السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Senin, 21 April 2025

Takhta Kemenangan: Idul Fitri dan Makna Sejati Sebuah Kemenangan #30


_Halimi Zuhdy_

Kemenangan seringkali dikaitkan dengan kejayaan duniawi—politik, bisnis, olahraga, atau akademik. Sorak-sorai dan perayaan mengiringi mereka yang meraih puncak. Namun, adakah kemenangan yang lebih bermakna daripada sekadar euforia sesaat? Kini, Ramadan akan usai, dan Idul Fitri akan kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Ataukah hanya menyelesaikan satu bulan ibadah tanpa perubahan berarti?
Idul Fitri: Kembali ke Fitrah, Bukan Sekadar Perayaan

Banyak orang menganggap Idul Fitri sekadar hari makan bersama, bersilaturahmi, dan berpesta setelah sebulan penuh berpuasa. Padahal, Idul Fitri memiliki makna yang jauh lebih dalam.

Secara etimologi, Idul Fitri berasal dari kata الإفطار (al-iftār), yang berarti “berbuka” setelah menahan diri dari makan dan minum. Kata العيد (al-‘īd) sendiri berasal dari akar kata yang berarti “kembali,” merujuk pada kebahagiaan yang senantiasa datang setiap tahun setelah umat Muslim menuntaskan ibadah mereka (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 694).

Namun, “berbuka” dalam Idul Fitri bukan hanya tentang makanan. Ini adalah perayaan kembalinya manusia kepada fitrah, sebuah kesucian spiritual yang telah ditempa oleh Ramadan. Idul Fitri mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya keberhasilan menahan lapar dan dahaga, tetapi bagaimana seseorang kembali menjadi pribadi yang lebih bersih, lebih baik, dan lebih bertakwa.
Sebagai bagian dari perayaan ini, Islam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyucian jiwa dan harta. Ini bukan hanya amal sosial, melainkan simbol bahwa kemenangan bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.

Dalam Islam, bahkan kebahagiaan pun memiliki aturan. Rasulullah melarang umatnya berpuasa pada hari pertama Idul Fitri sebagai tanda bahwa kebahagiaan setelah Ramadan adalah bagian dari ibadah (Sunan Abu Dawud, 6/305). Namun, apakah perayaan ini cukup untuk disebut sebagai kemenangan sejati?

Kemenangan Hakiki: Takwa sebagai Mahkota Kejayaan

Kemenangan bukan hanya tentang merayakan akhir dari sebuah perjalanan, melainkan tentang hasil dari perjalanan itu sendiri. Allah SWT menegaskan dalam Surat An-Nazi'at ayat 31: “Inna lil muttaqina mafaza”—bahwa kemenangan sejati adalah milik mereka yang bertakwa.

Jika Ramadan adalah medan perjuangan, maka Idul Fitri adalah podium pemenang. Tetapi, siapa pemenang sejati? Mereka bukan hanya yang sukses menahan lapar, melainkan yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik menuju kehidupan yang lebih bertakwa.

Takwa bukanlah sekadar teori, melainkan prinsip hidup. Kemenangan sejati bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga keselamatan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran ayat 185: “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” Maka, kejayaan yang sesungguhnya bukan pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada keteguhan iman dan amal kebaikan yang membawa manusia ke surga.

Pasca-Ramadan: Pembuktian Sejati

Berakhirnya Ramadan bukanlah akhir dari perjalanan spiritual kita. Justru, di sinilah ujian sebenarnya dimulai. Apakah kita hanya menjadi hamba Ramadan, atau benar-benar menjadi hamba Allah? Apakah kebiasaan baik selama Ramadan akan terus kita pertahankan, atau hanya menjadi ritual tahunan yang segera kita tinggalkan? Apakah kita tetap menjaga shalat berjamaah setelah Ramadan? Apakah kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari? Apakah kita tetap menjaga lisan, menahan amarah, dan menjauhi kemaksiatan?

Jangan sampai Ramadan berlalu tanpa meninggalkan bekas dalam diri kita. Sebab, kemenangan sejati bukanlah mereka yang hanya kuat dalam sebulan, tetapi mereka yang mampu istiqamah sepanjang hayati

Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan setelah Ramadan, tetapi tentang pengingat bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kemenangan yang lebih besar: kemenangan di akhirat. Dunia akan terus menawarkan kejayaan semu, tetapi hanya satu kemenangan yang benar-benar berharga: ketika kita kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Ankabut ayat 58: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.”

Jadi, Ramadan telah usai. Idul Fitri kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Atau hanya terjebak dalam euforia sesaat? Jawabannya ada dalam pilihan kita sendiri.

Injury Time Ramadan: Masih Adakah Kesempatan untuk Mencetak Gol? #29


_Halimi Zuhdy_

Ramadan adalah madrasah ruhani yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan pengendalian diri. Bulan ini bak sungai jernih tempat kita mencuci dosa, tempat kita menambal kebocoran iman, dan tempat kita menajamkan kembali tekad ketakwaan. Namun kini, Ramadan hampir berlalu. Kita di ambang fajar kemenangan. Tapi benarkah kita telah menang?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa goal (tujuan akhir) Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Maka, kemenangan bukan tentang berhasil menuntaskan ibadah puasa, melainkan apakah puasa telah membentuk kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa.

Jika Ramadan adalah ladang, maka Syawal adalah masa panen. Seorang petani tidak merayakan panennya jika ia tahu ladangnya hampa. Seorang musafir tidak bergembira di akhir perjalanan jika ia sadar bahwa ia telah tersesat. Maka, hari kemenangan sejati adalah bagi mereka yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik dalam hidupnya.

Rasulullah SAW bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا ٱلجُوعُ وَٱلعَطَشُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini adalah cermin untuk diri kita. Ramadan seharusnya membentuk kita menjadi lebih jujur, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih dekat kepada Allah. Jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan lama, kembali lalai dalam ibadah, kembali membiarkan hawa nafsu berkuasa, lalu di mana letak kemenangan itu?

Ulama besar Hasan Al-Bashri dalam Lathaiful Ma'arif pernah berkata:

إِنَّ ٱللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِخَلْقِهِ يَتَنَافَسُونَ فِيهِ فِي ٱلطَّاعَةِ فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai perlombaan bagi hamba-hamba-Nya dalam ketaatan. Maka, ada yang menang dan ada yang kalah. Betapa menyedihkan orang yang hanya sibuk bermain dan bersenang-senang di hari kemenangan, padahal ia termasuk yang kalah dalam perlombaan itu."

Injury Time Ramadan: Masih Bisa Mencetak Gol?

Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Waktu hampir habis, injury time sudah berjalan. Di momen seperti ini, tim yang unggul tetap waspada agar tidak lengah, sementara tim yang tertinggal masih berjuang mati-matian untuk mencetak gol terakhir. Begitulah kita di penghujung Ramadan. Apakah kita tim yang siap meraih kemenangan, ataukah kita masih harus mengejar ketertinggalan?

Bagi mereka yang merasa belum maksimal dalam ibadah, masih ada injury time Ramadan untuk mengejar gol terakhir. Masih ada malam-malam penuh doa, masih ada kesempatan untuk bertaubat, masih ada peluang mencetak gol kemenangan dengan memperbanyak sedekah, dzikir, dan amal saleh.

Namun, bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhir kita?

Bagaimana jika ini adalah saat-saat terakhir kita memohon ampun? Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhir kita untuk sujud, menangis, dan meminta Allah menghapus dosa-dosa kita? Tidak ada yang tahu apakah kita akan bertemu Ramadan lagi. Maka, jangan sia-siakan injury time ini. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita memastikan diri keluar sebagai pemenang sejati.

Goal Puasa: Apakah Kita Berhasil Mencetaknya?

Setiap ibadah memiliki tujuannya. Goal dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Goal dari zakat adalah menyucikan harta dan jiwa. Lalu, apa goal dari puasa? Tak lain adalah takwa, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 183. Jika setelah Ramadan kita tetap istiqamah dalam ibadah, menjaga lisan dari ghibah dan dusta, tetap rendah hati dan dermawan, serta semakin dekat kepada Allah, maka kita telah mencetak goal kemenangan.

Namun, jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan buruk, meninggalkan shalat berjamaah, lalai dalam ibadah, atau kembali dikuasai hawa nafsu, maka puasa kita hanya menjadi ritual tanpa makna. Seperti tim yang gagal mencetak gol, kita hanya berlari-lari di lapangan tanpa hasil.

Hari Raya Idulfitri bukanlah sekadar pesta, bukan ajang bermegah-megahan. Ia adalah perayaan bagi mereka yang telah berjuang. Maka, sebelum takbir kemenangan menggema, mari bertanya pada diri sendiri: apakah Ramadan telah menjadikan kita hamba yang lebih baik? Apakah kita layak merayakan kemenangan, atau justru kita harus menangisi kekalahan?

Bagi mereka yang masih merasakan air mata tobat membasahi pipi, yang hatinya bergetar di ujung malam-malam terakhir Ramadan, yang tetap istiqamah dalam ibadah meski Ramadan hampir berlalu—merekalah pemenang sejati. Dan bagi yang merasa masih jauh dari kemenangan, masih ada waktu untuk bersimpuh, memohon agar Allah menjadikan kita bagian dari mereka yang benar-benar kembali dalam keadaan fitrah.

