السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 19 Oktober 2025

Cara Thalhah Mengubah Buruk Sangka Jadi Cahaya



Halimi Zuhdy

Kisah berikut adalah salah satu contoh paling indah tentang husnudhan, berprasangka baik. Kisah ini datang dari sosok mulia, Thalhah bin Abdurrahman bin Auf, seorang Quraisy yang dikenal paling dermawan di masanya.
Suatu hari, istrinya menyampaikan unek-unek dengan nada kesal, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih buruk daripada saudara-saudaramu, wahai suamiku.”

Thalhah terkejut, lalu bertanya lembut, “Mengapa engkau berkata begitu?”

Sang istri menjelaskan, “Aku memperhatikan mereka. Saat engkau memiliki banyak harta, mereka begitu baik dan selalu dekat denganmu. Tapi saat engkau tidak punya apa-apa, mereka meninggalkanmu.”

Mendengar itu, Thalhah justru tersenyum. Dengan tenang ia menjawab, “Demi Allah, justru itu kemuliaan mereka. Mereka mendatangi kita ketika kita mampu menghormati mereka, dan meninggalkan kita ketika kita sedang tak mampu melakukannya.”

Betapa indah cara pandang Thalhah. Ia melihat sesuatu yang bisa dianggap negatif, lalu membaliknya menjadi kebaikan. Inilah buah dari hati yang lapang dan pikiran yang positif. Orang-orang seperti Thalhah akan selalu menemukan cahaya, meski orang lain hanya melihat gelap.

Sikap ini menjadi pelajaran besar. Kadang seorang istri tidak tahan melihat kesabaran suaminya, lalu melontarkan pertanyaan atau bahkan tuduhan yang bisa memancing prasangka buruk. Tetapi, seorang suami yang bijak akan meredam kegelisahan itu dengan hikmah. Ia mengubah sudut pandang, agar hati tetap damai.

Berprasangka baik bukan berarti menutup mata dari kenyataan, tapi menjaga hati agar tidak mudah terjerumus pada buruk sangka. Sebab prasangka itu, apalagi yang salah, bisa berujung pada dosa besar: fitnah dan ghibah. Bahkan kalaupun sebuah keburukan nyata adanya, menyebarkannya tetap tidak dibenarkan dalam agama, apalagi bila menyangkut urusan pribadi.

Thalhah menunjukkan jalan yang indah: ia menyebut saudaranya karim (mulia), padahal sang istri melihatnya sebaliknya. Dari sanalah kita belajar, bahwa husnudhan tidak hanya menenangkan hati, tapi juga mengajarkan kita melihat sesuatu dari sisi yang lebih baik.

Sebagaimana ungkapan indah dalam bahasa Arab:

قالت: أراهم إذا اغتنيت لزِموك، وإذا افتقرت تركوك
قال طلحة: هذا والله من كرم أخلاقهم
يأتوننا في حال قدرتنا على إكرامهم، ويتركوننا في حال العجز عن ذلك.

Sang istri berkata:
“Aku lihat mereka selalu mendekatimu ketika engkau kaya, dan meninggalkanmu ketika engkau miskin.”

Thalhah menjawab:
“Itu, demi Allah, bagian dari kemuliaan akhlak mereka. Mereka datang ketika aku mampu memuliakan mereka, dan pergi ketika aku tidak sanggup melakukannya.”

Indah sekali. Kisah singkat ini meninggalkan pesan besar: lebih baik salah dalam berprasangka baik, daripada benar dalam berprasangka buruk.

Memahami Perbedaan Tarbiyah, Ta‘lim, Ta‘allum, dan Tadris


Halimi Zuhdy

Dalam percakapan sehari-hari, istilah tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris sering digunakan secara bergantian. Padahal, dalam khazanah bahasa Arab klasik maupun modern, istilah-istilah ini memiliki makna yang berbeda. Seperti kegiatan yang terkait dengan aqlam (pena), ada banyak istilah yang digunakan, walau sama-sama tentang "menulis", seperti; muallif, syair, adib dan lainnya (akan dibahas selanjutnya). 
Dalam beberapa mu'jam dan musthalahat at-tarbawiyah wa at-ta'alim beberapa perbedaan istilah tersebut sebagaimana berikut: 

Tarbiyah (التربية)

Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata ربّى – يربّي yang berarti menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan.

التربية هي عملية شاملة تهدف إلى تنمية الإنسان من جميع جوانبه: العقلية، الجسدية، النفسية، والاجتماعية

Tarbiyah tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk akhlak, menanamkan nilai, serta mempersiapkan seseorang menjadi pribadi yang utuh dan bermanfaat bagi masyarakat.

Ta‘lim (التعليم)

Ta‘lim berasal dari kata علّم – يعلّم yang berarti memberikan ilmu atau pengetahuan.

التعليم هو نقل المعارف والمهارات والمعلومات من المعلّم إلى المتعلّم

Fokusnya adalah penguasaan ilmu dalam bidang tertentu seperti matematika, sains, atau bahasa. Dengan demikian, ta‘lim adalah bagian dari tarbiyah, tetapi cakupannya lebih sempit.

Ta‘allum (التعلّم)

Berbeda dengan ta‘lim yang berpusat pada guru, ta‘allum berpusat pada murid. Kata ini berasal dari pola تفعّل yang menunjukkan usaha aktif dari diri sendiri.

التعلّم هو العملية التي يقوم بها الفرد لاكتساب المعرفة والمهارات من خلال التجربة أو الملاحظة أو الدراسة

Singkatnya, ta‘lim berarti guru mengajar, sedangkan ta‘allum berarti murid belajar.

Tadris (التدريس)

Tadris berasal dari kata درّس – يدرّس yang bermakna mengajarkan secara terstruktur.

التدريس عملية مركبة تشمل التعليم إضافة إلى التخطيط والتقويم والتفاعل الصفي

Dalam dunia modern, tadris identik dengan teaching, yaitu proses profesional di ruang kelas dengan perencanaan, metode, dan evaluasi yang jelas.

Tarbiyah/التربية adalah istilah paling luas karena mencakup pembentukan akhlak, karakter, dan kepribadian. التعليم (Ta‘lim) merujuk pada proses penyampaian ilmu dari guru, sedangkan التعلّم (Ta‘allum) adalah proses belajar aktif dari murid. Adapun التدريس (Tadris) merupakan pengajaran formal yang sistematis dengan metode, perencanaan, dan evaluasi. Dengan memahami perbedaan istilah ini, kita bisa lebih tepat menggunakannya sesuai konteks.

Oh ia, contoh sederhana dari empat istilah di atas; tarbiyah seperti seorang guru yang tidak hanya mengajarkan matematika, tetapi juga membimbing murid agar disiplin, jujur, dan berakhlak baik sedang melakukan tarbiyah, karena mencakup pembentukan karakter dan kepribadian. Ketika guru bahasa Arab menjelaskan kosakata baru di kelas, itu disebut ta‘lim, yaitu aktivitas menyampaikan ilmu. Sementara seorang murid yang belajar sendiri di rumah, membaca buku, mencatat, dan berlatih soal hingga paham sedang melakukan ta‘allum, sebab ia berusaha aktif memahami ilmu.

Adapun ketika seorang dosen mengajar di perguruan tinggi dengan mengikuti silabus, menggunakan metode diskusi, presentasi, serta memberikan ujian akhir semester, maka proses formal dan terstruktur itu disebut tadris. Dengan contoh sederhana ini, perbedaan antara tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris menjadi lebih jelas dan mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari.

Maraji' 

ابن منظور، لسان العرب، مادة (ربى، علم، درس)
الراغب الأصفهاني، المفردات في غريب القرآن
عبد السلام دائل، "الفرق بين التعليم والتدريس والتعلّم"، منتدى د. عبد السلام دائل (2012)
مركز التعلّم المرئي، "الفرق بين التعليم والتدريس" (2024)

Menelisik Kata "Luth" dan "Liwath" (Mengurai Kesalah pahaman tentang Nama Nabi Luth)



Halimi Zuhdy

Banyak orang beranggapan bahwa istilah liwāṭ (sodomi) berasal dari nama Nabi Luth, sehingga tanpa sadar mereka menilai seolah-olah nama Luth memiliki arti buruk. Pandangan ini tentu keliru, sebab nama para nabi tidak pernah bermakna tercela. Lalu, apa sebenarnya arti dari nama Luth itu sendiri? Dan mengapa perbuatan tercela kaumnya kemudian disebut dengan istilah liwāṭ? Pertanyaan inilah yang perlu ditelisik agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami asal-usul kata tersebut.
Mari kita telusuri: mengapa beliau disebut Luth, dan apa arti nama tersebut?

Sebagian ulama menjelaskan, Nabi Luth dinamakan demikian karena kecintaannya yang mendalam kepada pamannya, Nabi Ibrahim AS. Kata "Luth" bermakna "al-ta‘alluq" (ketautan), "al-ilṣāq" (melekat), dan "al-ḥubb" (cinta). Dengan begitu, nama "Luth" berarti “yang sangat mencintai” (terutama kepada pamannya, Ibrahim AS).

Ada pula pendapat lain yang menyebut "Luth" sebagai nama "‘ajamī" (non-Arab), tanpa derivasi (musytaq). Namun tetap saja, maknanya tidak pernah dikaitkan dengan keburukan. Justru maknanya mulia—cinta dan kedekatan.

Nama Nabi, Bukan Nama Perbuatan

Nabi Luth hidup semasa dengan Nabi Ibrahim (sekitar 1900 SM). Jika Nabi Ibrahim berdakwah di Irak, maka Nabi Luth diutus ke wilayah Sodom dan Gomorah, di sekitar Laut Mati bagian selatan.

Di sinilah terjadi kesalahpahaman besar: istilah Kaum Luth tidak berarti “Luth” itu buruk. Kata tersebut hanyalah "nisbat" (penyandaran), sama seperti “Kaum Nuh”, “Kaum Zakariya”, atau “Kaum Musa”. Sebagian kaum memiliki nama sendiri, seperti "Kaum ‘Ad" (kaumnya Nabi Hud) atau "Kaum Tsamud" (kaumnya Nabi Saleh).

Maka, keburukan itu bukan pada nama Nabi Luth, tetapi pada perbuatan kaumnya. Bahkan istilah "liwath" berasal dari akar kata "la-wa-tha", yakni perbuatan keji berupa homoseksual yang dilakukan kaum Luth. Ada ulama yang menegaskan bahwa istilah itu dikaitkan dengan Nabi Luth karena beliaulah yang menentang keras perilaku menyimpang tersebut.

Para ulama bahasa menegaskan, orang yang melakukan perbuatan kaum Luth—baik sebagai pelaku maupun objek—disebut "lūṭī" (لوطي) "bukan" karena dinisbatkan langsung kepada Nabi Luth, melainkan kepada "kaum Luth".

Dalam kaidah bahasa, sebuah nisbat pada susunan "iḍāfah" bisa bergeser. Ibn Mālik dalam Alfiyah-nya menjelaskan bahwa jika sebuah kata hanya bisa dipahami dengan penyandaran pada kata berikutnya, maka nisbat diarahkan pada kata kedua, bukan pertama:

وانسب لصدر جملة و صدر ما
ركب مزجا ولثان تمما
إضافة مبدؤة بابن أو أب
 أو ما له التعريف بالثاني وجب

Artinya, nisbat “luwāṭ” (اللواط) diarahkan pada qawm Lūṭ (kaum Luth), bukan pada Nabi Luth sendiri. Lebih dari itu, al-liwāṭ adalah masdar dari fi‘il lāwaṭa (لاوط) yang berarti “melakukan perbuatan kaum Luth”. Jadi, sekali lagi, itu adalah nisbat pada perbuatan kaum, bukan pada nabi.

Al-Qur’an pun sangat jelas: Nabi Luth bukan pelaku, melainkan penentang paling keras. Beliau berkata:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
 (QS. An-Naml: 54–55)

Namun kaum Luth justru menjawab dengan congkak:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
 (QS. An-Naml: 56)

Dan ketika azab Allah turun, negeri mereka dibalikkan dan dihujani batu dari langit:

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
 (QS. Hūd: 82–83)

Dengan ini, jelas bahwa istilah liwāṭ adalah cap bagi perbuatan tercela kaum Luth, sedangkan Nabi Luth sendiri adalah nabi mulia yang bersih dari hal tersebut.

