السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 02 November 2025

Jejak Tinta Para Ulama


(Ketika Keterbatasan Melahirkan Karya)

Halimi Zuhdy

Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan teknologi saat ini, sulit membayangkan bagaimana para ulama di masa lalu menulis dan menyebarkan ilmu dengan alat yang sangat terbatas. Gambar manuskrip Arab klasik di atas adalah bukti nyata betapa luar biasanya dedikasi mereka. Di tengah halaman tampak teks utama "matn" sementara di tepinya ada komentar, penjelasan, dan catatan tambahan dari generasi ulama berikutnya. Setiap guratan tinta adalah saksi perjalanan intelektual yang panjang, penuh kesabaran, dan jauh dari kemewahan.
Para ulama dahulu hidup dalam kondisi yang sulit: kertas mahal, tinta terbatas, dan alat tulis sederhana. Namun keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar kreativitas mereka. Satu lembar kertas dimanfaatkan sedemikian rupa  teks utama di tengah, penjelasan di pinggir, lalu tambahan catatan di sela-selanya. Hasilnya adalah peta pemikiran yang padat, kompleks, dan luar biasa hidup.

Mereka menulis bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk memastikan ilmu tidak berhenti pada dirinya sendiri. Inilah bentuk "tahrīr al-‘ilm" upaya menulis dan mengabadikan ilmu agar tetap hidup lintas generasi.

Struktur tulisan dalam manuskrip seperti ini bukan kebetulan. Ia mengikuti sistem pengetahuan yang sangat teratur. Teks utama (matn) berfungsi sebagai inti pemikiran; penjelasan (syarh) memberikan konteks dan memperluas makna; sementara catatan di tepi halaman (hasyiyah) adalah refleksi kritis atau tambahan dari pembaca setelahnya.

Artinya, setiap halaman bukan sekadar catatan tunggal, tetapi percakapan antara ulama dari berbagai zaman. Ilmu dalam Islam bersifat dialogis, bukan monolog. Setiap ulama menghormati pendahulunya dan menambahkan pemahaman baru tanpa menghapus karya sebelumnya. Ini adalah bentuk kolaborasi ilmiah paling mulia yang pernah ada.

Tradisi menulis seperti ini menunjukkan bahwa bagi ulama, ilmu bukan hanya urusan rasionalitas, tetapi juga spiritualitas. Menulis adalah ibadah. Mengoreksi pendapat adalah bentuk cinta terhadap kebenaran. Menambahkan penjelasan adalah upaya menjaga agar cahaya ilmu terus menyala.

Dari sini kita belajar bahwa kemajuan ilmu tidak lahir dari fasilitas, tapi dari "etos keilmuan" ketekunan, kejujuran, dan kerendahan hati dalam menuntut serta menyebarkan pengetahuan. Ulama tidak menulis untuk viral, tetapi agar generasi setelahnya tidak kehilangan arah.

Di era media sosial dan AI, kita memiliki akses ke jutaan sumber ilmu dalam genggaman. Namun, justru sering kali kita kehilangan "kedalaman berpikir". Manuskrip seperti ini mengingatkan kita bahwa keilmuan sejati lahir dari proses panjang: membaca, menulis, mengomentari, dan terus mencari kebenaran dengan rendah hati.

Kalau para ulama mampu menghasilkan karya monumental dengan secarik kertas dan setetes tinta, maka kita tidak punya alasan untuk malas menulis dan berpikir di era kelimpahan ini.

Setiap huruf dalam manuskrip kuno itu adalah jejak perjuangan, doa, dan ketulusan. Dari keterbatasan mereka lahir kelimpahan yang tak ternilai. Ilmu mereka melampaui zaman karena ditulis dengan niat suci dan kerja keras yang konsisten.

Maka benar kata para sejarawan: “Ilmu para ulama tidak mati, karena tinta mereka telah menulis kehidupan umat.”

Sumber: 
Tahqiqul Mahthuthat fi awraqil jamih, Muhammad Nuri Almausawi

Belajar Santun dari Pesantren


(Antara Akhlak, Etika, dan Kebijaksanaan)

Halimi Zuhdy

Saya jadi agak baper membaca komentar-komentar netizen terkait dengan Baikot Trans7 yang melebar kemana-mana, sampai membanding-bandingkan ormas A dan ormas B, suku A dan suku B, urusan bid'ah, paling sunnah dan merembet keurusan nasab dan lainnya. 
Dan membaca protes terhadap tayangan Trans7 kemarin, yang secara tidak langsung memperlihatkan siapa yang benar-benar memahami, dan siapa yang justru menaruh kebencian terhadap perilaku dan tradisi “pesantren”.
Coba saja baca kolom komentar. Banyak yang membenarkan perilaku Trans7 tanpa memahami konteks. Perhatikan akun-akunnya—kalau tidak dikunci, seringkali anonim, atau punya afiliasi ideologis tertentu. Ironinya, dari situ kita bisa tahu bahwa sebagian dari masyarakat kita belum paham, bahkan belum selesai membedakan antara akhlak dan etika.

Padahal, pesantren sejak dulu sangat terbuka terhadap kritik. Lembaga ini bukan lembaga “maha benar” atau “maha suci”. Pesantren adalah lembaga yang tumbuh bersama masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman serta kemanusiaan. Tapi tentu, ada hal-hal yang menjadi ciri khas pesantren, tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, baik di pesantren salaf maupun modern.

Nama dan bentuknya pun beragam: ada yang disebut pesantren, pondok, ada ribath, ma’had dan nama lainnya. Masing-masing punya tradisi yang tumbuh dari nilai-nilai lokal yang kemudian diberi ruh Islam. Jadi, ketika seseorang menilai tradisi pesantren hanya dari potongan video atau perilaku satu dua orang, jelas itu bukan analisis ilmiah, melainkan bias emosional.

Mari ambil contoh sederhana: menundukkan kepala di hadapan guru. Apakah hanya ada di pesantren? Tidak. Di Jepang, orang bahkan membungkuk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu bentuk kesyirikan? Tidak juga. Karena yang dihormati bukan wujud manusia, tapi nilai yang ia bawa.

Lalu ada yang berkomentar, “Itu melanggar Sunnah!”  saya sering bertanya, Sunnah yang mana? Apakah mencium tangan dalam Islam diharamkan? Apakah menundukkan kepala termasuk dosa? Buka kitab, baca hadis secara utuh, jangan potong-potong. Ulama hadis saja berbeda pandangan, apalagi kita yang hanya membaca dari cuplikan dakwah pendek di media sosial.

Kalau memang ada perbedaan pandangan, mari hormati. Dalam fikih saja, perbedaan bisa sampai pada level hukum: dari mubah hingga haram, tergantung pendekatannya. Maka tidak pantas kita mudah memvonis orang lain salah, apalagi dengan nada menghina.

Kadang, orang yang bilang “santri baperan” justru adalah mereka yang kurang membaca. Padahal, kalau mau belajar lebih dalam, justru tradisi pesantren adalah benteng akhlak dan etika bangsa ini.

Ironi sekali, ketika yang meniru budaya luar dianggap “modern”, tapi yang menjaga tradisi sendiri justru dicap “kolot”. Contohnya, makan pakai tangan dibilang jorok. Padahal, penelitian di Journal of Clinical Nutrition (2019) menyebutkan bahwa makan dengan tangan bisa meningkatkan koordinasi otak dan memperkuat pencernaan. Tapi ketika pakai sendok, dibilang ikut-ikutan Barat. Duh, repot kalau logika sudah kalah dengan perasaan.
Inilah pentingnya kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semua yang berbeda harus disamakan, dan tidak semua yang sama harus dipertentangkan. Bukankah kita hidup di negeri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Pesantren sangat paham Sunnah. Sejak dulu para kiai dan ulama pesantren telah mempraktikkan nilai-nilai itu dengan luar biasa. Mereka turun langsung ke masyarakat, mengajarkan wudhu kepada yang belum tahu, memperkenalkan Islam kepada yang baru mengenal. Kadang mereka harus beradaptasi dengan tradisi lokal dulu agar dakwahnya diterima.

Bayangkan jika dakwah dilakukan dengan gaya sebagian orang hari ini, yang sedikit-sedikit bilang “bid’ah”, “dosa”, “haram”. Apakah Islam akan berkembang dengan indah seperti dulu?
Coba lihat sejarah Nabi. Beliau tidak datang dengan amarah, tapi dengan kasih sayang dan keteladanan. Maka siapa sebenarnya yang tidak mengikuti Sunnah Nabi hari ini? Mereka 
yang keras dalam ucapan tapi miskin akhlak.

Pesantren punya sistem yang menanamkan akhlak, etika, dan moralitas. Tidak ada perbudakan, tidak ada feodalisme. Jika ada penyimpangan, silakan dikritik. Tapi jangan framing seolah seluruh pesantren begitu. Karena faktanya, pesantrenlah yang selama ini menjaga karakter bangsa, menanamkan toleransi, dan juga tidak sedikit yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa.

Kita paham, dunia media sosial hari ini bising, semua orang bisa bicara, tapi tidak semua memahami. Maka mari bijak: sebelum menilai, pelajari. Sebelum berkomentar, pahami. Sebelum mengkritik, bedakan dulu antara akhlak dan etika. Karena di situlah letak peradaban dimulai.

***
Salam 
Ayo ke Pesantren!

Kejayaan Islam dalam Kenangan Sejarah


(Menjaga Pesantren di Indonesia)

Halimi Zuhdy

"Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainannas", Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). QS. Ali Imran, 140.
Entah, Apakah Ayat ini termasuk sebuah kejayaan suatu negara yang pernah berjaya syiar Islamnya dan akan bangkit lagi, atau akan terpuruk selamanya. Tapi yang jelas, kehidupan akan terus berputar. Di Eropa ada Andalusia, kini tinggal cerita Islam pernah berjaya. Dan kini, Spanyol seperti tak memberi bekas bunga, tapi goresan luka. Di Asia Tenggara, Islam pernah berjaya di enam negara, bahkan menjadi penduduk mayoritas muslim terbesar. Kini, di tiga negara menjadi segelintir, bahkan hanya menjadi kerikil-kerikil yang tak pernah terlihat lagi.

Manila ibu kota Filipina, nama ibu kota ini berasal dari bahasa Arab "Fi AManillah" Dalam lindungan Allah. Di negeri ini, dulu syariat Islam ditegakkan, mayoritas penduduknya muslim, azan yang bersaut-sautan di seluruh penjuru negeri ini. Tapi kini, di negeri Filipina, kita sering mendengar Islam hanyalah sebuah gerombolan pemberontak terhadap pemerintah, dan mereka menjadi minoritas.

Berikutnya negeri Gajah Putih, Thailand. Di negeri ini menyimpan mutiara yang luar biasa, kejayaan Daulah Islamiyah di selatan negeri ini. Kerajaan Islam Pattani. Penduduk muslim di tanah mereka sendiri dijuluki khaek (pendatang, orang luar).

Pernah dengar kaum Cham dan Negeri Champa?. Di tempat ini, dulu muslim menjadi mayoritas, ratusan masjid pernah berdiri, tetapi Khmer Merah merubah sejarah berikutnya, muslim tak lagi terdengar mekar di negeri Kamboja dan juga Vietnam. Ia hanya menjadi kenangan sejarah. Kerajaan Champa memiliki sejarah erat dengan hadirnya wali Songo di Indonesia, Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati.

Di Myanmar, Islam pernah tumbuh lebat, di negeri ini banyak sejarah diukir bagaimana orang muslim bertahan. Ada Muslim Burma dan Rohingya (Rakhine). Tahun 1050 silam, Islam sudah berbunga di tempat ini, tapi setiap kekuasaan berganti, berganti pula peran-peran kehidupan mereka. Beberapa tahun terakhir, Rohingya seperti berteriak mencari saudara-saudara yang melupakannya.

Memang sejarah akan selalu berubah. Tiada yang abadi dan kekal, kecuali yang Maha Kekal. Tetapi, berusaha mengabadikan kebaikan adalah sebuah anjuran. Bukan kemudian harus terulang, tetapi usaha dari sebuah kebaikan adalah kebaikan, urusan hasil hanyalah Allah yang menentukan.