Jika ini Ramadan terakhir kita, maka pastikan kita menutupnya dengan kemenangan sejati. Sebab pemenang sejati adalah mereka yang menjadikan setiap bulan layaknya Ramadan, dan menjadikan hidup ini sebagai perjalanan menuju Allah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Mudik vs Iktikaf: Dilema Ramadan di Era Modern #28



Halimi Zuhdy

Ramadan adalah bulan penuh berkah di mana umat Islam berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah. Namun, di era modern, banyak Muslim menghadapi dilema antara menjalankan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan atau mudik untuk bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman.
Mudik bukanlah fenomena baru. Tradisi pulang kampung telah berlangsung sejak lama, bahkan di era sebelum transportasi modern berkembang. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi bagian dari penghormatan kepada orang tua, mempererat hubungan keluarga, dan menghidupkan tradisi kebersamaan dalam menyambut Idulfitri. Namun, di tengah semangat mudik, umat Islam tetap perlu memperhatikan pentingnya mengoptimalkan sepuluh malam terakhir Ramadan, yang merupakan waktu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mudik dan Keutamaannya dalam Islam

Mudik erat kaitannya dengan silaturahim, yang merupakan ajaran utama dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, Islam juga mengajarkan bahwa iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan memiliki keutamaan luar biasa. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187).

Rasulullah SAW sendiri selalu melaksanakan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan, sebagaimana dalam hadis:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Rasulullah SAW selalu beriktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana Pemudik Bisa Mengoptimalkan Sepuluh Malam Terakhir?

Agar tetap mendapatkan keutamaan sepuluh malam terakhir di tengah tradisi mudik, berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Mudik Lebih Awal
Jika memungkinkan, lakukan mudik sebelum sepuluh malam terakhir Ramadan. Dengan demikian, ketika malam-malam istimewa itu tiba, fokus ibadah bisa lebih maksimal. 10 hari terkahir tidak pernah datang kembali, kecuali hanya sekali dalam setahun, atau mudik setelah hari raya, memang satu sisi berat, tapi satu sisi lainnya "eman" meninggalkan malam-malam istimewa.


2. Memanfaatkan Waktu di Perjalanan
Perjalanan mudik sering memakan waktu lama. Gunakan waktu ini dengan memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, atau mendengarkan kajian Islam agar perjalanan tetap bernilai ibadah. Dan atau memanfaatkan dalam perjalanan dengan merenungkan diri, bertaddubur, dan mengkaji Al-Qur'an, dan hal-hal lain yang bermanfaat. 

3. Iktikaf di Masjid Kampung Halaman
Banyak masjid di kampung halaman juga mengadakan iktikaf. Jika sudah sampai di rumah orang tua, cobalah tetap meluangkan waktu untuk iktikaf, meskipun hanya beberapa malam. 

4. Meningkatkan Kualitas Ibadah di Rumah
Jika tidak bisa iktikaf secara penuh, tetaplah menghidupkan malam-malam Ramadan dengan shalat malam, membaca Al-Qur'an, dan berdoa di rumah. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya pada malam hari ada suatu saat di mana seorang Muslim yang memohon kepada Allah suatu kebaikan dari urusan dunia dan akhirat, pasti akan dikabulkan. Dan itu terjadi setiap malam." (HR. Muslim).


5. Menggunakan Teknologi untuk Silaturahim
Jika tidak bisa mudik atau ingin lebih memanfaatkan malam-malam terakhir untuk iktikaf, manfaatkan teknologi untuk tetap bersilaturahim dengan keluarga melalui video call atau pesan digital.

Mudik dan iktikaf sama-sama memiliki keutamaan besar dalam Islam. Silaturahim memperkuat hubungan antar sesama manusia, sementara iktikaf memperkuat hubungan dengan Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menyeimbangkan keduanya dengan bijak agar tidak kehilangan keutamaan dari salah satu ibadah ini.

Dengan perencanaan waktu yang baik, setiap Muslim dapat menjalankan mudik sekaligus tetap mendapatkan keberkahan sepuluh malam terakhir Ramadan. Ramadan adalah waktu terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam menjaga silaturahim dengan sesama.

Bukan Sekadar Ritual: Makna Sejati Zakat Fitrah #27


Halimi Zuhdy

Setiap tahun, ketika memasuki hari-hari terakhir Ramadan, umat Islam mulai berbondong-bondong menunaikan zakat fitrah. Tren ini semakin terasa dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat sebagai penyempurna ibadah puasa. Masjid-masjid, lembaga amil zakat, hingga platform digital sibuk menerima dan menyalurkan zakat dari berbagai kalangan. Namun, di tengah kemudahan akses pembayaran zakat yang semakin berkembang, muncul pula fenomena di mana sebagian orang menunaikannya hanya sebagai rutinitas tanpa memahami makna dan hikmahnya. Padahal, zakat fitrah bukan sekadar kewajiban, melainkan sarana penyucian diri sekaligus bentuk kepedulian sosial agar kebahagiaan Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika kita menggali lebih dalam, zakat fitrah memiliki makna spiritual, sosial, dan ekonomi yang sangat kuat.  
Kewajiban yang Wajib Dijalankan Tepat Waktu

Secara syariat, zakat fitrah diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta pada hari raya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Rasulullah SAW menetapkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari Ramadan:  

"طـُهرة للصائم من اللغو والرفث، وطـُعمة للمساكين" 

(Ia adalah penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor, serta makanan bagi orang miskin).  

Ketentuan pembayarannya pun jelas. Zakat fitrah wajib ditunaikan sebelum salat Idulfitri, dengan jumlah sekitar satu sha’ (sekitar 2,5–3 kg) makanan pokok, seperti beras atau gandum, atau dapat diganti dengan nilai setara dalam bentuk uang, sesuai kebijakan ulama setempat.  

Adapun waktu terbaik membayar zakat fitrah adalah sejak awal Ramadan, namun paling lambat sebelum salat Idulfitri. Jika diberikan setelah itu, hukumnya menjadi sedekah biasa, bukan lagi zakat fitrah.  

Hikmah di Balik Zakat Fitrah

Lebih dari sekadar kewajiban, zakat fitrah menyimpan berbagai hikmah mendalam:  

1. Penyucian Jiwa dan Kesempurnaan Puasa  
   Selama sebulan penuh, kita berusaha menahan diri dari makan, minum, dan berbagai hal yang membatalkan puasa. Namun, manusia tidak luput dari kesalahan. Bisa jadi, ada ucapan sia-sia atau sikap yang kurang baik selama berpuasa. Zakat fitrah menjadi penyempurna ibadah puasa kita, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW di atas.  

2. Membantu Fakir Miskin Merayakan Idulfitri
   Salah satu tujuan utama zakat fitrah adalah agar kaum dhuafa tidak merasa kekurangan di hari raya. Rasulullah SAW menegaskan bahwa zakat fitrah adalah makanan bagi orang miskin, sehingga mereka tidak perlu meminta-minta di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan: "Zakat fitrah diwajibkan untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin di hari raya, sehingga mereka tidak merasakan kesulitan di saat kaum Muslimin merayakan kemenangan." 

3. Mengokohkan Solidaritas Sosial  
   Islam tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama. Zakat fitrah menumbuhkan rasa empati dan kepedulian sosial, serta memastikan bahwa tidak ada kesenjangan ekonomi yang mencolok di hari kemenangan.  

4. Meneguhkan Prinsip Keadilan dan Keberkahan Harta
   Dalam Islam, harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita. Ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Firman Allah dalam QS. Az-Zariyat ayat 19 menegaskan:  

"وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ"
   (Dan pada harta-harta mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian).

   Dengan membayar zakat fitrah, kita diajarkan bahwa harta yang berkah adalah harta yang bermanfaat bagi banyak orang.  

Mengembalikan Makna Sejati Zakat Fitrah 

Di era modern ini, zakat fitrah sering kali dianggap sebagai formalitas belaka. Tidak sedikit yang membayarnya hanya agar sah berlebaran, tanpa memahami nilai-nilai spiritual dan sosial di baliknya. Padahal, jika ditunaikan dengan kesadaran penuh, zakat fitrah bisa menjadi instrumen penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.  

Karena itu, mari kita jadikan zakat fitrah lebih dari sekadar kewajiban tahunan. Tunasikan tepat waktu, pahami hikmahnya, dan hayati esensinya. Dengan begitu, Idulfitri benar-benar menjadi hari kemenangan, bukan hanya bagi yang mampu, tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan. Sebab, kebahagiaan sejati adalah ketika semua orang dapat tersenyum bersama.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Zakat, Konsumsi, dan Keadilan Sosial: Ramadan yang Belum Selesai* #26



_Halimi Zuhdy_

Setiap Ramadan selalu muncul pertanyaan tentang kewajiban zakat profesi, juga tentang zakat konten kreator seperti YouTuber, TikToker, Selebgram dan lainnya. Ada yang berkelit untuk tidak memenuhi kewajibannya membayar zakat, dengan berbagai alasan, tetapi ada juga yang berhati-hati untuk membayar zakat dengan beberapa persyaratan yang ada. Tapi, dari berbagai perdebatan itu, ada yang terus mengkonsumsi barang-barang mewah, sambil berpuasa, namun tidak memenuhi zakatnya. Terus bagaimana keadilan sosialnya? 
Ramadan hampir berakhir, dan sebagian besar dari kita sudah mulai bersiap menyambut Idulfitri. Pasar dan pusat perbelanjaan penuh sesak, antrean belanja semakin panjang, dan transaksi ekonomi melonjak drastis. Namun, di tengah euforia ini, sebuah pertanyaan penting harus kita renungkan: apakah Ramadan hanya soal ritual atau ada pesan sosial yang harus terus kita hidupkan?