 Sekilas Tentang Nabi Luth

Yuk, kita lirik sekilas tentang Nabi Luth. Nabi Luth bin Haran bin Azar adalah keponakan Nabi Ibrahim AS. Nama beliau disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 17 kali. Allah mengutusnya kepada kaum Sodom, sebuah perkampungan yang terletak antara Syam dan Hijaz (sekarang sekitar Yordania). Sodom sendiri terdiri dari beberapa desa, bahkan sebagian riwayat menyebut hingga sepuluh perkampungan.

Sayangnya, justru di tempat itulah lahir salah satu bentuk penyimpangan moral terbesar dalam sejarah manusia. Kaum Luth tidak hanya mendustakan risalah kenabian, tetapi juga menormalisasi perbuatan keji yang kemudian dikenal sebagai liwath.

Dari penelusuran ini jelas, bahwa nama Nabi Luth sama sekali tidak bermakna buruk. Beliau adalah nabi mulia yang namanya mengandung arti cinta dan kedekatan. Keburukan itu lahir dari perbuatan kaumnya, bukan dari diri beliau.

Menyamakan Luth dengan LGBT adalah kekeliruan serius. Justru Nabi Luth adalah sosok yang berdiri di garis depan untuk menentang penyimpangan itu, hingga Allah menurunkan azab besar kepada kaumnya.

Maraji‘:
Maudhu‘ Asma’ al-Anbiya’
Tafsir Al-Qur’an (QS. Hūd, QS. An-Naml, dan lainnya)
Kaidah Alfiyah Ibn Malik tentang nisbat

Menelisik Asal Muasal Kata "Tetangga" & "Al-Jar"


Halimi Zuhdy

Makna "Jar" dalam Bahasa Arab

Dalam bahasa Arab, kata "tetangga" diterjemahkan dengan "al-jār" (الجار), yang berarti “yang berada di dekat sesuatu, berdampingan, atau bersebelahan” (al-mujāwir). Menariknya, kata "jiwār" (جوار, perlindungan atau kedekatan) sangat dekat dengan kata "jidār" (جدار, tembok). Bila huruf "dal" dihapus, maka menjadi "jār. Artinya, tetangga adalah pihak yang “menempel” di tembok rumah kita.
Para ulama adab al-jīrān (etika bertetangga) menjelaskan:
الجار: من يقرب مسكنه منك
 “Tetangga adalah orang yang rumahnya dekat denganmu.”

Batasan tetangga pun dipahami luas. Ali bin Abi Thalib berpendapat: “Barang siapa mendengar azan, ia adalah tetanggamu.” Ada juga yang mengatakan: “Siapa yang shalat Subuh bersamamu di masjid, maka ia termasuk tetanggamu.” Sedangkan Aisyah RA menegaskan: “Batas tetangga adalah 40 rumah dari setiap sisi.”

Itulah sebabnya istilah "jīrān" (jamak dari "jār") masih kita dengar hingga kini, misalnya pada ungkapan “Negeri Jiran” untuk menyebut Malaysia—tetangga Indonesia.

Asal kata "Tetangga" dalam Bahasa Indonesia 

Lalu bagaimana asal kata "tetangga" dalam bahasa kita? Sejumlah pendapat menyebut, kata ini berasal dari “tangga” yang diberi awalan “te-”. Bukan dalam arti jamak seperti "tetamu", melainkan bentuk asal yang berkembang.

Secara leksikal, "tangga" adalah alat untuk naik turun. Dari sini berkembanglah istilah "tangga nada", "tangga sosial", hingga "tangga karier". Menariknya, kata "tetangga" konon awalnya merujuk pada rumah-rumah panggung tradisional. Rumah panggung memiliki tangga, dan biasanya tangga satu rumah berdempetan dengan tangga rumah lain. Bisa jadi, kedekatan antar-“tangga” inilah yang melahirkan istilah "tetangga".

Tak heran kalau kata ini juga dekat dengan istilah "rumah tangga", yang menunjuk tempat tinggal suami, istri, dan anak-anak inti terkecil dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam Islam, posisi tetangga begitu agung. Saking pentingnya, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Jibril terus-menerus berpesan tentang tetangga hingga beliau mengira bahwa tetangga akan mendapatkan hak waris.

Tetangga adalah rumah yang paling dekat dengan kita, tetapi lebih dari itu ia seharusnya dekat pula di hati. Tidak menyakiti tetangga—baik secara fisik maupun dengan lisan—adalah jalan menuju surga. Sebaliknya, meski seseorang rajin beribadah, namun lisannya menyakiti tetangga, maka amalan itu bisa runtuh begitu saja.

Karena itu, tetangga sesungguhnya adalah bagian dari tangga. Tangga yang bisa mengangkat kita naik menuju ridha Allah dan surga-Nya, jika kita mampu menjaga hubungan dengan penuh kebaikan.

Maraji‘
al-Mu‘jam al-‘Arabī (makna al-Jār dan al-Jiwār)
Hadis riwayat al-Hakim tentang tetangga
Riwayat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah RA tentang batas tetangga

Perbedaan Murīd, Tilmīdz dan Ṭālib



Halimi Zuhdy

Belakangan ini, muncul banyak pertanyaan di grup WhatsApp Bahasa Arab mengenai istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, khususnya perbedaan antara murid, tilmīdz, dan ṭālib. Pertanyaan ini cukup menarik, sebab di balik istilah-istilah tersebut tersimpan nuansa makna yang kaya, baik secara etimologis maupun historis. Oleh karena itu, insyaAllah dalam tulisan ini saya akan mengkaji perbedaan ketiganya dengan merujuk pada beberapa marāji‘ penting, agar pembahasan menjadi lebih jelas dan mendalam.
Murīd

Kata murid dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab مُريد (murīd). Menurut Kamus al-Ma‘ani, kata ini merupakan ism fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja أرادَ (arāda) yang berarti menghendaki atau menginginkan. Dengan demikian, murid pada mulanya berarti seseorang yang memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu, khususnya terhadap ilmu atau jalan tertentu.

Dalam ranah tasawuf, istilah ini digunakan untuk menyebut seorang pengikut atau pencari jalan spiritual yang menaruh kehendak penuh untuk menapaki bimbingan seorang guru (shaykh) (Kamus al-Ma‘ani).

Selain berasal dari akar kata arāda–yurīdu–murīd, dalam kamus juga ditemukan bentuk lain seperti مرِيد (marīd) dan مَريد (marīd). Kata marīd sendiri bisa bermakna negatif, yakni “pembangkang”, “jahat”, atau “orang yang durhaka” (Kamus al-Ma‘ani). Namun bentuk murīd yang berakar pada irādah lebih populer dalam tradisi keilmuan dan sufisme, karena mengandung makna positif: orang yang dengan kesungguhan hati menuntut ilmu, berjuang, dan berkehendak untuk memperoleh pengetahuan atau bimbingan rohani.

Dalam KBBI, kata murid diartikan sebagai “orang (anak) yang sedang berguru, belajar, atau bersekolah.” Pemaknaannya kemudian menyempit dalam konteks pendidikan formal menjadi siswa atau pelajar di sekolah (KBBI). Perbedaan ini menunjukkan adanya transformasi makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Arab murīd lebih menekankan aspek “kehendak” dan “pencarian,” maka dalam bahasa Indonesia ia lebih identik dengan status formal sebagai peserta didik.

Tilmīdz

Secara etimologi, tilmīdz mengandung arti “mengikuti,” “membantu,” atau “pelayan.” Dalam kamus-kamus kontemporer seperti al-Ma‘āshir dan al-Wasīt, kata ini dipakai untuk menyebut anak-anak yang sedang belajar (yatalammadz).

Ulama bahasa menjelaskan, tilmīdz adalah sebutan bagi murid di tingkat dasar (ibtidā’) hingga menengah (mutawassit). Umumnya mereka berusia 0–16 tahun—masa di mana seorang anak masih membutuhkan arahan (tawjīh), bimbingan (irshād), dan pendampingan dalam membentuk jiwa (nafsiyyah), cara berpikir (‘aqliyyah), hingga perilakunya (sulūkīyyah). Dengan kata lain, tilmīdz adalah siswa atau murid yang masih “dibentuk.” Ia belum sepenuhnya mandiri dalam menuntut ilmu.

Ṭālib

Berbeda dengan tilmīdz, istilah طالب (ṭālib) secara bahasa berarti “pencari.” Dalam praktiknya, kata ini merujuk pada penuntut ilmu yang lebih dewasa, biasanya mereka yang sudah melampaui masa pubertas.

Ṭālib identik dengan mahasiswa universitas, sehingga kita sering mendengar istilah طالب الجامعة (ṭālib al-jāmi‘ah) yang dalam bahasa Inggris disebut student. Sementara tilmīdz lebih dekat dengan kata pupil—siswa sekolah dasar atau menengah.
Namun demikian, kata ṭālib sebenarnya lebih luas. Ia bisa dipakai untuk menyebut siapa saja yang menuntut ilmu, termasuk siswa madrasah. Jadi, kalau tilmīdz terbatas pada anak-anak sekolah, ṭālib lebih fleksibel, bisa melekat pada siapa saja yang berproses mencari ilmu.

Kamus Mughni bahkan mencatat makna tambahan dari kata ṭālib: 1) orang yang gemar mencari ilmu. 2) dua hal yang paling dicari manusia menurut al-Jāhiẓ: ilmu dan harta. 3) 0rang tua yang mencarikan suami bagi putrinya (ṭāliban liz-zawāj li-ibnatihi).

Di sini tampak bahwa kata ṭālib lebih kaya makna dan lebih luas penggunaannya dibanding tilmīdz. Juga ada yang menyebutkan bahwa perbedaan istilah antara murid dan tilmīdz. Kata تلميذ (tilmīdz) biasanya digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk pada pelajar biasa atau anak sekolahan. Sedangkan murīd menekankan makna lebih dalam: seorang penempuh jalan yang bersungguh-sungguh mencari ilmu atau kebenaran, baik dalam konteks agama maupun dalam pengertian umum. Inilah yang membuat istilah murid memiliki dimensi spiritual yang tidak ditemukan dalam kata tilmīdz.

Penggunaan istilah dalam sejarah Islam juga menarik. Pada masa Rasulullah SAW, para penuntut ilmu disebut dengan istilah ṣaḥābah (sahabat), yang memiliki makna lebih mulia karena tetap menjaga kemandirian dan kehormatan pribadi mereka. Sementara istilah murid lebih banyak muncul dalam tradisi tasawuf dan pendidikan setelahnya, untuk menunjukkan ikatan spiritual dan intelektual antara guru dan pencari ilmu. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa kata murid mengandung sejarah panjang: dari akar kata Arab irādah yang berarti kehendak, berkembang ke dalam tradisi sufisme, lalu masuk ke bahasa Indonesia dengan makna formal sebagai “siswa” atau “pelajar.”

Marāji‘:
Mu‘jam al-Ma‘āshir, Mu‘jam al-Ma‘āni, al-Mu‘jam al-Wasīt, al-Furuq al-Lughawiyyah, Maqālah Furuq Lughawiyyah li-Duktūr Farhān, Mu‘jam al-Mughni, KBBI.

Rizki Bukan Sekadar Uang



✍️ Halimi Zuhdy 

Banyak orang menafsirkan rizki hanya sebatas uang. Tidak heran, dalam keseharian, kalimat seperti “Alhamdulillah, rizkinya lancar” sering diartikan dengan penghasilan yang bertambah atau uang yang melimpah. Pandangan ini hanyalah sebagian kecil dari rizki. Dalam gambar di atas tergambar jelas sebuah perahu kecil dengan satu layar besar bertuliskan kata “المال” (uang). Begitulah kebanyakan orang memaknai rizki, sempit, sebatas materi.
Namun, benarkah uang adalah satu-satunya bentuk rizki?

Dalam ilustrasi lain yang lebih besar dan megah, digambarkan sebuah kapal dengan banyak layar. Di sana tertulis berbagai hal: keluarga, kesehatan, sahabat, ilmu, cinta, pekerjaan, rasa aman, bahkan akhlak mulia.