"Belajar pada sejarah", karena sejarah akan selalu silih berganti. Seperti sejarah Qabil dan Habil akan terus terulang setiap masa, tetapi berusaha untuk tidak menjadi Qabil adalah bagian dari ikhtiyar terbaik.

Islam di Indonesia dan di beberapa tempat di dunia, mempertahankannya adalah bagian dari sebuah ikhtiyar agar Islam berada di negeri ini. Dengan mensyiarkannya, sesuai dengan kemampuan setiap muslim. Menjaganya, seperti tetap memperkuat jalinan silaturahim antar umat Islam. Memenuhi masjid-masjid dengan berjamaah dan kajian-kajian keislaman. Madrasah dan pesantren yang dimakmurkan dengan berbagai keilmuan serta sebagai laboratorium kehidupan. NKRI yang terus dipertahankan dengan berbagai kebhinikaannya. Perekonomian dan keamanan yang dirawat dengan baik, bahkan ditingkatkan. Serta berbagai usaha lainnya.

Menjaga pesantren di Indonesia adalah bagian dari upaya menjaga Islam di Indonesia. Pesantren memiliki peran yang sangat penting sebagai benteng akhlak dan pusat kajian keilmuan Islam yang mendalam. Di tengah berbagai tantangan dan konspirasi yang ada, keberadaan pesantren harus dipertahankan dan dilestarikan. 

Sebab, pesantren bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu agama, tetapi juga sebagai tempat membangun karakter dan akhlak mulia bagi generasi penerus. Jangan biarkan pesantren yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Indonesia hilang begitu saja. Pesantren adalah fondasi kuat yang membantu menjaga warisan intelektual dan spiritual Islam di tanah air, dan keberadaannya sangat vital dalam menjaga kesatuan serta keharmonisan umat Islam Indonesia.

Sebagai benteng akhlak dan kajian Islam, pesantren memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan misi dakwah, menegakkan moralitas, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, setiap upaya untuk melemahkan eksistensi pesantren, baik melalui faktor eksternal maupun internal, haruslah ditanggapi dengan penuh kewaspadaan. Kita harus menyadari bahwa dengan menjaga pesantren, kita juga menjaga keberlangsungan syiar Islam di Indonesia, serta memperkuat akar agama yang telah tumbuh dengan kokoh di negeri ini.

Menjaga pesantren tidak dengan kekerasan, karena Islam masuk di Indonesia tidak dengan kekerasan, ia datang dengan penuh keindahan. Dan kaum santri adalah di antara pewaris keindahan itu. Addin hua an-nashihah, maka berikan nasihat terbaik. 

Wallahul musta'an wailahi tauklan

Rahasia Urutan dalam Al-Qur'an; Rabb, Malik dan Ilah


Halimi Zuhdy

Mungkin di antara kita bertanya-tanya, mengapa dalam Surat An-Nas, yang menunjuk pada Tuhan, dimulai dari Rabb (الرب), Malik (المالك) kemudian Ilah (الإله)? Bukankah ketiganya sama? 
Pertanyaan menarik ini pernah diajukan oleh seorang pendeta dalam sebuah seminar yang membahas sosok Maria atau Maryam. Entah apa yang mendorong beliau menanyakan urutan tersebut. Saat itu, saya mencoba memberikan jawaban singkat tentang i‘jāz lughawī (keajaiban bahasa) dalam Al-Qur’an, juga mengenai tartīb as-suwar dan aspek kebahasaan lainnya.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ۝ مَلِكِ النَّاسِ ۝ إِلَٰهِ النَّاسِ 

Ketiga kata ini memiliki kedalaman makna, dan urutannya bukan sekadar kebetulan, melainkan sangat memengaruhi pemahaman kita terhadap konteks dan relasi manusia dengan Tuhan. Dalam Surah An-Nas, kita diajarkan untuk mencari perlindungan kepada "Rabb", "Malik", dan "Ilah" manusia, dan setiap kata ini menempati posisi strategis untuk mencerminkan urutan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Ayo, kita mulai dari kata "Rabb", yang berarti "Pendidik" atau "Pemelihara," adalah langkah pertama yang kita cari dalam situasi krisis. Kata ini menunjukkan perlindungan yang datang melalui pendidikan, bimbingan, dan perawatan. Sebagai manusia, kita pertama-tama membutuhkan bimbingan dan pemeliharaan yang datang dari sumber yang lebih berpengetahuan, yang akan mengarahkan kita dengan kebijaksanaan. Rabb adalah yang memberikan arah hidup dan menuntun kita untuk berkembang.

Setelah bimbingan atau "Rabb" diperlukan, langkah berikutnya adalah "Malik", yang berarti "Penguasa" atau "Pemilik". Dalam konteks kehidupan, kita kemudian bergantung pada kekuatan dan wewenang untuk menegakkan keputusan atau mengatasi masalah besar. Malik menggambarkan figur yang memiliki otoritas untuk menegakkan ketertiban, baik di dunia maupun dalam kehidupan kita. Tanpa otoritas atau penguasa yang adil, masyarakat akan kacau. Malik adalah otoritas yang mampu menegakkan keadilan dan memberikan rasa aman.

Akhirnya, setelah kebutuhan akan bimbingan (Rabb) dan otoritas (Malik), manusia membutuhkan Ilah, yaitu "Tuhan" atau "Sumber penyembahan" yang tertinggi. "Ilah" adalah Yang kita tuju saat kita mencari keselamatan dan tempat bergantung terakhir. Dalam pencarian makna hidup dan setelah melewati fase bimbingan dan otoritas, "Ilah" adalah tujuan akhir kita dalam beribadah, tempat kita berserah diri dan mencari perlindungan yang mutlak.

والربّ هو مُرشد مجموعة من الناس قد تكون قليلة أو كثيرة
أما الملك فناسه أكثر من ناس المربي
وأما الإله فهو إله كل الناس وناسه الأكثر حتماً

Keindahan dari urutan ini tidak hanya terkait dengan makna kata-kata itu sendiri, tetapi juga dengan bagaimana kata-kata tersebut mencerminkan perjalanan manusia dalam kehidupannya. Dimulai dari bimbingan, menuju otoritas, dan akhirnya mencapai Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pertama-tama mencari bimbingan dari orang-orang yang lebih berpengalaman (Rabb), jika itu gagal, kita beralih pada otoritas yang lebih besar (Malik), dan pada akhirnya, kita berserah pada Tuhan (Ilah) ketika kita merasa tak berdaya.

Urutan ini juga mencerminkan realitas sosial manusia. Masyarakat sering kali membutuhkan banyak "Rabb" dalam bentuk guru atau pemimpin kecil, tetapi hanya ada satu "Malik" yang berperan sebagai penguasa atau pengatur, dan akhirnya ada satu Ilah yang menjadi tujuan tertinggi. Dengan demikian, urutan ini menyiratkan bagaimana manusia bergerak melalui kehidupan sosial dan spiritual, dari banyaknya pilihan menuju yang satu, yaitu Tuhan.

Dalam Surah An-Nas, keindahan bahasa ini terletak pada bagaimana setiap kata dan urutannya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, menunjukkan hubungan yang mendalam antara setiap lapisan eksistensi manusia. Ini bukan hanya tentang memohon perlindungan dari bahaya fisik, tetapi juga tentang memahami hierarki kebutuhan manusia dalam mencari kesejahteraan dan keselamatan.

Mar'ja': Al-Mausu'ah Al-Qur'aniyah (Al-'ijaz Al-Lughawi wal Bayani)

Kenapa dalam Zina Perempuan Disebut Lebih Dulu, Tapi dalam Pencurian Justru Laki-Laki?


(Rahasia Urutan Kata dalam Al-Qur'an)

Halimi Zuhdy

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba sedikit mengupas tentang rahasia tartibul Ayat (urutan Ayat) dalam Surat An-Nas, kemudian ada yang bertanya tentang urutan kata dan kalimat, seperti Az-Zaniyatu waz Zani (penzina perempuan dan penzina laki-laki). Mengapa harus perempuan yang didahulukan, kok tidak laki-laki? Tapi, mengapa dalam hal pencurian, laki-laki malah yang didahulukan?
Toyyib. Mari kita sedikit melirik tentang urutan kata dalam Al-Qur'an. Bila kita perhatikan, Al-Qur’an sering menyebut laki-laki lebih dulu, seperti al-mu’minun wal-mu’minat (kaum mukminin dan mukminat) dan beberapa kata dan kalimat lain juga demikian. Namun tiba-tiba dalam Ayat tentang zina Allah berfirman:

 ٱلزَّانِیَةُ وَٱلزَّانِی فَٱجۡلِدُوا۟ كُلَّ وَ ٰ⁠حِدࣲ مِّنۡهُمَا مِا۟ئَةَ جَلۡدَةࣲۖ  

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali.”
(QS Al-Nūr [24]: 2)

Urutan itu terasa janggal, karena seringnya laki-laki didahulukan dalam banyak Ayat, lah..justru di situlah letak keindahan bahasanya. Al-Qur’an, dengan gaya retorika (balaghi), sedang menekankan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar urutan gender (al-jins). 

Imam al-Zamakhsyarī dalam Al-Kasysyāf menjelaskan bahwa aAyat ini bukan penyimpangan tata bahasa, melainkan penekanan moral. Dalam masyarakat, godaan pertama dalam perzinaan sering kali berawal dari pihak perempuan, dari cara bicara, penampilan, atau bahkan hanya tatapan mata yang memberi “lampu hijau.” Maka, mendahulukan kata al-zāniyah bukanlah bentuk menyalahkan, tapi peringatan, jagalah diri, karena fitnah terbesar bisa bermula dari kelembutan yang tak dijaga. Wow, ini alarwm lo. Walau tidak sedikit laki-laki yang sering menggoda perempuan.he

Syaikh Khalid al-Sabt, menyebut fenomena ini dengan lebih realistis: “Jika perempuan tidak membuka ruang, lelaki tak akan berani melangkah.” Dalam bahasa lain, kunci pertama ada di tangan perempuan. Demikian juga dalam tafsir karya Ṭāhir bin ‘Āsyūr, mufassir besar dari Tunisia. Bahwa, Az Zaniyatu didahulukan karena ada dorongan lebih dari perempuan. Dan i masa pra-Islam, zina sering dilakukan dengan terang-terangan. Ada perempuan yang bahkan memasang tanda (bendera) di rumah mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pelacur. Islam datang untuk menghapus praktik itu dan menegakkan aturan hukum yang tegas serta menjaga kehormatan manusia.

Juga ada pendapat lain, bahwa zina pada wanita membawa aib lebih besar. Diterangkan pula oleh al-Qurṭubī

زنا النساء أعر وهو لأجل الحبل أضر

  “Zina pada wanita itu lebih memalukan (a‘ar) dan karena potensi kehamilan menjadi lebih berbahaya (aḍarr)”

Artinya, aib yang ditanggung perempuan jauh lebih besar daripada laki-laki. Perempuan yang berzina menanggung malu yang mendalam di tengah masyarakat. Reputasinya tercemar, dan keluarganya pun menanggung malu.

Dan perempuan disebut lebih dulu bukan untuk menyalahkan, tetapi karena akibat sosial zina jauh lebih berat bagi perempuan, ia bisa hamil, kehilangan nama baik, dan menanggung stigma yang lebih dalam. Jadi urutan itu bukan bentuk hukuman, tapi bentuk empati ilahi, Allah menegur lebih dulu yang paling rentan agar terlindung dari akibat paling pahit. Maka, tidak sedikit akibat perzinahan, terjadi kekerasan, pelecehan dan yang paling dirugikan adalah perempuan. 