Salah satu pilar utama Ramadan adalah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah sistem yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan sosial. Allah SWT berfirman:

"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ"
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…" (QS. At-Taubah: 103).

Namun ironinya, di saat sebagian orang menunaikan zakat, sebagian lainnya tenggelam dalam konsumsi berlebihan. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri justru berubah menjadi ajang pesta belanja. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan:

"لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ"
"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan (sejati) adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan ini selaras dengan ajaran Islam tentang keadilan sosial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa salah satu tujuan utama zakat adalah memastikan distribusi kekayaan yang adil, agar tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Allah SWT berfirman:

"كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ"
"Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS. Al-Hasyr: 7).

Sayangnya, semangat ini sering kali pudar setelah Ramadan berlalu. Zakat memang dibayarkan, tetapi konsumsi masih timpang—sebagian berfoya-foya, sementara sebagian lain tetap hidup dalam keterbatasan. Kita perlu bertanya, apakah keadilan sosial yang diajarkan Ramadan hanya berlaku sebulan dalam setahun?

Ramadan belum selesai jika spiritnya belum benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat berbagi, empati terhadap kaum dhuafa, dan kesadaran untuk tidak berlebihan dalam konsumsi harus menjadi kebiasaan yang berlanjut. Rasulullah ﷺ bersabda:

قال رسول الله ﷺ:
"إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب فإنما هو استدراج، ثم تلا قوله تعالى: (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ)"
(“Jika engkau melihat Allah memberikan seseorang kenikmatan dunia dalam kemaksiatannya, maka itu hanyalah istidraj.” Kemudian beliau membaca firman Allah: "Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kenikmatan) untuk mereka. Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.") (QS. Al-An’am: 44) (HR. Ahmad).

Jangan sampai Ramadan hanya menjadi momen seremonial tanpa meninggalkan dampak nyata dalam kehidupan kita. Jika keadilan sosial hanya kita ingat saat membayar zakat, tetapi kita lupakan dalam keseharian, maka esensi Ramadan belum benar-benar kita pahami.

Maka, setelah Ramadan ini, mari terus hidupkan semangat zakat dengan kepedulian nyata, kurangi konsumsi berlebihan, dan jadikan keadilan sosial sebagai prinsip hidup, bukan sekadar rutinitas tahunan. Ramadan memang berakhir, tetapi nilai-nilainya harus terus hidup.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Finish Strong! Akhir Ramadan adalah Momentum Terbaik #25


Halimi Zuhdy

Ramadan telah memasuki fase akhir, dan inilah saatnya untuk meningkatkan semangat ibadah. Jangan biarkan kelelahan atau kesibukan duniawi menghalangi kita meraih keberkahan terbesar. Justru di sepuluh malam terakhir ini, Allah SWT menyimpan rahasia kemuliaan yang hanya bisa didapatkan oleh mereka yang bersungguh-sungguh.
Allah SWT berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (ajal)."
(QS. Al-Hijr: 99)

Ini adalah ajakan untuk terus beribadah tanpa henti. Terlebih lagi, Rasulullah SAW memberikan teladan terbaik dalam memanfaatkan momentum sepuluh hari terakhir Ramadan.

Kesungguhan Nabi Muhammad SAW dan Salaf di Akhir Ramadan

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

"Rasulullah SAW apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya."
(HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis ini, terdapat isyarat betapa seriusnya Rasulullah SAW dalam menghidupkan sepuluh malam terakhir. Mengenai hadis ini, para ulama memberikan berbagai penjelasan yang semakin menguatkan pentingnya kesungguhan di akhir Ramadan:

Imam Al-Khattabi berkata:
قولها: " شد مئزره" معناه هجران النساء, ويحتمل أن تكون قد أردت أيضًا الجدّ والانكماش في العبادة.

“Ucapannya: ‘mengencangkan ikat pinggangnya’ bermakna menjauhi wanita (istri), dan bisa juga bermakna bersungguh-sungguh serta tekun dalam ibadah.”

Imam An-Nawawi juga berkata:
في هذا الحديث أنه يستحب أن يزاد من العبادات في العشر الأواخر من رمضان, واستحباب إحياء لياليه بالعبادات.

“Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadan, serta dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani  menjelaskan:

" أحيا ليله " أي سهره فأحياه بالطاعة, وأحي نفسه بسهره فيه, لأن النوم أخو الموت.

“‘Menghidupkan malamnya’ maksudnya adalah beliau terjaga sepanjang malam dan menghidupkannya dengan ketaatan. Beliau juga menghidupkan dirinya sendiri dengan begadang di dalamnya, karena tidur adalah saudara kematian.”

Tidak hanya Rasulullah SAW, para sahabat dan salafus shalih juga menunjukkan peningkatan ibadah di sepuluh malam terakhir. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Yang paling aku sukai saat memasuki sepuluh malam terakhir adalah seseorang menghidupkan malam dengan tahajud dan bersungguh-sungguh dalam ibadah.”


Amalan Khusus di Akhir Ramadan

Selain meningkatkan ibadah, para salaf juga memiliki kebiasaan khusus dalam menghadapi malam-malam terakhir Ramadan.

1. Mandi dan Menggunakan Wewangian

Sebagian ulama salaf mengajarkan bahwa bersiap diri dengan mandi dan mengenakan pakaian terbaik adalah bagian dari persiapan menyambut Lailatul Qadar.

Ibnu Jarir  berkata:
كانوا يستحبون أن يغتسلوا كل ليلة من ليالي العشر الأواخر.

“Mereka (salaf) menyukai untuk mandi setiap malam dari sepuluh malam terakhir.”

Imam An-Nakha’i juga melakukan hal yang sama, bahkan beliau mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir.

2. Menantikan Malam-Malam Kemuliaan dengan Rindu

Bagi para pencinta ibadah, malam-malam terakhir Ramadan adalah momen yang dinantikan sepanjang tahun.

Imam Ibnu Rajab berkata:

المحبون تطول عليهم الليالي فيعدونها لانتظار ليالي العشر في كل عام, فإذا ظفروا بها نالوا مطلوبهم وخدموا محبوبهم.

“Orang-orang yang mencintai (Ramadan) merasa bahwa malam-malam sepanjang tahun terasa panjang karena mereka menghitungnya demi menantikan sepuluh malam terakhir setiap tahun. Ketika mereka akhirnya mendapatkannya, mereka pun meraih apa yang mereka inginkan dan mengabdikan diri kepada yang mereka cintai (Allah).”

Ramadan hampir berlalu, dan kita belum tahu apakah akan bertemu lagi dengannya tahun depan. Saatnya kita semakin giat, bukan malah melemah. Rasulullah SAW dan para salaf telah memberi contoh bagaimana kita seharusnya menghadapi sepuluh malam terakhir ini—dengan semangat penuh, bukan kelelahan dan kemalasan.

Sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri :

إنَّ اللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِعِبَادِهِ يَتَسَابَقُونَ فِيهِ لِطَاعَتِهِ، فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا، وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai arena perlombaan bagi hamba-hamba-Nya agar mereka berlomba-lomba dalam ketaatan kepada-Nya. Maka ada yang menang dan ada yang kalah."

Maka, pastikan kita menjadi pemenang, bukan yang tertinggal. Finish strong! Sebab akhir Ramadan adalah momentum terbaik untuk meraih ridha dan ampunan Allah SAW.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Mengi’tikafkan Tubuh, Menghijrahkan Hati dan Pikiran #24

Halimi Zuhdy

Indah sekali ajaran Islam, dalam setiap gerak ibadahnya ada harmoni, hening, dan senyap yang menyelipkan makna mendalam. Dalam gerak hidup muslim ada puasa, dalam puasa terselip i’tikaf, dan dalam i’tikaf tersua tuma’ninah—ketenangan jiwa yang mendekatkan kita kepada hakikat diri.  
Dalam shalat, ada gerak; takbir, rukuk, sujud, i’tidal, dan tahiyyat, tetapi di sela-sela gerak itu tersisip tuma’ninah. Dalam haji, ada thawaf, sa’i, dan jumrah, tetapi semua itu berpuncak pada wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan berdiam di Mina—sebuah harmoni antara gerak dan diam, antara ikhtiar dan kepasrahan.  

Untuk menjadi kupu-kupu yang membunga warna, yang terbang mengejar kumbang dan menyapa alam dengan keindahannya, ia bermula dengan berpuasa—menepi dalam kepompong, menghijrahkan tubuh, hati, dan pikirannya dari keramaian dunia. Dari ulat yang menjijikkan, ia menghilang dalam keheningan i’tikaf, bertafakkur dalam dengkur, melihat alam dalam senyap, sebelum akhirnya mengepakkan sayap ke angkasa, bertebar di antara bunga-bunga sebagai simbol kemenangan.  

Allah berfirman:  
وَاعْتَكِفُوا فِي الْمَسَاجِدِ  

"Dan beriktikaflah kamu di masjid-masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)  

I’tikaf bukan sekadar diam dalam masjid, tetapi ia adalah perjalanan batin. Ia adalah upaya membersihkan hati dari penyakit iri, dengki, sombong, riya’, su'udzan, dan syahwat dunia. I’tikaf bukan melarikan diri dari realitas kehidupan, tetapi justru menata ulang orientasi jiwa, mengistirahatkan hati dari hiruk-pikuk dunia, agar ia kembali lebih bercahaya.  