Inilah gambaran hakikat rizki yang sebenarnya. Rizki bukan hanya sesuatu yang bisa dihitung dengan angka atau ditabung di rekening. Rizki adalah "segala karunia Allah" yang membuat hidup lebih berarti.

Kesehatan adalah rizki, karena tanpanya uang hanya habis untuk berobat. Keluarga dan sahabat adalah rizki, karena tanpa mereka, hidup menjadi sunyi. Rasa aman adalah rizki, sebab harta tak bisa dinikmati di tengah ketakutan. Akhlak, cinta, dan ilmu juga rizki, karena semuanya menambah nilai diri jauh melampaui kekayaan materi.

Kesalahpahaman yang fatal. Bahwa menyempitkan arti rizki hanya pada uang justru bisa membawa pada kerugian. Banyak orang mengejar harta dengan segala cara, hingga kehilangan kesehatan, merenggang dari keluarga, bahkan mengorbankan akhlak. Padahal, justru di situlah letak rizki yang jauh lebih berharga.

Rizki sejati adalah kapal besar dengan banyak layar. Uang hanyalah salah satunya. Jika hidup hanya dikejar demi uang, kita seperti berlayar dengan satu layar kecil yang rapuh ketika diterpa badai.

Sebaliknya, ketika kita mampu melihat bahwa rizki mencakup kesehatan, keluarga, ketenangan, dan kebaikan hidup lainnya, barulah kita benar-benar memahami makna syukur. Pada akhirnya, rizki bukan soal angka di dompet, melainkan "kelengkapan nikmat yang membuat hidup berjalan seimbang dan bermakna.

Ya Allah Berikan kami rizki yang terbaik 🤲

Perbedaan Sunnah, Mandub, Mustahab, Nafl, dan Tatawwu‘ dalam Fiqh


Halimi Zuhdy

Beberapa hari yang lalu, ada beberapa sahabat facebook meminta saya untuk menulis perbedaan beberapa kata dalam bahasa Arab, di antaranya tentang sunnah dan nafl. Maka, dalam tulisan ini, al faqir menambah kata yang terkait dengan sunnah. Dalam kajian fikih, kita sering menjumpai istilah seperti "sunnah, mandub, mustahab, nafl (نافلة), dan tatawwu‘ (تطوع)". Sekilas, istilah-istilah ini tampak sama, karena semuanya merujuk pada amal yang tidak wajib. Namun, para ulama berbeda pandangan dalam menafsirkannya. Ada yang menganggap semuanya "sinonim" (maksudnya sama), ada pula yang memberi "tingkatan khusus" di antara istilah-istilah tersebut.
Sunnah (السنة)

Secara bahasa, "sunnah" berarti "jalan atau kebiasaan".
Secara istilah fikih, maknanya berbeda menurut mazhab:

Syafi‘iyah berpendapat bahwa sunnah sama dengan mandub dan mustahab, yaitu setiap amal yang dianjurkan, bukan wajib. Namun, mereka tetap mengakui bahwa ada sunnah yang lebih kuat (sunnah mu’akkadah) dan ada yang kurang kuat (ghairu mu’akkadah) (الماوردي، "الحاوي" 1/100; الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449).

Hanafiyah: sunnah dibagi menjadi dua: Sunnah mu’akkadah: yang Nabi SAW terus-menerus lakukan, seperti shalat sunnah rawatib. Sunnah ghairu mu’akkadah: yang Nabi SAW lakukan kadang-kadang. Meninggalkan sunnah mu’akkadah menurut mereka bisa berdosa, meskipun dosanya lebih ringan daripada meninggalkan wajib (ابن نجيم، "البحر الرائق" 1/319).

Sedangkan Malikiyah: sunnah adalah amalan yang Nabi SAW lakukan di hadapan orang banyak dan terus-menerus, tapi tidak sampai wajib (الدسوقي، "حاشية الدسوقي" 1/312).

Hanabilah: sunnah adalah salah satu tingkat dari amalan mandub, yakni tingkat tertinggi. Setelah sunnah, ada "fadhilah" dan kemudian "nafilah" (ابن النجار، "شرح الكوكب المنير" ص 126).

Mandub (المندوب)

"Mandub" berarti amalan yang diperintahkan syariat, tapi tidak wajib. Sebagian ulama menyamakannya dengan sunnah dan mustahab. Menurut sebagian Hanabilah, mandub itu bertingkat: ada yang disebut sunnah (paling utama), ada yang disebut "fadhilah", dan ada yang disebut nafilah (ابن النجار، المرجع نفسه).

Dengan kata lain, istilah "mandub" sering dipakai sebagai istilah umum untuk semua amal yang dianjurkan tapi tidak diwajibkan.

Mustahab (المستحب)

Secara bahasa, "mustahab" berarti sesuatu yang dicintai. Banyak fuqaha menyamakannya dengan mandub dan sunnah. Namun, ada yang memberi batasan: "mustahab" adalah amalan yang dilakukan Nabi SAW sesekali, atau beliau memerintahkan tapi tidak mengerjakannya sendiri (الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449). Contoh adalah doa-doa tambahan atau dzikir-dzikir yang dianjurkan.

-Nafl (النفل)

Secara bahasa, "nafl" berarti tambahan. Menurut Syafi‘iyah, nafl sama dengan sunnah, mandub, dan mustahab: semua ibadah tambahan selain fardhu (الخطيب الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449). Menurut Hanafiyah, nafl adalah istilah umum yang mencakup semua ibadah tambahan, baik sunnah maupun mustahab (إبراهيم الحلبي، "غنية المتملي" ص 383).

Sedangkan Menurut Malikiyah, nafl adalah amalan yang dilakukan Nabi SAW kadang-kadang saja, tidak terus-menerus (الدسوقي، "حاشية الدسوقي" 1/312). Contoh adalah shalat sunnah mutlak (tanpa sebab khusus), atau ibadah tambahan yang tidak rutin.

Tatawwu‘ (التطوع)

Secara bahasa berarti "kerelaan atau kesukarelaan". Tatawwu‘ adalah ibadah yang dilakukan secara sukarela di luar kewajiban. Sebagian ulama mendefinisikannya lebih sempit: amalan yang tidak ada contoh khusus dari Nabi SAW, tapi dikerjakan atas inisiatif sendiri (كالشافعية، النووي، "المجموع" 4/2). Dengan kata lain, tatawwu‘ bisa disebut "ibadah ekstra kreatif", seperti memperbanyak sedekah, atau shalat sunnah mutlak yang tidak terkait waktu tertentu.

Para ulama memang berbeda istilah, tetapi hakikatnya semua sepakat bahwa amalan ini "tidak wajib" dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak berdosa. Namun, perbedaan tingkat (sunnah mu’akkadah, ghairu mu’akkadah, mustahab, tatawwu‘) penting untuk diketahui agar seorang muslim dapat memprioritaskan amal yang lebih ditekankan Nabi SAW. Beberapa keternagan diatas penulis kutip dari beberapa kitab berikut  

Maraji'

1. إبراهيم الحلبي، "غنية المتملي"، ص 383.
2. الدسوقي، "حاشية الدسوقي"، 1/312.
3. الخطيب الشربيني، "مغني المحتاج"، 1/449.
4. ابن النجار الحنبلي، "شرح الكوكب المنير"، ص 126.
5. ابن نجيم، "البحر الرائق"، 1/319.
6. النووي، "المجموع"، 4/2.
7. الموسوعة الفقهية الكويتية، ج41، ص100-101.
8. وهبة الزحيلي، "الفقه الإسلامي وأدلته"، 2/1056-1057.

Semoga bermanfaat

Menulis Sastra (Puisi): Dari "Syi‘ir", "Syu‘ūr", hingga "Syiar"


Halimi Zuhdy

Bagi pemula, langkah pertama dalam menulis karya sastra bukanlah soal teknik, struktur, atau teori. Yang paling mudah justru "rasa". Menulis dimulai dari rasa, perasaan yang hadir begitu saja, bahkan tanpa harus mencari ide yang rumit.

Menariknya, dalam tradisi Arab, puisi disebut dengan istilah "الشِّعْر (asy-syi‘r)". Kata ini ternyata memiliki akar yang sama dengan beberapa istilah lain yang sangat dekat dengan pengalaman batin manusia: "شُعُور (asy-syu‘ūr)" yang berarti rasa atau perasaan, dan juga "شَعْر (asy-sya‘r)" yang berarti rambut atau bulu.
Puisi dalam bahasa Arab bukan hanya susunan kata indah. Ia lahir dari pengalaman batin yang diolah, dipadatkan, lalu diungkapkan. Karena itu, syi‘ir selalu berhubungan dengan syu‘ūr, rasa yang menjadi sumber kehidupan puisi. Tanpa rasa, syi‘ir hanyalah rangkaian kata kosong.

Kata "syu‘ūr (الشُعور)" dalam bahasa Arab berarti kesadaran rasa. Inilah dasar dari seluruh pengalaman estetis. Menulis puisi berarti melatih kepekaan, menyelami denyut rasa yang kadang samar. Seorang pemula tidak perlu cemas kekurangan ide, cukup tuliskan apa yang dirasa: gelisah, rindu, bahagia, hampa, cinta, atau doa.

Mengapa akar kata puisi berkaitan dengan "rambut" atau "bulu" (الشَعر)? Rambut adalah bagian tubuh yang sangat sensitif. Sedikit sentuhan angin saja terasa di ujung helai. Begitulah perasaan seorang penyair: hal-hal kecil, yang mungkin luput dari pandangan orang kebanyakan, bisa mengguncang jiwanya. Rambut menjadi simbol betapa seorang penyair harus peka terhadap isyarat sekecil apa pun dari kehidupan.

Dari syi‘ir dan syu‘ūr, lahir pula keterhubungan dengan "syi‘ār (الشِعار)" (yang berarti tanda, semboyan, atau seruan). Puisi pada akhirnya bukan hanya curahan rasa pribadi, melainkan bisa menjadi "syiar"—sebuah pesan yang dibawa keluar, disampaikan kepada orang lain, bahkan bisa menjadi suara zamannya.
Dengan demikian, menulis puisi sesungguhnya sebuah perjalanan: dimulai dari "syu‘ūr" (rasa), diolah menjadi "syi‘ir" (puisi), dengan kepekaan seperti "sya‘r" (rambut/bulu), dan akhirnya bisa berfungsi sebagai "syiar" (pesan, semboyan, atau seruan).

Menulis syi'ir Arab (puisi Arab), sebenarnya tidaklah sulit, bisa terjawab dalam buku di atas "Seni Menulis Puisi Arab, فن كتابة الشعر العربي "

***
Buku Dapat dipesan di: 
Mas Hasan WA 0813-5980-3848

Antara Kelembutan dan Ketegasan Nabi Muhammad dalam Mendidik Umat


Halimi Zuhdy

Kita hidup di zaman yang sering salah paham tentang dua hal penting dalam akhlak: kelembutan (اللِّين) dan ketegasan (الحَزْم). Ada yang mengira lembut itu lemah, dan tegas itu keras. Padahal, Rasulullah  SAW telah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah lawan, tapi dua sisi dari satu kebijaksanaan. Bahkan, anggapan itu, orang yang lembut adalah mereka yang tidak tegas, melempem, dan lemot. Atau, sebaliknya orang yang tegas, dianggap pemarah, keras dan tidak berakhlak baik. Karena, mereka tidak memahami keduanya. 
Nabi Muhammad tahu kapan harus mengusap kepala dengan kasih, dan kapan harus menegakkan prinsip tanpa ragu. Itulah sebabnya, setiap tindakan beliau menjadi pelajaran penting:

إِنَّ لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالًا، وَلِكُلِّ مَوْقِفٍ مَا يُنَاسِبُهُ
“Setiap keadaan memiliki ucapannya, dan setiap situasi punya cara menanganinya.”