Beberapa mufassir modern pun menggarisbawahi hal ini. Mereka menolak anggapan bahwa wanita selalu menjadi penggoda atau pemicu zina. Sebaliknya, dorongan nafsu pada pria justru lebih agresif;

الرجل فيه خاصية الاندفاع والانجذاب نحو المرأة 

"laki-laki cenderung lebih terdorong dan tertarik kepada wanita"

Wanita disebut pertama bukan karena dosanya lebih besar dari pria, hukuman keduanya sama adilnya, tetapi karena kasih sayang Allah yang ingin mencegah si perempuan dari kerugian yang lebih dalam. Dengan mendahulukan perempuan, peringatan Ayat itu lebih mengena kepada pihak yang konsekuensi dunianya paling berat. (hablullah)

Mengapa “Pencuri Laki-laki” Didahulukan?

lah, bagaimana dengan pencurian? Ketika beralih ke kasus pencurian, Al-Qur’an mengembalikan urutan ke bentuk lazim, maksudnya laki-laki didahulukan. 

 وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوۤا۟ أَیۡدِیَهُمَا 

“Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
(QS Al-Mā’idah [5]: 38)

Di sini, logikanya berbalik. Menurut Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Fath al-Bārī, pencurian lebih sering dilakukan oleh laki-laki, mereka punya kekuatan, keberanian, dan peluang lebih besar untuk melakukannya. Maka, Al-Qur’an menegur yang paling sering bersalah lebih dulu. 

Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid menambahkan, “Mencuri bagi pria jauh lebih hina, karena mereka seharusnya mampu bekerja.”. Maka, aneh bagi mereka yang punya kekuatan untuk mencari nafkah, kok malah mencuri, dan terkadang merampok. Kalau pakai bahasa kita, lelaki sejati tidak mengambil milik orang lain, ia bekerja untuk mendapatkannya. Wow. 

Dengan begitu, urutan kata al-sāriq wa al-sāriqah bukan sekadar formalitas linguistik, tapi tamparan moral yang lembut laki-laki, "wahai lelaki, kau kuat, kau bisa mencari nafkah mengapa memilih jalan curang?"

Toyyib. Baik pada ayat zina maupun pencurian, Al-Qur’an menyebut dua gender secara eksplisit. Dalam kaidah hukum Islam, sebenarnya bentuk maskulin sudah cukup mencakup feminin. Tapi Allah tetap menyebut keduanya seolah berkata "jangan ada yang merasa kebal. Ini bukan sekadar kesetaraan di atas kertas; ini kesetaraan dalam bahasa wahyu".

Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr bahkan menyebut penyebutan dua gender sebagai cara Al-Qur’an “menghapus tradisi patriarkal Arab Jahiliyah” yang dulu menganggap perempuan bukan subjek hukum. Dalam satu Ayat, bahasa menjadi alat revolusi moral.

Susunan kata dalam dua Ayat itu menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur’an bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga alat untuk menyentuh hati manusia. Dan, bukan hanya susunan biasa lo!. Ketika perempuan disebut dulu, itu karena ia harus dijaga. Ketika laki-laki disebut dulu, itu karena ia harus ditampar kesadarannya.

Bahasa Al-Qur’an seperti cermin, ia memantulkan wajah sosial manusia apa adanya, lalu mengarahkan pandangan kita pada yang seharusnya. Setiap perubahan urutan, setiap pilihan kata, adalah strategi moral yang presisi. Tidak ada satu pun huruf yang keliru tempat.

Maka, ayat-ayat ini bukan sekadar hukum. Ia adalah pelajaran tentang tanggung jawab, kehormatan, dan keseimbangan. Tentang bagaimana Al-Qur'an mendidik manusia bukan dengan teriakan, melainkan dengan susunan kata yang menembus hati. Asyik. Katanya, isyarah itu cukup bgai ornag yang cerdas.

Marja'

 al-Zamakhsyarī (Al-Kasysyāf), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (Fath al-Bārī), Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr (Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr), serta penjelasan Syaikh Khalid al-Sabt dan Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid yang termuat dalam tafsir.app. Dan juga bisa dibaca di al-bahist Al-Qur'ani.

Maqam Ibrahim dan Jejak Digital


Halimi Zuhdy

Maqam Ibrahim. Batu tempat berpijak Nabi Ibrahim saat membangun Ka'bah, dengan jejak kaki beliau yang tertinggal di atasnya. Itulah yang sering kita dengar dan pahami. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa maqam Ibrahim sebenarnya merujuk kepada seluruh area Masjid Al-Haram.
Kata "maqam" berasal dari akar kata qama-yaqumu-qiyaman, yang bermakna “berdiri”. Secara harfiah, maqam berarti tempat berdiri. Batu kecil ini bukan hanya sebuah penanda fisik, tetapi juga simbol bahwa di tempat tersebut, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pernah berperan dalam pembangunan Ka'bah. Nabi Ismail-lah yang menyerahkan batu kecil ini kepada Ibrahim, yang kemudian digunakan sebagai tempat berdiri, menandai momen monumental dalam sejarah umat Islam.

Dalam konteks bahasa Indonesia, "maqam" bisa diartikan sebagai "petilasan" tempat yang pernah dikunjungi oleh seseorang, atau yang memiliki jejak langkah dari orang yang berbuat sesuatu di sana. Di tempat tersebut, terdapat semacam "jejak" yang meninggalkan kesan dan memori bagi mereka yang datang setelahnya.

Dulunya, Maqam Ibrahim berada di dinding Ka'bah. Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, batu tersebut dipindahkan beberapa meter dari Ka'bah. Batu ini bukan sembarang batu; dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa ini adalah "batu surga". Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, batu ini bahkan dilindungi dengan perak dan ditutup dalam sangkar yang mirip sangkar burung, mungkin untuk menjaga keutuhan dan kehormatannya.

Saya pribadi memiliki kenangan tentang upaya ingin melihat batu tersebut. Saat itu, rasa ingin tahu mendorong saya untuk mendekatkan wajah saya ke kaca penutupnya. Namun, saya segera dihentikan oleh seorang petugas berpakaian seragam, mirip dengan organisasi mahasiswa seperti menwa atau pramuka di Indonesia. Waktu itu, musim haji sedang berlangsung, dan selain tentara, banyak mahasiswa yang ditugaskan untuk mengatur jamaah. Saking dekatnya, saya merasa hampir mencium kaca tersebut. Namun, saya segera membantah bahwa saya tidak melakukannya.

Maqam Ibrahim terus menjadi perbincangan, sebuah simbol sejarah yang tak terlupakan. Di sana, Nabi Ibrahim tidak hanya membangun Ka'bah, tetapi juga meninggalkan jejak yang menginspirasi umat manusia sepanjang zaman.

Apa kaitannya dengan "Jejak Digital" dalam judul ini?

Begini. Setiap perbuatan manusia di dunia ini pasti meninggalkan bekas dan jejaknya. Baik itu perbuatan baik ataupun buruk, tidak ada yang hilang begitu saja. Seperti halnya Maqam Ibrahim, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik atau buruk, pasti memiliki dampak yang dapat terekam dalam sejarah, bahkan jika itu hanya tersimpan di tempat yang kita tidak ketahui.

Maqam Ibrahim mengajarkan kita bahwa setiap manusia harus berkarya. Karya tersebut bisa berupa pembangunan fisik seperti masjid, istana, piramida, Borobudur, atau institusi pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Atau karya non-fisik seperti menulis buku, melukis, atau mengukir, yang meninggalkan jejak bagi generasi berikutnya. Semua karya ini adalah "maqam" dalam kehidupan seseorang, tempat di mana seseorang meninggalkan warisan atau jejak yang akan dikenang.

Di zaman modern ini, media sosial menjadi salah satu cara utama bagi manusia untuk meninggalkan jejak. Setiap video, foto, tulisan, dan unggahan lainnya adalah jejak digital mereka. Jika yang diunggah adalah kebaikan, maka kebaikan tersebut akan terus terekam dan dikenang. Sebaliknya, jika yang diunggah adalah keburukan, maka keburukan tersebut pun akan terus ada, tertinggal dalam ingatan dan pencarian di dunia maya.

Namun, jejak ini tidak hanya dilihat dan dinilai oleh manusia. Setiap unggahan dan perbuatan juga akan dihisab baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Di dunia ini, kita akan dihisab oleh para pembaca dan penonton. Jika sesuai dengan nilai yang mereka percayai, maka kita akan dipuji, diberikan "likes", atau bahkan dihargai. Namun, jika tidak, kita mungkin akan dicemooh. Ini adalah "hisab" menurut pandangan manusia, yang penuh dengan subjektivitas dan selera. Tetapi, di hadapan Allah, ada hisab yang lebih hakiki, yang tidak bisa dipengaruhi oleh selera manusia. Hanya Allah yang mengetahui nilai sejati dari setiap jejak yang kita tinggalkan.

Maqam, atau jejak berdiri seseorang, menjadi pengingat bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi. "Maqam" bukan hanya soal tempat fisik, tetapi juga representasi dari segala yang kita lakukan. Dan, seperti halnya Maqam Ibrahim, yang menjadi simbol penting dalam sejarah umat manusia, kita pun berharap jejak-jejak kita, baik yang besar maupun kecil, akan menjadi kebaikan yang dikenang sepanjang masa.

"Maqam kita adalah cerminan dari apa yang telah kita perbuat. Kita harus berharap agar maqam kita adalah yang terbaik, di hadapan Allah. Semoga jejak kita adalah jejak kebaikan, yang terus dikenang dan memberikan manfaat bagi umat manusia.

Produktifitas Imam At-Thabari, Menulis 40 Halaman Setiap Hari


Halimi Zuhdy

Kemarin ada salah seorang santri bertanya, "Bagaimana ulama-ulama dahulu menulis kitab, sedangkan saya menulis status di media sosial saja kerepotan, bahkan terkadang tidak mettu (keluar) ide?". Saya kemudian bercerita tentang banyak ulama di zaman dahulu, dengan keterbatasannya melahirkan karya yang monumental. Sedangkan di era yang fasilitas serba mudah di dapat, menulis satu buku pun masih minta bantuan mesin, itu pun bukan idenya, tapi ide mesin.😁. Maka, bukan persoalan fasilitas, tapi persoalan semangat dan mau berbuat. 🫢
Toyyib. Saya memberi contoh ulama yang super duper, walau masih banyak lainnya yang juga keren banget. Yaitu kepenulisan Imam At-Thabari dalam at-Tarajim wa Syakhshiyat. Beliau digambarkan sebagai contoh kegigihan dan kejernihan niat yang luar biasa. Ia bukan hanya seorang ulama, tapi juga penulis yang hampir tak tertandingi dalam produktivitas dan kedalaman ilmu. Diceritakan bahwa Imam At-Thabari menulis sekitar 40 halaman setiap hari, sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedisiplinan dan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Itu di era, di mana kertas dan pena sangat langka, tidak seperti di era ini, apalagi di era digital yang sangat mudah menulis dalam ratusan halaman word. 

 روي أنه كان يكتب أربعين صفحة في كل يوم، إنه الإمام محمد بن جرير الطبري صاحب أكبر كتابين في التفسير والتاريخ،

Karya-karyanya mencakup berbagai bidang, tapi dua yang paling monumental adalah “Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān” (Tafsir At-Thabari) dan “Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk” (Sejarah Umat dan Raja-Raja). Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa beliau melakukan istikharah selama tiga tahun sebelum mulai menulis tafsirnya, memohon agar Allah memudahkannya dan memberkahi pekerjaannya. Ini menandakan bahwa baginya, menulis bukan hanya kerja intelektual, tapi juga ibadah.

At-Thabari dikenal sangat sistematis dan teliti. Ia tidak hanya mengutip riwayat, tapi juga menganalisis perbedaan pendapat para ulama, menimbang dalil-dalil mereka, lalu menarik kesimpulan yang logis. Gaya tulisannya padat, berisi, dan penuh argumentasi ilmiah. Saking luasnya ilmunya, para ulama sampai mengatakan: “Kalau ada orang berjalan ke Cina hanya untuk mendapatkan Tafsir At-Thabari, itu belum berlebihan.”