Menepi Bukan untuk Menghindar, tetapi untuk Menemukan 

Beri’tikaf bukan berarti menyendiri untuk menutup diri, tetapi bersembunyi sejenak untuk menguatkan hati dan mengakarkan pikiran. Seperti benih yang tertanam dalam tanah, ia tidak hilang, tetapi tengah mempersiapkan diri untuk menjulang, menghamparkan dedaunan, dan melahirkan buah yang menyegarkan.  

Kelihatan tenangnya air di sungai bukanlah tanda ia membeku, tetapi justru karena ia memiliki arus yang kuat menggerus segala yang kaku. Seperti itu pula i’tikaf, tampak diam tetapi sesungguhnya ia adalah perjalanan batin yang mengguncang.  

Rasulullah SAW bersabda:  
مَنْ اعْتَكَفَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 
"Barang siapa beri’tikaf dengan penuh iman dan pengharapan kepada Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."(HR. Al-Bukhari)  

Lihatlah langit ketika malam, ia tampak gelap dan sunyi, tetapi sesungguhnya ia penuh dengan cahaya bintang. Begitulah hati yang beri’tikaf—di saat manusia tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, ia justru bercahaya dalam diamnya, dalam zikirnya, dalam bacaannya terhadap Kalamullah.  

Beri’tikaf Bukan Sekadar Menunggu Lailatul Qadar, tetapi Menemukan Diri 

Banyak orang mengira i’tikaf hanya untuk berburu Lailatul Qadar. Padahal, lebih dari itu, i’tikaf adalah ihtibas—memenjarakan diri dari gemerlap dunia, agar kita tidak menjadi hamba dunia. Sejenak kita melepaskan diri dari kesibukan fana, karena kehidupan yang sejati bukan di dunia, tetapi di keabadian nanti.  

Saat ini, Ramadan mulai menghitung hari. Bulan yang penuh keberkahan akan segera pergi, dan kita harus menunggu sebelas bulan lagi untuk bertemu dengannya kembali. Maka, mari kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya.  

Mari kita ber’tikaf, mengajar hati, mempelajari diri, dan menemukan pikir kembali dalam Rumah Tuhan yang penuh cahaya ilahi. Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali—benar-benar kembali, ke kehidupan yang sesungguhnya, dan takkan pernah kembali lagi ke dunia.

I’tikaf di Era Digital: Bisakah Kita ‘Offline’ Karena Allah? #23

Halimi Zuhdy

Di tengah era digital yang semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari, praktik ibadah i’tikaf menghadapi tantangan baru. Jika dahulu seseorang yang ber-i’tikaf meninggalkan dunia luar untuk berkhalwat dengan Allah di masjid, kini tantangan utamanya bukan lagi sekadar meninggalkan aktivitas duniawi, tetapi juga melepaskan diri dari keterikatan digital. Bisakah kita benar-benar ‘offline’ demi Allah?  

I’tikaf adalah ibadah sunnah yang dilakukan dengan berdiam diri di masjid, fokus pada ibadah, dan menjauh dari kesibukan dunia. Allah SWT berfirman:  
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)

I’tikaf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak shalat, dzikir, membaca Al-Qur'an, dan merenungkan makna kehidupan. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menjalankan i’tikaf. Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:  

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
 
"Nabi SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat." (HR. Bukhari & Muslim).

Godaan Digital dalam I’tikaf
 
Di era digital, tantangan terbesar dalam i’tikaf bukan hanya godaan fisik, tetapi juga godaan digital. Ponsel pintar yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan sumber ilmu, sering kali justru menjadi penghalang bagi kekhusyukan ibadah.  

Seorang mutakif (orang yang beri’tikaf) bisa saja duduk di masjid, tapi pikirannya tetap sibuk dengan notifikasi WhatsApp, media sosial, atau video pendek yang menggoda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 
 
إِذَا امْتَلَأَ الْقَلْبُ بِالدُّنْيَا فَلَا مَحَلَّ فِيهِ لِلْمُنَاجَاةِ

"Jika hati sudah dipenuhi dengan kesibukan dunia, maka sulit baginya untuk merasakan kelezatan bermunajat kepada Allah." (Madarij As-Salikin, 3/156) 

Lalu, bagaimana agar i’tikaf benar-benar menjadi momen yang berkualitas di era digital ini?  

Berani ‘Offline’ Demi Allah

Agar i’tikaf tetap bermakna dan tidak sekadar menjadi formalitas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:  

1. Niat yang Lurus dan Kuat 
   I’tikaf bukan hanya sekadar tinggal di masjid, tetapi benar-benar mengarahkan hati kepada Allah. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:  

    الاعتكاف هو قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بالخالق
 
   "I’tikaf adalah memutus hubungan dengan makhluk dan menyambung hubungan dengan Al-Khaliq." (Al-Majmu’, 6/404)  

   Oleh karena itu, sebelum memasuki i’tikaf, pastikan niat sudah benar, yakni untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar ingin mencari suasana baru atau bersantai.  
2. Kurangi atau Hindari Gadget  
   Jika memungkinkan, matikan ponsel atau gunakan hanya untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an digital atau mendengarkan kajian. Jika tidak bisa sepenuhnya offline, setidaknya batasi penggunaannya dan hindari media sosial yang bisa mengganggu kekhusyukan.  

3. Maksimalkan Interaksi dengan Al-Qur'an 
   I’tikaf adalah waktu terbaik untuk memperbanyak membaca, menghafal, dan mentadabburi Al-Qur'an. Dalam sebuah riwayat disebutkan:  

  كَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

   "Jibril ‘alaihis salam selalu menemui Rasulullah SAW setiap malam di bulan Ramadhan dan membacakan Al-Qur’an bersamanya." (HR. Bukhari & Muslim)  

4. Perbanyak Dzikir dan Muhasabah 
   I’tikaf bukan sekadar ‘diam di masjid’, tetapi juga memperbanyak dzikir dan introspeksi diri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:  

  إِذَا لَمْ يَشْتَغِلِ العَبْدُ بِالْخَيْرِ اشْتَغَلَ بِالشَّرِّ
  
   "Jika seorang hamba tidak menyibukkan dirinya dengan kebaikan, maka pasti ia akan disibukkan oleh keburukan." (Majmu’ Al-Fatawa, 10/40) 

   Oleh karena itu, alihkan perhatian dari layar ke sajadah, dari scrolling media sosial ke berdzikir dan berdoa.  

Era digital membawa banyak manfaat, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi kekhusyukan ibadah. I’tikaf adalah momen untuk benar-benar ‘disconnect’ dari dunia dan ‘reconnect’ dengan Allah. Jika kita mampu meninggalkan urusan dunia sementara demi i’tikaf, mengapa tidak mencoba meninggalkan ponsel dan media sosial untuk beberapa hari?  

Sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali rahimahullah:  
إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ قَدْرَ الدُّنْيَا، فَاسْتَمِعْ إِلَى كَلَامِ الْمَوْتَى
"Jika engkau ingin tahu hakikat dunia, dengarkanlah nasihat dari mereka yang telah mati." (Ihya ‘Ulumuddin, 4/412) 

Semoga kita semua bisa menjadikan i’tikaf sebagai ibadah yang penuh makna, bukan sekadar ritual tanpa ruh. Saatnya berani ‘offline’ karena Allah!  

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Minggu, 06 April 2025

Mendekati Ujung Ramadan: Saatnya Evaluasi dan Maksimalkan Ibadah #22



Halimi Zuhdy

Ramadan, bulan penuh berkah, kini hampir mencapai garis akhir. Waktu terasa berlalu begitu cepat, meninggalkan pertanyaan reflektif bagi kita semua: sejauh mana kita telah memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah amal ibadah kita meningkat? Atau justru masih banyak kelalaian yang belum diperbaiki?  
Fenomena yang sering terjadi menjelang akhir Ramadan adalah perbedaan sikap umat Islam dalam menyikapi hari-hari terakhir. Ada yang semakin giat beribadah, menyadari betapa sedikitnya waktu tersisa untuk meraih keberkahan Ramadan. Namun, tak sedikit pula yang justru mulai lalai—sibuk dengan persiapan Lebaran, belanja baju baru, atau merancang perjalanan mudik, hingga melupakan esensi Ramadan itu sendiri.  

Ironisnya, di awal Ramadan masjid penuh, tadarus ramai, dan shalat malam semarak. Namun, saat mendekati akhir bulan, semangat itu justru menurun. Padahal, Rasulullah SAW justru meningkatkan ibadahnya di sepuluh hari terakhir Ramadan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  

عن عائشة رضي الله عنها قالت: "كان النبي ﷺ إذا دخل العشر شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله."
(رواه البخاري ومسلم)  

"Adalah Nabi ﷺ jika telah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadan), beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh, dan mengencangkan sarungnya." (HR. Bukhari dan Muslim)  

Evaluasi Diri: Apakah Ramadan Kita Berhasil?
  
Mendekati ujung Ramadan adalah momen terbaik untuk melakukan evaluasi spiritual. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:  

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾  
(سورة الحشر: 18) 

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr: 18)  

Seorang ulama besar, Imam Hasan al-Bashri, pernah berkata:  
"إِنَّ الْمُؤْمِنَ جَمَعَ إِحْسَانًا وَشَفَقَةً، وَإِنَّ الْمُنَافِقَ جَمَعَ إِسَاءَةً وَأَمْنًا."

"Sesungguhnya seorang mukmin itu adalah orang yang selalu mengintrospeksi dirinya dan memperbaikinya, sedangkan orang yang lalai justru terus berbuat dosa tanpa merasa bersalah."