Satu hari, seorang Arab Badui kencing di masjid. Para sahabat spontan marah. Namun Rasulullah SAW bersabda:

لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ
“Jangan hentikan dia, biarkan saja.” (HR. Muslim, 2/133)

Bayangkan  di rumah Allah, namun Nabi SAW tak langsung murka. Setelah selesai, beliau menasihatinya dengan lembut dan menjelaskan fungsi masjid. Hasilnya? Si Badui itu bukan hanya berhenti, tapi juga berterima kasih dan berdoa untuk Nabi . Itulah lembut yang mendidik, bukan lembut yang dibiarkan tanpa arah. Lembut bukan diam, tapi tahu kapan dia menasehati dan mengarahkan. 

Begitu pula dengan sahabat Mu‘āwiyah bin al-Ḥakam as-Sulamī, yang bersin di tengah salat lalu berkata “Yarhamukallāh.” Seusai salat, Nabi SAW menasihatinya tanpa mencela. Mu‘āwiyah berkata: “Demi Allah, aku belum pernah melihat guru sebaik beliau; tidak marah, tidak memukul, dan tidak mencela.” (HR. Muslim, 3/140). 

Kelembutan Nabi  SAW bukan basa-basi, tapi metode pendidikan. Beliau menuntun, bukan menunduk.

Namun ketika prinsip diinjak atau akidah terancam, Nabi SAW berubah tegas, bukan karena emosi, tapi karena tanggung jawab wahyu.

Suatu hari, Umar bin Khattab membawa catatan dari Taurat dan membacanya. Wajah Nabi SAW berubah, lalu beliau bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى، ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي، لَضَلَلْتُمْ"

 “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa hidup di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian akan tersesat.” (Musnad Ahmad, no. 14631)

Itulah ketegasan menjaga kemurnian risalah. Beliau tidak ingin umatnya mencampur wahyu dengan tradisi lama. Tegas, tapi tetap mendidik. Ketegasan juga muncul ketika ada yang berlebih dalam ibadah. Mu‘adz bin Jabal pernah memperpanjang salat hingga orang kesulitan. Nabi menegur:

أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟
 “Apakah engkau ingin membuat fitnah, wahai Mu‘adz?” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukan marah, tapi pengingat: ibadah harus memudahkan, bukan memberatkan.

Rasulullah SAW dikenal tidak pernah marah karena kepentingan pribadi. Tapi bila hukum Allah dilanggar, beliau bangkit dengan wibawa kenabian. Aisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata:

“Tidaklah Rasulullah SAW marah karena dirinya, kecuali jika larangan Allah dilanggar, maka beliau marah karenanya.” (HR. Bukhari, no. 3560)

Ketegasan beliau selalu terukur: tidak melukai, tidak menghina, tapi mengingatkan dengan nur wahyu dan kekuatan hati.

Salah satu momen paling indah dalam sejarah Islam adalah Fathu Makkah (Penaklukan Mekah). Saat semua musuh yang dulu mengusir dan menyiksanya berada di depan mata, Nabi SAW justru berkata:

اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
 “Pergilah, kalian semua bebas.” (Zād al-Ma‘ād, 3/356)

Tak ada balas dendam. Tak ada paksaan. Hanya ampunan yang menaklukkan hati. Inilah kelembutan yang lahir dari kekuatan iman, bukan kelemahan diri.

Dalam setiap peristiwa, Nabi SAW selalu menempatkan keduanya secara seimbang.

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا.

“Tidaklah Rasulullah SAW diberi pilihan antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah selama tidak berdosa.” (HR. Bukhari)

Itulah seni kepemimpinan Rasulullah SAW, tegas saat prinsip diganggu, lembut saat hati butuh arah. Kita pun dituntut meneladani jalan tengah itu lembut dalam berdakwah, tapi tidak lemah dalam prinsip, tegas dalam menjaga kebenaran, tapi tidak keras dalam menyampaikan, marah karena Allah, bukan karena ego.

Menarik ungkapan seornag ulama, kelembutan tanpa prinsip adalah kelumpuhan, dan ketegasan tanpa kasih adalah kekerasan.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

 “Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri; berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan keselamatan bagi kalian, terhadap orang-orang beriman beliau penuh kasih dan sayang.” (QS. At-Taubah: 128)

Marja'
 Muslim, Ṣaḥīḥ, jilid 2/133, 3/140.
Ibn al-Qayyim, Zād al-Ma‘ād 3/356.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 14631.
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ, no. 3560.

Al-Khoziny, Duka Kita dan Duka Indonesia


(Sejenak Merenung, tentang Musibah ini) 

Halimi Zuhdy

Ketika satu pesantren berduka, sejatinya seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Nusantara, ikut berduka. Sebab pesantren itu satu tubuh dengan satu ruh,  ruh pengabdian untuk umat.
Bagi mereka yang belum pernah mencicipi “asam garam pesantren”: kerasnya hidup di bilik sederhana, keringnya nasi di dapur umum, atau keruhnya air di kamar mandi pesantren,  barangkali sulit memahami betapa dalamnya makna perjuangan itu. Mereka hanya melihat dari luar, kadang dengan sinis, kadang dengan sumpah serapah. Bahkan kolom-kolom media penuh dengan nyinyiran tentang pesantren. "Bubarkan pesantren!" Teriaknya. 

Padahal, bukan berarti pesantren anti kritik. Tidak. Pesantren bukan lembaga sempurna, sebagaimana lembaga pendidikan lain di Indonesia. Namun pesantren adalah warisan asli Nusantara, jati diri bangsa yang tak boleh goyah. Ia harus terus berbenah, karena tiada manusia, lembaga, atau bangunan yang sempurna.

Musibah yang menimpa Pesantren Al-Khoziny hari ini adalah duka yang dalam. Namun mungkin juga menjadi peringatan dan pelajaran besar,  bukan hanya bagi satu pesantren, tapi bagi seluruh lembaga pendidikan di negeri ini. Al-Khoziny menjadi korban, tapi sesungguhnya kitalah yang harus mengambil hikmah. Saatnya semua pihak berbenah: pesantren, lembaga pendidikan, pemerintah, bahkan masyarakat.

Pemerintah perlu meninjau kembali sistem perizinan dan IMB. Jangan sampai prosesnya mempersulit lembaga yang ingin membangun kebaikan. Dari RT hingga pemerintah kota dan kabupaten, biarlah kemudahan itu menjadi bagian dari pelayanan. Dan pesantren juga berbenah, bersusah-susah untuk mengajukan IMB, bagaimana pondok berstandar keamanan. 

Kampus-kampus dengan fakultas teknik sipil, arsitektur, dan keinsinyuran  juga punya tanggung jawab moral. Nantinya, bisa ikut hadir membantu pesantren yang sedang membangun generasi bangsa, atau yang telah dan sedang juga bisa lebih masif. Semuanya, bergotong royong hadir untun lembaga pesantren. Lembaga milik Indonesia. 

Jangan lupa, banyak pesantren kesulitan luar biasa hanya untuk membangun ruang belajar yang layak. Dari semen, bata, hingga mencari tukang pun sering penuh perjuangan. Padahal, dari tempat-tempat sederhana itulah lahir generasi berakhlak, berilmu, dan tangguh.

Yang kita butuhkan hari ini bukan komentar pedas, bukan nyinyiran, bukan caci maki. Mari duduk bersama. Karena bukan hanya pesantren yang belum sempurna,  semua lembaga pun demikian. Kecuali beberapa pesantren yang memiliki banyak donatur, atau santrinya membayar spp lumayan mahal. Tapi, tidak sedikit pesantren yang menampung santri yang hanya punya untuk biasa buku, bahkan 100 persen bebas spp, uang makan, dan lainnya. Siapa yang harus hadir di sini? 

Kita perlu menata kembali banyak hal: keamanan, perlengkapan, tata bangunan, hingga manajemen risiko. Semua bisa menjadi pelajaran berharga, agar tidak ada lagi duka serupa di masa depan. Tidak hanya Al-Khoziny, karena ada musibah. Tidak. Semuanya. Maka, bergotong royong, membagun bersama. 

Ada yang juga aneh. Sebagian orang menuduh pesantren seperti “perbudakan.” Mereka jelas belum pernah masuk dan tinggal sehari saja di dalamnya. Atau mungkin, ada beberapa pesantren yang menerapkan kerja-kerja seperti itu, tapi coba dilirik kembali. Apa yang mereka kerjakan? Menarkan mereka dipermudak? Atau lagi belajar untuk berkhidmah, penguatan mental, kerja dan lainnya. 

Lihatlah, jutaan santri hidup di pesantren tanpa paksaan, tanpa tentara, tanpa politisi, tapi dengan semangat luar biasa untuk belajar dan berkhidmah. Mereka makan seadanya, tidur di kasur tipis, dan tetap bersyukur. Mereka tidak di dampingi orang tua, jauh dari kemewahan, ada yang hanya disambangi satu tahun sekali, siapa tim psikolog yang mampu bersemai 24 jam dengan ratusan bahkan riabuan santri yang mengalami stres belajar? Duh, susah banget. Jamaah haji saja butuh pengkondisian luar biasa, itu hanya 40 hari. Ini 1-3 tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Bukan membela pesantren, ini kenyataan. Tapi, ingat tetap harus terus berbenah menjadi baik, kalau tidak terbaik. Dan butuh dukungan masyarakat dan pemerintah. 

Bahkan banyak pesantren berdiri di atas tanah yang belum rata, dengan bangunan yang masih gubuk, tapi penuh cahaya ilmu dan doa. Pesantren bukan milik individu. Ia milik umat. Ia milik Indonesia. Maka mari bantu pesantren, rawat pesantren, cintai pesantren. Pesantren tidak anti kritik. Ia selalu berdampingan dengan masyarakat, terbuka terhadap masukan. 

Ketikan Kyai dawuh tentang "takdir",  bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Justru ikhtiar adalah bagian dari iman kepada takdir. Bila ada kelalaian, tentu harus diperbaiki. Bila ada kekurangan, tentu harus dibenahi. Kita negara hukum, maka setiap lembaga, termasuk pesantren, harus mengikuti aturan keselamatan dan pembangunan. Dan kata "takdir" di pesantren bukan sesuatu yang abai, ia adalah penguat. 

Namun satu hal pasti: tidak ada kiai, ustaz, atau pesantren mana pun yang ingin santrinya menjadi korban. Para santri itu adalah anak-anak kiai, anak-anak bangsa, bahkan sering lebih dekat secara ruhani dibanding anak sendiri.

Al-Khoziny yang berarti perbendaharaan, menyimpan, gudang, kalau toh hari ini, ia lagi Al-Hazin (berdua). Mari, kita berdoa, dan tentunya juga berikhtiyar semaksimal mungkin, untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. 

Dan Mari kita doakan: semoga para keluarga yang berduka diberi kesabaran oleh Allah. Semoga para santri mereka menjadi bunga-bunga syahid yang harum di sisi-Nya. Dan semoga pesantren-pesantren di seluruh Indonesia terus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan penuh berkah, manba‘ul ‘ilmi, sumber ilmu yang tak pernah kering.

Ya Allah Ya Rabb. Lakal hamdu, wa laku syukru, wailaika rajiun.

Jejak Para Nabi AS, dari Nabi Adam Hingga Nabi Muhammad SAW


Halimi Zuhdy 

Sejarah para Nabi bukan hanya kisah lama yang tertulis dalam kitab suci, tetapi juga peta perjalanan panjang manusia mencari makna dan kebenaran.
Dari padang pasir yang sunyi hingga lembah subur di tepi sungai besar, jejak mereka menandai tempat-tempat yang menjadi saksi turunnya wahyu, perjuangan melawan kezaliman, dan lahirnya peradaban.
Catatan sejarah Islam mencatat 25 Nabi AS yang diutus Allah dengan waktu, tempat dakwah, dan tempat wafat yang berbeda-beda. Jika disusun secara kronologis, kisah mereka membentang selama hampir enam milenium dari Nabi Adam AS sekitar 5800 SM hingga Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi. Rentang yang luar biasa panjang ini menjadi bukti betapa Allah senantiasa menuntun umat manusia dalam setiap zaman.

Awal Manusia dan Permulaan Wahyu

Kisah agung ini dimulai dari Nabi Adam AS (5800–5000 SM), manusia pertama yang diturunkan ke bumi di Jazirah Arab bagian barat. Dari beliau, seluruh umat manusia bermula.
Beberapa abad kemudian, Nabi Idris AS (4500–4000 SM) diutus di wilayah Irak kuno. Ia dikenal sebagai sosok bijak, penulis pertama dalam sejarah, dan pembawa ajaran ilmu serta moral.