Menariknya, ia juga tidak tergoda oleh jabatan atau harta. Wow. Ketika khalifah mengirimkan hadiah besar sebagai penghargaan atas karyanya, ia menolaknya. Ia ingin kebebasan berpikirnya tetap murni. Bahkan saat teman-temannya menolak ide gila untuk menulis sejarah dunia dalam 30.000 halaman karena “usia manusia gak cukup,” At-Thabari menanggapinya dengan kalimat tajam: *Inna lillah, telah mati semangat manusia.” Lalu ia menulisnya sendiri dalam 3.000 halaman, tetap kolosal.

قال أبو القاسم بن عقيل الوراق: إن أبا جعفر الطبري قال لأصحابه هل تنشطون لتاريخ العالم من آدم إلى وقتنا قالوا كم قدره فذكر نحو ثلاثين ألف ورقة فقالوا هذا مما تفنى الأعمار قبل تمامه فقال إنا لله ماتت الهمم فاختصر ذلك في نحو ثلاثة آلاف ورقة ولما أن أراد أن يملي التفسير قال لهم نحوا من ذلك ثم أملاه على نحو من قدر التاريخ.

Jadi, kepenulisan Imam At-Thabari bukan cuma tentang banyaknya tulisan, tapi tentang semangat keilmuan yang nyatu dengan ketulusan hati. Ia menulis bukan untuk terkenal, tapi untuk menegakkan ilmu dan kebenaran. Karena itu, meskipun ia wafat lebih dari seribu tahun lalu, ilmunya masih hidup dan mengalir terus sampai sekarang.

Memang, santri yang bertanya tadi dan yang menjawabnya, sepertinya mungkin menirunya, tapi minimal pernah tahu, bahwa ada banyak ulama yang sekeren Imam Ath-thabari, dan beberapa ulama lainnya.  Dan, minimal bisa menulis 1 buku dalam hidupnya. 🫢📚✍️

Kata dalam Pancasila, 40-45 % dari Bahasa Arab. So What!?



Halimi Zuhdy

Kemarin ada yang mengkritik, "Apa sih pentingnya bahasa Arab, kok dibahas terus, bahasa gurun dibanggakan, Indonesia tak akan maju-maju kalau masih klasik bahasanya!" 

OK gaes! Tak kasih paham sedikit (emoticon dengan senyum bahagia).  
Sering kali saya menulis tentang bahasa Arab, bahkan setiap hari pasti berkelindan dengan bahasa ini. Bukan sesuatu kebetulan, tetapi kecintaan dan kesenangan sejak kecil. Mulai lahir, senyap-senyap terdengar lantunan shalawat, belum lagi suara adzan, ngaji, tahlilan, yasinan, dibaan, shalat, doa, kajian, semuanya berbahasa Arab. Tapi, bukan bahasanya yang kemudian menjadi sebuah kebanggaan sesungguhnya, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi, ia adalah bahasa yang digunakan Al-Qur'an. Masak "shalat" yang lakukan setiap hari tidak paham artinya? 

Bahasa Arab, bukan lagi persoalan bahasanya orang Arab, tetapi ia sudah menjadi bahasa Indonesia, 40-60 % berasal dari bahasa Arab. Banyak banget. Ini bukan hal sederhana Lo. Dan ini, sudah masuk ke relung-relung kehidupan kita, dari istilah-istilah dalam pemerintahan, coba perhatikan! Sebut saja MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),  yang berasal dari bahasa Arab, kata majlis, musyawarah dan rakyat. Ada juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari dīwān (ديوان) bahkan wakilnya juga dari bahasa Arab. Belum lagi kata amanah (أمانة), kata hukum dari ḥukm (حكم), hakim dari ḥākim (حاكم), dan mahkamah dari maḥkamah (محكمة) yang semuanya menunjukkan sistem keadilan (‘adl / عدل) sebagai dasar negara. 

Oh iya. Sampai lupa. Tentang "pancasila" dan bahasa Arab.  Jika ditelusuri secara etimologis, sekitar 40–45% kosa kata utama dalam rumusan Pancasila berasal dari bahasa Arab. Kata-kata seperti adil (ʿadl), adab (أدب), rakyat (رعية), hikmat (حكمة), musyawarah (مشاورة), dan wakil (وكيل) bukan sekadar istilah pinjaman, melainkan pantulan dari nilai moral yang hidup dalam denyut sejarah dan keimanan bangsa ini.

Dominasi diksi Arab dalam Pancasila menunjukkan bahwa "Indonesia adalah jembatan antarperadaban" negeri yang mampu merangkai kebijaksanaan Timur Tengah, filosofi India kuno, dan kearifan lokal Nusantara menjadi satu kesatuan yang harmonis. Bukan hanya persoalan bahasa Arabnya Lo.

Bagi penganut Islam, bahasa Arab bukan hanya bahasa agama, tetapi juga bahasa nilai, ini yang harus dipahami,  bahasa yang membentuk etika sosial, semangat keadilan, dan keutuhan masyarakat. Dalam bingkai keindonesiaan, bahasa Arab menjadi "cerminan utama" dari spiritualitas dan kedalaman budaya yang meneguhkan arah bangsa, ber-Tuhan, beradab, dan bermusyawarah dalam keadilan. "Tinggalkan bahasa Arab, pakai bahasa internasional lain aza, pasti Indonesia maju!" Eh, emosional lagi. Bang, maju itu bukan punya pesawat canggih saja, kalau penduduknya tidak harmonis, apalagi ukuran maju bagi umat beragama itu berbeda dengan ateis!. Waduh.wkwkwkw. 

Yes, tak kandani. Indonesia bukan sekadar bentangan pulau dari Sabang sampai Merauke. Ia adalah mozaik peradaban, tempat kata dan makna dari berbagai dunia bersenyawa menjadi satu ruh kebangsaan. Di antara warisan itu, bahasa Arab menorehkan jejak paling kuat dalam tubuh nilai-nilai dasar negara,  Pancasila. 

Oh iya, bahasa apun boleh berkembang di Indonesia, tapi, jangan marah-marah kalau ada orang suka bahasa Arab. Itu saja.🤣🤩

***
Gambar diambil dari Nawaksara. Id.

Iri, Dengki, Saudara dan Sumur


(Perbedaan antara 'Jubb' dan 'Bi’r dalam Al-Qur’an)

Halimi Zuhdy  

Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah terbaik sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an dengan sebutan "Ahsan al-Qashash" kisah yang paling indah. Keindahannya terletak pada alur cerita, penokohan, pesan moral, kekuatan bahasa, serta pilihan diksi yang sangat halus dan bermakna. Bukan hanya persoalan kisah Nabi Yusuf dan Zalikhah, tapi tentang kehidupan.  

قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ  

“Seorang di antara mereka berkata: Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.'” (QS. Yusuf 12: 10)

Tulisan ini akan menyoroti satu kata kunci dari Ayat di atas, yaitu "al-jubb" (sumur). Dalam Al-Qur’an, kata "al-jubb" disebut dua kali, sedangkan "al-bi’r" hanya sekali. Keduanya sering diterjemahkan sama, yakni “sumur”, tetapi dalam konteks bahasa Arab Al-Qur’an, keduanya memiliki perbedaan makna.  
Perbedaan "Jubb" dan "Bi’r"  

Para ulama memiliki beberapa pendapat tentang perbedaan kedua istilah tersebut. Ada yang berpendapat bahwa "al-bi’r" adalah sumur kecil yang bagian bawahnya sempit, sedangkan bagian atasnya lebar. Adapun "al-jubb" adalah sumur yang luas di bagian tengahnya.  

Mengapa Nabi Yusuf ditempatkan di dalam "jubb"? Alasannya, agar beliau tidak tenggelam dalam air karena tujuan saudara-saudaranya bukan membunuh, tetapi menjauhkan beliau dari ayahnya. Sumur itu cukup dalam untuk menyembunyikan, tetapi tidak berair sehingga tidak membahayakan.  

Pendapat lain menyebutkan bahwa "al-bi’r" lebih dalam (a’maq), sedangkan "al-jubb" lebih dangkal. Dalam "Al-Tafsir al-Isytiqaqi", kata "al-jubb" pada Surah Yusuf diartikan sebagai sumur yang pinggirnya belum dibangun dengan batu, disebut demikian karena digali di tanah keras (jubub).  

Dalam kitab "Al-Lam’ah al-Bayan" karya Dr. Abdul Wahid Wajih, "al-jubb" digambarkan sebagai galian kecil yang tidak terkena sinar matahari langsung, bisa menampung air hujan, namun tidak cukup dalam untuk mencelakakan Yusuf.  

Kata "ghayabah" (kegelapan) yang mendahului "al-jubb" memberi makna perlindungan. Yusuf dijauhkan dari panas matahari dan pandangan manusia. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang saudara-saudaranya masih tersisa, mereka tidak menghendaki kematian Yusuf, hanya ingin menjauhkannya. Karena itu, mereka memilih "melemparkan" Yusuf ke sumur, bukan membunuhnya. Menariknya, surah ini dibuka dengan huruf muqaththa‘ah "Alif Lam Ra", di mana huruf "Ra" melambangkan "rahmah" (kasih sayang).  

Namun, sebagian ulama menafsirkan "ghayabah al-jubb" secara hiperbolis, yakni dasar sumur yang dalam secara kiasan, bukan secara fisik.  

Ciri-Ciri "Al-Jubb"  

Dalam beberapa penjelasan lain, "al-jubb" adalah sumur tanpa pagar atau tembok di sekelilingnya sumur yang tersembunyi, tidak banyak diketahui orang. Sebaliknya, "al-bi’r" adalah sumur tradisional yang umum ditemukan di masyarakat, seperti yang banyak terdapat di Indonesia.  

Ketika saudara-saudara Yusuf berkata, “Lemparkan saja dia ke dalam sumur agar diambil oleh para musafir,” yang dimaksud adalah sumur kecil namun dikenal oleh orang-orang yang lewat. Kata "yaltaqith-hu" (dipungut) menunjukkan harapan agar Yusuf ditemukan oleh kafilah, bukan dibunuh. Seandainya mereka benar-benar ingin membunuhnya, Yusuf pasti akan dimasukkan ke lubang lain atau "bi’r" yang berair dalam.  

Lokasi Sumur Nabi Yusuf  

Dalam kitab "Al-Kasysyaf", terdapat beberapa pendapat tentang lokasi sumur tempat Yusuf dilemparkan. Ada yang menyebut sumur di Baitul Maqdis (Palestina), ada pula yang berpendapat di wilayah Yordan. Pendapat lain menyatakan letaknya di antara Mesir dan Madyan, sekitar tiga farsakh dari rumah Nabi Ya‘qub.  

Sementara menurut "Al-Muhith", sumur tersebut berada di Palestina, tepatnya di kota Nablus, sekitar satu kilometer dari makam Nabi Yusuf. Bahkan ada riwayat yang menyebut Nabi Isa pernah meminum air dari sumur itu.  

Hikmah dari Sumur Kedengkian  

Mengapa Yusuf dilemparkan ke dasar sumur? Karena kedengkian saudara-saudaranya. Kedengkian tidak hanya membuat seseorang ingin menghilangkan nikmat orang lain, tetapi juga mendorongnya mencelakakan saudaranya sendiri.  

Begitulah sifat iri. Ia merasa puas bila melihat orang lain jatuh, menderita, atau bahkan binasa. Padahal, sering kali orang yang didengki justru semakin bersinar, semakin dicela semakin mulia. Sementara si pendengki sendiri hidup dalam kesengsaraan batin, kehilangan kebahagiaan karena hatinya dipenuhi dengki.  

Wallāhu a‘lam bish-shawāb

***
Dalam beberapa kajian bahwa yang dimaksud Ahsan Al-Qashah (kisah terbaik), bukan Surat Yusuf tapi seluruh Ayat-Ayat dan Surat dalam Al-Qur'an.

