanyaan tentang kewajiban zakat profesi, juga tentang zakat konten kreator seperti YouTuber, TikToker, Selebgram dan lainnya. Ada yang berkelit untuk tidak memenuhi kewajibannya membayar zakat, dengan berbagai alasan, tetapi ada juga yang berhati-hati untuk membayar zakat dengan beberapa persyaratan yang ada. Tapi, dari berbagai perdebatan itu, ada yang terus mengkonsumsi barang-barang mewah, sambil berpuasa, namun tidak memenuhi zakatnya. Terus bagaimana keadilan sosialnya? 
Ramadan hampir berakhir, dan sebagian besar dari kita sudah mulai bersiap menyambut Idulfitri. Pasar dan pusat perbelanjaan penuh sesak, antrean belanja semakin panjang, dan transaksi ekonomi melonjak drastis. Namun, di tengah euforia ini, sebuah pertanyaan penting harus kita renungkan: apakah Ramadan hanya soal ritual atau ada pesan sosial yang harus terus kita hidupkan?

Salah satu pilar utama Ramadan adalah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah sistem yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan sosial. Allah SWT berfirman:

"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ"
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…" (QS. At-Taubah: 103).

Namun ironinya, di saat sebagian orang menunaikan zakat, sebagian lainnya tenggelam dalam konsumsi berlebihan. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri justru berubah menjadi ajang pesta belanja. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan:

"لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ"
"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan (sejati) adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan ini selaras dengan ajaran Islam tentang keadilan sosial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa salah satu tujuan utama zakat adalah memastikan distribusi kekayaan yang adil, agar tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Allah SWT berfirman:

"كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ"
"Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS. Al-Hasyr: 7).

Sayangnya, semangat ini sering kali pudar setelah Ramadan berlalu. Zakat memang dibayarkan, tetapi konsumsi masih timpang—sebagian berfoya-foya, sementara sebagian lain tetap hidup dalam keterbatasan. Kita perlu bertanya, apakah keadilan sosial yang diajarkan Ramadan hanya berlaku sebulan dalam setahun?

Ramadan belum selesai jika spiritnya belum benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat berbagi, empati terhadap kaum dhuafa, dan kesadaran untuk tidak berlebihan dalam konsumsi harus menjadi kebiasaan yang berlanjut. Rasulullah ﷺ bersabda:

قال رسول الله ﷺ:
"إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب فإنما هو استدراج، ثم تلا قوله تعالى: (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ)"
(“Jika engkau melihat Allah memberikan seseorang kenikmatan dunia dalam kemaksiatannya, maka itu hanyalah istidraj.” Kemudian beliau membaca firman Allah: "Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kenikmatan) untuk mereka. Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.") (QS. Al-An’am: 44) (HR. Ahmad).

Jangan sampai Ramadan hanya menjadi momen seremonial tanpa meninggalkan dampak nyata dalam kehidupan kita. Jika keadilan sosial hanya kita ingat saat membayar zakat, tetapi kita lupakan dalam keseharian, maka esensi Ramadan belum benar-benar kita pahami.

Maka, setelah Ramadan ini, mari terus hidupkan semangat zakat dengan kepedulian nyata, kurangi konsumsi berlebihan, dan jadikan keadilan sosial sebagai prinsip hidup, bukan sekadar rutinitas tahunan. Ramadan memang berakhir, tetapi nilai-nilainya harus terus hidup.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Finish Strong! Akhir Ramadan adalah Momentum Terbaik #25


Halimi Zuhdy

Ramadan telah memasuki fase akhir, dan inilah saatnya untuk meningkatkan semangat ibadah. Jangan biarkan kelelahan atau kesibukan duniawi menghalangi kita meraih keberkahan terbesar. Justru di sepuluh malam terakhir ini, Allah SWT menyimpan rahasia kemuliaan yang hanya bisa didapatkan oleh mereka yang bersungguh-sungguh.
Allah SWT berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (ajal)."
(QS. Al-Hijr: 99)

Ini adalah ajakan untuk terus beribadah tanpa henti. Terlebih lagi, Rasulullah SAW memberikan teladan terbaik dalam memanfaatkan momentum sepuluh hari terakhir Ramadan.