Maka, sebelum Ramadan benar-benar pergi, kita harus bergegas. Jika amalan kita masih sedikit, tambahlah. Jika ada kekurangan, perbaikilah. Jangan sampai kita tergolong orang yang disebut Rasulullah SAW dalam haditsnya:  

"رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ."
(رواه أحمد وابن ماجه)

"Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)  

Maksimalkan Ibadah di Sisa Ramadan

Ulama salaf sangat menghargai momen akhir Ramadan. Mereka memaksimalkan ibadah, menangis dalam sujud, memperbanyak doa dan istighfar, serta bersedekah lebih banyak. Dalam sebuah riwayat, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:  
"أُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَزِيدَ فِي الْعِبَادَةِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لِأَنَّ فِيهَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ." 

"Aku lebih menyukai seseorang memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadan dibanding hari-hari sebelumnya, karena di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan." 

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan sisa Ramadan:  
1. Perbanyak I’tikaf – Rasulullah SAW sangat menekankan ibadah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah.  
2. Tingkatkan shalat malam dan doa– Berdoalah dengan penuh kesungguhan, terutama di malam-malam ganjil.  
3. Sedekah lebih banyak – Jangan hanya fokus pada persiapan Lebaran, tetapi juga berbagi dengan sesama.  
4. Perbanyak istighfar dan taubat – Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa memperbaiki hubungan kita dengan Allah.  
5. Baca dan tadabbur Al-Qur’an– Jangan hanya mengejar target khatam, tetapi juga resapi maknanya.  

Mari jadikan sisa Ramadan ini sebagai kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:  

"رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ."
(رواه أحمد)  

"Celakalah seseorang yang mendapatkan Ramadan, namun dosanya tidak diampuni." (HR. Ahmad)  

Jangan sampai kita termasuk orang yang menyia-nyiakan Ramadan. Jika kita belum maksimal, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Mari kita tutup Ramadan ini dengan amalan terbaik, agar kita benar-benar keluar dari bulan ini dengan predikat taqwa dan menjadi pribadi yang lebih baik.  

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Ramadan dan Zakat: Menakar Keimanan, Menebar Kepedulian #21



Halimi Zuhdy

Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga bulan kepedulian. Di dalamnya, kita tidak hanya melatih diri untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengasah kepekaan sosial. Salah satu bentuk kepedulian yang paling nyata adalah zakat. Sayangnya, di tengah gemerlapnya ibadah Ramadan, banyak yang masih abai terhadap kewajiban ini.  
Mari kita jujur, berapa banyak dari kita yang sibuk menyiapkan menu sahur dan berbuka dengan hidangan lezat, tetapi lupa menyisihkan sebagian harta untuk mereka yang bahkan tidak tahu dari mana makanan berikutnya akan datang? Ramadan bukan hanya soal menahan diri dari makan, tetapi juga soal berbagi agar tidak ada yang kelaparan setelah adzan Maghrib berkumandang.  

Zakat dan Keutamaan 10 Hari Terakhir Ramadan

Ramadan semakin menuju puncaknya, dan di 10 hari terakhir inilah kita diajak untuk memperbanyak amal saleh. Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam ibadah di penghujung Ramadan lebih dari hari-hari sebelumnya.  

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

"Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki (malam) sepuluh (terakhir) dari Ramadan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya." (HR. Bukhari dan Muslim)  

Ini bukan hanya tentang shalat malam dan i’tikaf, tetapi juga tentang memperbanyak amal kebaikan, termasuk membayar zakat dan memberi sedekah. Bukankah Rasulullah SAW juga terkenal sebagai manusia paling dermawan, terlebih di bulan Ramadan?  

Dalam 10 hari terakhir ini terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, yakni Lailatul Qadar. Allah berfirman:  

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ 
"Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadr: 3)  

Malam ini adalah kesempatan emas untuk beramal sebanyak-banyaknya. Maka, di antara bentuk ibadah yang bisa kita maksimalkan adalah menunaikan zakat, membantu fakir miskin, dan berbagi kepada sesama. Bukankah kita ingin mendapatkan keberkahan layaknya beribadah selama 83 tahun lebih?  

Bayangkan, jika sedekah yang kita keluarkan pada 10 hari terakhir Ramadan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar, maka pahalanya akan berlipat-lipat. Ini bukan sekadar hitungan matematika biasa, tetapi janji langsung dari Allah. Dan kewajiban membayar zakat sampai sebelum shalat Idul Fitri, agar terkonstribusi dengan baik di bulan terbaik, kita segerakan membayarnya di 10 terlahir bulan Ramadan ini. 

Zakat: Bukti Nyata Keimanan 

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:  

 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ 
"Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat..." (QS. Al-Baqarah: 110)  

Menariknya, dalam banyak ayat, perintah zakat selalu berdampingan dengan shalat. Ini bukan kebetulan. Shalat adalah bukti hubungan vertikal kita dengan Allah, sedangkan zakat adalah bukti hubungan horizontal kita dengan sesama manusia. Artinya, ibadah kita tidak bisa hanya berkutat di sajadah, tetapi juga harus tercermin dalam kepedulian sosial.  

Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:  

«إِنَّمَا الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ، وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ»  
"Sesungguhnya sedekah (termasuk zakat) dapat meredam murka Allah dan mencegah kematian yang buruk." (HR. Tirmidzi)  

Bayangkan, dengan menunaikan zakat, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga menjaga diri dari musibah dan mengundang rahmat Allah.  

Pandangan Ulama tentang Zakat

Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan:  

"الزكاةُ حَقٌّ واجبٌ في أموالِ الأغنياءِ يُؤخَذُ وَيُدفَعُ إلى مستحقيهَا، فإن مَنَعَهَا فقد ظَلَمَ الفُقَراءَ حَقَّهُم، وَهُوَ مِمَّا يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ."

"Zakat adalah hak wajib dalam harta orang kaya yang harus diambil dan diberikan kepada yang berhak. Barang siapa yang menahannya, maka dia telah menzalimi hak orang miskin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat."  

Sementara itu, Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm menekankan bahwa zakat bukan hanya bentuk kepedulian sosial, tetapi juga ujian keimanan:  

"مَنْ بَخِلَ بِزَكَاتِ مَالِهِ، فَقَدْ قَطَعَ عَنْ نَفْسِهِ سَبَبَ بَرَكَتِهِ، وَهُوَ آثِمٌ فِي الدُّنْيَا وَمُعَذَّبٌ فِي الْآخِرَةِ."

"Barang siapa yang kikir dengan zakat hartanya, maka ia telah memutus keberkahannya sendiri. Ia berdosa di dunia dan akan diazab di akhirat."

Ramadan Ini, Uji Keimanan dengan Zakat  

Mari kita renungkan: apakah Ramadan kali ini hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang berlalu begitu saja? Atau kita akan menjadikannya sebagai momentum perubahan? Jangan hanya berlomba menghatamkan Al-Qur’an, tetapi juga berlomba menunaikan zakat. Jangan hanya sibuk memikirkan baju baru untuk lebaran, tetapi juga pastikan ada mereka yang bisa makan dengan layak karena zakat kita.  

Terlebih di 10 hari terakhir ini, saat pahala dilipatgandakan dan peluang meraih Lailatul Qadar terbuka lebar. Inilah waktu terbaik untuk menyempurnakan ibadah kita dengan berbagi.  

Rasulullah SAW bersabda:  
«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ»
"Sedekah tidak akan mengurangi harta." (HR. Muslim)  

Maka, Ramadan ini, jangan hanya sibuk menahan lapar—tapi juga pastikan kita mengenyangkan yang lapar. Jangan hanya fokus pada diri sendiri—tapi pastikan kita membantu mereka yang membutuhkan.  

Sudahkah kita menunaikan zakat ?

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Menjemput Malam Seribu Bulan: Meraih Keberkahan di 10 Hari Terakhir Ramadan #20

Halimi Zuhdy

Ramadan kian mendekati puncaknya, dan di sinilah letak keistimewaan yang paling dinanti: Al-Asyru Al-Awakhir (sepuluh malam terakhir). Di antara malam-malam ini tersimpan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yakni Lailatul Qadar. Sebuah malam yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai momen turunnya Al-Qur’an:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۝ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadr: 1-3). 
Perintah Rasulullah SAW untuk Mencari Lailatul Qadar

Lailatul Qadar adalah rahasia ilahi yang tidak diketahui secara pasti kapan datangnya. Namun, Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam sabdanya:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga menekankan bahwa malam ini lebih mungkin terjadi pada malam-malam ganjil:

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ، فِي الْوِتْرِ مِنْهَا

"Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam ganjil di antaranya." (HR. Bukhari)

Keteladanan Rasulullah SAW di Sepuluh Malam Terakhir

Menjelang akhir Ramadan, Rasulullah ﷺ meningkatkan ibadahnya secara drastis. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَشَدَّ مِئْزَرَهُ

"Ketika memasuki sepuluh malam terakhir Ramadan, Rasulullah ﷺ menghidupkan malam-malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan mengencangkan ikat pinggangnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengencangkan ikat pinggang di sini adalah simbol kesungguhan dan totalitas dalam beribadah, menunjukkan bahwa beliau benar-benar memaksimalkan waktu yang tersisa di bulan Ramadan.