Lalu utus Nabi Nuh AS (4000–3000 SM), diutus di selatan Irak. Kaumnya menolak ajaran tauhid hingga Allah menurunkan banjir besar yang mengubah wajah bumi. Dari bahtera Nuh, manusia memulai kembali perjalanan panjang sejarahnya.

Sekitar tahun 2400 SM, Allah mengutus Nabi Hud AS kepada kaum ‘Ad di wilayah Al-Ahqaf (antara Yaman dan Oman). Mereka dikenal sebagai bangsa perkasa yang membangun menara-menara tinggi, tetapi kesombongan menjatuhkan mereka. Angin topan menjadi akhir kejayaan mereka.

Lalu datang Nabi Shaleh AS (2100 SM), diutus kepada kaum Tsamud yang tinggal di pegunungan Al-Hijr (utara Jazirah Arab). Mereka ahli memahat gunung menjadi rumah, namun keras hati menolak ajaran Allah hingga akhirnya binasa oleh gempa besar. Dua kaum ini menjadi simbol peringatan besar: sehebat apa pun peradaban manusia, jika hilang arah iman, maka lenyaplah kejayaannya.

Keturunan Ibrahim: Dua Jalur Kenabian

Zaman terus berjalan hingga lahir Nabi Ibrahim AS (1900 SM), sang bapak para Nabi, di Ur (selatan Irak). Dari beliau muncul dua garis besar keturunan kenabian:
1. Dari Ismail AS (1850 SM) — lahir di Mekah, menjadi cikal bakal bangsa Arab dan jalur keturunan Nabi Muhammad SAW.
2. Dari Ishaq AS (1800 SM) — hidup di Palestina, melahirkan keturunan Bani Israil.

Ibrahim wafat di Khalil (Hebron, Palestina) dan meninggalkan warisan iman yang menjadi dasar tiga agama besar dunia. Sezaman dengannya, Nabi Luth AS (1900 SM) diutus di Sodom dan Gomorrah (selatan Laut Mati). Kaumnya dihancurkan karena perilaku menyimpang yang melawan fitrah kemanusiaan.

Tak lama kemudian, muncul Nabi Ya’qub AS (1750 SM) yang tinggal di Syam, dan Nabi Yusuf AS (1715 SM) di Mesir, yang kisah hidupnya penuh pelajaran tentang sabar, pengampunan, dan kemuliaan hati.

Nabi-Nabi di Jazirah Arab dan Mesir

Waktu bergulir hingga sekitar 1500 SM, saat Nabi Syuaib AS diutus di Madyan (wilayah timur Teluk Aqabah). Ia menyeru kaumnya agar jujur dalam berdagang.

Nabi Ayyub AS (1500 SM) berdakwah di daerah Hauran, Suriah. Kesabarannya dalam menghadapi penyakit dan kehilangan menjadikannya simbol keteguhan sejati. Lalu datang Nabi Dzulkifli AS (1430 SM) di Damaskus, Suriah, dikenal karena kesalehan dan amanahnya.

Kemudian, Nabi Musa AS (1450 SM) dan Nabi Harun AS (1450 SM) diutus di Mesir untuk membebaskan Bani Israil dari kekuasaan Firaun.
Dari tangan mereka, lahir hukum-hukum Allah di Gunung Sinai dan kebebasan bagi kaum tertindas.

Masa Keemasan Bani Israil

Beberapa abad kemudian, muncul Nabi Dawud AS (1100 SM) di Palestina. Beliau bukan hanya nabi, tetapi juga raja yang adil. Suaranya merdu, senjatanya kuat, dan hatinya tunduk penuh kepada Allah. Putranya, Nabi Sulaiman AS (970 SM), mewarisi kerajaan besar yang penuh kebijaksanaan. Ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, memimpin dengan hikmah dan keadilan.

Nabi-Nabi di Syam dan Palestina

Setelah masa kejayaan itu, datang para nabi yang mengingatkan kembali Bani Israil yang mulai jauh dari tauhid.
Nabi Ilyas AS (870 SM) berdakwah di Lebanon dan Palestina. Setelahnya, Nabi Ilyasa’ AS (830 SM) melanjutkan misinya di Damaskus.

Di timur, Nabi Yunus AS (780 SM) diutus di Ninawa (Irak), dan menjadi teladan kesabaran setelah ujian besar di perut ikan.

Mendekati masa kelahiran Isa AS, datang Nabi Zakariya AS (2 SM) dan putranya Nabi Yahya AS (28 M) di Palestina, yang menyeru manusia agar kembali kepada kebenaran.
Hingga akhirnya Nabi Isa AS (29 M) diutus di Palestina, membawa risalah kasih, keajaiban, dan harapan, sebelum Allah mengangkatnya ke langit.

Enam abad setelah Isa AS, lahirlah Nabi Muhammad SAW (570–632 M) di Mekah.
Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, membawa risalah Islam sebagai penyempurna agama dan cahaya bagi dunia. Beliau wafat di Madinah, meninggalkan warisan abadi: Al-Qur’an, sunnah, dan keteladanan yang menuntun umat hingga akhir zaman.

Di Mana Para Nabi Paling Banyak Diutus?

Jika dilihat dari sejarah, wilayah Palestina dan Syam (Suriah, Lebanon, Yordania) menjadi tempat diutusnya lebih dari separuh para nabi — sekitar 50 persen dari total 25 nabi yang disebut dalam Al-Qur’an. Wilayah ini disebut para ulama sebagai Sabuk Kenabian, karena di situlah bertemu berbagai peradaban besar dan lahir banyak utusan Allah.
Sisanya tersebar di Irak, Mesir, dan Jazirah Arab — membentuk jalur spiritual yang menjadi saksi lahirnya iman, hukum, dan peradaban manusia.

Sejarah para Nabi bukan hanya deretan nama dan tahun. Ia adalah kisah tentang manusia yang diuji, tentang sabar, perjuangan, dan cinta kepada Tuhan.
Dari Adam hingga Muhammad SAW, risalah mereka tak pernah berubah: menyeru kepada iman, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab sebagai manusia.

Mereka datang silih berganti membawa cahaya, agar manusia tidak tersesat dalam gelap zaman.
Dan dari kisah merekalah kita belajar  bahwa selama cahaya wahyu masih dijaga, harapan tidak akan pernah padam.

Menelisik Asal Kata "Umur" dan Makna Teologisnya dari Akar Bahasa Arab


Halimi Zuhdy 

"Ah cuek aja, yang penting hidup senang, bahagia, plus heppy banget dan terserah gue umur dibuat apa saja, semuanya sudah ada takdirnya". Lah, di sini pemahaman umur dianggap sederhana, yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Umur tidak hanya sebatas usia, tapi mengandung makna teologis yang mendalam. Berapa umurmu? Bukan hanya bertanya usia, tetapi apa yang sudah kalian perbuat dengan umur itu? 
Toyyib. Mari kita ulas sedikit. Kata umur dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘umr (عُمر), yang akarnya adalah kata kerja ‘amara (عَمَرَ)  tersusun dari huruf ‘ain-mim-ra’. Berdasarkan Ma‘ani Al-Mu‘jam al-Jāmi‘, ‘amara memiliki makna yang luas: hidup lama, membangun, memakmurkan, menetap, memperbaiki, hingga menjadikan sesuatu ramai dan bernilai guna. Dalam konteks ini, ‘amr dan ‘umr memiliki hubungan semantik yang erat: keduanya berporos pada gagasan kehidupan yang diisi dengan keberlangsungan dan pembangunan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang mendefinisikan umur sekadar sebagai “lama waktu hidup” atau “masa hidup”. Namun, dalam tradisi semantik Arab klasik dan Al-Qur’an, ‘umr lebih dari sekadar rentang waktu biologis—ia memuat makna eksistensial dan spiritual: hidup yang memakmurkan (QS. Al-Rūm: 9), hidup yang beribadah (QS. Al-Ḥijr: 72), dan hidup yang bermanfaat bagi sesama (QS. Hūd: 61). Dengan demikian, umur tidak hanya menunjuk pada panjangnya waktu, melainkan juga nilai keberadaan manusia dalam ruang waktu itu.

Dalam The Muqaddimah, Ibn Khaldūn (1958) memperkenalkan istilah ‘umrān, yang juga berakar pada ‘amara, untuk menjelaskan proses pemakmuran bumi dan lahirnya peradaban manusia. Menurutnya, kehidupan manusia (‘umrān al-basharī) berkembang dari aktivitas memakmurkan bumi: bercocok tanam, membangun tempat tinggal, dan membentuk tatanan sosial yang beradab. Dari sini, umur bukan sekadar “masa hidup individu”, tetapi juga energi kehidupan kolektif yang melahirkan budaya dan peradaban.

Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab (1119H: 3101) menafsirkan ista‘marakum fīhā dalam QS. Hūd: 61 sebagai pemberian otoritas dari Allah agar manusia membangun dan mengelola bumi selama masa hidupnya. Dalam pandangan ini, umur adalah amanah kosmik: waktu yang diberikan untuk memakmurkan, bukan merusak. Lawan katanya, kharāb (kehancuran), melambangkan waktu yang sia-sia umur tanpa karya.

Syekh Ahmad Yusuf Abdu Daim menafsirkan bahwa ‘umr adalah “nama bagi masa imarahnya jasad dengan kehidupan.” Artinya, selama seseorang masih bernapas dan berkarya, ia sedang menegakkan makna ‘imārah—yakni pembangunan spiritual dan material. Umur menjadi tolok ukur seberapa jauh manusia memakmurkan dirinya dan lingkungannya.

Makna ini sejalan dengan tafsir Al-Qurthubi (n.d.: XVII/306–307) tentang Bayt al-Ma‘mūr—rumah di langit yang setiap hari dipenuhi malaikat untuk beribadah. Kata ma‘mūr (yang makmur) di sini menunjukkan bahwa keberadaan yang sejati adalah keberadaan yang berisi ibadah dan manfaat. Maka, ketika seseorang hidup tanpa ibadah dan tanpa memberi manfaat, secara maknawi ia belum berumur, meskipun secara biologis ia masih hidup.

Dalam bahasa Arab, penamaan usia tidak hanya menunjuk pada angka kronologis, tetapi juga kualitas eksistensial. Misalnya, istilah syaibah (masa uban), fata (masa muda), atau syaikh (masa kebijaksanaan) masing-masing memuat nilai sosial dan spiritual. Dengan demikian, umur tidak pernah berdiri sendiri sebagai angka—ia adalah narasi hidup yang merekam fungsi dan tanggung jawab manusia di hadapan Allah dan sesamanya.

Dalam konteks Melayu-Islam, pandangan ini masih terasa dalam ungkapan seperti “umur yang berkah” atau “usia yang bermanfaat”. Ungkapan itu mengakar dari pandangan Qur’ani bahwa keberhasilan hidup tidak diukur dari lamanya umur, tetapi dari seberapa banyak kehidupan itu diisi dengan amal dan keberkahan.

Dari akar katanya, ‘amara bukan sekadar berarti “hidup lama”, tetapi “menghidupkan”—mengisi ruang dan waktu dengan kebaikan, pembangunan, dan ibadah. Ketika seseorang ditanya “berapa umurmu?”, sejatinya pertanyaan itu berarti “seberapa banyak kehidupan yang telah kau isi dengan makna?”.

Maka, umur bukanlah detik yang berlalu, melainkan detik yang bernilai. Ia adalah ayat kehidupan yang menegaskan bahwa manusia diberi waktu bukan untuk menghitung hari, melainkan untuk membangun dunia dan akhiratnya sekaligus.

Daftar Rujukan

1. Ma‘ani al-Mu‘jam al-Jāmi‘, entri: “العمر” dan “عَمَرَ”.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), entri: “Umur”.
3. Hans Wehr. (1966). A Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
4. Ibn Khaldūn. (1958). The Muqaddimah: An Introduction to History. New York: Bollingen Foundation.
5. Ibn Manẓūr. (1119 H). Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
6. Al-Qurṭubī. Tafsīr al-Qurṭubī, Vol. IX, XVI, XVII. Jakarta: Pustaka Azzam.
7. Aṭ-Ṭabarī. (2007). Tafsīr aṭ-Ṭabarī, Vol. XII, XIV. Jakarta: Pustaka Azzam.

