السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 15 November 2025

Sebuah Karya Disalin 700 Kali oleh Pengarangnya Sendiri



Halimi Zuhdy

Dalam sejarah sastra Arab, "Maqāmāt al-Ḥarīrī" menempati posisi yang sulit ditandingi. Ditulis oleh al-Ḥarīrī al-Baṣrī (446 H/1054 M – 516 H/1122 M), karya ini bukan hanya dikenal karena keindahan bahasanya, tetapi juga karena kisah penggandaan manuskripnya yang hampir tak ada duanya. 
Dr. Nursi dalam Tahqiqat menulis

من أشهر ما كُتب في أدبنا العربي المقامات التي تُنمى إلى الحريري ت ٥١٦ هجرية، فقد رواها عنه الجم الغفير الذين لا يكادون يحصون، وتكاثرت نسخها حتى نقل لنا ياقوت الحموي أن  الحريري نفسه قال: ( كتبتُ بخطي على سبع مئة نسخةٍ من المقامات قُرئت عليّ). وهذا مبلغ من الشهرة كبير، ومن الكثرة كثير، رحم الله علماءنا الذين خدموا التراث بمؤلفاتهم.

Menurut catatan Yāqūt al-Ḥamawī, al-Ḥarīrī sendiri menyalin tujuh ratus (700) naskah dari karya tersebut dengan tangannya, dan setiap naskah itu dibacakan kembali kepadanya. Ini tidak biasa, dan langka, apalagi di era digital. Disalin (nuskhah, ditulis kembali dengan tangan), bukan dicetak lo ya.

Bagi masyarakat modern yang akrab dengan mesin cetak dan file digital, angka tujuh ratus mungkin sekadar statistik. Namun pada abad ke-12, penyalinan naskah adalah pekerjaan yang menuntut waktu panjang, ketelitian tinggi, dan ketahanan fisik. Hal ini menunjukkan betapa besar minat terhadap "Maqāmāt al-Ḥarīrī", sebuah indikasi bahwa karya tersebut menjadi rujukan penting bagi para pelajar, ahli bahasa, dan cendekiawan pada masa itu. 

Genre "maqāmah" sendiri diperkenalkan oleh Badi‘ az-Zamān al-Hamadhānī, lalu mencapai puncak teknis melalui tangan al-Ḥarīrī. Bentuk ini menggabungkan cerita ringkas dengan dialog cepat, permainan kata, dan saj‘, prosa berirama yang menjadi ciri khas retorika Arab klasik. Di dalamnya, pembaca menemukan perpaduan antara kecerdasan, humor halus, dan ketangkasan berbahasa.

Keunikan "Maqāmāt al-Ḥarīrī" bukan hanya pada tekniknya, tetapi juga pada cara ia diposisikan dalam tradisi belajar. Karya ini menjadi semacam “buku latihan” bagi mereka yang ingin menguasai bahasa Arab pada tingkat tinggi. Membacanya ibarat memasuki ruang kelas besar, tempat keahlian bahasa diuji melalui narasi yang singkat namun padat.

Penyalinan 700 naskah oleh al-Ḥarīrī sendiri mengisyaratkan dua hal, luasnya peminat saat itu dan komitmen sang pengarang dalam memastikan kualitas setiap salinan. Di era sebelum percetakan, tindakan ini setara dengan menjaga standar intelektual dan estetika karya agar tidak berubah dari satu kota ke kota lainnya.

Hari ini, "Maqāmāt al-Ḥarīrī" tetap dipelajari di berbagai negara dan dianggap sebagai salah satu monumen sastra Arab klasik. Kisah di balik proses penyalinannya memberi kita gambaran tentang tradisi keilmuan masa lalu, ketika sebuah buku tidak hanya ditulis, tetapi dirawat secara serius oleh pengarangnya sendiri.

Di tengah dunia digital yang serba cepat, cerita tentang tujuh ratus salinan ini mengingatkan bahwa kualitas pengetahuan sering lahir dari kesabaran dan ketekunan. Sebuah pelajaran sederhana yang tidak lekang oleh waktu.

Menulis, berkarya, butuh ketekunan dan konsistensi. Batu berlubang, terkadang bukan dengan kekuatan paku san besi yang menghujam, tapi dengan tetesan air yang istiqamah.

Fenomena Dai Muda Viral, yang Kurang Beretika?


Halimi Zuhdy

Di zaman digital, di era ini. Banyak sekali lahir generasi baru, para dai muda, mereka bersemangat, kreatif, dekat dengan bahasa anak muda, dan cepat diterima publik. Mereka hadir melalui podcast, TikTok, live streaming, dan potongan ceramah yang menyebar hanya dalam hitungan menit. Keren banget. 
Aha. Fenomena ini sesungguhnya membawa kabar baik: gairah dakwah berkembang, terus menyala (ikut bahasa anak muda), kita sangat senang sekali. Namun di balik hal ini, seperti beberapa tahun terakhir yang viral, tidak sedikit kasusnya adalah dai muda (syabab). Walau, tidak sedikit juga dai sepuh (Syaikh) yang viral. Viralnya yang negatif juga. Lalu, bagaimana menyikapi fenomena ini? Apakah perlu batasan umur? Sertifikasi? Atau langkah-langkah lain? Mungkin ada yang mau berbagi ide, (bisa ditulis di kolom komentar) ini hanya kepikiran Al faqir saja. 

Karena fenomena ini menuntut perhatian serius, bukan untuk membatasi ruang dakwah generasi baru, tetapi untuk memastikan bahwa dakwah tetap berjalan dalam koridor ilmu, akhlak, dan tanggung jawab sosial.

Pertama, persoalan usia perlu ditempatkan secara proporsional. Dalam tradisi Islam, tidak ditemukan batasan umur tertentu untuk berdakwah. Sejarah mencatat banyak tokoh muda yang berperan penting dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, kelayakan berdakwah tidak ditentukan oleh usia biologis lo, melainkan kedewasaan ilmu dan kematangan akhlak. 

Banyak kegaduhan yang muncul di ruang publik bukan karena kemudaan seorang dai, melainkan kurangnya pendampingan dan kurangnya kedisiplinan dalam mengelola kata dan sikap di hadapan audiens yang sangat luas.

Kedua, gagasan sertifikasi dai kerap menjadi perdebatan. Sebagian menilai sertifikasi dapat menjaga kualitas dakwah, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berdakwah. 

Jalan tengah yang mungkin ditempuh adalah mendorong hadirnya standar pembinaan yang tidak bersifat membatasi, tetapi memberikan panduan etik dan ilmiah bagi mereka yang tampil sebagai rujukan agama di ruang publik. Sertifikasi dalam bentuk pelatihan atau program akhlak-profesional dapat menjadi solusi tanpa menimbulkan resistensi yang berlebihan. 

Dan penting afiliasi  dengan lembaga dakwah, untuk pembinaan atau menegur apalabila keliru. Misalnya, kalau di NU ada LDNU, maka penting dapat kartu atau apalah, sebagai bukti ia layak berdakwah (dalam ukuran ini), bukan untuk mematikan dai lainnya, tapi untuk memastikan dalam bimbingan, karena urusan umat. Tapi, entahlah🤩

Ketiga, pentingnya peran ulama senior dalam membimbing dai muda tidak dapat diabaikan. Rantai keilmuan dalam tradisi Islam selalu berjalan melalui mekanisme talaqqi dan pendampingan. Dai muda membutuhkan tempat untuk bertanya, guru untuk menegur, dan figur untuk menanamkan nilai-nilai adab sebelum ilmu. Tanpa ekosistem mentoring, kecepatan popularitas dapat melampaui kedalaman keilmuan, dan di sinilah potensi kesalahan mulai bermunculan. Ini berjalan, tapi tidak merata? 

Kenapa, apa karena banyaknya masyarakat muslim di Indonesia, sehingga kalau kita lihat, terutama di desa desa terpencil  sangat langka sekali. Maka, atau kebaikan lembaga-lembaga tertentu, mengirimkan dai ke pelosok (walau tidak ada dana sedikit pun), lah pemerintah harus hadir di sini.

Keempat, dakwah di media sosial memerlukan etika khusus. Logika algoritma sering mendorong munculnya konten yang cepat, provokatif, atau kontroversial. Tanpa kesadaran etis, dakwah dapat terjebak dalam pola pencarian perhatian semata. Oleh karena itu, perlu ada kode etik dakwah digital yang mencakup kehati-hatian dalam memilih topik, pengendalian gaya penyampaian, serta komitmen menjaga kehormatan mimbar dakwah dari unsur-unsur hiburan yang berlebihan. Sering kali ada tagar # atau tulisan fyp walau tidak beretika. 

Kelima, kualitas dakwah juga bergantung pada literasi publik. Jamaah perlu dibimbing untuk memahami perbedaan antara ilmu dan hiburan, antara viral dan benar. Ketika selera publik hanya tertarik pada konten sensasional, ruang dakwah akan semakin jauh dari esensi keilmuan. Peningkatan literasi umat menjadi bagian penting agar dakwah dapat berkembang secara sehat.

Aha. Maka, kolaborasi antara generasi menjadi kunci. Dai senior menawarkan keluasan ilmu dan kebijaksanaan, sementara dai muda membawa kreativitas dan kemampuan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Sinergi keduanya dapat menghasilkan wajah dakwah yang lebih matang, relevan, dan tetap berakar pada nilai-nilai Islam yang autentik. Dan, penting juga menghindari pertengkaran antar dai di medsos🤣🤣🤣. 

Fenomena dai muda seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang besar bagi kebangkitan dakwah. Meski demikian, dakwah tetap merupakan amanah yang menuntut integritas, kedalaman ilmu, dan kedewasaan etika. Tanpa itu semua, dakwah hanya akan menjadi konten yang berlalu bersama arus viralitas, bukan cahaya yang membimbing umat. Semoga dakwah di era digital tetap menjadi jalan kebaikan yang memuliakan agama dan masyarakat.

Yah! Menurut jenengan bagimana yuk berbagi!

Ketika Keagungan Berselimut Kerendahan Hati



Halimi Zuhdy 

Bila ada yang bingung dan ragu ketika melihat sosok yang dikagumi kok tiba-tiba berubah. Kata-katanya kasar, ngerres, dan sikapnya angkuh, bahkan sok. Jauh dari bahasa tawadu'. Tetaplah kembali dan melihat sosok yang menjadi panutan umat, Rasulullah SAW. Walau sebenarnya, masih banyak sekali sosok-sosok indah, yang jauh dari hiruk pikuk medsos yang bisa dicontoh. Ketawaduannya luar biasa, kealimannya dan keteladannya masih bisa dibersemai.
Melihat teladan, tak ada sosok yang lebih agung dari beliau, Rasulullah SAW, seorang kekasih Allah yang dimuliakan di langit dan dicintai di bumi. Semakin tinggi kedudukan beliau, semakin rendah hati beliau kepada sesama. Tawadu’nya bukan karena lemah, tapi karena kekuatannya, kekuatan hati yang tunduk sepenuhnya kepada Allah. Beliau walau berbagai pangkat atau kemuliaan langit dan bumi sudah diberikan, tapi beliau tetap rendah hati. 

Beberapa hadis tentang ketawadu'an beliau yang diambil dari durar saniyah, sungguh sangat membuat hati rindu pada sosoknya apalagi di era, di mana penghormatan menjadi sebuah kebanggaan. 

1. Duduk seperti salah satu dari mereka

Rasulullah SAW tidak duduk di tempat yang istimewa di antara para sahabatnya.

رُوِيَ أنَّه ﷺ يَجلِسُ بَيْنَ ظَهرَيْ أصحابِه فيجيءُ الغريبُ فلا يدري أيُّهم هو حتى يسألَ عنه
(HR. Abu Dawud)

Beliau duduk di mana pun tempat itu berakhir. Seorang asing yang datang bahkan tidak bisa membedakan, siapa dari mereka yang Rasulullah SAW. Betapa dalam maknanya, pemimpin seluruh alam, namun duduk sebagai saudara di antara saudara. Tidak minta diistimewakan, sosok yang sangat luar biasa. 