Perbedaan Da'i, Muballigh, Dan Khatib


Halimi Zuhdy

Kadang risih melihat da'i, penceramah, atau apa pun namanya yang mempraktikkan gaya di luar kebiasaan umum. Kebiasaan umum ini yang tidak menyalahi etika, akhlak, moral dan adab. Boleh berbagai gaya, tapi tidak kehilangan ruh, dan keluar dari relnya. Boleh melucu, tapi lucu yang tidak berbohong dan lainnya. Membincang persoalan seperti ini, memang agak rumit dan ruwet, belum urusan amplop dan panggung kemeriahannya. 😁
Ada tiga istilah klasik dalam dunia dakwah Islam yang sering kita dengar, yaitu da’i, muballigh, dan khatib. Tiga kata ini tampak mirip, tapi sesungguhnya berdiri di posisi yang berbeda, saling melengkapi dalam satu simfoni kebaikan. Menyeru manusia menuju jalan yang diridhai Allah. Tulisan ini, bukan kemudian harus memisah satu persatu sebagai tugas sendiri-sendiri, tapi ketiganya bisa menjadi satu kesatuan dalam diri seorang da'i. 

Toyyib. Ayo kita lirik perbedaannya. Da’i berasal dari kata da’wah (دعوة) yang berarti “panggilan” atau “ajakan.” Seorang da’i adalah pengajak, penyeru hati manusia untuk mendekat kepada kebenaran, mengajak kepada al-ma’ruf (kebaikan) dan mencegah al-munkar (keburukan). Ia tidak terbatas oleh tempat atau profesi. 

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

Lah, dakwah merupakan tugas kolektif umat untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Maka, kadang ada yang cuek melihat kemungkaran, "itu tugas kyai, ustadz, penceramah, muballigh, khatib" wong didepannya sudah ada kemaksiatan yang bisa dicegah dengan hal paling ringan (sebelum urusan hati lo).  

Seorang da’i bisa berdiri di atas mimbar, menulis di layar, berbicara di jalan, atau menebar kebaikan lewat tindakan sederhana. Namun satu hal pasti. Lah dakwahnya tidak boleh kehilangan hikmah (kebijaksanaan) dan mau’izhah hasanah (nasihat yang indah), sebagaimana perintah Allah dalam QS. An-Nahl:125.

Toyyib. Lanjut. Muballigh itu orangnya, sedangkn tabligh (تبليغ) itu yang dilakukannya. Tabligh berarti “penyampai.” Ia adalah pembawa pesan, penyambung lidah para nabi, yang memastikan ajaran Islam tidak hanya berhenti di kitab, tetapi hidup di dalam laku umat. Seorang Muballigh berperan sebagai jembatan antara teks dan realitas antara firman dan kehidupan. Ia bisa menjadi penceramah, penulis, atau guru, asalkan yang disampaikan adalah nilai-nilai yang menuntun manusia ke arah kebaikan.

Toyyib. Sebagaimana disebut dalam Surah Al-Ma’idah ayat 67:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Ayat ini menegaskan bahwa tabligh adalah amanah penyampaian risalah secara jujur dan tepat, tanpa menambah atau mengurangi. Dalam pandangan Dr. Fadhil Hasan Syarif, tabligh sering bersifat sementara dan tematik, seperti dalam momentum haji, umrah, atau acara keagamaan tertentu, di mana seorang muballigh menyampaikan pesan moral atau hukum tanpa membangun hubungan dakwah yang mendalam. Dengan demikian, dakwah bersifat transformasional dan membina, sedangkan tabligh bersifat informatif dan komunikatif. Ini salah satu pendapat lo! 

Berikutnya, adalah Khatib. Jangan keliru khaatib, nanti melamar. 😁. Khatiib dari khutbah (خطبة) adalah "penyampai" khutbah, biasanya di mimbar Jumat atau di acara keagamaan resmi. Khatib memiliki tanggung jawab moral yang besar, karena khutbah bukan sekadar pidato, melainkan seruan publik yang menggetarkan kesadaran. Dan, bisa dilihat dalam banyak teks dan hadis bagaimana ketika Nabi berada di mimbar. Maka, seorang khatib  bukan hanya berbicara kepada telinga jamaah, tapi mengetuk hati mereka agar kembali pada nurani dan tanggung jawab sosial.

Hari ini, mungkin istilah dan cara mungkin berbeda-beda. Ada yang lembut seperti air, ada yang tegas seperti petir, dan ada yang menenangkan seperti angin sepoi. Tapi semua mengalir menuju satu tujuan "mengajak manusia kepada kebaikan yang Allah perintahkan". Titik.

Namun, di tengah semangat berdakwah, seorang Da’i juga harus "menimbang antara biaya dan keberkahan." Jangan sampai kegiatan dakwah berubah menjadi ajang pemborosan, pamer, atau sekadar mencari tepuk tangan. Bila pengeluaran lebih besar dari nilai manfaat yang diterima umat, maka pesan dakwah bisa kabur tertutup gemerlap acaranya. Islam mengajarkan "tawazun" (keseimbangan), bahwa kebaikan yang benar tidak akan keluar dari cara yang benar. Tujuan yang baik tidak bisa ditempuh dengan jalan yang melenceng. Wow. 

Karena itu, apa pun bentuknya, tabligh akbar, ceramah kecil, atau konten dakwah digital, semuanya harus kembali pada "maqashid dakwah" menyentuh hati, menumbuhkan iman, dan memperbaiki akhlak. Sebab dakwah bukan tentang siapa yang paling lantang, tetapi siapa yang paling ikhlas dan konsisten.

Semoga para Da’i, Muballigh, dan Khatib senantiasa diberi "kesehatan, keikhlasan, dan keteguhan hati", agar tetap berada di jalur dakwah yang murni. Karena pada akhirnya, seruan kebaikan sejati tidak diukur dari panggung dan mikrofon, tapi dari seberapa banyak hati yang tersentuh dan berubah menjadi lebih baik.

Yang komen-komen juga bagian dari dakwa, apa yang ditulis, apa yang dikomentari, akan menjadi bagian dari kebaikan. Kalau buruk? Lah😁

***
Tadi gegara membaca tulisan Gus Albolliwud al al-Jamil fauqal jamal Rijal Mumazziq Z 😁🙏

Apa yang Diperjuangkan dalam Hidup Ini ?




Halimi Zuhdy

"Mas, kenapa bingung?" Tanya seorang ustadz pada santri Gen Z di beranda pesantren yang menghadap ke jalan raya. Santri ini datang dengan wajah kusut seperti baru berkelahi dengan pikirannya sendiri. Kemudian Ia duduk di hadapan Pak Ustadz yang sedang membaca kitab sains 'Ajaibul Faiziqa karya Ahmad Fahmi , dan di sebelahnya kitab Minhajul Qashidin Ibnu Jauzi sebuah kitab ringkasan dari Ihya Ulumiddin Imam Ghazali. Santri ini mulai bicara dengan nada kebingungan.
“Pak Ustadz,” katanya pelan tapi tegas, “saya akhir-akhir ini bingung sekali. Dunia kok rame banget, ya? Setiap buka HP, semua orang heboh. Di TikTok orang joget, di YouTube orang debat, di Instagram orang pamer, di Facebook orang marah. Semua berlomba-lomba mau viral, cari FYP, cari perhatian, entah buat apa. Rasanya semua orang berperang, tapi nggak tahu siapa musuhnya.”

Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang.
“Lihat saja, Tad, di luar sana orang kerja siang malam, pasar nggak pernah sepi, cekout terus berdering, hiburan nggak pernah berhenti, semua kayak dikejar waktu. Di luar negeri pun sama, Amerika ribut dengan Trumpnya, Rusia belum selesai dengan Ukraina, belum lagi Gaza dan Israhiil, tambah Sudan beberapa hari ini, mengerikan. dunia terus panas dan saya cuma bisa nonton dari layar kecil ini.” 😔

"Beberapa kyai, ustadz, gus, sepertinya tidak lagi hanya berdakwah di medsos, tapi sikat sikut, entah apa yang diperjuangkan, belum lagi yang viral yang ikhtilatath, duh sedih. Belum para lagi pejabat dan akademisi yang pamer pangkat dan jabatannya, entah untuk apa?" Ia terdiam lama. 

Santri itu mengusap wajahnya, lalu menatap Ustadznya dengan mata lelah.

“Kadang saya mikir, emang apa sih yang sebenarnya diperjuangkan manusia, Pak Ustadz? Apa yang mereka cari dari semua kebisingan ini? Dan... apa sebenarnya tujuan hidup kita di tengah dunia yang sibuk tanpa henti ini?”

Ia terdiam. Angin sore berhembus pelan, membawa suara jangkrik dan azan dari kejauhan. Pak Ustadz masih diam, seolah menunggu waktu yang tepat untuk menjawab. Pertanyaan itu seperti membuka jendela di tengah malam. Gelap di luar, tapi ada udara segar yang bikin sadar kalau hidup bukan sekadar rutinitas berulang. Pak ustadz, menutup kitab sainsnya. Pluk. 📚 Setelah beberapa detik hening, barulah ia berkata dengan suara tenang tapi dalam.

“Nak, pertanyaanmu itu berat, tapi penting banget lo. Karena sedikit sekali manusia yang sempat berhenti dan bertanya seperti itu. Banyak yang sibuk berlari, tapi lupa kenapa mereka berlari.” 😁

Ia menggeser duduknya, menatap mobil yang tak pernah sepi berderu. “Dunia memang heboh. Semua orang tampak sibuk, seolah yang paling cepat akan menang. Tapi coba lihat lebih dalam. Apa yang sebenarnya mereka kejar? Uang, jabatan, popularitas, validasi. Semuanya berputar di lingkar yang sama, dan anehnya, tidak pernah membuat tenang. Karena manusia tidak diciptakan untuk sekadar punya banyak, tapi untuk jadi berarti.”

Ustadz mengangkat pandangannya lagi. “Kita ini, Nak, bukan kebetulan. Hidup bukan error di semesta. Dalam ajaran kita, Allah menciptakan manusia bukan tanpa alasan. FirmanNya jelas. "Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.". Tapi ibadah itu bukan cuma salat dan puasa. Itu juga berarti menjalani hidup dengan sadar. Tahu dari mana kita datang, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.”

Ia tersenyum lembut. “Masalahnya, dunia modern membuat orang sibuk membangun citra, bukan jiwa. Mereka berperang untuk terlihat hidup, padahal justru kehilangan kehidupan yang sebenarnya. Padahal, tujuan hidup manusia adalah menjadi khalifah di bumi. Penjaga, bukan perusak. Pembawa manfaat, bukan kerusuhan; pencari makna, bukan sensasi.”

Lalu ia menepuk pundak santri itu. “Kita ada untuk menghadirkan keseimbangan, Nak. Agar dunia yang bising punya titik tenang. Agar dalam hiruk-pikuk sosial media, masih ada orang yang memilih berpikir jernih dan berbuat baik diam-diam. Karena setiap manusia adalah potongan kecil dari rahmat Tuhan dan tugas kita adalah membuat potongan itu bersinar, sekecil apa pun.”

Ustadz menutup nasihatnya dengan lirih, “Jadi, jangan takut dengan keramaian dunia. Biarkan mereka berlari. Tugasmu bukan mengejar mereka, tapi menemukan dirimu. Karena begitu kau tahu siapa dirimu dan untuk apa kau diciptakan, dunia yang ribut itu tak lagi mampu membuatmu bingung.”

Santri itu menunduk, bibirnya bergetar pelan. Bukan karena sedih, tapi karena baru sadar. Mungkin selama ini, ia sibuk mencari dunia, padahal yang hilang adalah dirinya sendiri.

Yang sebenarnya diperjuangkan dalam hidup. kalau mau jujur dan tidak klise. Bukan kebahagiaan semata. Karena kebahagiaan itu lebih mirip efek samping dari hidup yang bermakna. Yang kita perjuangkan, barangkali, adalah makna itu sendiri. Alasan mengapa kita bangun tiap pagi dan tetap berjalan meski semua terasa berat.