Kesungguhan Nabi Muhammad SAW dan Salaf di Akhir Ramadan

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

"Rasulullah SAW apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya."
(HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis ini, terdapat isyarat betapa seriusnya Rasulullah SAW dalam menghidupkan sepuluh malam terakhir. Mengenai hadis ini, para ulama memberikan berbagai penjelasan yang semakin menguatkan pentingnya kesungguhan di akhir Ramadan:

Imam Al-Khattabi berkata:
قولها: " شد مئزره" معناه هجران النساء, ويحتمل أن تكون قد أردت أيضًا الجدّ والانكماش في العبادة.

“Ucapannya: ‘mengencangkan ikat pinggangnya’ bermakna menjauhi wanita (istri), dan bisa juga bermakna bersungguh-sungguh serta tekun dalam ibadah.”

Imam An-Nawawi juga berkata:
في هذا الحديث أنه يستحب أن يزاد من العبادات في العشر الأواخر من رمضان, واستحباب إحياء لياليه بالعبادات.

“Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadan, serta dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani  menjelaskan:

" أحيا ليله " أي سهره فأحياه بالطاعة, وأحي نفسه بسهره فيه, لأن النوم أخو الموت.

“‘Menghidupkan malamnya’ maksudnya adalah beliau terjaga sepanjang malam dan menghidupkannya dengan ketaatan. Beliau juga menghidupkan dirinya sendiri dengan begadang di dalamnya, karena tidur adalah saudara kematian.”

Tidak hanya Rasulullah SAW, para sahabat dan salafus shalih juga menunjukkan peningkatan ibadah di sepuluh malam terakhir. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Yang paling aku sukai saat memasuki sepuluh malam terakhir adalah seseorang menghidupkan malam dengan tahajud dan bersungguh-sungguh dalam ibadah.”


Amalan Khusus di Akhir Ramadan

Selain meningkatkan ibadah, para salaf juga memiliki kebiasaan khusus dalam menghadapi malam-malam terakhir Ramadan.

1. Mandi dan Menggunakan Wewangian

Sebagian ulama salaf mengajarkan bahwa bersiap diri dengan mandi dan mengenakan pakaian terbaik adalah bagian dari persiapan menyambut Lailatul Qadar.

Ibnu Jarir  berkata:
كانوا يستحبون أن يغتسلوا كل ليلة من ليالي العشر الأواخر.

“Mereka (salaf) menyukai untuk mandi setiap malam dari sepuluh malam terakhir.”

Imam An-Nakha’i juga melakukan hal yang sama, bahkan beliau mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir.

2. Menantikan Malam-Malam Kemuliaan dengan Rindu

Bagi para pencinta ibadah, malam-malam terakhir Ramadan adalah momen yang dinantikan sepanjang tahun.

Imam Ibnu Rajab berkata:

المحبون تطول عليهم الليالي فيعدونها لانتظار ليالي العشر في كل عام, فإذا ظفروا بها نالوا مطلوبهم وخدموا محبوبهم.

“Orang-orang yang mencintai (Ramadan) merasa bahwa malam-malam sepanjang tahun terasa panjang karena mereka menghitungnya demi menantikan sepuluh malam terakhir setiap tahun. Ketika mereka akhirnya mendapatkannya, mereka pun meraih apa yang mereka inginkan dan mengabdikan diri kepada yang mereka cintai (Allah).”

Ramadan hampir berlalu, dan kita belum tahu apakah akan bertemu lagi dengannya tahun depan. Saatnya kita semakin giat, bukan malah melemah. Rasulullah SAW dan para salaf telah memberi contoh bagaimana kita seharusnya menghadapi sepuluh malam terakhir ini—dengan semangat penuh, bukan kelelahan dan kemalasan.

Sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri :

إنَّ اللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِعِبَادِهِ يَتَسَابَقُونَ فِيهِ لِطَاعَتِهِ، فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا، وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai arena perlombaan bagi hamba-hamba-Nya agar mereka berlomba-lomba dalam ketaatan kepada-Nya. Maka ada yang menang dan ada yang kalah."

Maka, pastikan kita menjadi pemenang, bukan yang tertinggal. Finish strong! Sebab akhir Ramadan adalah momentum terbaik untuk meraih ridha dan ampunan Allah SAW.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Mengi’tikafkan Tubuh, Menghijrahkan Hati dan Pikiran #24

Halimi Zuhdy

Indah sekali ajaran Islam, dalam setiap gerak ibadahnya ada harmoni, hening, dan senyap yang menyelipkan makna mendalam. Dalam gerak hidup muslim ada puasa, dalam puasa terselip i’tikaf, dan dalam i’tikaf tersua tuma’ninah—ketenangan jiwa yang mendekatkan kita kepada hakikat diri.  
Dalam shalat, ada gerak; takbir, rukuk, sujud, i’tidal, dan tahiyyat, tetapi di sela-sela gerak itu tersisip tuma’ninah. Dalam haji, ada thawaf, sa’i, dan jumrah, tetapi semua itu berpuncak pada wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan berdiam di Mina—sebuah harmoni antara gerak dan diam, antara ikhtiar dan kepasrahan.  