2. Menolak ditinggikan di atas derajat yang Allah tetapkan

Suatu hari seseorang memanggilnya,
يا محمَّدُ، يا سَيِّدَنا وابنَ سَيِّدِنا، وخيرَنا وابنَ خَيرِنا

maka beliau, bersabda:
يا أيُّها النَّاسُ، عليكم بتقواكم، لا يَستهوينَّكم الشيطانُ، أنا محمَّدُ بنُ عبدِ اللَّهِ عبدُ اللَّهِ ورسولُه، واللَّهِ ما أحبُّ أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني اللَّهُ.

Beliau menolak disanjung, karena tahu bahwa kemuliaan sejati bukan karena gelar, tapi karena ketakwaan. Lah, ini jangan disalah artikan dengan "jangan menambah sayyidina lo ya" beda lagi pembahasannya. 

3. Menyapa anak-anak di Jalan

Rasulullah SAW selalu menebar kasih, bahkan kepada anak kecil. Beliau tak cuek.  

أنَّه مرَّ على صبيانٍ فسَلَّم عليهم، وقال: كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يفعلُهـ.
(HR. Anas bin Malik)

Senyum beliau kepada anak-anak adalah pelajaran tentang cinta yang sederhana, kasih sayang yang tidak memandang usia, kedudukan, atau manfaat.

4. Membantu istri di rumah

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata

سألتُ عائشةَ: ما كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصنعُ في بيتِه؟ قالت: كان يكونُ في مهنةِ أهلِه -تعني خدمةَ أهلِه-، فإذا حضرَت الصَّلاةُ خرج إلى الصَّلاةِ .
HR. Bukhari

Di rumah, beliau melayani keluarganya, menjahit bajunya sendiri, memerah susu kambing, membantu pekerjaan rumah,  padahal beliau adalah utusan Allah. Di sinilah letak keagungan, rendah hati dalam hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh.

5. Mencari sahabat yang hilang di medan perang

Dalam sebuah peperangan, beliau kehilangan seorang sahabat bernama Julaibin ketika semua merasa cukup menghitung yang hilang, Rasulullah SAW berkata:

لكنِّي أفقُد جُلَيبيبًا، فاطلبوه

Mereka menemukannya gugur di antara tujuh musuh yang telah ia bunuh sebelum ia sendiri wafat. Rasulullah SAW mengangkat jasadnya dengan tangan beliau dan bersabda:

هذا منِّي وأنا منه، هذا منِّي وأنا منه

Lalu beliau meletakkannya di liang lahat dengan kedua tangannya.

Begitulah cinta dan tawadu’-nya. Pemimpin pasukan, tapi memanggul tubuh sahabatnya sendiri dengan penuh kasih.

6. Melayani sahabatnya dengan tangan sendiri

Dalam satu perjalanan, ketika para sahabat kehausan,

جَعَلَ رسولُ اللَّهِ ﷺ يَصُبُّ الماءَ، وأبو قتادةَ يَسقِي أصحابَه

Beliau sendiri menuangkan air agar para sahabatnya minum terlebih dahulu. Saat ditawari minum, beliau berkata:

إنَّ ساقيَ القومِ آخِرُهم شُربًا
(HR. Muslim)

Beginilah pemimpin sejati  yang mendahulukan umatnya sebelum dirinya.

7. Tidur di atas tikar kasar

Suatu hari Ibn Abbas melihat Rasulullah SAW tidur di atas tikar hingga membekas di tubuhnya. Ia menangis, lalu berkata

يا رسولَ اللهِ، إنَّ كِسرى وقيصرَ فيما هما فيه، وأنتَ رسولُ اللهِ!

Beliau menjawab dengan tenang

أما ترضى أن تكونَ لهم الدُّنيا ولنا الآخرةُ؟

Kesederhanaan yang membungkus kebesaran jiwa. Dunia kecil baginya, karena surga telah menanti.

Ketawaduan Rasulullah SAW bukan hanya sikap, tapi cermin dari hati yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Semakin dekat dengan Allah, semakin rendah beliau di hadapan manusia.

Beliau SAW adalah matahari yang sinarnya menghangatkan, tapi tak pernah membakar; adalah samudra luas yang menampung semua sungai, tapi tak pernah meninggi.

اللهم صلِّ وسلم وبارك على سيدنا محمد، الذي جمع بين المجد والتواضع، وبين العظمة والبساطة.

Menelisik Asal Usul Kata "Pahlawan"


(Mesir Kuno, Persia, Turki, Arab, India)

Halimi Zuhdy

Setiap muncul nama-nama, atau calon nama pahlawan di Indonesia, akan banyak opini, perdebatan dan diskusi yang tak usai. Kenapa? Karena nama-nama itu nantinya bukan hanya sebuah pajangan di kalender dan ensiklopedia pahlawan nasional, tapi ia akan menjadi uswah untuk generasi berikutnya. Ia akan menjadi cermin bangsa, menjadi tombak negeri untuk bangkit lebih baik. Dan tidak hanya itu, Ia akan menjadi lambang kehormatan untuk keluarganya, masyarakatnya, sukunya dan juga negerinya. Dan juga menjadi kebanggaan, "Oh, keturunan pahlawan ya?!, pantas hebat", ini sebuah kehormatan. "Masak, keturunan pahlawan kelakuan ngono!?" Sebuah tantangan juga. 😁 . Kalau keliru memilih pahlawan? Lah, ini saya tidak tahu. Bisa didiskusikan lebih lanjut. 

Toyyib. Saya hanya akan mengulik tentang Asal-usul kata “pahlawan”nya saja, bukan tentang pantas dan tidaknya menjadi pahlawan. Kata "pahlawan" ini adalah hasil perjalanan panjang lintas bahasa, budaya, dan peradaban dari Mesir kuno hingga Persia, dari India hingga dunia Arab dan Nusantara. 

Secara etimologis, kata ini memiliki dua jalur utama yang saling beririsan: jalur "Persia - Arab" melalui istilah بهلوان (bahlawān) dan jalur "India - Nusantara melalui istilah Sanskerta "phala". Keduanya menyatu dalam makna simbolik yang menandai keberanian, keahlian, dan pengorbanan bagi sesama. Kalau kita katakan "perjuangan". 

Dalam khazanah Persia kuno, istilah پهلوان (pahlevān) berarti pahlawan, pejuang gagah, atau orang kuat. Kata ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Arab sebagai "بهلوان", yang awalnya bermakna "petarung atau pemain akrobat", seseorang yang tangkas, berani, dan lihai menghadapi risiko. 

Menurut sumber etimologi seperti alankaa. com dan معجم المعاني الجامع, bentuk bahlawān berasal dari akar Persia "pahlevān" dan Turki "pehlivan", yang menandakan tokoh pemberani dan kuat jasmani maupun mental. Dalam perkembangannya, istilah ini juga muncul dalam sastra Arab melalui tokoh legendaris seperti حمزة البهلوان (Hamzah al-Bahlawān), seorang figur yang mencerminkan perpaduan antara kecerdikan, kekuatan spiritual, dan keberanian menghadapi ketidakadilan.

Namun, dalam tradisi Mesir kuno, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. ‘Isam Staty dalam portal "Ahl Masr", istilah "bahlawān" diyakini berasal dari frasa "بي أهلوان" yang berarti “orang yang meniru gerak seekor kera.” Di sini, "bahlawān" menggambarkan seseorang yang lincah dan mampu melakukan gerakan ekstrem, mencerminkan keahlian tubuh dan daya akal. Figur ini dalam cerita rakyat tidak hanya dilihat sebagai penghibur, tetapi juga sebagai simbol filsafat hidup, yakni manusia yang menggunakan akal untuk menaklukkan kekuatan fisik. Dalam narasi Hamzah al-Bahlawān, misalnya, muncul gagasan bahwa العقل ينتصر على السيف (akal mengalahkan pedang), menegaskan supremasi kebijaksanaan atas kekerasan. Ini berat banget lo.

Sementara itu, dalam konteks Nusantara, kata “pahlawan” mengalami proses lokalisasi yang unik. Berdasarkan beberapa bacaan yang saya rekam, istilah ini berasal dari bahasa Sanskrta “phala” yang berarti "buah" atau "hasil". Dalam kerangka filsafat Hindu dan Buddhis, "phala" adalah “buah perbuatan”, hasil moral dari tindakan baik manusia. Atau mungkin, kita kenal "pahala" (semoga ini tepat). Maka, "pahlawan" berarti “orang yang menghasilkan kebaikan,” yakni seseorang yang tindakan dan pengorbanannya membuahkan manfaat bagi masyarakat dan kemanusiaan. 

Lah..Di Indonesia, makna ini kemudian disahkan secara semantik oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.”

Dengan demikian, dalam perspektif akademik, kata “pahlawan” adalah hasil sintesis antara makna fisik Persia dan makna etis India. Dari Persia dan dunia Arab, ia mewarisi aspek keberanian dan keahlian; dari India, ia menyerap nilai spiritual tentang hasil tindakan baik. Kombinasi ini membentuk konsep "pahlawan" sebagaimana dikenal di Indonesia hari ini, sosok yang kuat dalam keberanian, tajam dalam kebijaksanaan, dan tulus dalam pengorbanan. Manusia yang menjadikan hasil tindakannya sebagai buah bagi kemanusiaan. 

Terlepas dari siapa yang memilih untuk menjadikan seseorang pahlawan. Maka, pahlawan adalah sosok kuat pemberani.

Medsos Sampah dan Jerat Algoritma?


Halimi Zuhdy

Pernahkah kita merasa…... dunia ini makin riuh tapi makin sepi? Media sosial (medsos) yang katanya tempat silaturahmi, malah jadi ladang adu emosi, pamer aurat, atau ajang gosip tanpa henti.

Suatu hari, ada seorang Bapak guru yang marah-marah di depan sekolah “Media sosial itu sampah semua! TikTok sampah, Facebook sampah, Instagram juga! Isinya buka aurat, maksiat tok, gosip tok, saling hina tok!” Orang-orang mengangguk, beberapa senyum kecut, mungkin karena merasa “kena”.
Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. “Lho, masa sih, Pak? Saya buka media sosial malah isinya ngaji, shalawat, kajian ilmiah, banyak ilmu… saya nggak nemu yang aneh-aneh.” Seketika suasana hening. Pak Guru terdiam, menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Ya juga, mungkin memang… yang kamu cari, itulah yang kamu temukan.”

Konon. Seorang lelaki datang kepada Buya Hamka dengan wajah heran, “Subhanallah, Buya! Saya baru pulang dari Makkah. Ternyata di Tanah Suci pun ada pelacur! Kok bisa ya, Buya? Ih, ngeri.” Buya Hamka tersenyum dan menjawab pelan, “Oh begitu? Padahal saya baru saja pulang dari Los Angeles dan New York dan masya Allah, saya tidak menemukan pelacur di sana.”

Lelaki itu kaget, “Ah, mana mungkin, Buya! Di Makkah saja ada, apalagi di Amerika!”
Buya menatapnya dengan teduh dan berkata bijak, “Nak, kita ini hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari. Jika yang kita cari adalah keburukan, maka keburukanlah yang akan kita temukan, bahkan di tempat paling suci sekalipun. Tapi jika yang kita cari adalah kebaikan, maka kebaikanlah yang akan kita temukan bahkan di tempat yang paling .”

Kalimat sederhana itu dalam sekali. Makkah tak berubah yang berubah adalah mata dan hati orang yang memandangnya. Bila yang dicari dosa, dosa pun tampak di depan mata. Tapi bila yang dicari cahaya, di mana pun akan ditemukan cahaya.

Media sosial, pada dasarnya, hanyalah cermin besar dari diri kita. Kalau kita suka hal remeh, dangkal, dan sensasional, algoritma akan rajin menyajikan hal-hal itu. Tapi kalau kita suka kajian, ilmu, dan kebaikan, ajaibnya…...... timeline kita akan dipenuhi kebaikan.

Algoritma bekerja seperti pelayan setia, ia memberi apa yang sering kita minta. Masalahnya, kita sering tak sadar apa yang sebenarnya kita minta. Dan di sinilah jeratnya. Semakin sering kita klik hal yang sia-sia, semakin dalam kita ditarik ke lubang yang sama. Seolah-olah dunia ini cuma berisi konten bodoh, padahal kita sendiri yang menanamkan bibitnya di ladang algoritma.