Respon Publik terhadap Konsep “Takdir” dalam Tragedi Runtuhnya Musholla Al-Khoziny Buduran



Halimi Zuhdy

Masyarakat hari ini berbeda dengan masa sebelum hadirnya media sosial. Jika dulu pandangan tentang suatu peristiwa hanya beredar di lingkaran kecil dan terbatas, kini semua orang bisa berkomentar, menafsir, bahkan berdebat secara terbuka. Setiap peristiwa segera menjadi bahan diskusi publik, baik dengan data maupun sekadar emosi. 
Fenomena ini menunjukkan bagaimana wajah masyarakat modern semakin ekspresif, kritis, sekaligus reaktif terhadap isu keagamaan dan kemanusiaan. Karena itu, menarik menelusuri bagaimana masyarakat memahami kata “takdir” di tengah derasnya arus komentar dan opini. Salah satu contohnya tampak jelas dalam kasus robohnya "Musholla Al-Khoziny" di Buduran, Sidoarjo, yang tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga membuka perdebatan panjang tentang makna takdir, tanggung jawab, dan keimanan di era digital.

Pada 29 September 2025, bangunan musholla Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, roboh saat ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah. Dengan peristiwa ini,  beberapa puluhan santri meninggal dunia dan melukai banyak lainnya. Sejak saat itu, ruang publik mulai dari berita daring, media sosial, hingga forum keagamaan dipenuhi perdebatan tentang makna “takdir” dalam konteks tragedi ini.

Pernyataan pengasuh pesantren, KH Abdus Salam Mujib, yang mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan “takdir dari Allah” menjadi pemicu diskusi luas. Kalimat singkat itu menimbulkan beragam tafsir: ada yang memaknainya sebagai bentuk kepasrahan spiritual, namun ada pula yang menilainya sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab manusia. 

Berdasarkan analisis terhadap pemberitaan nasional, opini publik di media sosial, serta pernyataan tokoh agama dan akademisi, tanggapan masyarakat mengenai konsep “takdir” dalam kasus ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga corak utama: 1) penerimaan fatalistik, 2) kritik rasional, dan 3) refleksi teologis moderat.

Dalam tulisan ini saya sengaja tidak mencantumkan persentase pasti dari masing-masing tanggapan masyarakat, karena hal tersebut membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan terukur. Pengelompokan opini publik, terutama yang bersumber dari media sosial, harus dilakukan dengan hati-hati mengingat dinamika emosi, bias algoritma, dan keragaman konteks komentar yang sangat luas. 

Oleh karena itu, klasifikasi yang saya gunakan dalam tulisan ini bersifat sementara dan deskriptif, bukan hasil survei empiris yang definitif. Namun demikian, dari pola-pola respons yang muncul, saya melihat masyarakat cenderung membentuk tiga corak besar dalam memaknai peristiwa ini: penerimaan fatalistik, kritik rasional terhadap dalih takdir, dan refleksi teologis moderat yang mencoba menyeimbangkan antara iman dan tanggung jawab manusia.

Kelompok pertama menunjukkan kecenderungan untuk menerima peristiwa tersebut sebagai ketentuan Ilahi yang harus dijalani dengan sabar dan ikhlas. Narasi yang berkembang di kalangan ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah, dan manusia wajib berserah diri tanpa banyak mempertanyakan sebabnya. Dalam pandangan mereka, ucapan pengasuh pesantren bukanlah bentuk pembelaan diri, melainkan ungkapan keimanan yang lahir dari hati yang sedang berduka. 

Di berbagai platform media sosial, muncul banyak ungkapan simpati dan doa seperti “Semoga para korban husnul khotimah, ini sudah takdir Allah, mari kita bersabar.” Kalimat-kalimat ini dianggap sebagai bahasa spiritual untuk menenangkan keluarga dan para santri yang ditinggalkan. Bahkan, sebagian masyarakat menilai bahwa para korban memperoleh kedudukan mulia sebagai syuhada karena meninggal di tempat ibadah saat beribadah. Namun, di sisi lain, pandangan fatalistik ini kerap dipandang mengabaikan aspek teknis dan tanggung jawab manusiawi. 

Bagi sebagian pengamat, hal ini menunjukkan kecenderungan lama dalam budaya religius masyarakat Indonesia: menghibur diri dengan konsep takdir sebelum melakukan evaluasi konkret terhadap sebab-sebab duniawi di balik tragedi.

Berbeda dengan itu, kelompok kedua muncul dengan nada yang lebih kritis. Mereka menolak penggunaan kata “takdir” jika dimaksudkan untuk menghindari tanggung jawab manusia. Pandangan ini menilai bahwa tragedi Musholla Al-Khoziny bukan semata kehendak Tuhan, melainkan juga akibat dari kegagalan manusia dalam memastikan keamanan bangunan dan lemahnya pengawasan teknis. 

Di media sosial, terutama di platform seperti X dan Facebook, banyak warganet yang mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan. Komentar seperti “Giliran bangunan ambruk, salahin Allah” atau “Musibah bukan takdir, tapi kelalaian manusia” muncul di berbagai lini masa. Tokoh keagamaan seperti Gus Nadir juga menyampaikan pandangan senada dengan menegaskan bahwa takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk mencuci tangan dari kesalahan. 

Analisis teknis yang muncul dari sejumlah akademisi memperkuat pandangan ini, menunjukkan bahwa struktur bangunan kemungkinan besar tidak memenuhi standar konstruksi yang semestinya. Fakta-fakta tersebut menimbulkan keyakinan di kalangan publik bahwa peristiwa tragis itu sebenarnya bisa dicegah. Karena itu, kelompok ini menyerukan penyelidikan menyeluruh dan langkah hukum yang tegas, sebagai bentuk kesadaran baru bahwa keimanan sejati tidak menafikan tanggung jawab moral dan profesional.

Di antara kedua pandangan tersebut, muncul kelompok ketiga yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan rasionalitas. Mereka memahami bahwa takdir adalah bagian dari keimanan, tetapi pada saat yang sama menekankan bahwa manusia tetap wajib berikhtiar, berhati-hati, dan belajar dari kesalahan. 

Para ulama dan pemikir Islam dari kalangan ini mengingatkan bahwa konsep takdir seharusnya menjadi pegangan bagi korban untuk menenangkan hati, bukan menjadi alasan bagi pelaku kelalaian untuk menghindari introspeksi. Pandangan seperti ini banyak muncul dalam artikel dan opini keagamaan yang melihat tragedi Al-Khoziny sebagai momentum tafakur nasional—saat bagi umat untuk merenungkan makna iman tanpa kehilangan nalar. 

Bagi kelompok reflektif ini, beriman kepada takdir bukan berarti berhenti berusaha; sebaliknya, keimanan seharusnya menjadi dorongan untuk memperbaiki sistem, menegakkan keselamatan, dan memperkuat tanggung jawab sosial di lembaga-lembaga keagamaan.

Jika diamati secara keseluruhan, tiga corak tanggapan tersebut menggambarkan dinamika sosial dan teologis masyarakat Indonesia dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia. Sebagian masyarakat masih menempatkan takdir sebagai bahasa keikhlasan dan penghiburan, sebagian lain menuntut evaluasi dan akuntabilitas, sementara sebagian lainnya berusaha menautkan keduanya dalam keseimbangan iman dan ikhtiar. Fenomena ini memperlihatkan perubahan cara berpikir umat: dari sekadar pasrah terhadap kehendak Ilahi menuju kesadaran bahwa iman sejati juga menuntut tanggung jawab.

Tragedi Musholla Al-Khoziny Buduran pada akhirnya bukan hanya tentang runtuhnya sebuah bangunan, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat memaknai takdir dan tanggung jawab di ruang publik. Di satu sisi, takdir memberikan ketenangan spiritual; di sisi lain, tanggung jawab menjadi wujud nyata dari cinta kepada sesama manusia. Karena itu, beriman kepada takdir seharusnya tidak membuat manusia berhenti berpikir, melainkan mendorongnya untuk lebih berhati-hati, lebih sadar, dan lebih bertanggung jawab. Sebab, pada akhirnya, takdir memang milik Tuhan tetapi ikhtiar adalah bagian dari ibadah manusia.

***
Bagi yang tertarik, bisa dilanjutkan dengan tulisan di jurnal ilmiah, tentang takdir, tawakkal, dan lainnya. Karena hasil itu, nanti bisa melihat bagaimana pemhamana teologi kini dan praktik masyarakat di Indonesia. 

Sumber:
NU Online (2025), Detik Jatim (2025), Suara. com (2025), Tagar. co (2025), AnsorKroya. com (2025), Harian Disway (2025), Republika Khazanah (2025), Pikiran Rakyat Surabaya (2025).

Jejak Tinta Para Ulama


(Ketika Keterbatasan Melahirkan Karya)

Halimi Zuhdy

Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan teknologi saat ini, sulit membayangkan bagaimana para ulama di masa lalu menulis dan menyebarkan ilmu dengan alat yang sangat terbatas. Gambar manuskrip Arab klasik di atas adalah bukti nyata betapa luar biasanya dedikasi mereka. Di tengah halaman tampak teks utama "matn" sementara di tepinya ada komentar, penjelasan, dan catatan tambahan dari generasi ulama berikutnya. Setiap guratan tinta adalah saksi perjalanan intelektual yang panjang, penuh kesabaran, dan jauh dari kemewahan.
Para ulama dahulu hidup dalam kondisi yang sulit: kertas mahal, tinta terbatas, dan alat tulis sederhana. Namun keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar kreativitas mereka. Satu lembar kertas dimanfaatkan sedemikian rupa  teks utama di tengah, penjelasan di pinggir, lalu tambahan catatan di sela-selanya. Hasilnya adalah peta pemikiran yang padat, kompleks, dan luar biasa hidup.

Mereka menulis bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk memastikan ilmu tidak berhenti pada dirinya sendiri. Inilah bentuk "tahrīr al-‘ilm" upaya menulis dan mengabadikan ilmu agar tetap hidup lintas generasi.

Struktur tulisan dalam manuskrip seperti ini bukan kebetulan. Ia mengikuti sistem pengetahuan yang sangat teratur. Teks utama (matn) berfungsi sebagai inti pemikiran; penjelasan (syarh) memberikan konteks dan memperluas makna; sementara catatan di tepi halaman (hasyiyah) adalah refleksi kritis atau tambahan dari pembaca setelahnya.

Artinya, setiap halaman bukan sekadar catatan tunggal, tetapi percakapan antara ulama dari berbagai zaman. Ilmu dalam Islam bersifat dialogis, bukan monolog. Setiap ulama menghormati pendahulunya dan menambahkan pemahaman baru tanpa menghapus karya sebelumnya. Ini adalah bentuk kolaborasi ilmiah paling mulia yang pernah ada.

Tradisi menulis seperti ini menunjukkan bahwa bagi ulama, ilmu bukan hanya urusan rasionalitas, tetapi juga spiritualitas. Menulis adalah ibadah. Mengoreksi pendapat adalah bentuk cinta terhadap kebenaran. Menambahkan penjelasan adalah upaya menjaga agar cahaya ilmu terus menyala.

Dari sini kita belajar bahwa kemajuan ilmu tidak lahir dari fasilitas, tapi dari "etos keilmuan" ketekunan, kejujuran, dan kerendahan hati dalam menuntut serta menyebarkan pengetahuan. Ulama tidak menulis untuk viral, tetapi agar generasi setelahnya tidak kehilangan arah.

Di era media sosial dan AI, kita memiliki akses ke jutaan sumber ilmu dalam genggaman. Namun, justru sering kali kita kehilangan "kedalaman berpikir". Manuskrip seperti ini mengingatkan kita bahwa keilmuan sejati lahir dari proses panjang: membaca, menulis, mengomentari, dan terus mencari kebenaran dengan rendah hati.

Kalau para ulama mampu menghasilkan karya monumental dengan secarik kertas dan setetes tinta, maka kita tidak punya alasan untuk malas menulis dan berpikir di era kelimpahan ini.