Untuk menjadi kupu-kupu yang membunga warna, yang terbang mengejar kumbang dan menyapa alam dengan keindahannya, ia bermula dengan berpuasa—menepi dalam kepompong, menghijrahkan tubuh, hati, dan pikirannya dari keramaian dunia. Dari ulat yang menjijikkan, ia menghilang dalam keheningan i’tikaf, bertafakkur dalam dengkur, melihat alam dalam senyap, sebelum akhirnya mengepakkan sayap ke angkasa, bertebar di antara bunga-bunga sebagai simbol kemenangan.  

Allah berfirman:  
وَاعْتَكِفُوا فِي الْمَسَاجِدِ  

"Dan beriktikaflah kamu di masjid-masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)  

I’tikaf bukan sekadar diam dalam masjid, tetapi ia adalah perjalanan batin. Ia adalah upaya membersihkan hati dari penyakit iri, dengki, sombong, riya’, su'udzan, dan syahwat dunia. I’tikaf bukan melarikan diri dari realitas kehidupan, tetapi justru menata ulang orientasi jiwa, mengistirahatkan hati dari hiruk-pikuk dunia, agar ia kembali lebih bercahaya.  

Menepi Bukan untuk Menghindar, tetapi untuk Menemukan 

Beri’tikaf bukan berarti menyendiri untuk menutup diri, tetapi bersembunyi sejenak untuk menguatkan hati dan mengakarkan pikiran. Seperti benih yang tertanam dalam tanah, ia tidak hilang, tetapi tengah mempersiapkan diri untuk menjulang, menghamparkan dedaunan, dan melahirkan buah yang menyegarkan.  

Kelihatan tenangnya air di sungai bukanlah tanda ia membeku, tetapi justru karena ia memiliki arus yang kuat menggerus segala yang kaku. Seperti itu pula i’tikaf, tampak diam tetapi sesungguhnya ia adalah perjalanan batin yang mengguncang.  

Rasulullah SAW bersabda:  
مَنْ اعْتَكَفَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 
"Barang siapa beri’tikaf dengan penuh iman dan pengharapan kepada Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."(HR. Al-Bukhari)  

Lihatlah langit ketika malam, ia tampak gelap dan sunyi, tetapi sesungguhnya ia penuh dengan cahaya bintang. Begitulah hati yang beri’tikaf—di saat manusia tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, ia justru bercahaya dalam diamnya, dalam zikirnya, dalam bacaannya terhadap Kalamullah.  

Beri’tikaf Bukan Sekadar Menunggu Lailatul Qadar, tetapi Menemukan Diri 

Banyak orang mengira i’tikaf hanya untuk berburu Lailatul Qadar. Padahal, lebih dari itu, i’tikaf adalah ihtibas—memenjarakan diri dari gemerlap dunia, agar kita tidak menjadi hamba dunia. Sejenak kita melepaskan diri dari kesibukan fana, karena kehidupan yang sejati bukan di dunia, tetapi di keabadian nanti.  

Saat ini, Ramadan mulai menghitung hari. Bulan yang penuh keberkahan akan segera pergi, dan kita harus menunggu sebelas bulan lagi untuk bertemu dengannya kembali. Maka, mari kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya.  

Mari kita ber’tikaf, mengajar hati, mempelajari diri, dan menemukan pikir kembali dalam Rumah Tuhan yang penuh cahaya ilahi. Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali—benar-benar kembali, ke kehidupan yang sesungguhnya, dan takkan pernah kembali lagi ke dunia.

I’tikaf di Era Digital: Bisakah Kita ‘Offline’ Karena Allah? #23

Halimi Zuhdy

Di tengah era digital yang semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari, praktik ibadah i’tikaf menghadapi tantangan baru. Jika dahulu seseorang yang ber-i’tikaf meninggalkan dunia luar untuk berkhalwat dengan Allah di masjid, kini tantangan utamanya bukan lagi sekadar meninggalkan aktivitas duniawi, tetapi juga melepaskan diri dari keterikatan digital. Bisakah kita benar-benar ‘offline’ demi Allah?  