Sebenarnya bukan hanya dunia digital yang begitu. Kehidupan juga punya algoritma sendiri. Siapa teman kita, apa yang kita dengar, bacaan apa yang kita konsumsi,  semua akan membentuk “feed” kehidupan kita.

Kalau kita bergaul dengan orang yang suka maksiat, kita akan terbiasa dengan itu. Tapi kalau kita berteman dengan orang shaleh, orang berilmu, orang yang menjaga lisannya, maka kita akan terpengaruh kebaikan mereka. Lingkar pertemanan adalah algoritma kehidupan: siapa yang kamu dekatkan, dialah yang akan paling sering “muncul” dalam hidupmu.

Kita Mau Jadi Apa?

Di media sosial, kita punya dua pilihan: 1). Jadi korban algoritma, yang diseret oleh klik dan scroll tanpa sadar. 2). Atau jadi pencipta algoritma, yang sadar memilih apa yang dilihat, dibaca, dan disebarkan.

Yang pertama selalu mengeluh, “kok medsos isinya makin rusak.” Yang kedua tersenyum, “nggak juga, di timeline saya malah banyak ilmu.” Maka, sebelum menyalahkan platform, tanyakan dulu pada diri: “Apa yang sebenarnya aku cari di dunia maya ini?”

Cerita Pak Guru tadi  membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa dunia tidak kotor yang kotor adalah cara kita melihatnya. Media sosial bukan sampah yang menjadikannya sampah adalah tangan-tangan kita sendiri. Karena itu, mari kita pilih teman, konten, dan arah hidup dengan sadar. Klik yang baik, ikuti yang baik, sebarkan yang baik. Biarkan algoritma hidupmu mendukung imanmu, bukan menjeratnya. “Manusia akan selalu menemukan apa yang ia cari.”

Jadi, yuk…...mulai sekarang, scroll dengan sadar. Jadikan timeline kita taman ilmu, bukan tempat sampah.

***
Aha. Algoritma ini berasal dari nama  ilmuan Muslim Alhawarizmi. 

Kucur Dau Malang. 9 Nov 25

Senin, 10 November 2025

Medsos Sampah dan Jerat Algoritma?


Halimi Zuhdy

Pernahkah kita merasa…... dunia ini makin riuh tapi makin sepi? Media sosial (medsos) yang katanya tempat silaturahmi, malah jadi ladang adu emosi, pamer aurat, atau ajang gosip tanpa henti.
Suatu hari, ada seorang Bapak guru yang marah-marah di depan sekolah “Media sosial itu sampah semua! TikTok sampah, Facebook sampah, Instagram juga! Isinya buka aurat, maksiat tok, gosip tok, saling hina tok!” Orang-orang mengangguk, beberapa senyum kecut, mungkin karena merasa “kena”.

Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. “Lho, masa sih, Pak? Saya buka media sosial malah isinya ngaji, shalawat, kajian ilmiah, banyak ilmu… saya nggak nemu yang aneh-aneh.” Seketika suasana hening. Pak Guru terdiam, menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Ya juga, mungkin memang… yang kamu cari, itulah yang kamu temukan.”

Konon. Seorang lelaki datang kepada Buya Hamka dengan wajah heran, “Subhanallah, Buya! Saya baru pulang dari Makkah. Ternyata di Tanah Suci pun ada pelacur! Kok bisa ya, Buya? Ih, ngeri.” Buya Hamka tersenyum dan menjawab pelan, “Oh begitu? Padahal saya baru saja pulang dari Los Angeles dan New York dan masya Allah, saya tidak menemukan pelacur di sana.”

Lelaki itu kaget, “Ah, mana mungkin, Buya! Di Makkah saja ada, apalagi di Amerika!”
Buya menatapnya dengan teduh dan berkata bijak, “Nak, kita ini hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari. Jika yang kita cari adalah keburukan, maka keburukanlah yang akan kita temukan, bahkan di tempat paling suci sekalipun. Tapi jika yang kita cari adalah kebaikan, maka kebaikanlah yang akan kita temukan bahkan di tempat yang paling .”

Kalimat sederhana itu dalam sekali. Makkah tak berubah yang berubah adalah mata dan hati orang yang memandangnya. Bila yang dicari dosa, dosa pun tampak di depan mata. Tapi bila yang dicari cahaya, di mana pun akan ditemukan cahaya.

Media sosial, pada dasarnya, hanyalah cermin besar dari diri kita. Kalau kita suka hal remeh, dangkal, dan sensasional, algoritma akan rajin menyajikan hal-hal itu. Tapi kalau kita suka kajian, ilmu, dan kebaikan, ajaibnya…...... timeline kita akan dipenuhi kebaikan.

Algoritma bekerja seperti pelayan setia, ia memberi apa yang sering kita minta. Masalahnya, kita sering tak sadar apa yang sebenarnya kita minta. Dan di sinilah jeratnya. Semakin sering kita klik hal yang sia-sia, semakin dalam kita ditarik ke lubang yang sama. Seolah-olah dunia ini cuma berisi konten bodoh, padahal kita sendiri yang menanamkan bibitnya di ladang algoritma.

Sebenarnya bukan hanya dunia digital yang begitu. Kehidupan juga punya algoritma sendiri. Siapa teman kita, apa yang kita dengar, bacaan apa yang kita konsumsi,  semua akan membentuk “feed” kehidupan kita.

Kalau kita bergaul dengan orang yang suka maksiat, kita akan terbiasa dengan itu. Tapi kalau kita berteman dengan orang shaleh, orang berilmu, orang yang menjaga lisannya, maka kita akan terpengaruh kebaikan mereka. Lingkar pertemanan adalah algoritma kehidupan: siapa yang kamu dekatkan, dialah yang akan paling sering “muncul” dalam hidupmu.

Kita Mau Jadi Apa?

Di media sosial, kita punya dua pilihan: 1). Jadi korban algoritma, yang diseret oleh klik dan scroll tanpa sadar. 2). Atau jadi pencipta algoritma, yang sadar memilih apa yang dilihat, dibaca, dan disebarkan.

Yang pertama selalu mengeluh, “kok medsos isinya makin rusak.” Yang kedua tersenyum, “nggak juga, di timeline saya malah banyak ilmu.” Maka, sebelum menyalahkan platform, tanyakan dulu pada diri: “Apa yang sebenarnya aku cari di dunia maya ini?”

Cerita Pak Guru tadi  membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa dunia tidak kotor yang kotor adalah cara kita melihatnya. Media sosial bukan sampah yang menjadikannya sampah adalah tangan-tangan kita sendiri. Karena itu, mari kita pilih teman, konten, dan arah hidup dengan sadar. Klik yang baik, ikuti yang baik, sebarkan yang baik. Biarkan algoritma hidupmu mendukung imanmu, bukan menjeratnya. “Manusia akan selalu menemukan apa yang ia cari.”

Jadi, yuk…...mulai sekarang, scroll dengan sadar. Jadikan timeline kita taman ilmu, bukan tempat sampah.

***
Aha. Algoritma ini berasal dari nama  ilmuan Muslim Alhawarizmi. 

Kucur Dau Malang. 9 Nov 25

Menelisik Asal Kata "Tarif" dan Sejarahnya dalam Perdagangan Dunia


Halimi Zuhdy 

Tulisan ini berasal dari komentar dan hanya sebuah guyonan saja. Yang kemudian saya seriusi dengan mencari beberapa kamus, makalah, jurnal dan lainnya. Sehingga, menjadi penguat, bahwa kata "Tarif" berasal dari Bahas Arab. Di status Kyai Ma'ruf Khozin, saya komen bahwa kata "tarif", berasal dari bahasa Arab, "hal anta ta'rif?" Kemudian saya curiga, bahwa kata ini benar-benar dari bahasa Arab, seperti kata lainnya yang sudah akrab dengan orang Indonesia dan dunia; bisyarah, magazin, Algoritma, zero dan lainnya. 
Sekilas dari tulisan beliau, saya simpulkan, bahwa menetapkan tarif untuk jasa dan pengajaran ilmu agama dibolehkan dalam fikih, selama tetap menjaga keikhlasan. Namun, dakwah idealnya dijalankan tanpa orientasi upah, karena tujuan utamanya adalah menyampaikan hidayah, bukan mencari imbalan. Tentunya berdasrkan dalil yang beliu tuliskan. 

Dan menariknya, ada status yang lagi viral seorang pemateri (dosen) yang hanya dihargai 300rb, berbeda dengan influenc yang dikasih jutaan. Wow. Nah, ini cari sendiri ya! Karena saya akan membahasa tentang asal kata "Tarif" yang juga menghebohkan dunia, kata yang diulang-ulang oleh Presiden Donal trump "tariffs", dan membuat ketakutan beberapa negara.🤩🫢

Toyyib. Kata "tarif" memiliki akar sejarah yang menarik, yang menghubungkan kita dengan peradaban-peradaban besar dalam sejarah perdagangan dunia, khususnya dunia Arab. Dari sudut pandang linguistik, kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu تعريفة /ta'reefa, yang berarti informasi atau pengumuman, berakar dari kata kerja عَرَّفَ/a'rafa, yang artinya membuat sesuatu menjadi diketahui atau dikenal. 

أصل كلمة "تعرفة" (tariff) عربي، حيث اشتقت من الكلمة العربية "تعريفة" التي كانت تشير إلى جدول بالرسوم الجمركية المفروضة على البضائع. وقد انتقلت الكلمة عبر التجارة إلى لغات أخرى، حيث أصبحت تُعرف في اللغة الإيطالية باسم tariffa ومنها إلى الفرنسية tarif، وأخيراً إلى الإنجليزية tariff

Lah, seiring waktu, "ta'reefa" digunakan oleh pedagang Arab untuk merujuk pada daftar biaya atau pajak yang dikenakan pada barang-barang yang masuk ke pelabuhan negara lain.

Sejarah kata yang sekrang sangat masyhur ini semakin menarik ketika kita melihat bagaimana ia berevolusi. Pada abad ke-14, istilah "tariffa" pertama kali digunakan di Sisilia, dan ini adalah bentuk awal dari kata "tariff" yang kita kenal sekarang. 

Ada juga cerita populer yang mengaitkan kata ini dengan nama kota Tarifa di Spanyol, yang dikatakan menjadi tempat pertama kali dikenakan biaya bea cukai pada pedagang, meskipun banyak ahli bahasa membantah cerita ini.

Berkembangnya kata ini ke dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti Italia, Spanyol, Prancis, dan akhirnya bahasa Inggris, menunjukkan bagaimana istilah ini telah mengakar kuat dalam perdagangan internasional. Dalam bahasa Inggris, "tariff" pertama kali muncul pada akhir abad ke-16, dan awalnya digunakan untuk merujuk pada tabel angka untuk memudahkan perhitungan, sebelum akhirnya mengarah pada makna modernnya sebagai daftar pajak atau biaya atas barang impor dan ekspor.

Kata "tarif" juga memainkan peran penting dalam sejarah politik Amerika, mulai dari "Tariff Act" tahun 1789 yang diinisiasi oleh Alexander Hamilton untuk membayar utang perang Revolusi, hingga era modern, di mana isu tarif menjadi tema besar dalam kebijakan ekonomi, terutama di bawah pemerintahan Donald Trump. Bahkan di tahun 2018, ketegangan tarif antara Amerika Serikat dan Uni Eropa hampir memicu perang dagang global.

Dalam konteks ekonomi global, tarif menjadi topik hangat yang sering dibahas, terutama terkait kebijakan perdagangan internasional, seperti yang tercermin dalam perjanjian GATT 1947 dan perkembangan yang mengarah pada WTO (World Trade Organization). Meskipun upaya global untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan terus berlanjut, seperti yang terlihat pada negosiasi di bawah WTO, fenomena tarif tetap menjadi salah satu alat utama dalam strategi perdagangan dan kebijakan ekonomi sebuah negara.

Fenomena tarif tidak hanya terbatas pada perdagangan internasional. Dalam konteks kebijakan ekonomi domestik, tarif sering digunakan untuk melindungi industri lokal dari persaingan luar negeri, meskipun terkadang kebijakan ini memicu ketegangan dengan negara-negara mitra dagang. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Trump, di mana tarif menjadi salah satu cara untuk menekan negara-negara besar seperti China dan Uni Eropa, tarif kini menjadi salah satu topik yang selalu muncul dalam berita ekonomi global.