Ada orang yang memperjuangkan pengakuan, karena merasa dilihat berarti diakui sebagai “ada.” Ada yang memperjuangkan cinta, karena ingin merasa terhubung dengan sesuatu di luar dirinya. Ada juga yang memperjuangkan ketenangan, karena dunia terlalu bising untuk pikiran yang penuh luka. Tapi kalau ditarik ke akar paling dalam, perjuangan hidup manusia hampir selalu bermuara pada satu hal "menemukan tempat di dunia yang tidak bisa dijelaskan tapi bisa dirasakan. Jadi mungkin bukan soal "apa" yang diperjuangkan, tapi "bagaimana" kita terus mencari alasan untuk memperjuangkan sesuatu.

"Entah! Kalau kamu bagaimana anaku, santriku, yang jelas nak, "khairunnas an fa'uhum linnas". Itu saja. Tapi, ingat nak "orang yang sibuk dengan media sosial, jangan kamu suudhan, kita tidak pernah tahu tujuannya hidupnya dan apa yang diperjuangkannya!". 

Pak ustadz, penutup kitab minhajnya, dan mulai membuka HPnya yang mulai kehilangan sinyal, dan datanya mulai habis🤣😁 sebentar ya saya ada pengajian LIVE di tik tok.

Minggu, 19 Oktober 2025

Cara Thalhah Mengubah Buruk Sangka Jadi Cahaya



Halimi Zuhdy

Kisah berikut adalah salah satu contoh paling indah tentang husnudhan, berprasangka baik. Kisah ini datang dari sosok mulia, Thalhah bin Abdurrahman bin Auf, seorang Quraisy yang dikenal paling dermawan di masanya.
Suatu hari, istrinya menyampaikan unek-unek dengan nada kesal, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih buruk daripada saudara-saudaramu, wahai suamiku.”

Thalhah terkejut, lalu bertanya lembut, “Mengapa engkau berkata begitu?”

Sang istri menjelaskan, “Aku memperhatikan mereka. Saat engkau memiliki banyak harta, mereka begitu baik dan selalu dekat denganmu. Tapi saat engkau tidak punya apa-apa, mereka meninggalkanmu.”

Mendengar itu, Thalhah justru tersenyum. Dengan tenang ia menjawab, “Demi Allah, justru itu kemuliaan mereka. Mereka mendatangi kita ketika kita mampu menghormati mereka, dan meninggalkan kita ketika kita sedang tak mampu melakukannya.”

Betapa indah cara pandang Thalhah. Ia melihat sesuatu yang bisa dianggap negatif, lalu membaliknya menjadi kebaikan. Inilah buah dari hati yang lapang dan pikiran yang positif. Orang-orang seperti Thalhah akan selalu menemukan cahaya, meski orang lain hanya melihat gelap.

Sikap ini menjadi pelajaran besar. Kadang seorang istri tidak tahan melihat kesabaran suaminya, lalu melontarkan pertanyaan atau bahkan tuduhan yang bisa memancing prasangka buruk. Tetapi, seorang suami yang bijak akan meredam kegelisahan itu dengan hikmah. Ia mengubah sudut pandang, agar hati tetap damai.

Berprasangka baik bukan berarti menutup mata dari kenyataan, tapi menjaga hati agar tidak mudah terjerumus pada buruk sangka. Sebab prasangka itu, apalagi yang salah, bisa berujung pada dosa besar: fitnah dan ghibah. Bahkan kalaupun sebuah keburukan nyata adanya, menyebarkannya tetap tidak dibenarkan dalam agama, apalagi bila menyangkut urusan pribadi.

Thalhah menunjukkan jalan yang indah: ia menyebut saudaranya karim (mulia), padahal sang istri melihatnya sebaliknya. Dari sanalah kita belajar, bahwa husnudhan tidak hanya menenangkan hati, tapi juga mengajarkan kita melihat sesuatu dari sisi yang lebih baik.

Sebagaimana ungkapan indah dalam bahasa Arab:

قالت: أراهم إذا اغتنيت لزِموك، وإذا افتقرت تركوك
قال طلحة: هذا والله من كرم أخلاقهم
يأتوننا في حال قدرتنا على إكرامهم، ويتركوننا في حال العجز عن ذلك.

Sang istri berkata:
“Aku lihat mereka selalu mendekatimu ketika engkau kaya, dan meninggalkanmu ketika engkau miskin.”

Thalhah menjawab:
“Itu, demi Allah, bagian dari kemuliaan akhlak mereka. Mereka datang ketika aku mampu memuliakan mereka, dan pergi ketika aku tidak sanggup melakukannya.”

Indah sekali. Kisah singkat ini meninggalkan pesan besar: lebih baik salah dalam berprasangka baik, daripada benar dalam berprasangka buruk.

Memahami Perbedaan Tarbiyah, Ta‘lim, Ta‘allum, dan Tadris


Halimi Zuhdy

Dalam percakapan sehari-hari, istilah tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris sering digunakan secara bergantian. Padahal, dalam khazanah bahasa Arab klasik maupun modern, istilah-istilah ini memiliki makna yang berbeda. Seperti kegiatan yang terkait dengan aqlam (pena), ada banyak istilah yang digunakan, walau sama-sama tentang "menulis", seperti; muallif, syair, adib dan lainnya (akan dibahas selanjutnya). 
Dalam beberapa mu'jam dan musthalahat at-tarbawiyah wa at-ta'alim beberapa perbedaan istilah tersebut sebagaimana berikut: 

Tarbiyah (التربية)

Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata ربّى – يربّي yang berarti menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan.

التربية هي عملية شاملة تهدف إلى تنمية الإنسان من جميع جوانبه: العقلية، الجسدية، النفسية، والاجتماعية

Tarbiyah tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk akhlak, menanamkan nilai, serta mempersiapkan seseorang menjadi pribadi yang utuh dan bermanfaat bagi masyarakat.

Ta‘lim (التعليم)

Ta‘lim berasal dari kata علّم – يعلّم yang berarti memberikan ilmu atau pengetahuan.

التعليم هو نقل المعارف والمهارات والمعلومات من المعلّم إلى المتعلّم

Fokusnya adalah penguasaan ilmu dalam bidang tertentu seperti matematika, sains, atau bahasa. Dengan demikian, ta‘lim adalah bagian dari tarbiyah, tetapi cakupannya lebih sempit.

Ta‘allum (التعلّم)

Berbeda dengan ta‘lim yang berpusat pada guru, ta‘allum berpusat pada murid. Kata ini berasal dari pola تفعّل yang menunjukkan usaha aktif dari diri sendiri.

التعلّم هو العملية التي يقوم بها الفرد لاكتساب المعرفة والمهارات من خلال التجربة أو الملاحظة أو الدراسة

Singkatnya, ta‘lim berarti guru mengajar, sedangkan ta‘allum berarti murid belajar.

Tadris (التدريس)

Tadris berasal dari kata درّس – يدرّس yang bermakna mengajarkan secara terstruktur.

التدريس عملية مركبة تشمل التعليم إضافة إلى التخطيط والتقويم والتفاعل الصفي

Dalam dunia modern, tadris identik dengan teaching, yaitu proses profesional di ruang kelas dengan perencanaan, metode, dan evaluasi yang jelas.

Tarbiyah/التربية adalah istilah paling luas karena mencakup pembentukan akhlak, karakter, dan kepribadian. التعليم (Ta‘lim) merujuk pada proses penyampaian ilmu dari guru, sedangkan التعلّم (Ta‘allum) adalah proses belajar aktif dari murid. Adapun التدريس (Tadris) merupakan pengajaran formal yang sistematis dengan metode, perencanaan, dan evaluasi. Dengan memahami perbedaan istilah ini, kita bisa lebih tepat menggunakannya sesuai konteks.

Oh ia, contoh sederhana dari empat istilah di atas; tarbiyah seperti seorang guru yang tidak hanya mengajarkan matematika, tetapi juga membimbing murid agar disiplin, jujur, dan berakhlak baik sedang melakukan tarbiyah, karena mencakup pembentukan karakter dan kepribadian. Ketika guru bahasa Arab menjelaskan kosakata baru di kelas, itu disebut ta‘lim, yaitu aktivitas menyampaikan ilmu. Sementara seorang murid yang belajar sendiri di rumah, membaca buku, mencatat, dan berlatih soal hingga paham sedang melakukan ta‘allum, sebab ia berusaha aktif memahami ilmu.

Adapun ketika seorang dosen mengajar di perguruan tinggi dengan mengikuti silabus, menggunakan metode diskusi, presentasi, serta memberikan ujian akhir semester, maka proses formal dan terstruktur itu disebut tadris. Dengan contoh sederhana ini, perbedaan antara tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris menjadi lebih jelas dan mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari.

Maraji' 

ابن منظور، لسان العرب، مادة (ربى، علم، درس)
الراغب الأصفهاني، المفردات في غريب القرآن
عبد السلام دائل، "الفرق بين التعليم والتدريس والتعلّم"، منتدى د. عبد السلام دائل (2012)
مركز التعلّم المرئي، "الفرق بين التعليم والتدريس" (2024)

Menelisik Kata "Luth" dan "Liwath" (Mengurai Kesalah pahaman tentang Nama Nabi Luth)



Halimi Zuhdy

Banyak orang beranggapan bahwa istilah liwāṭ (sodomi) berasal dari nama Nabi Luth, sehingga tanpa sadar mereka menilai seolah-olah nama Luth memiliki arti buruk. Pandangan ini tentu keliru, sebab nama para nabi tidak pernah bermakna tercela. Lalu, apa sebenarnya arti dari nama Luth itu sendiri? Dan mengapa perbuatan tercela kaumnya kemudian disebut dengan istilah liwāṭ? Pertanyaan inilah yang perlu ditelisik agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami asal-usul kata tersebut.
Mari kita telusuri: mengapa beliau disebut Luth, dan apa arti nama tersebut?

Sebagian ulama menjelaskan, Nabi Luth dinamakan demikian karena kecintaannya yang mendalam kepada pamannya, Nabi Ibrahim AS. Kata "Luth" bermakna "al-ta‘alluq" (ketautan), "al-ilṣāq" (melekat), dan "al-ḥubb" (cinta). Dengan begitu, nama "Luth" berarti “yang sangat mencintai” (terutama kepada pamannya, Ibrahim AS).

Ada pula pendapat lain yang menyebut "Luth" sebagai nama "‘ajamī" (non-Arab), tanpa derivasi (musytaq). Namun tetap saja, maknanya tidak pernah dikaitkan dengan keburukan. Justru maknanya mulia—cinta dan kedekatan.

Nama Nabi, Bukan Nama Perbuatan

Nabi Luth hidup semasa dengan Nabi Ibrahim (sekitar 1900 SM). Jika Nabi Ibrahim berdakwah di Irak, maka Nabi Luth diutus ke wilayah Sodom dan Gomorah, di sekitar Laut Mati bagian selatan.

Di sinilah terjadi kesalahpahaman besar: istilah Kaum Luth tidak berarti “Luth” itu buruk. Kata tersebut hanyalah "nisbat" (penyandaran), sama seperti “Kaum Nuh”, “Kaum Zakariya”, atau “Kaum Musa”. Sebagian kaum memiliki nama sendiri, seperti "Kaum ‘Ad" (kaumnya Nabi Hud) atau "Kaum Tsamud" (kaumnya Nabi Saleh).

Maka, keburukan itu bukan pada nama Nabi Luth, tetapi pada perbuatan kaumnya. Bahkan istilah "liwath" berasal dari akar kata "la-wa-tha", yakni perbuatan keji berupa homoseksual yang dilakukan kaum Luth. Ada ulama yang menegaskan bahwa istilah itu dikaitkan dengan Nabi Luth karena beliaulah yang menentang keras perilaku menyimpang tersebut.

Para ulama bahasa menegaskan, orang yang melakukan perbuatan kaum Luth—baik sebagai pelaku maupun objek—disebut "lūṭī" (لوطي) "bukan" karena dinisbatkan langsung kepada Nabi Luth, melainkan kepada "kaum Luth".