Doa Terbaik untuk Malam Lailatul Qadar

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang doa terbaik yang dibaca pada malam Lailatul Qadar. Rasulullah SAW menjawab dengan doa berikut:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku." (HR. Tirmidzi)

Keberkahan yang Terlupakan

Sayangnya, di zaman modern ini, semangat menyambut malam-malam ini sering kali memudar. Alih-alih memperbanyak qiyamullail, tilawah, dan doa, banyak yang justru sibuk dengan persiapan Idulfitri—berbelanja baju baru, memikirkan mudik, atau bahkan terjebak dalam pesta diskon online.

Padahal, jika kita menyadari bahwa satu malam Lailatul Qadar setara dengan ibadah selama 83 tahun 4 bulan, kita tentu tidak akan melewatkannya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Meraih Lailatul Qadar: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Para ulama mengajarkan beberapa amalan utama yang dapat kita lakukan untuk menjemput Lailatul Qadar:
1. I’tikaf – Meneladani sunnah Rasulullah  SAW dengan berdiam di masjid, memusatkan hati untuk ibadah, dan menjauhi distraksi duniawi.

2. Memperbanyak Doa – Terutama doa yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Aisyah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

3. Qiyamullail (Salat Malam) – Tidak ada ibadah yang lebih utama pada malam-malam ini selain mendirikan shalat dengan khusyuk dan penuh harap kepada Allah.

4. Tilawah Al-Qur’an – Menghidupkan malam dengan membaca dan mentadabburi ayat-ayat suci.

5. Sedekah dan Amal Kebaikan – Lailatul Qadar adalah malam penuh keberkahan. Apa yang kita berikan pada malam ini nilainya akan dilipatgandakan lebih dari seribu bulan.

Kesempatan Emas yang Tak Boleh Terlewat

Jika kita sadar betapa berharganya kesempatan ini, tak akan ada malam yang kita lewatkan dengan sia-sia. Kita tak tahu apakah Ramadan ini adalah yang terakhir bagi kita. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari, karena waktu tak bisa diputar ulang.

Maka, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan di sepuluh malam terakhir Ramadan. Malam-malam yang bisa mengubah takdir kita, menghapus dosa-dosa kita, dan mengangkat derajat kita di sisi Allah. Sebab, mereka yang bersungguh-sungguh akan meraih kemenangan, dan mereka yang lalai hanya akan menuai penyesalan. Ramadan sudah di ujung perjalanan, namun masih ada kesempatan untuk menjemput malam seribu bulan. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna.

Wallahul Musta'an Wailaihittukan

Ramadan, Antara Tradisi dan Esensi: Masihkah Kita Menjaga Ruhnya? #19



Halimi Zuhdy 

Ramadan yang suci sering kali disambut dengan semarak tradisi yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat. Dari hidangan berbuka yang berlimpah, belanja besar-besaran menjelang Idulfitri, hingga maraknya aktivitas sosial yang kadang lebih berorientasi pada seremonial daripada spiritual. Tanpa disadari, tradisi ini perlahan mengalahkan ruh Ramadan yang sejatinya adalah bulan penyucian diri, penguatan ibadah, serta peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Padahal, hakikat Ramadan bukan hanya tentang ritual lahiriah, melainkan bagaimana setiap muslim mengendalikan hawa nafsunya dan semakin dekat dengan Rabb-nya.  
Kini, kita telah memasuki hari ke-19 Ramadan. Seharusnya, ini menjadi momentum untuk kembali merenungi esensi puasa yang sejati. Di saat sebagian orang mulai sibuk dengan persiapan Lebaran—berburu pakaian baru, memesan kue kering, dan merencanakan mudik—justru inilah waktu terbaik untuk kembali kepada ruh Ramadan. Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam ibadahnya di sepuluh hari terakhir, mencari Lailatul Qadar yang penuh keberkahan. Sudah sepatutnya kita juga memanfaatkan sisa Ramadan ini dengan memperbanyak istighfar, qiyamul lail, serta mendekatkan diri kepada Allah, bukan justru larut dalam tradisi yang menjauhkan dari makna sejati Ramadan.

Ramadan telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Setiap tahun, kita menyaksikan semaraknya bulan suci ini dengan berbagai tradisi: sahur bersama, buka puasa bersama, tarawih berjamaah, hingga meningkatnya kegiatan sosial seperti berbagi takjil dan zakat. Namun, di tengah maraknya tradisi yang berkembang, pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan adalah: masihkah kita menjaga ruh dan esensi Ramadan, atau justru terjebak dalam euforia tanpa substansi?  

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Namun, di era modern, sering kali kita melihat Ramadan lebih identik dengan perubahan pola konsumsi daripada penguatan spiritual. Masyarakat berlomba-lomba menyajikan hidangan berbuka yang berlimpah, pusat perbelanjaan penuh dengan promosi diskon Ramadan, sementara masjid yang semarak di awal bulan mulai kehilangan jamaahnya menjelang akhir.  

Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam sebuah hadis: "Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga." (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menohok kita semua, mengingatkan bahwa Ramadan bukan sekadar ritus tahunan, tetapi madrasah ruhaniah yang harus membentuk akhlak dan ketakwaan.  

Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa memiliki tingkatan: puasa umum (hanya menahan lapar dan haus), puasa khusus (menjaga anggota tubuh dari maksiat), dan puasa khususul khusus (mengendalikan hati dari segala penyakit batin). Di era digital ini, tantangan semakin besar. Puasa bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari informasi yang merusak, hoaks, ghibah di media sosial, serta sikap konsumtif yang justru bertentangan dengan nilai kesederhanaan yang diajarkan Ramadan.  

Kita hidup di zaman di mana Ramadan semakin terekspos di ruang digital. Setiap momen berbuka dipotret, setiap ibadah didokumentasikan, bahkan sedekah pun dipublikasikan. Tentu, media sosial bisa menjadi sarana dakwah, tetapi jika niatnya bergeser menjadi ajang pamer, kita patut bertanya: apakah Ramadan masih menjadi ruang pembinaan diri atau justru ajang eksistensi?  

Di tengah pergeseran ini, penting bagi kita untuk kembali pada ruh Ramadan. Ramadan harus menjadi momentum untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan sesama. Menahan diri dari ghibah lebih berat daripada menahan haus, memperbaiki akhlak lebih sulit daripada menahan lapar. Sebab, sejatinya, keberhasilan Ramadan bukan diukur dari seberapa banyak kita berbuka di restoran mewah, tetapi sejauh mana hati kita dibersihkan dari kesombongan, kebencian, dan ketidakpedulian.  

Mari menjadikan Ramadan bukan hanya sebagai serangkaian tradisi, tetapi sebagai perjalanan ruhani menuju ketakwaan yang hakiki. Ramadan bukan tentang seberapa meriah kita merayakannya, tetapi seberapa dalam kita meresapi hikmahnya.

Ramadan akan segera berlalu, dan yang tersisa bukanlah kemeriahan tradisi, tetapi sejauh mana hati kita telah dibersihkan dan ruh kita telah dikuatkan. Jangan biarkan kesibukan duniawi menjauhkan kita dari kesempatan emas di penghujung bulan suci ini. Jika awal Ramadan kita masih sibuk dengan euforia, maka kini saatnya kembali pada ruh sejati Ramadan—meningkatkan ibadah, memperbanyak doa, dan mencari ridha Allah SWT. Sebab, kemenangan sejati bukanlah pada hari raya yang dirayakan dengan kemewahan, tetapi pada jiwa yang keluar dari Ramadan dalam keadaan lebih bertakwa dan lebih dekat kepada-Nya.

Ramadan Digital: Tetap Terhubung dengan Iman di Era Modern #18


Halimi Zuhdy

Ramadan semakin mendekati penghujungnya, tinggal hitungan hari sebelum bulan penuh keberkahan ini pergi meninggalkan kita. Betapa meruginya mereka yang melewatkannya tanpa memperbanyak ibadah dan amal kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, "Celakalah seseorang yang mendapati bulan Ramadan, lalu Ramadan berlalu sebelum dosanya diampuni” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban).  
Di era digital seperti sekarang, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Internet, media sosial, dan aplikasi berbasis keislaman dapat menjadi sarana memperkuat keimanan, jika digunakan dengan bijak. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik, teknologi justru dapat menjadi penghalang bagi kekhusyukan ibadah.  

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:  

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ  

"Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Ankabut: 69)  

Di era digital ini, “berjihad” bisa berarti berusaha keras untuk menjaga iman di tengah hiruk-pikuk informasi dan distraksi dunia maya. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk memanfaatkan teknologi secara lebih bermakna. Banyak aplikasi Al-Qur’an yang tidak hanya menyediakan teks, tetapi juga tafsir, terjemahan, dan bahkan fitur tadarus bersama. Dengan ini, kita bisa lebih mudah berinteraksi dengan Al-Qur’an kapan saja. Jika dulu menimba ilmu agama harus datang langsung ke majelis, kini ceramah dan kajian bisa diakses dari mana saja. Media sosial dan platform video menghadirkan ulama-ulama terpercaya yang membimbing umat untuk memahami agama lebih dalam. 

Yang juga bisa dimanfaatkan adalah aplikasi pengingat shalat, jadwal sahur dan berbuka, serta dzikir harian bisa menjadi solusi bagi mereka yang sering terlupa. Bahkan ada fitur-fitur yang membantu mencatat amalan harian, sehingga kita bisa lebih disiplin dalam beribadah.  

Di era ini, untuk bersedekah juga tidak sulit. Sedekah dan kebaikan digital. Imam Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu ikut pergi." Maka, manfaatkan hari-hari Ramadan ini untuk berbagi. Teknologi memudahkan kita bersedekah melalui platform online, membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan dengan lebih cepat dan luas.