Secara keseluruhan, kata "tarif" menggambarkan lebih dari sekadar bea cukai. Ia mencerminkan sejarah panjang yang melibatkan peradaban-peradaban besar yang telah membentuk sistem perdagangan modern kita. Dari pasar-pasar di kawasan Laut Tengah pada zaman kekhalifahan Islam, hingga kebijakan perdagangan global hari ini, istilah ini tetap menjadi simbol pengaruh ekonomi yang besar dalam hubungan internasional.

Semoga informasi ini bermanfaat, dari guyonan hal anta ta'rif? Saya juga jadi tahu, bahwa kata ini bear dari bahasa Arab, tapi bukan dari hal anta ta'rif tapi dari ta'rifah. Yang kalau kita lihat isytiqaqnya, sama dengan makruf, arif, takrif, urf, irfan dan lainnya. Ok. Syukran. 

Marajik.
Aljazirah. Kamus ma'ani. Mu'jam arabi injilizy. Maqalah trumb, hal anta makna tariff. Dan lainnya.

Andai Aku Jadi HPmu Sayang!


Malam itu, seorang istri berbicara pelan.
Bukan dengan marah. Bukan dengan air mata. Hanya dengan suara pelan tapi menusuk, seperti sesuatu yang lama ia pendam.

“Mas…” katanya lembut, “aku cuma ingin bertanya satu hal kecil….. Kenapa HPmu bisa kau jaga begitu baik, tapi hatiku kau biarkan retak perlahan?”
Suaminya diam. Ia tak menyangka kalimat itu datang seperti itu, halus, tapi menghantam.

Istrinya melanjutkan, “HP-mu tak pernah jauh darimu. Kau genggam siang dan malam. Kau isi dayanya bahkan sebelum habis. Kau takut baterainya mati, tapi tak pernah kau isi hatiku yang sudah lama kosong.”

Ia menatap ke arah suaminya lembut, tapi sayu. “HPmu selalu kau bawa kemana pun. Kau senyum pada videonya, kau tertawa pada suaranya, kau balas cepat setiap pesannya. Tapi aku? Aku duduk di sampingmu, bicara pun jarang kau dengar.”

Suaranya mulai bergetar. “Andai aku ini HPmu, mungkin aku tak akan kesepian. Mungkin kau akan memegangku setiap waktu, menatapku penuh perhatian, dan takut kalau aku rusak.”

Hening. Hanya suara jam dinding yang terdengar.

Ia menunduk, lalu berbisik pelan, “Aku tidak butuh hadiah. Aku tidak butuh pujian. Aku hanya ingin kau berhenti sejenak dari dunia kecil di layar itu......dan lihatlah aku, lihat sebentar saja, istrimu. Aku masih di sini. Masih menunggumu menatapku seperti dulu.”

"Mas….. setiap hari kau kejar #FYP, untuk uang, untuk penggemar, untuk tepuk tangan orang yang bahkan tak mengenalmu. Tapi bagaimana dengan aku, yang dulu kau bilang rumahmu? Aku tak butuh viral, aku hanya butuh didengar. Di live kau jawab semua komentar mereka dengan senyum, tapi satu pertanyaanku saja tak kau hiraukan. Jadi, aku ini siapa di matamu, Mas? Penonton yang tersisa di balik layar hatimu? 😥

Dan di saat itu, lelaki itu tak mampu lagi menahan air matanya. Bukan karena istrinya menyalahkan, tapi karena ia baru sadar, betapa lama ia hadir, tapi tak benar-benar "hadir". 

***
Cerita di atas, curhatan seorang perempuan (namanya dirahasiakan.wkwkw) renungan untuk setiap suami yang sok sibuk, sampai istrinya kalah🤣. Pun sebaliknya, untuk para istri yang jarang memandang suaminya, kalah sama pesona layar HP😁. Bila, yang membaca ini tidak merasa hal di atas, Alhamdulillah. 👍

Jangan biarkan orang yang mencintaimu merasa kalah oleh benda yang tidak bernyawa. HP bisa diganti, tapi hati yang kecewa….. bisa hancur tanpa bisa diperbaiki kembali.

Karena terkadang, yang paling sepi bukanlah rumah tanpa suara, tapi rumah yang penghuninya sibuk menatap layar, sepanjang hari dan sepanjang malam. hingga lupa menatap satu sama lain. Bahkan, lupa punya keluarga. Semoga Tidka terjadi 🙂‍↕️ 

Yuk! Para suami/istri...berikan ruang untuk keluarga

 
Halimi Zuhdy 
Curhatan dari seseorang yang dadanya sudah sesak, karena pesonanya kalah dengan #FYP yang dicari suaminya.

Menelisik Asal Kata "Qasidah" dan Sekilas Kisahnya di Indonesia

Halimi Zuhdy

Kata "Qasidah" memiliki akar menarik, seakan menyimpan perjalanan sejarah antara bahasa, seni, dan spiritualitas yang melintasi padang pasir Arab hingga panggung musik Indonesia. Orang Indonesia, ketika mendengar kata Qasidah, langsung terbayang "Nasidah Ria".he. Lagu-lagu religi, yang paling saya ingat adalah "jilbab putih", "anakku-anakku", dan judul keren-keren lainnya. 
Toyyib. Mari kita lihat akar kata qasidah, kasidah atau qosidah. Secara etimologis, kata qasidah atau kasidah berasal dari bahasa Arab "qosidah" (قصيدة)  yang berakar dari kata qasd (قصد) berarti "niat, tujuan, atau arah yang sengaja dituju. Jadi, dalam makna paling dasarnya,  "qasidah" adalah “puisi yang memiliki tujuan”. Ia bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan ekspresi yang diarahkan sebuah sastra yang tahu ke mana ia melangkah. wow. 

أصل كلمة "قصيدة" هو الجذر العربي "ق-ص-د"، والذي يرتبط بمعنى "القصد" أو "النية" أو "التوجه". ويرى بعض الباحثين أن معناها الأصلي يرتبط بـ "العظم ذي المخ" الذي يُشبه القصيدة في كونها منسوجة من الكلام الغني بالمعاني

Dalam tradisi Arab klasik, "qasidah" menjadi bentuk puisi formal paling bergengsi. Ia memiliki struktur yang kaku namun anggun, "satu pola irama (monometer) dan "satu bunyi rima (monorhyme)" yang konsisten dari awal hingga akhir. Jumlah baitnya bervariasi, bisa tujuh hingga seratus atau bahkan lebih. Bentuk ini muncul jauh sebelum Islam, menjadi wadah bagi penyair gurun seperti Imru’ al-Qays atau Antarah ibn Shaddad untuk menuturkan kisah cinta, peperangan, kebijaksanaan, bahkan penyesalan hidup. Salah satu contoh klasik yang paling termasyhur adalah "Mu‘allaqat" kumpulan puisi yang konon digantung di dinding Ka’bah karena keindahannya.

Dalam istilah keilmuan Arab, "qasidah" secara teknis didefinisikan sebagai puisi panjang yang berisi lebih dari tujuh bait, berirama tetap, dan biasanya dimulai dengan “bait musarra‘”, baris pembuka yang rima di kedua ujungnya. Puisi ini seringkali memadukan unsur "tasybīb" (pengantar cinta) dan "madḥ" (pujian), dan pada bagian akhirnya penyair menyebut "takhalluṣ" nama atau julukan dirinya sebagai penanda karya. Dengan demikian, "qasidah" bukan hanya puisi; ia adalah bentuk sastra dengan sistem, tradisi, dan etika estetik tersendiri.

Namun, perjalanan "qasidah" tidak berhenti di padang pasir. Melalui ekspansi peradaban Islam, ia menyeberang ke Persia, Turki, Afrika Utara, hingga ke Nusantara. Dalam bahasa Persia, kata ini diserap menjadi "قصیده" (qasīdeh); dalam bahasa Turki menjadi "kaside". Di Indonesia, "qasidah" mengalami metamorfosis budaya menjadi "kasidah", sebuah kesenian yang bukan lagi semata puisi, melainkan juga musik religius.

Kasidah Indonesia lahir dari akulturasi antara budaya Arab dan Nusantara. Menurut penelitian Marlisna dan Marzan, istilah "kasidah" di sini bermakna “lagu” atau “nyanyian”, yang pada awalnya berbentuk syair Arab bernuansa keagamaan. Kasidah digunakan sebagai sarana dakwah, menyampaikan pesan moral dan ajaran Islam dengan cara yang merdu dan mudah diterima masyarakat. Bentuk tradisionalnya diiringi dengan "rebana", alat musik perkusi dari kata Arab "rabbana" (Ya Tuhan, Ya Rabbana), yang menegaskan fungsi spiritualnya sebagai pujian kepada Ilahi.

Seiring waktu, kasidah bertransformasi. Pada era 1960-an, muncul kasidah modern, yang tidak hanya memakai rebana, tetapi juga gitar, biola, hingga piano. Di sinilah lahir kelompok legendaris seperti Nasida Ria dari Semarang, pelopor kasidah modern yang mampu menjembatani pesan dakwah dengan aransemen pop dan sentuhan kontemporer. Lagu-lagu mereka, seperti "Perdamaian" dan "Bom Nuklir", menunjukkan bahwa “qasidah” masih memelihara semangat asalnya: berbicara dengan tujuan. Hanya saja kini tujuan itu diiringi irama yang lebih berwarna dan bisa berdendang di radio.

Dari akar katanya yang berarti “niat” hingga perjalanannya sebagai musik dakwah, "qasidah" adalah bukti bagaimana bahasa, seni, dan keimanan dapat bersatu dalam satu kata. Di Arab, ia adalah puisi yang menggetarkan; di Indonesia, ia menjadi nyanyian yang menghidupkan semangat.🤩 Dua bentuk yang berbeda, tapi sama-sama menuju satu arah, seperti makna asal katanya, menuju dengan maksud yang jelas.

Beberapa peneliti juga mengaitkan makna asalnya dengan العظم ذي المخ (tulang besar dengan sumsum), menggambarkan qasidah sebagai karya yang padat dan kaya makna, terstruktur dengan baik seperti tulang yang memiliki inti yang berharga. Dengan demikian, qasidah bukan hanya puisi, tetapi sebuah karya yang dalam dan penuh arti.

Minggu, 02 November 2025

Jejak Tinta Para Ulama


(Ketika Keterbatasan Melahirkan Karya)

Halimi Zuhdy

Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan teknologi saat ini, sulit membayangkan bagaimana para ulama di masa lalu menulis dan menyebarkan ilmu dengan alat yang sangat terbatas. Gambar manuskrip Arab klasik di atas adalah bukti nyata betapa luar biasanya dedikasi mereka. Di tengah halaman tampak teks utama "matn" sementara di tepinya ada komentar, penjelasan, dan catatan tambahan dari generasi ulama berikutnya. Setiap guratan tinta adalah saksi perjalanan intelektual yang panjang, penuh kesabaran, dan jauh dari kemewahan.
Para ulama dahulu hidup dalam kondisi yang sulit: kertas mahal, tinta terbatas, dan alat tulis sederhana. Namun keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar kreativitas mereka. Satu lembar kertas dimanfaatkan sedemikian rupa  teks utama di tengah, penjelasan di pinggir, lalu tambahan catatan di sela-selanya. Hasilnya adalah peta pemikiran yang padat, kompleks, dan luar biasa hidup.

Mereka menulis bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk memastikan ilmu tidak berhenti pada dirinya sendiri. Inilah bentuk "tahrīr al-‘ilm" upaya menulis dan mengabadikan ilmu agar tetap hidup lintas generasi.

Struktur tulisan dalam manuskrip seperti ini bukan kebetulan. Ia mengikuti sistem pengetahuan yang sangat teratur. Teks utama (matn) berfungsi sebagai inti pemikiran; penjelasan (syarh) memberikan konteks dan memperluas makna; sementara catatan di tepi halaman (hasyiyah) adalah refleksi kritis atau tambahan dari pembaca setelahnya.

Artinya, setiap halaman bukan sekadar catatan tunggal, tetapi percakapan antara ulama dari berbagai zaman. Ilmu dalam Islam bersifat dialogis, bukan monolog. Setiap ulama menghormati pendahulunya dan menambahkan pemahaman baru tanpa menghapus karya sebelumnya. Ini adalah bentuk kolaborasi ilmiah paling mulia yang pernah ada.