Setiap huruf dalam manuskrip kuno itu adalah jejak perjuangan, doa, dan ketulusan. Dari keterbatasan mereka lahir kelimpahan yang tak ternilai. Ilmu mereka melampaui zaman karena ditulis dengan niat suci dan kerja keras yang konsisten.

Maka benar kata para sejarawan: “Ilmu para ulama tidak mati, karena tinta mereka telah menulis kehidupan umat.”

Sumber: 
Tahqiqul Mahthuthat fi awraqil jamih, Muhammad Nuri Almausawi

Belajar Santun dari Pesantren


(Antara Akhlak, Etika, dan Kebijaksanaan)

Halimi Zuhdy

Saya jadi agak baper membaca komentar-komentar netizen terkait dengan Baikot Trans7 yang melebar kemana-mana, sampai membanding-bandingkan ormas A dan ormas B, suku A dan suku B, urusan bid'ah, paling sunnah dan merembet keurusan nasab dan lainnya. 
Dan membaca protes terhadap tayangan Trans7 kemarin, yang secara tidak langsung memperlihatkan siapa yang benar-benar memahami, dan siapa yang justru menaruh kebencian terhadap perilaku dan tradisi “pesantren”.
Coba saja baca kolom komentar. Banyak yang membenarkan perilaku Trans7 tanpa memahami konteks. Perhatikan akun-akunnya—kalau tidak dikunci, seringkali anonim, atau punya afiliasi ideologis tertentu. Ironinya, dari situ kita bisa tahu bahwa sebagian dari masyarakat kita belum paham, bahkan belum selesai membedakan antara akhlak dan etika.

Padahal, pesantren sejak dulu sangat terbuka terhadap kritik. Lembaga ini bukan lembaga “maha benar” atau “maha suci”. Pesantren adalah lembaga yang tumbuh bersama masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman serta kemanusiaan. Tapi tentu, ada hal-hal yang menjadi ciri khas pesantren, tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, baik di pesantren salaf maupun modern.

Nama dan bentuknya pun beragam: ada yang disebut pesantren, pondok, ada ribath, ma’had dan nama lainnya. Masing-masing punya tradisi yang tumbuh dari nilai-nilai lokal yang kemudian diberi ruh Islam. Jadi, ketika seseorang menilai tradisi pesantren hanya dari potongan video atau perilaku satu dua orang, jelas itu bukan analisis ilmiah, melainkan bias emosional.

Mari ambil contoh sederhana: menundukkan kepala di hadapan guru. Apakah hanya ada di pesantren? Tidak. Di Jepang, orang bahkan membungkuk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu bentuk kesyirikan? Tidak juga. Karena yang dihormati bukan wujud manusia, tapi nilai yang ia bawa.

Lalu ada yang berkomentar, “Itu melanggar Sunnah!”  saya sering bertanya, Sunnah yang mana? Apakah mencium tangan dalam Islam diharamkan? Apakah menundukkan kepala termasuk dosa? Buka kitab, baca hadis secara utuh, jangan potong-potong. Ulama hadis saja berbeda pandangan, apalagi kita yang hanya membaca dari cuplikan dakwah pendek di media sosial.

Kalau memang ada perbedaan pandangan, mari hormati. Dalam fikih saja, perbedaan bisa sampai pada level hukum: dari mubah hingga haram, tergantung pendekatannya. Maka tidak pantas kita mudah memvonis orang lain salah, apalagi dengan nada menghina.

Kadang, orang yang bilang “santri baperan” justru adalah mereka yang kurang membaca. Padahal, kalau mau belajar lebih dalam, justru tradisi pesantren adalah benteng akhlak dan etika bangsa ini.

Ironi sekali, ketika yang meniru budaya luar dianggap “modern”, tapi yang menjaga tradisi sendiri justru dicap “kolot”. Contohnya, makan pakai tangan dibilang jorok. Padahal, penelitian di Journal of Clinical Nutrition (2019) menyebutkan bahwa makan dengan tangan bisa meningkatkan koordinasi otak dan memperkuat pencernaan. Tapi ketika pakai sendok, dibilang ikut-ikutan Barat. Duh, repot kalau logika sudah kalah dengan perasaan.
Inilah pentingnya kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semua yang berbeda harus disamakan, dan tidak semua yang sama harus dipertentangkan. Bukankah kita hidup di negeri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Pesantren sangat paham Sunnah. Sejak dulu para kiai dan ulama pesantren telah mempraktikkan nilai-nilai itu dengan luar biasa. Mereka turun langsung ke masyarakat, mengajarkan wudhu kepada yang belum tahu, memperkenalkan Islam kepada yang baru mengenal. Kadang mereka harus beradaptasi dengan tradisi lokal dulu agar dakwahnya diterima.

Bayangkan jika dakwah dilakukan dengan gaya sebagian orang hari ini, yang sedikit-sedikit bilang “bid’ah”, “dosa”, “haram”. Apakah Islam akan berkembang dengan indah seperti dulu?
Coba lihat sejarah Nabi. Beliau tidak datang dengan amarah, tapi dengan kasih sayang dan keteladanan. Maka siapa sebenarnya yang tidak mengikuti Sunnah Nabi hari ini? Mereka 
yang keras dalam ucapan tapi miskin akhlak.

Pesantren punya sistem yang menanamkan akhlak, etika, dan moralitas. Tidak ada perbudakan, tidak ada feodalisme. Jika ada penyimpangan, silakan dikritik. Tapi jangan framing seolah seluruh pesantren begitu. Karena faktanya, pesantrenlah yang selama ini menjaga karakter bangsa, menanamkan toleransi, dan juga tidak sedikit yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa.

Kita paham, dunia media sosial hari ini bising, semua orang bisa bicara, tapi tidak semua memahami. Maka mari bijak: sebelum menilai, pelajari. Sebelum berkomentar, pahami. Sebelum mengkritik, bedakan dulu antara akhlak dan etika. Karena di situlah letak peradaban dimulai.

***
Salam 
Ayo ke Pesantren!

Minggu, 28 September 2025

Jejak Awal Istilah “Tahqīq/تحقيق” pada Sampul Buku Arab



Awal abad ke-19 menjadi titik penting pertemuan Timur dan Barat, terutama setelah masuknya ekspedisi Napoleon ke Mesir. Dari sana, teknologi percetakan mulai dikenal luas di dunia Arab, membuka jalan bagi lahirnya tradisi penerbitan dan penyebaran buku.

Salah satu tokoh besar yang meletakkan dasar dalam dunia penyuntingan naskah Arab adalah Ahmad Zaki Pasha (w. 1934 M). Beliaulah yang pertama kali menggunakan istilah “تحقيق” (tahqīq / verifikasi ilmiah naskah) pada sampul buku-buku Arab yang ia terbitkan. Sebelumnya, buku-buku hanya mencantumkan istilah seperti “تصحيح” (perbaikan) atau “ضبط وتصحيح” (penyusunan dan perbaikan).
Langkah revolusioner itu dilakukan ketika ia menerbitkan karya “الأدب الصغير والكبير” (Al-Adab al-Ṣaghīr wa al-Kabīr) karya Ibn al-Muqaffa‘ (w. 142 H), serta “أنساب الخيل والأصنام” karya Ibn al-Kalbī (w. 204 H). Pada kedua karya inilah, untuk pertama kalinya, kata “تحقيق” dicetak di sampul buku dengan makna yang kini kita kenal sebagai penyuntingan ilmiah terhadap manuskrip.

Tidak hanya itu, Ahmad Zaki juga memperkenalkan tanda baca dalam bahasa Arab dan berupaya menyederhanakan jumlah huruf cetak Arab agar lebih efisien. Dalam karyanya, ia menyertakan indeks dan daftar isi terperinci, yang sangat membantu pembaca dan menjadi standar baru dalam dunia penerbitan ilmiah.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa istilah “تحقيق” pertama kali muncul pada tahun 1911 M, ketika terbit buku Al-Adab al-Ṣaghīr hasil suntingannya. Terobosan ini kemudian menjadi pintu masuk berkembangnya ilmu tahqīq naskah di dunia Arab, beserta kaidah-kaidahnya yang terus berlanjut hingga hari ini.

Apakah Ahmad Zaki terinspirasi dari kaum orientalis Eropa, ataukah ide tersebut lahir murni dari pemikirannya sendiri? Pertanyaan ini masih menyisakan ruang bagi penelitian lebih lanjut. Namun, besar kemungkinan istilah itu adalah hasil dari orisinilitas dan kejeniusannya sendiri. Seiring waktu, sejarahlah yang akan menyingkap kebenarannya.

***
Tulisan ini disarikan dari catatan Dr. Muhammad Nuri al-Mawsawi, yang beliua tulis pada hari Senin, 13 Dzulhijjah 1441 H (3 Agustus 2020 M).

Santri Lugu, tapi Cerdas(Membincang Pemimpin Negeri)


“Pak Ustadz, saya mau tanya...”
“Apa itu, Mas?”
“Katanya Indonesia dulu dipimpin oleh Bu Hikmah. Tapi saya cari di buku sejarah, kok nggak pernah ada namanya?”

Ustadz tersenyum kecil. “Maksudnya bagaimana Mas?”

“Ya itu... saya pernah dengar kalimat ‘Indonesia dipimpin oleh Hikmah’. Saya kira itu nama orang, mungkin tokoh perempuan hebat bernama Bu Hikmah.”
Ustadz tertawa pelan. “Oh, begitu. Itu bukan nama orang, Mas. Itu kalimat dari dasar negara kita. ‘Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’.”

“Ooh... jadi maksudnya bukan Bu Hikmah?”
“Bukan, Mas. Tapi Hikmah—kebijaksanaan. Artinya, negara ini idealnya berjalan bukan dengan emosi, bukan dengan nafsu kekuasaan, bukan dengan suara mayoritas semata, apalagi dengan politik kotor. Tapi dengan hikmah, dengan kebijaksanaan yang lahir dari musyawarah dan perwakilan yang jujur.”

Wajah si anak muda berbinar. “Keren sekali, Pak. Jadi sejatinya, Indonesia itu dipimpin oleh Hikmah, bukan oleh orang-orang yang haus jabatan, bukan oleh kepentingan sesaat, tapi oleh kebijaksanaan.”

“Betul, Mas. Itulah cita-cita para pendiri bangsa. Mereka merumuskan kata ‘hikmat’ dengan sadar. Karena bangsa sebesar ini tak cukup hanya dipimpin oleh jumlah suara, tapi harus dengan kebijaksanaan yang bisa merangkul semua.”

“Luar biasa, Pak. Tapi... bagaimana caranya supaya Indonesia benar-benar dipimpin oleh Hikmah, bukan oleh nafsu politik atau kepentingan sempit?”

Ustadz menatap jauh, seolah menembus dinding masa depan. “Caranya sederhana, Mas, tapi berat. Hikmah itu lahir dari hati yang jernih, dari pemimpin yang mau mendengar, dari rakyat yang mau bermusyawarah dengan adab. Kalau pemimpin kita punya hati yang bersih, dan rakyat kita menjaga akhlak, maka hikmah itu akan hadir. Tapi kalau hati penuh dendam dan kursi jadi rebutan, maka yang memimpin bukan lagi hikmah, tapi ambisi.”

Anak muda itu mengangguk pelan. “Jadi, bukan Bu Hikmah ya Pak?”
“Bukan, Mas. Tapi lebih hebat dari sekadar seorang tokoh. Indonesia ini dititipkan untuk selalu dipimpin oleh Hikmah yang artinya kebijaksanaan. Dan tugas kita bersama, menjaga agar kalimat itu bukan hanya tulisan di dasar negara, tapi nyata dalam kehidupan bangsa.”