Namun, di balik semua manfaatnya, dunia digital juga membawa tantangan besar. Media sosial bisa menjadi ladang ghibah, hoaks, dan perdebatan yang tidak bermanfaat. Imam Syafi’i pernah berkata, "Jika seseorang ingin berbicara, hendaknya dia berpikir dahulu. Jika dalam pembicaraannya ada maslahat, maka berbicaralah. Jika tidak, maka diam lebih baik baginya." 

Ramadan seharusnya menjadi momen untuk menahan diri, tidak hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Jangan sampai puasa kita hanya sekadar lapar dan dahaga, tanpa mendapatkan pahala di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).  

Hari-hari terakhir menuju 10 akhir Ramadan adalah kesempatan emas untuk memperbanyak ibadah. Lailatul Qadar bisa saja ada di malam-malam ini, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka, mari gunakan teknologi dengan bijak—untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk lalai dari-Nya. Jika selama ini kita masih sibuk dengan dunia digital yang tidak bermanfaat, mari perbaiki di sisa waktu yang ada. Jangan sampai Ramadan pergi tanpa kita mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya. Karena bisa jadi ini adalah Ramadan terakhir dalam hidup kita.  

Wallahul Musta'an wailahittuklan

Nuzulul Qur’an dan Urgensi Memuliakan Al-Qur’an di Era Digital #17


Halimi Zuhdy

Tanggal 17 Ramadan, umat Islam memperingati turunnya Al-Qur'an, terutama masyarakat muslim Indonesia yang sangat antusias memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Di masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam, umat Islam mengadakan pengajian, ceramah, dan tausiyah yang membahas makna dan hikmah turunnya Al-Qur’an. Selain itu, banyak tempat menggelar tadarus Al-Qur’an bersama, lomba tilawah, khataman Al-Qur’an, dan kajian tafsir untuk memperdalam pemahaman umat terhadap wahyu Ilahi. Pemerintah dan organisasi Islam juga sering mengadakan peringatan resmi di tingkat nasional dan daerah, yang dihadiri ulama, tokoh masyarakat, serta pejabat negara. Di beberapa daerah, tradisi seperti pawai obor dan doa bersama menjadi bagian dari peringatan Nuzulul Qur’an, menambah semarak ibadah di bulan suci Ramadhan. Kira-kira untuk apa? 
Bulan Ramadhan bukan hanya tentang puasa dan ibadah fisik semata, tetapi juga momentum perenungan terhadap salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah Islam: Nuzulul Qur’an, turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini bukan sekadar peringatan historis, melainkan momen untuk memahami kembali fungsi, tujuan, dan tanggung jawab umat Islam dalam menjaga dan mengamalkan Al-Qur’an, terutama di era digital yang penuh tantangan.

Mengapa Al-Qur’an Diturunkan?

Al-Qur’an turun sebagai hudā li al-nās (petunjuk bagi manusia) dan furqān (pembeda antara yang haq dan yang batil), sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ

"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman utama bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk dibaca, tetapi juga untuk dipahami, diamalkan, dan dijadikan pedoman dalam membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Hadis Nabi SAW juga menekankan pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam kehidupan. Rasulullah bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari)

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa keberkahan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada bacaannya, tetapi juga dalam pemahamannya yang mendalam serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

Memuliakan Al-Qur’an di Era Digital: Tantangan dan Peluang

Di era digital, akses terhadap Al-Qur’an semakin mudah. Berbagai aplikasi Al-Qur’an, tafsir digital, hingga kajian keislaman tersedia dalam genggaman. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan besar: bagaimana umat Islam tetap menjaga kehormatan dan kesucian Al-Qur’an di tengah arus informasi yang sering kali tidak terkendali?

Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah:
1. Superfisialitas dalam Memahami Al-Qur’an
Kemudahan akses sering kali membuat sebagian orang hanya membaca tanpa memahami secara mendalam. Padahal, ulama terdahulu seperti Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Katsir menekankan bahwa pemahaman Al-Qur’an harus didasarkan pada ilmu yang kuat, bukan sekadar opini pribadi.

2. Penyebaran Informasi yang Salah
Banyak potongan ayat Al-Qur’an yang dikutip di media sosial tanpa konteks yang jelas, bahkan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Ini menjadi tantangan besar dalam menjaga kemurnian pesan Al-Qur’an.

3. Kurangnya Adab dalam Berinteraksi dengan Al-Qur’an
Di era digital, tidak jarang orang membaca Al-Qur’an sembari melakukan aktivitas lain, seperti mengobrol atau bermain media sosial. Hal ini bertolak belakang dengan ajaran para ulama yang menekankan tawadhu’ (rasa hormat) terhadap Kalamullah.

Namun, era digital juga membawa peluang besar bagi umat Islam untuk memuliakan Al-Qur’an, antara lain:

1. Menghidupkan Kajian Al-Qur’an Secara Online
Banyak ulama dan cendekiawan yang kini memanfaatkan media digital untuk menyebarkan tafsir dan kajian Al-Qur’an. Ini bisa menjadi jalan bagi umat Islam untuk lebih memahami Al-Qur’an secara benar.

2. Memanfaatkan Teknologi untuk Tadabbur Qur’ani
Aplikasi tafsir dan studi Al-Qur’an berbasis digital dapat membantu umat Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan lebih baik.

3. Menggunakan Media Sosial untuk Dakwah Qur’ani
Alih-alih menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya, umat Islam dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir yang benar sesuai pemahaman para ulama.

Momentum Nuzulul Qur’an di bulan Ramadhan harus menjadi titik balik bagi umat Islam untuk semakin dekat dengan Al-Qur’an. Tidak sekadar membaca, tetapi juga memahami, mengamalkan, dan menjaga kesuciannya, termasuk dalam dunia digital.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan yang lain dengannya." (HR. Muslim). Maka, di era digital ini, apakah kita ingin menjadi kaum yang diangkat derajatnya karena Al-Qur’an atau justru sebaliknya? Jawabannya ada pada sejauh mana kita memuliakan Al-Qur’an dalam kehidupan kita.

Wallahul Musta'an Wailaihittuqlan

Inni Shaimun: Meneguhkan Identitas Diri dalam Ibadah #16



Halimi Zuhdy  

Puasa adalah ibadah yang sarat dengan keikhlasan. Ia berbeda dari ibadah lain yang bisa tampak oleh mata manusia, seperti shalat yang terlihat gerakannya atau zakat yang terlihat manfaatnya. Allah menegaskan dalam sebuah hadis qudsi:  

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ 

"Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya." (HR. Bukhari dan Muslim).  
Keunikan puasa inilah yang menjadikannya sebagai ibadah yang paling jauh dari riya’. Sebagaimana dikatakan Imam Al-Qurtubi, puasa adalah amalan yang hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya. Ia tak bisa dipamerkan, kecuali dengan pernyataan lisan atau tindakan tertentu.  

Namun, dalam situasi tertentu, justru dianjurkan bagi seorang yang berpuasa untuk menyatakan dengan tegas bahwa dirinya sedang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda:  

الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِم
 
"Puasa adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah: ‘Aku sedang berpuasa (Inni Shaimun).’" (HR. Bukhari dan Muslim).  

Menegaskan Diri, Bukan Pamer Ibadah  

Sebagian mungkin bertanya, bukankah puasa adalah ibadah yang tersembunyi? Lalu mengapa Rasulullah SAW justru mengajarkan kita untuk mengucapkan "Inni Shaimun" di saat tertentu?  

Jawabannya adalah bahwa pernyataan tersebut bukanlah ajang pamer, melainkan bentuk perlindungan diri dan pengingat bagi orang lain. Pernyataan "Aku sedang berpuasa" adalah perisai bagi diri sendiri agar tidak terjerumus dalam kemarahan atau perbuatan dosa. Ia juga menjadi isyarat bagi orang lain agar menghormati kondisi kita.  

Hal ini sejalan dengan konsep menjaga identitas diri dalam Islam. Seorang Muslim tidak boleh menjadi sosok yang samar dan mudah terbawa arus. Sejak lahir, kita telah diberi identitas berupa nama, nasab, dan kebangsaan. Dalam kondisi tertentu, menegaskan identitas diri adalah sebuah keharusan. Ketika kewarganegaraan seseorang diragukan, maka ia menunjukkan kartu identitasnya. Demikian pula dalam ibadah, ketika seseorang diundang untuk makan, sedangkan ia berpuasa, maka ia boleh menyatakan: "Inni Shaimun" sebagai bentuk penegasan statusnya. Rasulullah SAW bersabda:  

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الطَّعَامِ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
  
"Apabila salah seorang di antara kalian diundang makan, sedangkan ia sedang berpuasa, maka nyatakanlah: ‘Aku sedang berpuasa.’" (HR. Muslim).  

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa pernyataan ini adalah bentuk pemberitahuan bahwa dirinya sedang dalam keadaan uzur dan tidak bisa memenuhi ajakan tersebut. Namun, jika yang mengundang tetap ingin ia hadir, maka ia tetap dianjurkan datang tanpa harus membatalkan puasanya.  

Identitas Muslim: Keberanian Menunjukkan Keberadaan  

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang sering ragu atau takut untuk menunjukkan identitas Muslim kita. Ada yang enggan mengenakan hijab di lingkungan tertentu, ada pula yang malu untuk shalat di tempat umum. Padahal, Islam tidak mengajarkan kita untuk menyembunyikan jati diri. Justru, kita diperintahkan untuk menampilkan keislaman kita dengan cara yang baik dan tidak provokatif.  