Tradisi menulis seperti ini menunjukkan bahwa bagi ulama, ilmu bukan hanya urusan rasionalitas, tetapi juga spiritualitas. Menulis adalah ibadah. Mengoreksi pendapat adalah bentuk cinta terhadap kebenaran. Menambahkan penjelasan adalah upaya menjaga agar cahaya ilmu terus menyala.

Dari sini kita belajar bahwa kemajuan ilmu tidak lahir dari fasilitas, tapi dari "etos keilmuan" ketekunan, kejujuran, dan kerendahan hati dalam menuntut serta menyebarkan pengetahuan. Ulama tidak menulis untuk viral, tetapi agar generasi setelahnya tidak kehilangan arah.

Di era media sosial dan AI, kita memiliki akses ke jutaan sumber ilmu dalam genggaman. Namun, justru sering kali kita kehilangan "kedalaman berpikir". Manuskrip seperti ini mengingatkan kita bahwa keilmuan sejati lahir dari proses panjang: membaca, menulis, mengomentari, dan terus mencari kebenaran dengan rendah hati.

Kalau para ulama mampu menghasilkan karya monumental dengan secarik kertas dan setetes tinta, maka kita tidak punya alasan untuk malas menulis dan berpikir di era kelimpahan ini.

Setiap huruf dalam manuskrip kuno itu adalah jejak perjuangan, doa, dan ketulusan. Dari keterbatasan mereka lahir kelimpahan yang tak ternilai. Ilmu mereka melampaui zaman karena ditulis dengan niat suci dan kerja keras yang konsisten.

Maka benar kata para sejarawan: “Ilmu para ulama tidak mati, karena tinta mereka telah menulis kehidupan umat.”

Sumber: 
Tahqiqul Mahthuthat fi awraqil jamih, Muhammad Nuri Almausawi

Belajar Santun dari Pesantren


(Antara Akhlak, Etika, dan Kebijaksanaan)

Halimi Zuhdy

Saya jadi agak baper membaca komentar-komentar netizen terkait dengan Baikot Trans7 yang melebar kemana-mana, sampai membanding-bandingkan ormas A dan ormas B, suku A dan suku B, urusan bid'ah, paling sunnah dan merembet keurusan nasab dan lainnya. 
Dan membaca protes terhadap tayangan Trans7 kemarin, yang secara tidak langsung memperlihatkan siapa yang benar-benar memahami, dan siapa yang justru menaruh kebencian terhadap perilaku dan tradisi “pesantren”.
Coba saja baca kolom komentar. Banyak yang membenarkan perilaku Trans7 tanpa memahami konteks. Perhatikan akun-akunnya—kalau tidak dikunci, seringkali anonim, atau punya afiliasi ideologis tertentu. Ironinya, dari situ kita bisa tahu bahwa sebagian dari masyarakat kita belum paham, bahkan belum selesai membedakan antara akhlak dan etika.

Padahal, pesantren sejak dulu sangat terbuka terhadap kritik. Lembaga ini bukan lembaga “maha benar” atau “maha suci”. Pesantren adalah lembaga yang tumbuh bersama masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman serta kemanusiaan. Tapi tentu, ada hal-hal yang menjadi ciri khas pesantren, tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, baik di pesantren salaf maupun modern.

Nama dan bentuknya pun beragam: ada yang disebut pesantren, pondok, ada ribath, ma’had dan nama lainnya. Masing-masing punya tradisi yang tumbuh dari nilai-nilai lokal yang kemudian diberi ruh Islam. Jadi, ketika seseorang menilai tradisi pesantren hanya dari potongan video atau perilaku satu dua orang, jelas itu bukan analisis ilmiah, melainkan bias emosional.

Mari ambil contoh sederhana: menundukkan kepala di hadapan guru. Apakah hanya ada di pesantren? Tidak. Di Jepang, orang bahkan membungkuk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu bentuk kesyirikan? Tidak juga. Karena yang dihormati bukan wujud manusia, tapi nilai yang ia bawa.

Lalu ada yang berkomentar, “Itu melanggar Sunnah!”  saya sering bertanya, Sunnah yang mana? Apakah mencium tangan dalam Islam diharamkan? Apakah menundukkan kepala termasuk dosa? Buka kitab, baca hadis secara utuh, jangan potong-potong. Ulama hadis saja berbeda pandangan, apalagi kita yang hanya membaca dari cuplikan dakwah pendek di media sosial.

Kalau memang ada perbedaan pandangan, mari hormati. Dalam fikih saja, perbedaan bisa sampai pada level hukum: dari mubah hingga haram, tergantung pendekatannya. Maka tidak pantas kita mudah memvonis orang lain salah, apalagi dengan nada menghina.

Kadang, orang yang bilang “santri baperan” justru adalah mereka yang kurang membaca. Padahal, kalau mau belajar lebih dalam, justru tradisi pesantren adalah benteng akhlak dan etika bangsa ini.

Ironi sekali, ketika yang meniru budaya luar dianggap “modern”, tapi yang menjaga tradisi sendiri justru dicap “kolot”. Contohnya, makan pakai tangan dibilang jorok. Padahal, penelitian di Journal of Clinical Nutrition (2019) menyebutkan bahwa makan dengan tangan bisa meningkatkan koordinasi otak dan memperkuat pencernaan. Tapi ketika pakai sendok, dibilang ikut-ikutan Barat. Duh, repot kalau logika sudah kalah dengan perasaan.
Inilah pentingnya kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semua yang berbeda harus disamakan, dan tidak semua yang sama harus dipertentangkan. Bukankah kita hidup di negeri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Pesantren sangat paham Sunnah. Sejak dulu para kiai dan ulama pesantren telah mempraktikkan nilai-nilai itu dengan luar biasa. Mereka turun langsung ke masyarakat, mengajarkan wudhu kepada yang belum tahu, memperkenalkan Islam kepada yang baru mengenal. Kadang mereka harus beradaptasi dengan tradisi lokal dulu agar dakwahnya diterima.

Bayangkan jika dakwah dilakukan dengan gaya sebagian orang hari ini, yang sedikit-sedikit bilang “bid’ah”, “dosa”, “haram”. Apakah Islam akan berkembang dengan indah seperti dulu?
Coba lihat sejarah Nabi. Beliau tidak datang dengan amarah, tapi dengan kasih sayang dan keteladanan. Maka siapa sebenarnya yang tidak mengikuti Sunnah Nabi hari ini? Mereka 
yang keras dalam ucapan tapi miskin akhlak.

Pesantren punya sistem yang menanamkan akhlak, etika, dan moralitas. Tidak ada perbudakan, tidak ada feodalisme. Jika ada penyimpangan, silakan dikritik. Tapi jangan framing seolah seluruh pesantren begitu. Karena faktanya, pesantrenlah yang selama ini menjaga karakter bangsa, menanamkan toleransi, dan juga tidak sedikit yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa.

Kita paham, dunia media sosial hari ini bising, semua orang bisa bicara, tapi tidak semua memahami. Maka mari bijak: sebelum menilai, pelajari. Sebelum berkomentar, pahami. Sebelum mengkritik, bedakan dulu antara akhlak dan etika. Karena di situlah letak peradaban dimulai.

***
Salam 
Ayo ke Pesantren!

Kejayaan Islam dalam Kenangan Sejarah


(Menjaga Pesantren di Indonesia)

Halimi Zuhdy

"Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainannas", Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). QS. Ali Imran, 140.
Entah, Apakah Ayat ini termasuk sebuah kejayaan suatu negara yang pernah berjaya syiar Islamnya dan akan bangkit lagi, atau akan terpuruk selamanya. Tapi yang jelas, kehidupan akan terus berputar. Di Eropa ada Andalusia, kini tinggal cerita Islam pernah berjaya. Dan kini, Spanyol seperti tak memberi bekas bunga, tapi goresan luka. Di Asia Tenggara, Islam pernah berjaya di enam negara, bahkan menjadi penduduk mayoritas muslim terbesar. Kini, di tiga negara menjadi segelintir, bahkan hanya menjadi kerikil-kerikil yang tak pernah terlihat lagi.

Manila ibu kota Filipina, nama ibu kota ini berasal dari bahasa Arab "Fi AManillah" Dalam lindungan Allah. Di negeri ini, dulu syariat Islam ditegakkan, mayoritas penduduknya muslim, azan yang bersaut-sautan di seluruh penjuru negeri ini. Tapi kini, di negeri Filipina, kita sering mendengar Islam hanyalah sebuah gerombolan pemberontak terhadap pemerintah, dan mereka menjadi minoritas.

Berikutnya negeri Gajah Putih, Thailand. Di negeri ini menyimpan mutiara yang luar biasa, kejayaan Daulah Islamiyah di selatan negeri ini. Kerajaan Islam Pattani. Penduduk muslim di tanah mereka sendiri dijuluki khaek (pendatang, orang luar).

Pernah dengar kaum Cham dan Negeri Champa?. Di tempat ini, dulu muslim menjadi mayoritas, ratusan masjid pernah berdiri, tetapi Khmer Merah merubah sejarah berikutnya, muslim tak lagi terdengar mekar di negeri Kamboja dan juga Vietnam. Ia hanya menjadi kenangan sejarah. Kerajaan Champa memiliki sejarah erat dengan hadirnya wali Songo di Indonesia, Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati.

Di Myanmar, Islam pernah tumbuh lebat, di negeri ini banyak sejarah diukir bagaimana orang muslim bertahan. Ada Muslim Burma dan Rohingya (Rakhine). Tahun 1050 silam, Islam sudah berbunga di tempat ini, tapi setiap kekuasaan berganti, berganti pula peran-peran kehidupan mereka. Beberapa tahun terakhir, Rohingya seperti berteriak mencari saudara-saudara yang melupakannya.

Memang sejarah akan selalu berubah. Tiada yang abadi dan kekal, kecuali yang Maha Kekal. Tetapi, berusaha mengabadikan kebaikan adalah sebuah anjuran. Bukan kemudian harus terulang, tetapi usaha dari sebuah kebaikan adalah kebaikan, urusan hasil hanyalah Allah yang menentukan.

"Belajar pada sejarah", karena sejarah akan selalu silih berganti. Seperti sejarah Qabil dan Habil akan terus terulang setiap masa, tetapi berusaha untuk tidak menjadi Qabil adalah bagian dari ikhtiyar terbaik.

Islam di Indonesia dan di beberapa tempat di dunia, mempertahankannya adalah bagian dari sebuah ikhtiyar agar Islam berada di negeri ini. Dengan mensyiarkannya, sesuai dengan kemampuan setiap muslim. Menjaganya, seperti tetap memperkuat jalinan silaturahim antar umat Islam. Memenuhi masjid-masjid dengan berjamaah dan kajian-kajian keislaman. Madrasah dan pesantren yang dimakmurkan dengan berbagai keilmuan serta sebagai laboratorium kehidupan. NKRI yang terus dipertahankan dengan berbagai kebhinikaannya. Perekonomian dan keamanan yang dirawat dengan baik, bahkan ditingkatkan. Serta berbagai usaha lainnya.

Menjaga pesantren di Indonesia adalah bagian dari upaya menjaga Islam di Indonesia. Pesantren memiliki peran yang sangat penting sebagai benteng akhlak dan pusat kajian keilmuan Islam yang mendalam. Di tengah berbagai tantangan dan konspirasi yang ada, keberadaan pesantren harus dipertahankan dan dilestarikan. 

Sebab, pesantren bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu agama, tetapi juga sebagai tempat membangun karakter dan akhlak mulia bagi generasi penerus. Jangan biarkan pesantren yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Indonesia hilang begitu saja. Pesantren adalah fondasi kuat yang membantu menjaga warisan intelektual dan spiritual Islam di tanah air, dan keberadaannya sangat vital dalam menjaga kesatuan serta keharmonisan umat Islam Indonesia.

Sebagai benteng akhlak dan kajian Islam, pesantren memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan misi dakwah, menegakkan moralitas, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, setiap upaya untuk melemahkan eksistensi pesantren, baik melalui faktor eksternal maupun internal, haruslah ditanggapi dengan penuh kewaspadaan. Kita harus menyadari bahwa dengan menjaga pesantren, kita juga menjaga keberlangsungan syiar Islam di Indonesia, serta memperkuat akar agama yang telah tumbuh dengan kokoh di negeri ini.