I’tikaf adalah ibadah sunnah yang dilakukan dengan berdiam diri di masjid, fokus pada ibadah, dan menjauh dari kesibukan dunia. Allah SWT berfirman:  
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)

I’tikaf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak shalat, dzikir, membaca Al-Qur'an, dan merenungkan makna kehidupan. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menjalankan i’tikaf. Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:  

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
 
"Nabi SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat." (HR. Bukhari & Muslim).

Godaan Digital dalam I’tikaf
 
Di era digital, tantangan terbesar dalam i’tikaf bukan hanya godaan fisik, tetapi juga godaan digital. Ponsel pintar yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan sumber ilmu, sering kali justru menjadi penghalang bagi kekhusyukan ibadah.  

Seorang mutakif (orang yang beri’tikaf) bisa saja duduk di masjid, tapi pikirannya tetap sibuk dengan notifikasi WhatsApp, media sosial, atau video pendek yang menggoda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 
 
إِذَا امْتَلَأَ الْقَلْبُ بِالدُّنْيَا فَلَا مَحَلَّ فِيهِ لِلْمُنَاجَاةِ

"Jika hati sudah dipenuhi dengan kesibukan dunia, maka sulit baginya untuk merasakan kelezatan bermunajat kepada Allah." (Madarij As-Salikin, 3/156) 

Lalu, bagaimana agar i’tikaf benar-benar menjadi momen yang berkualitas di era digital ini?  

Berani ‘Offline’ Demi Allah

Agar i’tikaf tetap bermakna dan tidak sekadar menjadi formalitas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:  

1. Niat yang Lurus dan Kuat 
   I’tikaf bukan hanya sekadar tinggal di masjid, tetapi benar-benar mengarahkan hati kepada Allah. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:  

    الاعتكاف هو قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بالخالق
 
   "I’tikaf adalah memutus hubungan dengan makhluk dan menyambung hubungan dengan Al-Khaliq." (Al-Majmu’, 6/404)  

   Oleh karena itu, sebelum memasuki i’tikaf, pastikan niat sudah benar, yakni untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar ingin mencari suasana baru atau bersantai.  
2. Kurangi atau Hindari Gadget  
   Jika memungkinkan, matikan ponsel atau gunakan hanya untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an digital atau mendengarkan kajian. Jika tidak bisa sepenuhnya offline, setidaknya batasi penggunaannya dan hindari media sosial yang bisa mengganggu kekhusyukan.  

3. Maksimalkan Interaksi dengan Al-Qur'an 
   I’tikaf adalah waktu terbaik untuk memperbanyak membaca, menghafal, dan mentadabburi Al-Qur'an. Dalam sebuah riwayat disebutkan:  

  كَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

   "Jibril ‘alaihis salam selalu menemui Rasulullah SAW setiap malam di bulan Ramadhan dan membacakan Al-Qur’an bersamanya." (HR. Bukhari & Muslim)  

4. Perbanyak Dzikir dan Muhasabah 
   I’tikaf bukan sekadar ‘diam di masjid’, tetapi juga memperbanyak dzikir dan introspeksi diri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:  

  إِذَا لَمْ يَشْتَغِلِ العَبْدُ بِالْخَيْرِ اشْتَغَلَ بِالشَّرِّ
  
   "Jika seorang hamba tidak menyibukkan dirinya dengan kebaikan, maka pasti ia akan disibukkan oleh keburukan." (Majmu’ Al-Fatawa, 10/40) 

   Oleh karena itu, alihkan perhatian dari layar ke sajadah, dari scrolling media sosial ke berdzikir dan berdoa.  

Era digital membawa banyak manfaat, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi kekhusyukan ibadah. I’tikaf adalah momen untuk benar-benar ‘disconnect’ dari dunia dan ‘reconnect’ dengan Allah. Jika kita mampu meninggalkan urusan dunia sementara demi i’tikaf, mengapa tidak mencoba meninggalkan ponsel dan media sosial untuk beberapa hari?  

Sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali rahimahullah:  
إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ قَدْرَ الدُّنْيَا، فَاسْتَمِعْ إِلَى كَلَامِ الْمَوْتَى
"Jika engkau ingin tahu hakikat dunia, dengarkanlah nasihat dari mereka yang telah mati." (Ihya ‘Ulumuddin, 4/412) 

Semoga kita semua bisa menjadikan i’tikaf sebagai ibadah yang penuh makna, bukan sekadar ritual tanpa ruh. Saatnya berani ‘offline’ karena Allah!  