Dalam kaidah bahasa, sebuah nisbat pada susunan "iḍāfah" bisa bergeser. Ibn Mālik dalam Alfiyah-nya menjelaskan bahwa jika sebuah kata hanya bisa dipahami dengan penyandaran pada kata berikutnya, maka nisbat diarahkan pada kata kedua, bukan pertama:

وانسب لصدر جملة و صدر ما
ركب مزجا ولثان تمما
إضافة مبدؤة بابن أو أب
 أو ما له التعريف بالثاني وجب

Artinya, nisbat “luwāṭ” (اللواط) diarahkan pada qawm Lūṭ (kaum Luth), bukan pada Nabi Luth sendiri. Lebih dari itu, al-liwāṭ adalah masdar dari fi‘il lāwaṭa (لاوط) yang berarti “melakukan perbuatan kaum Luth”. Jadi, sekali lagi, itu adalah nisbat pada perbuatan kaum, bukan pada nabi.

Al-Qur’an pun sangat jelas: Nabi Luth bukan pelaku, melainkan penentang paling keras. Beliau berkata:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
 (QS. An-Naml: 54–55)

Namun kaum Luth justru menjawab dengan congkak:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
 (QS. An-Naml: 56)

Dan ketika azab Allah turun, negeri mereka dibalikkan dan dihujani batu dari langit:

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
 (QS. Hūd: 82–83)

Dengan ini, jelas bahwa istilah liwāṭ adalah cap bagi perbuatan tercela kaum Luth, sedangkan Nabi Luth sendiri adalah nabi mulia yang bersih dari hal tersebut.

 Sekilas Tentang Nabi Luth

Yuk, kita lirik sekilas tentang Nabi Luth. Nabi Luth bin Haran bin Azar adalah keponakan Nabi Ibrahim AS. Nama beliau disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 17 kali. Allah mengutusnya kepada kaum Sodom, sebuah perkampungan yang terletak antara Syam dan Hijaz (sekarang sekitar Yordania). Sodom sendiri terdiri dari beberapa desa, bahkan sebagian riwayat menyebut hingga sepuluh perkampungan.

Sayangnya, justru di tempat itulah lahir salah satu bentuk penyimpangan moral terbesar dalam sejarah manusia. Kaum Luth tidak hanya mendustakan risalah kenabian, tetapi juga menormalisasi perbuatan keji yang kemudian dikenal sebagai liwath.

Dari penelusuran ini jelas, bahwa nama Nabi Luth sama sekali tidak bermakna buruk. Beliau adalah nabi mulia yang namanya mengandung arti cinta dan kedekatan. Keburukan itu lahir dari perbuatan kaumnya, bukan dari diri beliau.

Menyamakan Luth dengan LGBT adalah kekeliruan serius. Justru Nabi Luth adalah sosok yang berdiri di garis depan untuk menentang penyimpangan itu, hingga Allah menurunkan azab besar kepada kaumnya.

Maraji‘:
Maudhu‘ Asma’ al-Anbiya’
Tafsir Al-Qur’an (QS. Hūd, QS. An-Naml, dan lainnya)
Kaidah Alfiyah Ibn Malik tentang nisbat

Menelisik Asal Muasal Kata "Tetangga" & "Al-Jar"


Halimi Zuhdy

Makna "Jar" dalam Bahasa Arab

Dalam bahasa Arab, kata "tetangga" diterjemahkan dengan "al-jār" (الجار), yang berarti “yang berada di dekat sesuatu, berdampingan, atau bersebelahan” (al-mujāwir). Menariknya, kata "jiwār" (جوار, perlindungan atau kedekatan) sangat dekat dengan kata "jidār" (جدار, tembok). Bila huruf "dal" dihapus, maka menjadi "jār. Artinya, tetangga adalah pihak yang “menempel” di tembok rumah kita.
Para ulama adab al-jīrān (etika bertetangga) menjelaskan:
الجار: من يقرب مسكنه منك
 “Tetangga adalah orang yang rumahnya dekat denganmu.”

Batasan tetangga pun dipahami luas. Ali bin Abi Thalib berpendapat: “Barang siapa mendengar azan, ia adalah tetanggamu.” Ada juga yang mengatakan: “Siapa yang shalat Subuh bersamamu di masjid, maka ia termasuk tetanggamu.” Sedangkan Aisyah RA menegaskan: “Batas tetangga adalah 40 rumah dari setiap sisi.”

Itulah sebabnya istilah "jīrān" (jamak dari "jār") masih kita dengar hingga kini, misalnya pada ungkapan “Negeri Jiran” untuk menyebut Malaysia—tetangga Indonesia.

Asal kata "Tetangga" dalam Bahasa Indonesia 

Lalu bagaimana asal kata "tetangga" dalam bahasa kita? Sejumlah pendapat menyebut, kata ini berasal dari “tangga” yang diberi awalan “te-”. Bukan dalam arti jamak seperti "tetamu", melainkan bentuk asal yang berkembang.

Secara leksikal, "tangga" adalah alat untuk naik turun. Dari sini berkembanglah istilah "tangga nada", "tangga sosial", hingga "tangga karier". Menariknya, kata "tetangga" konon awalnya merujuk pada rumah-rumah panggung tradisional. Rumah panggung memiliki tangga, dan biasanya tangga satu rumah berdempetan dengan tangga rumah lain. Bisa jadi, kedekatan antar-“tangga” inilah yang melahirkan istilah "tetangga".

Tak heran kalau kata ini juga dekat dengan istilah "rumah tangga", yang menunjuk tempat tinggal suami, istri, dan anak-anak inti terkecil dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam Islam, posisi tetangga begitu agung. Saking pentingnya, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Jibril terus-menerus berpesan tentang tetangga hingga beliau mengira bahwa tetangga akan mendapatkan hak waris.

Tetangga adalah rumah yang paling dekat dengan kita, tetapi lebih dari itu ia seharusnya dekat pula di hati. Tidak menyakiti tetangga—baik secara fisik maupun dengan lisan—adalah jalan menuju surga. Sebaliknya, meski seseorang rajin beribadah, namun lisannya menyakiti tetangga, maka amalan itu bisa runtuh begitu saja.

Karena itu, tetangga sesungguhnya adalah bagian dari tangga. Tangga yang bisa mengangkat kita naik menuju ridha Allah dan surga-Nya, jika kita mampu menjaga hubungan dengan penuh kebaikan.

Maraji‘
al-Mu‘jam al-‘Arabī (makna al-Jār dan al-Jiwār)
Hadis riwayat al-Hakim tentang tetangga
Riwayat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah RA tentang batas tetangga

Perbedaan Murīd, Tilmīdz dan Ṭālib



Halimi Zuhdy

Belakangan ini, muncul banyak pertanyaan di grup WhatsApp Bahasa Arab mengenai istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, khususnya perbedaan antara murid, tilmīdz, dan ṭālib. Pertanyaan ini cukup menarik, sebab di balik istilah-istilah tersebut tersimpan nuansa makna yang kaya, baik secara etimologis maupun historis. Oleh karena itu, insyaAllah dalam tulisan ini saya akan mengkaji perbedaan ketiganya dengan merujuk pada beberapa marāji‘ penting, agar pembahasan menjadi lebih jelas dan mendalam.
Murīd

Kata murid dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab مُريد (murīd). Menurut Kamus al-Ma‘ani, kata ini merupakan ism fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja أرادَ (arāda) yang berarti menghendaki atau menginginkan. Dengan demikian, murid pada mulanya berarti seseorang yang memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu, khususnya terhadap ilmu atau jalan tertentu.

Dalam ranah tasawuf, istilah ini digunakan untuk menyebut seorang pengikut atau pencari jalan spiritual yang menaruh kehendak penuh untuk menapaki bimbingan seorang guru (shaykh) (Kamus al-Ma‘ani).

Selain berasal dari akar kata arāda–yurīdu–murīd, dalam kamus juga ditemukan bentuk lain seperti مرِيد (marīd) dan مَريد (marīd). Kata marīd sendiri bisa bermakna negatif, yakni “pembangkang”, “jahat”, atau “orang yang durhaka” (Kamus al-Ma‘ani). Namun bentuk murīd yang berakar pada irādah lebih populer dalam tradisi keilmuan dan sufisme, karena mengandung makna positif: orang yang dengan kesungguhan hati menuntut ilmu, berjuang, dan berkehendak untuk memperoleh pengetahuan atau bimbingan rohani.

Dalam KBBI, kata murid diartikan sebagai “orang (anak) yang sedang berguru, belajar, atau bersekolah.” Pemaknaannya kemudian menyempit dalam konteks pendidikan formal menjadi siswa atau pelajar di sekolah (KBBI). Perbedaan ini menunjukkan adanya transformasi makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Arab murīd lebih menekankan aspek “kehendak” dan “pencarian,” maka dalam bahasa Indonesia ia lebih identik dengan status formal sebagai peserta didik.

Tilmīdz

Secara etimologi, tilmīdz mengandung arti “mengikuti,” “membantu,” atau “pelayan.” Dalam kamus-kamus kontemporer seperti al-Ma‘āshir dan al-Wasīt, kata ini dipakai untuk menyebut anak-anak yang sedang belajar (yatalammadz).

Ulama bahasa menjelaskan, tilmīdz adalah sebutan bagi murid di tingkat dasar (ibtidā’) hingga menengah (mutawassit). Umumnya mereka berusia 0–16 tahun—masa di mana seorang anak masih membutuhkan arahan (tawjīh), bimbingan (irshād), dan pendampingan dalam membentuk jiwa (nafsiyyah), cara berpikir (‘aqliyyah), hingga perilakunya (sulūkīyyah). Dengan kata lain, tilmīdz adalah siswa atau murid yang masih “dibentuk.” Ia belum sepenuhnya mandiri dalam menuntut ilmu.

Ṭālib

Berbeda dengan tilmīdz, istilah طالب (ṭālib) secara bahasa berarti “pencari.” Dalam praktiknya, kata ini merujuk pada penuntut ilmu yang lebih dewasa, biasanya mereka yang sudah melampaui masa pubertas.

Ṭālib identik dengan mahasiswa universitas, sehingga kita sering mendengar istilah طالب الجامعة (ṭālib al-jāmi‘ah) yang dalam bahasa Inggris disebut student. Sementara tilmīdz lebih dekat dengan kata pupil—siswa sekolah dasar atau menengah.
Namun demikian, kata ṭālib sebenarnya lebih luas. Ia bisa dipakai untuk menyebut siapa saja yang menuntut ilmu, termasuk siswa madrasah. Jadi, kalau tilmīdz terbatas pada anak-anak sekolah, ṭālib lebih fleksibel, bisa melekat pada siapa saja yang berproses mencari ilmu.

Kamus Mughni bahkan mencatat makna tambahan dari kata ṭālib: 1) orang yang gemar mencari ilmu. 2) dua hal yang paling dicari manusia menurut al-Jāhiẓ: ilmu dan harta. 3) 0rang tua yang mencarikan suami bagi putrinya (ṭāliban liz-zawāj li-ibnatihi).

Di sini tampak bahwa kata ṭālib lebih kaya makna dan lebih luas penggunaannya dibanding tilmīdz. Juga ada yang menyebutkan bahwa perbedaan istilah antara murid dan tilmīdz. Kata تلميذ (tilmīdz) biasanya digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk pada pelajar biasa atau anak sekolahan. Sedangkan murīd menekankan makna lebih dalam: seorang penempuh jalan yang bersungguh-sungguh mencari ilmu atau kebenaran, baik dalam konteks agama maupun dalam pengertian umum. Inilah yang membuat istilah murid memiliki dimensi spiritual yang tidak ditemukan dalam kata tilmīdz.

Penggunaan istilah dalam sejarah Islam juga menarik. Pada masa Rasulullah SAW, para penuntut ilmu disebut dengan istilah ṣaḥābah (sahabat), yang memiliki makna lebih mulia karena tetap menjaga kemandirian dan kehormatan pribadi mereka. Sementara istilah murid lebih banyak muncul dalam tradisi tasawuf dan pendidikan setelahnya, untuk menunjukkan ikatan spiritual dan intelektual antara guru dan pencari ilmu. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa kata murid mengandung sejarah panjang: dari akar kata Arab irādah yang berarti kehendak, berkembang ke dalam tradisi sufisme, lalu masuk ke bahasa Indonesia dengan makna formal sebagai “siswa” atau “pelajar.”