Menjaga pesantren tidak dengan kekerasan, karena Islam masuk di Indonesia tidak dengan kekerasan, ia datang dengan penuh keindahan. Dan kaum santri adalah di antara pewaris keindahan itu. Addin hua an-nashihah, maka berikan nasihat terbaik. 

Wallahul musta'an wailahi tauklan

Rahasia Urutan dalam Al-Qur'an; Rabb, Malik dan Ilah


Halimi Zuhdy

Mungkin di antara kita bertanya-tanya, mengapa dalam Surat An-Nas, yang menunjuk pada Tuhan, dimulai dari Rabb (الرب), Malik (المالك) kemudian Ilah (الإله)? Bukankah ketiganya sama? 
Pertanyaan menarik ini pernah diajukan oleh seorang pendeta dalam sebuah seminar yang membahas sosok Maria atau Maryam. Entah apa yang mendorong beliau menanyakan urutan tersebut. Saat itu, saya mencoba memberikan jawaban singkat tentang i‘jāz lughawī (keajaiban bahasa) dalam Al-Qur’an, juga mengenai tartīb as-suwar dan aspek kebahasaan lainnya.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ۝ مَلِكِ النَّاسِ ۝ إِلَٰهِ النَّاسِ 

Ketiga kata ini memiliki kedalaman makna, dan urutannya bukan sekadar kebetulan, melainkan sangat memengaruhi pemahaman kita terhadap konteks dan relasi manusia dengan Tuhan. Dalam Surah An-Nas, kita diajarkan untuk mencari perlindungan kepada "Rabb", "Malik", dan "Ilah" manusia, dan setiap kata ini menempati posisi strategis untuk mencerminkan urutan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Ayo, kita mulai dari kata "Rabb", yang berarti "Pendidik" atau "Pemelihara," adalah langkah pertama yang kita cari dalam situasi krisis. Kata ini menunjukkan perlindungan yang datang melalui pendidikan, bimbingan, dan perawatan. Sebagai manusia, kita pertama-tama membutuhkan bimbingan dan pemeliharaan yang datang dari sumber yang lebih berpengetahuan, yang akan mengarahkan kita dengan kebijaksanaan. Rabb adalah yang memberikan arah hidup dan menuntun kita untuk berkembang.

Setelah bimbingan atau "Rabb" diperlukan, langkah berikutnya adalah "Malik", yang berarti "Penguasa" atau "Pemilik". Dalam konteks kehidupan, kita kemudian bergantung pada kekuatan dan wewenang untuk menegakkan keputusan atau mengatasi masalah besar. Malik menggambarkan figur yang memiliki otoritas untuk menegakkan ketertiban, baik di dunia maupun dalam kehidupan kita. Tanpa otoritas atau penguasa yang adil, masyarakat akan kacau. Malik adalah otoritas yang mampu menegakkan keadilan dan memberikan rasa aman.

Akhirnya, setelah kebutuhan akan bimbingan (Rabb) dan otoritas (Malik), manusia membutuhkan Ilah, yaitu "Tuhan" atau "Sumber penyembahan" yang tertinggi. "Ilah" adalah Yang kita tuju saat kita mencari keselamatan dan tempat bergantung terakhir. Dalam pencarian makna hidup dan setelah melewati fase bimbingan dan otoritas, "Ilah" adalah tujuan akhir kita dalam beribadah, tempat kita berserah diri dan mencari perlindungan yang mutlak.

والربّ هو مُرشد مجموعة من الناس قد تكون قليلة أو كثيرة
أما الملك فناسه أكثر من ناس المربي
وأما الإله فهو إله كل الناس وناسه الأكثر حتماً

Keindahan dari urutan ini tidak hanya terkait dengan makna kata-kata itu sendiri, tetapi juga dengan bagaimana kata-kata tersebut mencerminkan perjalanan manusia dalam kehidupannya. Dimulai dari bimbingan, menuju otoritas, dan akhirnya mencapai Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pertama-tama mencari bimbingan dari orang-orang yang lebih berpengalaman (Rabb), jika itu gagal, kita beralih pada otoritas yang lebih besar (Malik), dan pada akhirnya, kita berserah pada Tuhan (Ilah) ketika kita merasa tak berdaya.

Urutan ini juga mencerminkan realitas sosial manusia. Masyarakat sering kali membutuhkan banyak "Rabb" dalam bentuk guru atau pemimpin kecil, tetapi hanya ada satu "Malik" yang berperan sebagai penguasa atau pengatur, dan akhirnya ada satu Ilah yang menjadi tujuan tertinggi. Dengan demikian, urutan ini menyiratkan bagaimana manusia bergerak melalui kehidupan sosial dan spiritual, dari banyaknya pilihan menuju yang satu, yaitu Tuhan.

Dalam Surah An-Nas, keindahan bahasa ini terletak pada bagaimana setiap kata dan urutannya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, menunjukkan hubungan yang mendalam antara setiap lapisan eksistensi manusia. Ini bukan hanya tentang memohon perlindungan dari bahaya fisik, tetapi juga tentang memahami hierarki kebutuhan manusia dalam mencari kesejahteraan dan keselamatan.

Mar'ja': Al-Mausu'ah Al-Qur'aniyah (Al-'ijaz Al-Lughawi wal Bayani)

Kenapa dalam Zina Perempuan Disebut Lebih Dulu, Tapi dalam Pencurian Justru Laki-Laki?


(Rahasia Urutan Kata dalam Al-Qur'an)

Halimi Zuhdy

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba sedikit mengupas tentang rahasia tartibul Ayat (urutan Ayat) dalam Surat An-Nas, kemudian ada yang bertanya tentang urutan kata dan kalimat, seperti Az-Zaniyatu waz Zani (penzina perempuan dan penzina laki-laki). Mengapa harus perempuan yang didahulukan, kok tidak laki-laki? Tapi, mengapa dalam hal pencurian, laki-laki malah yang didahulukan?
Toyyib. Mari kita sedikit melirik tentang urutan kata dalam Al-Qur'an. Bila kita perhatikan, Al-Qur’an sering menyebut laki-laki lebih dulu, seperti al-mu’minun wal-mu’minat (kaum mukminin dan mukminat) dan beberapa kata dan kalimat lain juga demikian. Namun tiba-tiba dalam Ayat tentang zina Allah berfirman:

 ٱلزَّانِیَةُ وَٱلزَّانِی فَٱجۡلِدُوا۟ كُلَّ وَ ٰ⁠حِدࣲ مِّنۡهُمَا مِا۟ئَةَ جَلۡدَةࣲۖ  

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali.”
(QS Al-Nūr [24]: 2)

Urutan itu terasa janggal, karena seringnya laki-laki didahulukan dalam banyak Ayat, lah..justru di situlah letak keindahan bahasanya. Al-Qur’an, dengan gaya retorika (balaghi), sedang menekankan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar urutan gender (al-jins). 

Imam al-Zamakhsyarī dalam Al-Kasysyāf menjelaskan bahwa aAyat ini bukan penyimpangan tata bahasa, melainkan penekanan moral. Dalam masyarakat, godaan pertama dalam perzinaan sering kali berawal dari pihak perempuan, dari cara bicara, penampilan, atau bahkan hanya tatapan mata yang memberi “lampu hijau.” Maka, mendahulukan kata al-zāniyah bukanlah bentuk menyalahkan, tapi peringatan, jagalah diri, karena fitnah terbesar bisa bermula dari kelembutan yang tak dijaga. Wow, ini alarwm lo. Walau tidak sedikit laki-laki yang sering menggoda perempuan.he

Syaikh Khalid al-Sabt, menyebut fenomena ini dengan lebih realistis: “Jika perempuan tidak membuka ruang, lelaki tak akan berani melangkah.” Dalam bahasa lain, kunci pertama ada di tangan perempuan. Demikian juga dalam tafsir karya Ṭāhir bin ‘Āsyūr, mufassir besar dari Tunisia. Bahwa, Az Zaniyatu didahulukan karena ada dorongan lebih dari perempuan. Dan i masa pra-Islam, zina sering dilakukan dengan terang-terangan. Ada perempuan yang bahkan memasang tanda (bendera) di rumah mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pelacur. Islam datang untuk menghapus praktik itu dan menegakkan aturan hukum yang tegas serta menjaga kehormatan manusia.

Juga ada pendapat lain, bahwa zina pada wanita membawa aib lebih besar. Diterangkan pula oleh al-Qurṭubī

زنا النساء أعر وهو لأجل الحبل أضر

  “Zina pada wanita itu lebih memalukan (a‘ar) dan karena potensi kehamilan menjadi lebih berbahaya (aḍarr)”

Artinya, aib yang ditanggung perempuan jauh lebih besar daripada laki-laki. Perempuan yang berzina menanggung malu yang mendalam di tengah masyarakat. Reputasinya tercemar, dan keluarganya pun menanggung malu.

Dan perempuan disebut lebih dulu bukan untuk menyalahkan, tetapi karena akibat sosial zina jauh lebih berat bagi perempuan, ia bisa hamil, kehilangan nama baik, dan menanggung stigma yang lebih dalam. Jadi urutan itu bukan bentuk hukuman, tapi bentuk empati ilahi, Allah menegur lebih dulu yang paling rentan agar terlindung dari akibat paling pahit. Maka, tidak sedikit akibat perzinahan, terjadi kekerasan, pelecehan dan yang paling dirugikan adalah perempuan. 

Beberapa mufassir modern pun menggarisbawahi hal ini. Mereka menolak anggapan bahwa wanita selalu menjadi penggoda atau pemicu zina. Sebaliknya, dorongan nafsu pada pria justru lebih agresif;

الرجل فيه خاصية الاندفاع والانجذاب نحو المرأة 

"laki-laki cenderung lebih terdorong dan tertarik kepada wanita"

Wanita disebut pertama bukan karena dosanya lebih besar dari pria, hukuman keduanya sama adilnya, tetapi karena kasih sayang Allah yang ingin mencegah si perempuan dari kerugian yang lebih dalam. Dengan mendahulukan perempuan, peringatan Ayat itu lebih mengena kepada pihak yang konsekuensi dunianya paling berat. (hablullah)

Mengapa “Pencuri Laki-laki” Didahulukan?

lah, bagaimana dengan pencurian? Ketika beralih ke kasus pencurian, Al-Qur’an mengembalikan urutan ke bentuk lazim, maksudnya laki-laki didahulukan. 

 وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوۤا۟ أَیۡدِیَهُمَا 

“Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
(QS Al-Mā’idah [5]: 38)

Di sini, logikanya berbalik. Menurut Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Fath al-Bārī, pencurian lebih sering dilakukan oleh laki-laki, mereka punya kekuatan, keberanian, dan peluang lebih besar untuk melakukannya. Maka, Al-Qur’an menegur yang paling sering bersalah lebih dulu. 

Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid menambahkan, “Mencuri bagi pria jauh lebih hina, karena mereka seharusnya mampu bekerja.”. Maka, aneh bagi mereka yang punya kekuatan untuk mencari nafkah, kok malah mencuri, dan terkadang merampok. Kalau pakai bahasa kita, lelaki sejati tidak mengambil milik orang lain, ia bekerja untuk mendapatkannya. Wow. 

Dengan begitu, urutan kata al-sāriq wa al-sāriqah bukan sekadar formalitas linguistik, tapi tamparan moral yang lembut laki-laki, "wahai lelaki, kau kuat, kau bisa mencari nafkah mengapa memilih jalan curang?"

Toyyib. Baik pada ayat zina maupun pencurian, Al-Qur’an menyebut dua gender secara eksplisit. Dalam kaidah hukum Islam, sebenarnya bentuk maskulin sudah cukup mencakup feminin. Tapi Allah tetap menyebut keduanya seolah berkata "jangan ada yang merasa kebal. Ini bukan sekadar kesetaraan di atas kertas; ini kesetaraan dalam bahasa wahyu".

Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr bahkan menyebut penyebutan dua gender sebagai cara Al-Qur’an “menghapus tradisi patriarkal Arab Jahiliyah” yang dulu menganggap perempuan bukan subjek hukum. Dalam satu Ayat, bahasa menjadi alat revolusi moral.