Menegaskan identitas bukan berarti sombong, tetapi menunjukkan eksistensi kita sebagai seorang Muslim yang berprinsip. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang sahabat, Abdullah bin Mas’ud, pernah membaca Al-Qur’an di dekat Ka’bah dengan suara lantang. Ia dianiaya karena itu, tetapi ia tetap teguh menunjukkan jati dirinya sebagai Muslim yang bangga dengan agamanya.  

Hal ini sejalan dengan kisah seorang buta yang membawa lampu di malam hari. Ketika ditanya mengapa ia membawa lampu, padahal ia tidak bisa melihat, ia menjawab, "Agar orang lain bisa melihat jalan dan agar aku tidak ditabrak." Pernyataan "Inni Shaimun" juga memiliki makna serupa—bukan sekadar memberitahukan keadaan diri, tetapi juga menjadi pengingat bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang dapat mencederai ibadah kita.   

Menegaskan identitas diri dalam Islam bukanlah sesuatu yang tabu. Justru, dalam situasi tertentu, hal itu diperlukan untuk menjaga kehormatan dan prinsip hidup kita. Seorang Muslim yang tegas dengan identitasnya tidak akan mudah terbawa arus, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sosial.  

Maka, ketika berpuasa, tak perlu ragu untuk mengatakan "Inni Shaimun" dalam kondisi yang memang membutuhkan penegasan. Sebab, itu bukanlah bentuk pamer, melainkan perisai bagi diri sendiri dan pengingat bagi orang lain. Sebagaimana sabda Nabi SAW:  

بَدَأَ الإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاء
  
"Islam dimulai dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Maka beruntunglah orang-orang yang tetap teguh di dalamnya." (HR. Muslim).  

Meneguhkan identitas sebagai Muslim adalah bagian dari keteguhan iman. Seperti puasa yang menjadi ibadah tersembunyi, namun pada saat tertentu perlu dinyatakan, demikian pula dengan Islam dalam kehidupan kita. 

Wallahul Musta'an Wailaihittuqlan

Ramadan Produktif: Puasa Bukan Alasan untuk Malas #15


Halimi Zuhdy

Bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum peningkatan produktivitas, bukan malah menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Namun, realitasnya, tidak sedikit orang yang justru menjadikan puasa sebagai pembenaran untuk mengurangi aktivitas, bahkan cenderung pasif.  
Sebuah penelitian yang dilakukan di beberapa negara Muslim menunjukkan bahwa tingkat produktivitas kerja cenderung menurun selama bulan Ramadan. Banyak pekerja yang mengurangi jam kerja dengan alasan lemas, mengantuk, dan kurang fokus. Fenomena ini diperparah dengan kesalahpahaman terhadap kaidah fiqih:  

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ

"Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah."

Kaidah ini sering disalahartikan sebagai legitimasi untuk bermalas-malasan. Padahal, maksud dari kaidah ini bukanlah anjuran untuk tidur sepanjang hari, melainkan menunjukkan bahwa bahkan saat tidur, seorang yang berpuasa tetap mendapatkan pahala, apalagi jika ia mengisi harinya dengan amal saleh dan produktivitas yang bermanfaat.  

Islam tidak pernah mengajarkan bahwa puasa adalah alasan untuk mengurangi aktivitas. Justru, banyak peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi di bulan Ramadan, menunjukkan bahwa ibadah puasa tidak menghalangi produktivitas. Perang Badar, salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam, terjadi pada 17 Ramadan. Penaklukan Makkah juga terjadi di bulan yang sama. Jika para sahabat Rasulullah SAW bisa berjihad dalam keadaan berpuasa, mengapa kita yang hanya bekerja atau belajar justru merasa berat?  

Allah SWT berfirman:  

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ 

"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)  

Ayat ini menegaskan bahwa kesuksesan dunia dan akhirat bergantung pada usaha kita. Ramadan justru harus menjadi bulan di mana kita lebih giat dalam beribadah, bekerja, dan menuntut ilmu, bukan sebaliknya.  

Rasulullah SAW sendiri adalah contoh terbaik dalam produktivitas selama Ramadan. Dalam hadis disebutkan:  

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ
  
"Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim)  

Bentuk kedermawanan ini bukan hanya dalam bersedekah, tetapi juga dalam segala aspek kebaikan dan produktivitas. 

Kini kita telah memasuki hari ke-15 Ramadan, pertanda bahwa separuh bulan suci ini telah berlalu. Jika di awal Ramadan kita masih beradaptasi, kini saatnya mempercepat langkah. Sepuluh hari terakhir sudah di depan mata, dan itulah puncak dari ibadah Ramadan. Jangan biarkan sisa hari berlalu tanpa makna.  

Mari kita ubah pola pikir bahwa puasa adalah alasan untuk bermalas-malasan. Jadikan Ramadan sebagai bulan produktif, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa tetap bekerja, belajar, berkarya, dan melakukan hal-hal bermanfaat tanpa mengurangi nilai ibadah puasa.  

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:  
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدِ افْتَدَى 

"Setiap amalan memiliki masa semangat dan masa futur (malas). Barang siapa yang masa futurnya tetap berada dalam sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk." (HR. Ahmad)  

Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang bagaimana kita memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang menjadikan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Mari buktikan bahwa Ramadan adalah bulan produktif, bulan yang mengajarkan kita untuk bekerja keras, beribadah dengan maksimal, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Ramadan Glow Up, Dari Hati yang Bersih ke Jiwa yang Bersinar #14


Halimi Zuhdy

Tidak terasa Ramadan hampir separuh bulan. Ia seperti kilatan cahaya, datang dan kemudian menghilang, tapi sinarnya tetap memberikan terang. Bulan yang selalu dirindu oleh Umat Islam, karena di dalamnya penuh ampunan, keberkahan dan rahmah. Bulan Ramadan itu asyik. Maka, ia bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga. Ia adalah momen istimewa untuk melakukan "glow up"—bukan hanya secara fisik, tetapi lebih dalam lagi, yakni transformasi spiritual dan kepribadian. Ramadan mengajarkan kita bahwa keindahan sejati bukan hanya dari luar, tetapi berasal dari hati yang bersih dan jiwa yang bersinar.  
Ramadan: Pembersih Hati dan Jiwa 

Dalam Islam, kebersihan hati menjadi kunci utama bagi kemuliaan manusia. Allah SWT berfirman:  

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ۝ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

"Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 9-10)  

Ramadan hadir sebagai momentum penyucian ini. Puasa tidak hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari sifat buruk seperti iri, dengki, amarah, dan kesombongan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwa puasa bukan sekadar menahan perut dan kemaluan, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa.  

Ketika seseorang berpuasa dengan kesadaran penuh, ia sedang mencuci hatinya dari noda-noda duniawi. Inilah awal dari proses "glow up"—dari hati yang bersih lahir perilaku yang bercahaya.  

Transformasi Diri: Ramadan sebagai Cermin Kepribadian  

Bulan Ramadan juga menjadi ajang evaluasi diri. Rasulullah SAW bersabda:  

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ 

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya." (HR. Bukhari)  

Hadis ini mengingatkan bahwa puasa sejati adalah puasa dari keburukan, bukan sekadar lapar dan haus. Di sinilah Ramadan menjadi cermin bagi kita: apakah kita hanya berubah secara ritual, atau benar-benar mengalami transformasi kepribadian?  

Bulan ini mengajarkan kita untuk berempati kepada yang kurang mampu, memperbaiki hubungan sosial, dan memperhalus tutur kata serta perilaku. Inilah langkah-langkah kecil menuju "inner glow up"—di mana kesabaran, ketakwaan, dan akhlak mulia semakin terpancar dari dalam diri.  

Dari Cahaya Hati Menuju Jiwa yang Bersinar 

Setelah sebulan penuh menahan diri, membersihkan hati, dan memperbaiki perilaku, seorang Muslim sejati akan keluar dari Ramadan sebagai pribadi yang bercahaya. Itulah "Ramadan Glow Up" yang sejati—menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih bersyukur, lebih rendah hati, dan lebih dekat kepada Allah. Cahaya dari dalam diri ini tidak hanya dirasakan oleh kita, tetapi juga menyinari orang-orang di sekitar kita.  

Jika Ramadan kita jalani dengan penuh kesadaran, maka setelahnya kita akan keluar sebagai pribadi yang lebih kuat, lebih tenang, dan lebih bercahaya. Seperti bulan purnama yang sempurna, Ramadan membentuk kita menjadi pribadi yang bersinar—bukan karena kecantikan fisik, tetapi karena kebersihan hati dan ketakwaan yang terpancar dari dalam.  

Ramadan bukan akhir dari perjalanan, tetapi awal dari kehidupan yang lebih baik. "Glow up" sejati bukanlah sekadar penampilan luar, tetapi perubahan yang dimulai dari hati. Mari manfaatkan Ramadan untuk membersihkan jiwa, memperbaiki diri, dan menyongsong hari-hari berikutnya dengan cahaya iman yang lebih kuat.  

Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW:  

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي لِسَانِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا  

"Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam lisanku, cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam penglihatanku."(HR. Muslim). Mari kita jadikan Ramadan sebagai titik balik menuju Ramadan Glow Up yang sesungguhnya: dari hati yang bersih menuju jiwa yang bersinar.  

Wallahul Musta'an Walaihittuklan