Halimi Zuhdy
Lirboyo, 18 Agustus 25

Menelisik Kata "Merdeka, Istiqlal dan Freedom"


Halimi Zuhdy

Berbicara tentang kata “merdeka” berarti menelusuri jejak makna yang dibentuk bahasa, sejarah, dan politik. KBBI menegaskan kata "merdeka" sebagai “bebas dari perhambaan/penjajahan, berdiri sendiri; tidak terikat atau bergantung; leluasa; boleh berbuat dengan bebas,” dengan turunan seperti "memerdekakan", "kemerdekaan", "pemerdeka", dan "semerdeka-merdekanya" yang memperluas spektrum makna dari tindakan, keadaan, hingga derajat kebebasan pribadi dan kolektif (KBBI). Definisi ini sudah memuat dua poros penting: “bebas dari” (belenggu) dan “bebas untuk” (bertindak).
Secara etimologis, "merdeka" ditelusuri ke Sanskerta "maharddhika" (“kaya, sejahtera, kuat”). Di Melayu–Indonesia, maknanya bergeser dari penanda status menjadi kondisi bebas khususnya bebas dari perbudakan dan penjajahan. Ini contoh "ameliorasi" (nilai makna naik) sekaligus "perluasan semantik": dari elit sosial ke kedaulatan politik dan agensi warga. (Kagama. co) 

Dalam bahasa Arab, padanan paling dekat ialah "الاستقلال" (al-istiqlāl). Secara morfologis (pola istif‘āl), ia menandai proses “memperoleh kemandirian”; akarnya (ق-ل-ل / q-l-l) atau "qalil" (sedikit) menyiratkan “tak bergantung pada banyak pihak”, yakni kemandirian substantif. (dar-alwafa.net) menekankan relasi konseptual: "istiqlāl" adalah "bagian dari kebebasan" (ḥurriyyah) satu sisi koin adalah kebebasan individu, sisi lainnya kebebasan dari hegemoni kekuatan luar. Menolak "istiqlāl" sambil mengaku pro-kebebasan adalah kontradiksi; kemandirian negara adalah metrik kebebasan pada skala rakyat (dar-alwafa.  net).

Bahasa Inggris memperkaya nuansa melalui pasangan "freedom" dan "liberty". Freedom (dari free + sufiks -dom “keadaan”) cenderung menunjuk kebebasan personal; "liberty" (Latin libertas) menonjolkan kebebasan yang dilembagakan hak-hak yang dijamin hukum. Dikawinkan dengan "merdeka" dan istiqlāl, kita memperoleh matriks makna "freedom from" (lepas dari dominasi), freedom to (kapasitas bertindak), dan standing on one’s own (kemandirian struktural).

Dalam konteks Indonesia, seruan “Merdeka!” bekerja sebagai "tindak tutur performatif" mengucapkannya berarti mengafirmasi kedaulatan sekaligus memobilisasi imajinasi kolektif. Maka, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar bebas dari penjajah, melainkan kemampuan, bahkan kewajiban, untuk mengatur diri, membangun, dan menjaga martabat bangsa secara berkelanjutan "merdeka sebagai kemandirian yang bertanggung jawab". 

Selanjutnya dapat dibaca di Madura Network dengan judul "Makna Kemerdekaan dalam Perspektif Linguistik"

Referensi:
 KBBI; Kagama. co; juragancibir. com; dar-alwafa. net.

Ya Laytani (يَا لَيْتَنِي) Ratapan & Harapan dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Menarik, bagaimana Al-Qur'an menggambarkan sebuah "harapan" dari seseorang, dan mungkin ia yang paling ingin dicapai tetapi harapan itu hanyalah kehampaan. Di dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan sejumlah ungkapan pilu yang keluar dari lisan manusia setelah semua pintu kesempatan tertutup. Ucapan itu dimulai dengan kata "يَا لَيْتَنِي" (ya laytani)  dua kata yang mengandung kesedihan, kerinduan, dan penyesalan mendalam karena sebuah harapan mustahil diwujudkan. 
Toyyib. Kata layta/لَيْتَ adalah kata yang digunakan untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Ia berbeda dengan la'ala/لعل (semoga) yang masih memiliki kemungkinan.
"نِي" adalah dhamir (kata ganti) untuk “aku” atau “diriku”.

Berikut Ayat-ayat yang terdapat kalimat "Ya Laitani"

1. يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا
   "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu menjadi tanah." (QS. An-Naba’ \[78]: 40). Penyesalan orang kafir ketika melihat azab, berharap tak pernah memikul beban hidup dan tanggung jawab di hadapan Allah.

2. يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
   "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu beramal untuk hidupku (yang kekal ini)." (QS. Al-Fajr \[89]: 24). Penyesalan karena mengabaikan amal akhirat demi kesenangan dunia.

3. يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ
   "Wahai kiranya kitab amalku tidak diberikan kepadaku."* (QS. Al-Haqqah \[69]: 25). Ketakutan luar biasa saat menerima catatan amal penuh dosa.

4. يَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
   "Wahai kiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku." (QS. Al-Furqan \[25]: 28). Menyesal karena memilih teman yang menjerumuskan ke jalan salah.

5. يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
   "Wahai kiranya kami dahulu taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul." (QS. Al-Ahzab \[33]: 66). Kesadaran sia-sia karena dulu menolak perintah Allah dan Rasul.

6. يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا
   "Wahai kiranya aku dahulu mengambil jalan bersama Rasul." (QS. Al-Furqan \[25]: 27). Menyesal tidak mengikuti jalan kebenaran sejak awal.

7. يَا لَيْتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا
   "Wahai kiranya aku bersama-sama mereka, pasti aku memperoleh kemenangan yang besar.". (QS. An-Nisa’ \[4]: 73). Penyesalan karena tidak ikut bersama orang-orang beriman yang menang.

Dari Ayat-ayat di atas, penyesalan besar manusia di akhirat datang karena:  tidak mempersiapkan amal untuk akhirat. Takut dan malu melihat catatan dosa. Memilih teman yang salah. Menolak ketaatan pada Allah dan Rasul. Tidak mengikuti jalan Rasul. Tidak bersama golongan orang-orang beriman. Berharap tidak pernah hidup agar bebas dari pertanggungjawaban. Maka penyesalan itu sebenarnya adalah sebuah cita-cita terbaik yang harus dicapai oleh manusia. Apa, kebalikannya dari kalimat di atas. Seperti diberikan teman terbaik, mengikuti Rasul, bersama orang-orang beriman dan lainnya. Itulah visi mualim. 

Selagi nafas masih berhembus, kita belum terlambat untuk menghindari kata "يَا لَيْتَنِي" dari bibir kita kelak. Setiap amal shalih, setiap ketaatan, dan setiap pilihan teman yang baik adalah investasi agar kelak kita mengucapkan "Alhamdulillah" di hadapan Allah, bukan "Ya Laytani".

اللَّهُمَّ أَعْتِقْ رِقَابَنَا وَرِقَابَ أَهْلِنَا مِنَ النَّارِ
Ya Allah, bebaskanlah kami dan keluarga kami dari api neraka.

Allahu'alam Bishawab

Luka Kecil yang Membesar: Mengapa Selingkuh Terjadi?


Halimi Zuhdy

Ketika sedang serius membincang demonstrasi, penjarahan dan pembakaran beberapa rumah dan gedung DPRD yang terjadi beberapa hari terakhir, ada yang nyeletuk dan bertanya tentang istrinya yang terbakar cinta, yaitu selingkuh. Persis dengan demonstrasi hari ini, yang tidak tiba-tiba, tetapi akumulasi narasi, kebijakan, dan lainnya sehingga menumpuk dan tidak terbendung! Duarrr. 
"Pak Ustad, mengapa istri saya selingkuh?" Seorang laki-laki muda tertunduk  dengan air mata yang jatuh tampa menyapa pipinya. 

"Mas, selingkuh itu luka kecil yang sudah lama, mungkin mas lupa mengobatinya sejak awal" Saya sambil menghela nafas. Dan meneruskan dengan beberapa hal, yang sering lupa diingat oleh keluarga muda, bahkan juga keluarga yang sudah lama berbahtera. 

Selingkuh tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia bukan badai yang muncul seketika, tetapi benih kecil yang dibiarkan tumbuh tanpa pernah disadari. Awalnya hanya retakan halus, lalu melebar, lalu menjelma jurang yang memisahkan dua hati yang semula saling berjanji. Wow. Ya, memang begitu. Sedikit ada cinta yang tumbuh untuk orang lain (istri/suami orang), maka segera bakar! Aha. Kok sadis benget ya🤣

Internal: Hal-Hal Kecil yang Terabaikan

Di dalam rumah tangga, penyebab terbesar perselingkuhan seringkali bukan karena kurangnya cinta lo, melainkan karena kurangnya perawatan terhadap cinta itu sendiri. (Ini hasil investigasi kecil-kecilan lo), tetapi ada beberapa hal, di antarnya;

Kurangnya komunikasi jujur.  Sebuah keluhan yang ditahan, perasaan yang tak pernah diucapkan, atau rasa kecewa yang dibiarkan berkarat. Contoh seorang istri merasa lelah dengan pekerjaan rumah, tapi hanya diam. Suami sibuk bekerja, mengira semuanya baik-baik saja. Ketika ada rekan kerja yang sekadar bertanya, “kamu capek ya?”, ia merasa lebih didengar oleh orang luar dibanding pasangan sendiri. Biasanya, dari sini muncul rasa.🥰

Rasa syukur yang memudar. Saat pasangan lebih sering melihat kekurangan daripada kebaikan, cinta pun mulai pudar. Contoh Seorang suami mengeluh karena istrinya tak lagi secantik dulu, lupa bahwa istrinya telah berkorban banyak untuk keluarga. Dari sinilah ia mulai membandingkan dengan wanita lain dan mencari pelarian.

Dan juga, ""keintiman yang terabaikan". Perhatian sederhana seperti senyum, pelukan, atau ucapan sayang yang hilang, membuat hati kosong. Contoh seorang istri dulu selalu mendengar pujian kecil dari suaminya, kini tak pernah lagi. Ketika seorang teman lama berkata, “kamu tambah cantik ya sekarang,” hatinya goyah karena merasa dihargai kembali.

Tapi, ada penyebab lain, bukan internal dalam keluarga, tapi juga esternal! 

Dari Eksternal: Godaan yang Selalu Mengintai

Di luar rumah, dunia penuh dengan kesempatan yang bisa menguji rapuhnya hati. Godaan itu tidak berbahaya, kecuali jika jiwa di dalam rumah sudah retak. Misalnya beberapa hal berikut; 🤏

Lingkungan kerja atau pergaulan. Teman yang lebih sering mendengar daripada pasangan, bisa menumbuhkan rasa nyaman. Contoh seorang pria sering lembur dengan rekan kerjanya. Mereka makan, bercanda, curhat. Ia merasa lebih nyambung dengan rekannya daripada istrinya di rumah, padahal masalahnya hanya karena ia jarang terbuka kepada pasangan sendiri.

Media sosial. Chat ringan bisa menjadi pintu besar menuju pengkhianatan. Contoh: Awalnya hanya balas komentar di Instagram, lalu lanjut ke chat tentang hobi. Lama-lama, percakapan itu jadi candu. Ia menunggu notifikasi dari orang tersebut, sementara pasangannya di rumah menunggu ditemani.

Krisis identitas. Kadang orang merasa tidak lagi dianggap berharga di rumah, lalu mencari pengakuan di luar. Contoh seorang ibu hanya dipandang sebagai “pengurus rumah tangga.” Saat ada pria yang memberi pujian, ia merasa dirinya berarti kembali. Dari situlah pintu perselingkuhan terbuka.

Selingkuh bukan sekadar soal nafsu, melainkan gejala dari cinta yang tidak dipelihara. Saat pasangan terbiasa mengucapkan terima kasih, luka kecil bisa sembuh sebelum membesar. Saat ada waktu untuk bicara dari hati ke hati, godaan eksternal tidak mudah merasuki. Saat rasa saling menghargai dijaga, rumah menjadi tempat pulang yang dirindukan, bukan penjara yang ingin ditinggalkan.

Selingkuh tidak dimulai dari pelukan asing, tetapi dari detik pertama kita berhenti memeluk pasangan kita sendiri. Dan kesetiaan bukan sekadar menahan diri dari orang lain, tetapi juga keberanian untuk terus menumbuhkan cinta yang sama setiap hari, dari hal-hal kecil.

Semoga para pasangan selalu waspada dari hal-hal kecil yang buat luka menganga dan sulit disembuhkan. Apalagi luka yang sudah menyebar, dan duarrr.