Susunan kata dalam dua Ayat itu menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur’an bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga alat untuk menyentuh hati manusia. Dan, bukan hanya susunan biasa lo!. Ketika perempuan disebut dulu, itu karena ia harus dijaga. Ketika laki-laki disebut dulu, itu karena ia harus ditampar kesadarannya.

Bahasa Al-Qur’an seperti cermin, ia memantulkan wajah sosial manusia apa adanya, lalu mengarahkan pandangan kita pada yang seharusnya. Setiap perubahan urutan, setiap pilihan kata, adalah strategi moral yang presisi. Tidak ada satu pun huruf yang keliru tempat.

Maka, ayat-ayat ini bukan sekadar hukum. Ia adalah pelajaran tentang tanggung jawab, kehormatan, dan keseimbangan. Tentang bagaimana Al-Qur'an mendidik manusia bukan dengan teriakan, melainkan dengan susunan kata yang menembus hati. Asyik. Katanya, isyarah itu cukup bgai ornag yang cerdas.

Marja'

 al-Zamakhsyarī (Al-Kasysyāf), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (Fath al-Bārī), Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr (Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr), serta penjelasan Syaikh Khalid al-Sabt dan Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid yang termuat dalam tafsir.app. Dan juga bisa dibaca di al-bahist Al-Qur'ani.

Maqam Ibrahim dan Jejak Digital


Halimi Zuhdy

Maqam Ibrahim. Batu tempat berpijak Nabi Ibrahim saat membangun Ka'bah, dengan jejak kaki beliau yang tertinggal di atasnya. Itulah yang sering kita dengar dan pahami. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa maqam Ibrahim sebenarnya merujuk kepada seluruh area Masjid Al-Haram.
Kata "maqam" berasal dari akar kata qama-yaqumu-qiyaman, yang bermakna “berdiri”. Secara harfiah, maqam berarti tempat berdiri. Batu kecil ini bukan hanya sebuah penanda fisik, tetapi juga simbol bahwa di tempat tersebut, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pernah berperan dalam pembangunan Ka'bah. Nabi Ismail-lah yang menyerahkan batu kecil ini kepada Ibrahim, yang kemudian digunakan sebagai tempat berdiri, menandai momen monumental dalam sejarah umat Islam.

Dalam konteks bahasa Indonesia, "maqam" bisa diartikan sebagai "petilasan" tempat yang pernah dikunjungi oleh seseorang, atau yang memiliki jejak langkah dari orang yang berbuat sesuatu di sana. Di tempat tersebut, terdapat semacam "jejak" yang meninggalkan kesan dan memori bagi mereka yang datang setelahnya.

Dulunya, Maqam Ibrahim berada di dinding Ka'bah. Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, batu tersebut dipindahkan beberapa meter dari Ka'bah. Batu ini bukan sembarang batu; dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa ini adalah "batu surga". Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, batu ini bahkan dilindungi dengan perak dan ditutup dalam sangkar yang mirip sangkar burung, mungkin untuk menjaga keutuhan dan kehormatannya.

Saya pribadi memiliki kenangan tentang upaya ingin melihat batu tersebut. Saat itu, rasa ingin tahu mendorong saya untuk mendekatkan wajah saya ke kaca penutupnya. Namun, saya segera dihentikan oleh seorang petugas berpakaian seragam, mirip dengan organisasi mahasiswa seperti menwa atau pramuka di Indonesia. Waktu itu, musim haji sedang berlangsung, dan selain tentara, banyak mahasiswa yang ditugaskan untuk mengatur jamaah. Saking dekatnya, saya merasa hampir mencium kaca tersebut. Namun, saya segera membantah bahwa saya tidak melakukannya.

Maqam Ibrahim terus menjadi perbincangan, sebuah simbol sejarah yang tak terlupakan. Di sana, Nabi Ibrahim tidak hanya membangun Ka'bah, tetapi juga meninggalkan jejak yang menginspirasi umat manusia sepanjang zaman.

Apa kaitannya dengan "Jejak Digital" dalam judul ini?

Begini. Setiap perbuatan manusia di dunia ini pasti meninggalkan bekas dan jejaknya. Baik itu perbuatan baik ataupun buruk, tidak ada yang hilang begitu saja. Seperti halnya Maqam Ibrahim, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik atau buruk, pasti memiliki dampak yang dapat terekam dalam sejarah, bahkan jika itu hanya tersimpan di tempat yang kita tidak ketahui.

Maqam Ibrahim mengajarkan kita bahwa setiap manusia harus berkarya. Karya tersebut bisa berupa pembangunan fisik seperti masjid, istana, piramida, Borobudur, atau institusi pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Atau karya non-fisik seperti menulis buku, melukis, atau mengukir, yang meninggalkan jejak bagi generasi berikutnya. Semua karya ini adalah "maqam" dalam kehidupan seseorang, tempat di mana seseorang meninggalkan warisan atau jejak yang akan dikenang.

Di zaman modern ini, media sosial menjadi salah satu cara utama bagi manusia untuk meninggalkan jejak. Setiap video, foto, tulisan, dan unggahan lainnya adalah jejak digital mereka. Jika yang diunggah adalah kebaikan, maka kebaikan tersebut akan terus terekam dan dikenang. Sebaliknya, jika yang diunggah adalah keburukan, maka keburukan tersebut pun akan terus ada, tertinggal dalam ingatan dan pencarian di dunia maya.

Namun, jejak ini tidak hanya dilihat dan dinilai oleh manusia. Setiap unggahan dan perbuatan juga akan dihisab baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Di dunia ini, kita akan dihisab oleh para pembaca dan penonton. Jika sesuai dengan nilai yang mereka percayai, maka kita akan dipuji, diberikan "likes", atau bahkan dihargai. Namun, jika tidak, kita mungkin akan dicemooh. Ini adalah "hisab" menurut pandangan manusia, yang penuh dengan subjektivitas dan selera. Tetapi, di hadapan Allah, ada hisab yang lebih hakiki, yang tidak bisa dipengaruhi oleh selera manusia. Hanya Allah yang mengetahui nilai sejati dari setiap jejak yang kita tinggalkan.

Maqam, atau jejak berdiri seseorang, menjadi pengingat bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi. "Maqam" bukan hanya soal tempat fisik, tetapi juga representasi dari segala yang kita lakukan. Dan, seperti halnya Maqam Ibrahim, yang menjadi simbol penting dalam sejarah umat manusia, kita pun berharap jejak-jejak kita, baik yang besar maupun kecil, akan menjadi kebaikan yang dikenang sepanjang masa.

"Maqam kita adalah cerminan dari apa yang telah kita perbuat. Kita harus berharap agar maqam kita adalah yang terbaik, di hadapan Allah. Semoga jejak kita adalah jejak kebaikan, yang terus dikenang dan memberikan manfaat bagi umat manusia.

Produktifitas Imam At-Thabari, Menulis 40 Halaman Setiap Hari


Halimi Zuhdy

Kemarin ada salah seorang santri bertanya, "Bagaimana ulama-ulama dahulu menulis kitab, sedangkan saya menulis status di media sosial saja kerepotan, bahkan terkadang tidak mettu (keluar) ide?". Saya kemudian bercerita tentang banyak ulama di zaman dahulu, dengan keterbatasannya melahirkan karya yang monumental. Sedangkan di era yang fasilitas serba mudah di dapat, menulis satu buku pun masih minta bantuan mesin, itu pun bukan idenya, tapi ide mesin.😁. Maka, bukan persoalan fasilitas, tapi persoalan semangat dan mau berbuat. 🫢
Toyyib. Saya memberi contoh ulama yang super duper, walau masih banyak lainnya yang juga keren banget. Yaitu kepenulisan Imam At-Thabari dalam at-Tarajim wa Syakhshiyat. Beliau digambarkan sebagai contoh kegigihan dan kejernihan niat yang luar biasa. Ia bukan hanya seorang ulama, tapi juga penulis yang hampir tak tertandingi dalam produktivitas dan kedalaman ilmu. Diceritakan bahwa Imam At-Thabari menulis sekitar 40 halaman setiap hari, sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedisiplinan dan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Itu di era, di mana kertas dan pena sangat langka, tidak seperti di era ini, apalagi di era digital yang sangat mudah menulis dalam ratusan halaman word. 

 روي أنه كان يكتب أربعين صفحة في كل يوم، إنه الإمام محمد بن جرير الطبري صاحب أكبر كتابين في التفسير والتاريخ،

Karya-karyanya mencakup berbagai bidang, tapi dua yang paling monumental adalah “Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān” (Tafsir At-Thabari) dan “Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk” (Sejarah Umat dan Raja-Raja). Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa beliau melakukan istikharah selama tiga tahun sebelum mulai menulis tafsirnya, memohon agar Allah memudahkannya dan memberkahi pekerjaannya. Ini menandakan bahwa baginya, menulis bukan hanya kerja intelektual, tapi juga ibadah.

At-Thabari dikenal sangat sistematis dan teliti. Ia tidak hanya mengutip riwayat, tapi juga menganalisis perbedaan pendapat para ulama, menimbang dalil-dalil mereka, lalu menarik kesimpulan yang logis. Gaya tulisannya padat, berisi, dan penuh argumentasi ilmiah. Saking luasnya ilmunya, para ulama sampai mengatakan: “Kalau ada orang berjalan ke Cina hanya untuk mendapatkan Tafsir At-Thabari, itu belum berlebihan.”

Menariknya, ia juga tidak tergoda oleh jabatan atau harta. Wow. Ketika khalifah mengirimkan hadiah besar sebagai penghargaan atas karyanya, ia menolaknya. Ia ingin kebebasan berpikirnya tetap murni. Bahkan saat teman-temannya menolak ide gila untuk menulis sejarah dunia dalam 30.000 halaman karena “usia manusia gak cukup,” At-Thabari menanggapinya dengan kalimat tajam: *Inna lillah, telah mati semangat manusia.” Lalu ia menulisnya sendiri dalam 3.000 halaman, tetap kolosal.

قال أبو القاسم بن عقيل الوراق: إن أبا جعفر الطبري قال لأصحابه هل تنشطون لتاريخ العالم من آدم إلى وقتنا قالوا كم قدره فذكر نحو ثلاثين ألف ورقة فقالوا هذا مما تفنى الأعمار قبل تمامه فقال إنا لله ماتت الهمم فاختصر ذلك في نحو ثلاثة آلاف ورقة ولما أن أراد أن يملي التفسير قال لهم نحوا من ذلك ثم أملاه على نحو من قدر التاريخ.

Jadi, kepenulisan Imam At-Thabari bukan cuma tentang banyaknya tulisan, tapi tentang semangat keilmuan yang nyatu dengan ketulusan hati. Ia menulis bukan untuk terkenal, tapi untuk menegakkan ilmu dan kebenaran. Karena itu, meskipun ia wafat lebih dari seribu tahun lalu, ilmunya masih hidup dan mengalir terus sampai sekarang.

Memang, santri yang bertanya tadi dan yang menjawabnya, sepertinya mungkin menirunya, tapi minimal pernah tahu, bahwa ada banyak ulama yang sekeren Imam Ath-thabari, dan beberapa ulama lainnya.  Dan, minimal bisa menulis 1 buku dalam hidupnya. 🫢📚✍️

Kata dalam Pancasila, 40-45 % dari Bahasa Arab. So What!?



Halimi Zuhdy

Kemarin ada yang mengkritik, "Apa sih pentingnya bahasa Arab, kok dibahas terus, bahasa gurun dibanggakan, Indonesia tak akan maju-maju kalau masih klasik bahasanya!" 

OK gaes! Tak kasih paham sedikit (emoticon dengan senyum bahagia).  
Sering kali saya menulis tentang bahasa Arab, bahkan setiap hari pasti berkelindan dengan bahasa ini. Bukan sesuatu kebetulan, tetapi kecintaan dan kesenangan sejak kecil. Mulai lahir, senyap-senyap terdengar lantunan shalawat, belum lagi suara adzan, ngaji, tahlilan, yasinan, dibaan, shalat, doa, kajian, semuanya berbahasa Arab. Tapi, bukan bahasanya yang kemudian menjadi sebuah kebanggaan sesungguhnya, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi, ia adalah bahasa yang digunakan Al-Qur'an. Masak "shalat" yang lakukan setiap hari tidak paham artinya? 