Marāji‘:
Mu‘jam al-Ma‘āshir, Mu‘jam al-Ma‘āni, al-Mu‘jam al-Wasīt, al-Furuq al-Lughawiyyah, Maqālah Furuq Lughawiyyah li-Duktūr Farhān, Mu‘jam al-Mughni, KBBI.

Rizki Bukan Sekadar Uang



✍️ Halimi Zuhdy 

Banyak orang menafsirkan rizki hanya sebatas uang. Tidak heran, dalam keseharian, kalimat seperti “Alhamdulillah, rizkinya lancar” sering diartikan dengan penghasilan yang bertambah atau uang yang melimpah. Pandangan ini hanyalah sebagian kecil dari rizki. Dalam gambar di atas tergambar jelas sebuah perahu kecil dengan satu layar besar bertuliskan kata “المال” (uang). Begitulah kebanyakan orang memaknai rizki, sempit, sebatas materi.
Namun, benarkah uang adalah satu-satunya bentuk rizki?

Dalam ilustrasi lain yang lebih besar dan megah, digambarkan sebuah kapal dengan banyak layar. Di sana tertulis berbagai hal: keluarga, kesehatan, sahabat, ilmu, cinta, pekerjaan, rasa aman, bahkan akhlak mulia.

Inilah gambaran hakikat rizki yang sebenarnya. Rizki bukan hanya sesuatu yang bisa dihitung dengan angka atau ditabung di rekening. Rizki adalah "segala karunia Allah" yang membuat hidup lebih berarti.

Kesehatan adalah rizki, karena tanpanya uang hanya habis untuk berobat. Keluarga dan sahabat adalah rizki, karena tanpa mereka, hidup menjadi sunyi. Rasa aman adalah rizki, sebab harta tak bisa dinikmati di tengah ketakutan. Akhlak, cinta, dan ilmu juga rizki, karena semuanya menambah nilai diri jauh melampaui kekayaan materi.

Kesalahpahaman yang fatal. Bahwa menyempitkan arti rizki hanya pada uang justru bisa membawa pada kerugian. Banyak orang mengejar harta dengan segala cara, hingga kehilangan kesehatan, merenggang dari keluarga, bahkan mengorbankan akhlak. Padahal, justru di situlah letak rizki yang jauh lebih berharga.

Rizki sejati adalah kapal besar dengan banyak layar. Uang hanyalah salah satunya. Jika hidup hanya dikejar demi uang, kita seperti berlayar dengan satu layar kecil yang rapuh ketika diterpa badai.

Sebaliknya, ketika kita mampu melihat bahwa rizki mencakup kesehatan, keluarga, ketenangan, dan kebaikan hidup lainnya, barulah kita benar-benar memahami makna syukur. Pada akhirnya, rizki bukan soal angka di dompet, melainkan "kelengkapan nikmat yang membuat hidup berjalan seimbang dan bermakna.

Ya Allah Berikan kami rizki yang terbaik 🤲

Perbedaan Sunnah, Mandub, Mustahab, Nafl, dan Tatawwu‘ dalam Fiqh


Halimi Zuhdy

Beberapa hari yang lalu, ada beberapa sahabat facebook meminta saya untuk menulis perbedaan beberapa kata dalam bahasa Arab, di antaranya tentang sunnah dan nafl. Maka, dalam tulisan ini, al faqir menambah kata yang terkait dengan sunnah. Dalam kajian fikih, kita sering menjumpai istilah seperti "sunnah, mandub, mustahab, nafl (نافلة), dan tatawwu‘ (تطوع)". Sekilas, istilah-istilah ini tampak sama, karena semuanya merujuk pada amal yang tidak wajib. Namun, para ulama berbeda pandangan dalam menafsirkannya. Ada yang menganggap semuanya "sinonim" (maksudnya sama), ada pula yang memberi "tingkatan khusus" di antara istilah-istilah tersebut.
Sunnah (السنة)

Secara bahasa, "sunnah" berarti "jalan atau kebiasaan".
Secara istilah fikih, maknanya berbeda menurut mazhab:

Syafi‘iyah berpendapat bahwa sunnah sama dengan mandub dan mustahab, yaitu setiap amal yang dianjurkan, bukan wajib. Namun, mereka tetap mengakui bahwa ada sunnah yang lebih kuat (sunnah mu’akkadah) dan ada yang kurang kuat (ghairu mu’akkadah) (الماوردي، "الحاوي" 1/100; الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449).

Hanafiyah: sunnah dibagi menjadi dua: Sunnah mu’akkadah: yang Nabi SAW terus-menerus lakukan, seperti shalat sunnah rawatib. Sunnah ghairu mu’akkadah: yang Nabi SAW lakukan kadang-kadang. Meninggalkan sunnah mu’akkadah menurut mereka bisa berdosa, meskipun dosanya lebih ringan daripada meninggalkan wajib (ابن نجيم، "البحر الرائق" 1/319).

Sedangkan Malikiyah: sunnah adalah amalan yang Nabi SAW lakukan di hadapan orang banyak dan terus-menerus, tapi tidak sampai wajib (الدسوقي، "حاشية الدسوقي" 1/312).

Hanabilah: sunnah adalah salah satu tingkat dari amalan mandub, yakni tingkat tertinggi. Setelah sunnah, ada "fadhilah" dan kemudian "nafilah" (ابن النجار، "شرح الكوكب المنير" ص 126).

Mandub (المندوب)

"Mandub" berarti amalan yang diperintahkan syariat, tapi tidak wajib. Sebagian ulama menyamakannya dengan sunnah dan mustahab. Menurut sebagian Hanabilah, mandub itu bertingkat: ada yang disebut sunnah (paling utama), ada yang disebut "fadhilah", dan ada yang disebut nafilah (ابن النجار، المرجع نفسه).

Dengan kata lain, istilah "mandub" sering dipakai sebagai istilah umum untuk semua amal yang dianjurkan tapi tidak diwajibkan.

Mustahab (المستحب)

Secara bahasa, "mustahab" berarti sesuatu yang dicintai. Banyak fuqaha menyamakannya dengan mandub dan sunnah. Namun, ada yang memberi batasan: "mustahab" adalah amalan yang dilakukan Nabi SAW sesekali, atau beliau memerintahkan tapi tidak mengerjakannya sendiri (الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449). Contoh adalah doa-doa tambahan atau dzikir-dzikir yang dianjurkan.

-Nafl (النفل)

Secara bahasa, "nafl" berarti tambahan. Menurut Syafi‘iyah, nafl sama dengan sunnah, mandub, dan mustahab: semua ibadah tambahan selain fardhu (الخطيب الشربيني، "مغني المحتاج" 1/449). Menurut Hanafiyah, nafl adalah istilah umum yang mencakup semua ibadah tambahan, baik sunnah maupun mustahab (إبراهيم الحلبي، "غنية المتملي" ص 383).

Sedangkan Menurut Malikiyah, nafl adalah amalan yang dilakukan Nabi SAW kadang-kadang saja, tidak terus-menerus (الدسوقي، "حاشية الدسوقي" 1/312). Contoh adalah shalat sunnah mutlak (tanpa sebab khusus), atau ibadah tambahan yang tidak rutin.

Tatawwu‘ (التطوع)

Secara bahasa berarti "kerelaan atau kesukarelaan". Tatawwu‘ adalah ibadah yang dilakukan secara sukarela di luar kewajiban. Sebagian ulama mendefinisikannya lebih sempit: amalan yang tidak ada contoh khusus dari Nabi SAW, tapi dikerjakan atas inisiatif sendiri (كالشافعية، النووي، "المجموع" 4/2). Dengan kata lain, tatawwu‘ bisa disebut "ibadah ekstra kreatif", seperti memperbanyak sedekah, atau shalat sunnah mutlak yang tidak terkait waktu tertentu.

Para ulama memang berbeda istilah, tetapi hakikatnya semua sepakat bahwa amalan ini "tidak wajib" dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak berdosa. Namun, perbedaan tingkat (sunnah mu’akkadah, ghairu mu’akkadah, mustahab, tatawwu‘) penting untuk diketahui agar seorang muslim dapat memprioritaskan amal yang lebih ditekankan Nabi SAW. Beberapa keternagan diatas penulis kutip dari beberapa kitab berikut  

Maraji'

1. إبراهيم الحلبي، "غنية المتملي"، ص 383.
2. الدسوقي، "حاشية الدسوقي"، 1/312.
3. الخطيب الشربيني، "مغني المحتاج"، 1/449.
4. ابن النجار الحنبلي، "شرح الكوكب المنير"، ص 126.
5. ابن نجيم، "البحر الرائق"، 1/319.
6. النووي، "المجموع"، 4/2.
7. الموسوعة الفقهية الكويتية، ج41، ص100-101.
8. وهبة الزحيلي، "الفقه الإسلامي وأدلته"، 2/1056-1057.

Semoga bermanfaat

Menulis Sastra (Puisi): Dari "Syi‘ir", "Syu‘ūr", hingga "Syiar"


Halimi Zuhdy

Bagi pemula, langkah pertama dalam menulis karya sastra bukanlah soal teknik, struktur, atau teori. Yang paling mudah justru "rasa". Menulis dimulai dari rasa, perasaan yang hadir begitu saja, bahkan tanpa harus mencari ide yang rumit.

Menariknya, dalam tradisi Arab, puisi disebut dengan istilah "الشِّعْر (asy-syi‘r)". Kata ini ternyata memiliki akar yang sama dengan beberapa istilah lain yang sangat dekat dengan pengalaman batin manusia: "شُعُور (asy-syu‘ūr)" yang berarti rasa atau perasaan, dan juga "شَعْر (asy-sya‘r)" yang berarti rambut atau bulu.
Puisi dalam bahasa Arab bukan hanya susunan kata indah. Ia lahir dari pengalaman batin yang diolah, dipadatkan, lalu diungkapkan. Karena itu, syi‘ir selalu berhubungan dengan syu‘ūr, rasa yang menjadi sumber kehidupan puisi. Tanpa rasa, syi‘ir hanyalah rangkaian kata kosong.

Kata "syu‘ūr (الشُعور)" dalam bahasa Arab berarti kesadaran rasa. Inilah dasar dari seluruh pengalaman estetis. Menulis puisi berarti melatih kepekaan, menyelami denyut rasa yang kadang samar. Seorang pemula tidak perlu cemas kekurangan ide, cukup tuliskan apa yang dirasa: gelisah, rindu, bahagia, hampa, cinta, atau doa.

Mengapa akar kata puisi berkaitan dengan "rambut" atau "bulu" (الشَعر)? Rambut adalah bagian tubuh yang sangat sensitif. Sedikit sentuhan angin saja terasa di ujung helai. Begitulah perasaan seorang penyair: hal-hal kecil, yang mungkin luput dari pandangan orang kebanyakan, bisa mengguncang jiwanya. Rambut menjadi simbol betapa seorang penyair harus peka terhadap isyarat sekecil apa pun dari kehidupan.

Dari syi‘ir dan syu‘ūr, lahir pula keterhubungan dengan "syi‘ār (الشِعار)" (yang berarti tanda, semboyan, atau seruan). Puisi pada akhirnya bukan hanya curahan rasa pribadi, melainkan bisa menjadi "syiar"—sebuah pesan yang dibawa keluar, disampaikan kepada orang lain, bahkan bisa menjadi suara zamannya.
Dengan demikian, menulis puisi sesungguhnya sebuah perjalanan: dimulai dari "syu‘ūr" (rasa), diolah menjadi "syi‘ir" (puisi), dengan kepekaan seperti "sya‘r" (rambut/bulu), dan akhirnya bisa berfungsi sebagai "syiar" (pesan, semboyan, atau seruan).

Menulis syi'ir Arab (puisi Arab), sebenarnya tidaklah sulit, bisa terjawab dalam buku di atas "Seni Menulis Puisi Arab, فن كتابة الشعر العربي "

***
Buku Dapat dipesan di: 
Mas Hasan WA 0813-5980-3848