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Minggu, 06 April 2025

Mendekati Ujung Ramadan: Saatnya Evaluasi dan Maksimalkan Ibadah #22



Halimi Zuhdy

Ramadan, bulan penuh berkah, kini hampir mencapai garis akhir. Waktu terasa berlalu begitu cepat, meninggalkan pertanyaan reflektif bagi kita semua: sejauh mana kita telah memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah amal ibadah kita meningkat? Atau justru masih banyak kelalaian yang belum diperbaiki?  
Fenomena yang sering terjadi menjelang akhir Ramadan adalah perbedaan sikap umat Islam dalam menyikapi hari-hari terakhir. Ada yang semakin giat beribadah, menyadari betapa sedikitnya waktu tersisa untuk meraih keberkahan Ramadan. Namun, tak sedikit pula yang justru mulai lalai—sibuk dengan persiapan Lebaran, belanja baju baru, atau merancang perjalanan mudik, hingga melupakan esensi Ramadan itu sendiri.  

Ironisnya, di awal Ramadan masjid penuh, tadarus ramai, dan shalat malam semarak. Namun, saat mendekati akhir bulan, semangat itu justru menurun. Padahal, Rasulullah SAW justru meningkatkan ibadahnya di sepuluh hari terakhir Ramadan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  

عن عائشة رضي الله عنها قالت: "كان النبي ﷺ إذا دخل العشر شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله."
(رواه البخاري ومسلم)  

"Adalah Nabi ﷺ jika telah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadan), beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh, dan mengencangkan sarungnya." (HR. Bukhari dan Muslim)  

Evaluasi Diri: Apakah Ramadan Kita Berhasil?
  
Mendekati ujung Ramadan adalah momen terbaik untuk melakukan evaluasi spiritual. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:  

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾  
(سورة الحشر: 18) 

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr: 18)  

Seorang ulama besar, Imam Hasan al-Bashri, pernah berkata:  
"إِنَّ الْمُؤْمِنَ جَمَعَ إِحْسَانًا وَشَفَقَةً، وَإِنَّ الْمُنَافِقَ جَمَعَ إِسَاءَةً وَأَمْنًا."

"Sesungguhnya seorang mukmin itu adalah orang yang selalu mengintrospeksi dirinya dan memperbaikinya, sedangkan orang yang lalai justru terus berbuat dosa tanpa merasa bersalah."

Maka, sebelum Ramadan benar-benar pergi, kita harus bergegas. Jika amalan kita masih sedikit, tambahlah. Jika ada kekurangan, perbaikilah. Jangan sampai kita tergolong orang yang disebut Rasulullah SAW dalam haditsnya:  

"رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ."
(رواه أحمد وابن ماجه)

"Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)  

Maksimalkan Ibadah di Sisa Ramadan

Ulama salaf sangat menghargai momen akhir Ramadan. Mereka memaksimalkan ibadah, menangis dalam sujud, memperbanyak doa dan istighfar, serta bersedekah lebih banyak. Dalam sebuah riwayat, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:  
"أُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَزِيدَ فِي الْعِبَادَةِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لِأَنَّ فِيهَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ." 

"Aku lebih menyukai seseorang memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadan dibanding hari-hari sebelumnya, karena di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan." 

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan sisa Ramadan:  
1. Perbanyak I’tikaf – Rasulullah SAW sangat menekankan ibadah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah.  
2. Tingkatkan shalat malam dan doa– Berdoalah dengan penuh kesungguhan, terutama di malam-malam ganjil.  
3. Sedekah lebih banyak – Jangan hanya fokus pada persiapan Lebaran, tetapi juga berbagi dengan sesama.  
4. Perbanyak istighfar dan taubat – Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa memperbaiki hubungan kita dengan Allah.  
5. Baca dan tadabbur Al-Qur’an– Jangan hanya mengejar target khatam, tetapi juga resapi maknanya.  

Mari jadikan sisa Ramadan ini sebagai kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:  

"رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ."
(رواه أحمد)  

"Celakalah seseorang yang mendapatkan Ramadan, namun dosanya tidak diampuni." (HR. Ahmad)  

Jangan sampai kita termasuk orang yang menyia-nyiakan Ramadan. Jika kita belum maksimal, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Mari kita tutup Ramadan ini dengan amalan terbaik, agar kita benar-benar keluar dari bulan ini dengan predikat taqwa dan menjadi pribadi yang lebih baik.  

Wallahul Musta'an wailahittuklan