Bahasa Arab, bukan lagi persoalan bahasanya orang Arab, tetapi ia sudah menjadi bahasa Indonesia, 40-60 % berasal dari bahasa Arab. Banyak banget. Ini bukan hal sederhana Lo. Dan ini, sudah masuk ke relung-relung kehidupan kita, dari istilah-istilah dalam pemerintahan, coba perhatikan! Sebut saja MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),  yang berasal dari bahasa Arab, kata majlis, musyawarah dan rakyat. Ada juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari dīwān (ديوان) bahkan wakilnya juga dari bahasa Arab. Belum lagi kata amanah (أمانة), kata hukum dari ḥukm (حكم), hakim dari ḥākim (حاكم), dan mahkamah dari maḥkamah (محكمة) yang semuanya menunjukkan sistem keadilan (‘adl / عدل) sebagai dasar negara. 

Oh iya. Sampai lupa. Tentang "pancasila" dan bahasa Arab.  Jika ditelusuri secara etimologis, sekitar 40–45% kosa kata utama dalam rumusan Pancasila berasal dari bahasa Arab. Kata-kata seperti adil (ʿadl), adab (أدب), rakyat (رعية), hikmat (حكمة), musyawarah (مشاورة), dan wakil (وكيل) bukan sekadar istilah pinjaman, melainkan pantulan dari nilai moral yang hidup dalam denyut sejarah dan keimanan bangsa ini.

Dominasi diksi Arab dalam Pancasila menunjukkan bahwa "Indonesia adalah jembatan antarperadaban" negeri yang mampu merangkai kebijaksanaan Timur Tengah, filosofi India kuno, dan kearifan lokal Nusantara menjadi satu kesatuan yang harmonis. Bukan hanya persoalan bahasa Arabnya Lo.

Bagi penganut Islam, bahasa Arab bukan hanya bahasa agama, tetapi juga bahasa nilai, ini yang harus dipahami,  bahasa yang membentuk etika sosial, semangat keadilan, dan keutuhan masyarakat. Dalam bingkai keindonesiaan, bahasa Arab menjadi "cerminan utama" dari spiritualitas dan kedalaman budaya yang meneguhkan arah bangsa, ber-Tuhan, beradab, dan bermusyawarah dalam keadilan. "Tinggalkan bahasa Arab, pakai bahasa internasional lain aza, pasti Indonesia maju!" Eh, emosional lagi. Bang, maju itu bukan punya pesawat canggih saja, kalau penduduknya tidak harmonis, apalagi ukuran maju bagi umat beragama itu berbeda dengan ateis!. Waduh.wkwkwkw. 

Yes, tak kandani. Indonesia bukan sekadar bentangan pulau dari Sabang sampai Merauke. Ia adalah mozaik peradaban, tempat kata dan makna dari berbagai dunia bersenyawa menjadi satu ruh kebangsaan. Di antara warisan itu, bahasa Arab menorehkan jejak paling kuat dalam tubuh nilai-nilai dasar negara,  Pancasila. 

Oh iya, bahasa apun boleh berkembang di Indonesia, tapi, jangan marah-marah kalau ada orang suka bahasa Arab. Itu saja.🤣🤩

***
Gambar diambil dari Nawaksara. Id.

Iri, Dengki, Saudara dan Sumur


(Perbedaan antara 'Jubb' dan 'Bi’r dalam Al-Qur’an)

Halimi Zuhdy  

Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah terbaik sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an dengan sebutan "Ahsan al-Qashash" kisah yang paling indah. Keindahannya terletak pada alur cerita, penokohan, pesan moral, kekuatan bahasa, serta pilihan diksi yang sangat halus dan bermakna. Bukan hanya persoalan kisah Nabi Yusuf dan Zalikhah, tapi tentang kehidupan.  

قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ  

“Seorang di antara mereka berkata: Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.'” (QS. Yusuf 12: 10)

Tulisan ini akan menyoroti satu kata kunci dari Ayat di atas, yaitu "al-jubb" (sumur). Dalam Al-Qur’an, kata "al-jubb" disebut dua kali, sedangkan "al-bi’r" hanya sekali. Keduanya sering diterjemahkan sama, yakni “sumur”, tetapi dalam konteks bahasa Arab Al-Qur’an, keduanya memiliki perbedaan makna.  
Perbedaan "Jubb" dan "Bi’r"  

Para ulama memiliki beberapa pendapat tentang perbedaan kedua istilah tersebut. Ada yang berpendapat bahwa "al-bi’r" adalah sumur kecil yang bagian bawahnya sempit, sedangkan bagian atasnya lebar. Adapun "al-jubb" adalah sumur yang luas di bagian tengahnya.  

Mengapa Nabi Yusuf ditempatkan di dalam "jubb"? Alasannya, agar beliau tidak tenggelam dalam air karena tujuan saudara-saudaranya bukan membunuh, tetapi menjauhkan beliau dari ayahnya. Sumur itu cukup dalam untuk menyembunyikan, tetapi tidak berair sehingga tidak membahayakan.  

Pendapat lain menyebutkan bahwa "al-bi’r" lebih dalam (a’maq), sedangkan "al-jubb" lebih dangkal. Dalam "Al-Tafsir al-Isytiqaqi", kata "al-jubb" pada Surah Yusuf diartikan sebagai sumur yang pinggirnya belum dibangun dengan batu, disebut demikian karena digali di tanah keras (jubub).  

Dalam kitab "Al-Lam’ah al-Bayan" karya Dr. Abdul Wahid Wajih, "al-jubb" digambarkan sebagai galian kecil yang tidak terkena sinar matahari langsung, bisa menampung air hujan, namun tidak cukup dalam untuk mencelakakan Yusuf.  

Kata "ghayabah" (kegelapan) yang mendahului "al-jubb" memberi makna perlindungan. Yusuf dijauhkan dari panas matahari dan pandangan manusia. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang saudara-saudaranya masih tersisa, mereka tidak menghendaki kematian Yusuf, hanya ingin menjauhkannya. Karena itu, mereka memilih "melemparkan" Yusuf ke sumur, bukan membunuhnya. Menariknya, surah ini dibuka dengan huruf muqaththa‘ah "Alif Lam Ra", di mana huruf "Ra" melambangkan "rahmah" (kasih sayang).  

Namun, sebagian ulama menafsirkan "ghayabah al-jubb" secara hiperbolis, yakni dasar sumur yang dalam secara kiasan, bukan secara fisik.  

Ciri-Ciri "Al-Jubb"  

Dalam beberapa penjelasan lain, "al-jubb" adalah sumur tanpa pagar atau tembok di sekelilingnya sumur yang tersembunyi, tidak banyak diketahui orang. Sebaliknya, "al-bi’r" adalah sumur tradisional yang umum ditemukan di masyarakat, seperti yang banyak terdapat di Indonesia.  

Ketika saudara-saudara Yusuf berkata, “Lemparkan saja dia ke dalam sumur agar diambil oleh para musafir,” yang dimaksud adalah sumur kecil namun dikenal oleh orang-orang yang lewat. Kata "yaltaqith-hu" (dipungut) menunjukkan harapan agar Yusuf ditemukan oleh kafilah, bukan dibunuh. Seandainya mereka benar-benar ingin membunuhnya, Yusuf pasti akan dimasukkan ke lubang lain atau "bi’r" yang berair dalam.  

Lokasi Sumur Nabi Yusuf  

Dalam kitab "Al-Kasysyaf", terdapat beberapa pendapat tentang lokasi sumur tempat Yusuf dilemparkan. Ada yang menyebut sumur di Baitul Maqdis (Palestina), ada pula yang berpendapat di wilayah Yordan. Pendapat lain menyatakan letaknya di antara Mesir dan Madyan, sekitar tiga farsakh dari rumah Nabi Ya‘qub.  

Sementara menurut "Al-Muhith", sumur tersebut berada di Palestina, tepatnya di kota Nablus, sekitar satu kilometer dari makam Nabi Yusuf. Bahkan ada riwayat yang menyebut Nabi Isa pernah meminum air dari sumur itu.  

Hikmah dari Sumur Kedengkian  

Mengapa Yusuf dilemparkan ke dasar sumur? Karena kedengkian saudara-saudaranya. Kedengkian tidak hanya membuat seseorang ingin menghilangkan nikmat orang lain, tetapi juga mendorongnya mencelakakan saudaranya sendiri.  

Begitulah sifat iri. Ia merasa puas bila melihat orang lain jatuh, menderita, atau bahkan binasa. Padahal, sering kali orang yang didengki justru semakin bersinar, semakin dicela semakin mulia. Sementara si pendengki sendiri hidup dalam kesengsaraan batin, kehilangan kebahagiaan karena hatinya dipenuhi dengki.  

Wallāhu a‘lam bish-shawāb

***
Dalam beberapa kajian bahwa yang dimaksud Ahsan Al-Qashah (kisah terbaik), bukan Surat Yusuf tapi seluruh Ayat-Ayat dan Surat dalam Al-Qur'an.

Perbedaan Da'i, Muballigh, Dan Khatib


Halimi Zuhdy

Kadang risih melihat da'i, penceramah, atau apa pun namanya yang mempraktikkan gaya di luar kebiasaan umum. Kebiasaan umum ini yang tidak menyalahi etika, akhlak, moral dan adab. Boleh berbagai gaya, tapi tidak kehilangan ruh, dan keluar dari relnya. Boleh melucu, tapi lucu yang tidak berbohong dan lainnya. Membincang persoalan seperti ini, memang agak rumit dan ruwet, belum urusan amplop dan panggung kemeriahannya. 😁
Ada tiga istilah klasik dalam dunia dakwah Islam yang sering kita dengar, yaitu da’i, muballigh, dan khatib. Tiga kata ini tampak mirip, tapi sesungguhnya berdiri di posisi yang berbeda, saling melengkapi dalam satu simfoni kebaikan. Menyeru manusia menuju jalan yang diridhai Allah. Tulisan ini, bukan kemudian harus memisah satu persatu sebagai tugas sendiri-sendiri, tapi ketiganya bisa menjadi satu kesatuan dalam diri seorang da'i. 

Toyyib. Ayo kita lirik perbedaannya. Da’i berasal dari kata da’wah (دعوة) yang berarti “panggilan” atau “ajakan.” Seorang da’i adalah pengajak, penyeru hati manusia untuk mendekat kepada kebenaran, mengajak kepada al-ma’ruf (kebaikan) dan mencegah al-munkar (keburukan). Ia tidak terbatas oleh tempat atau profesi. 

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

Lah, dakwah merupakan tugas kolektif umat untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Maka, kadang ada yang cuek melihat kemungkaran, "itu tugas kyai, ustadz, penceramah, muballigh, khatib" wong didepannya sudah ada kemaksiatan yang bisa dicegah dengan hal paling ringan (sebelum urusan hati lo).  

Seorang da’i bisa berdiri di atas mimbar, menulis di layar, berbicara di jalan, atau menebar kebaikan lewat tindakan sederhana. Namun satu hal pasti. Lah dakwahnya tidak boleh kehilangan hikmah (kebijaksanaan) dan mau’izhah hasanah (nasihat yang indah), sebagaimana perintah Allah dalam QS. An-Nahl:125.

Toyyib. Lanjut. Muballigh itu orangnya, sedangkn tabligh (تبليغ) itu yang dilakukannya. Tabligh berarti “penyampai.” Ia adalah pembawa pesan, penyambung lidah para nabi, yang memastikan ajaran Islam tidak hanya berhenti di kitab, tetapi hidup di dalam laku umat. Seorang Muballigh berperan sebagai jembatan antara teks dan realitas antara firman dan kehidupan. Ia bisa menjadi penceramah, penulis, atau guru, asalkan yang disampaikan adalah nilai-nilai yang menuntun manusia ke arah kebaikan.

Toyyib. Sebagaimana disebut dalam Surah Al-Ma’idah ayat 67:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Ayat ini menegaskan bahwa tabligh adalah amanah penyampaian risalah secara jujur dan tepat, tanpa menambah atau mengurangi. Dalam pandangan Dr. Fadhil Hasan Syarif, tabligh sering bersifat sementara dan tematik, seperti dalam momentum haji, umrah, atau acara keagamaan tertentu, di mana seorang muballigh menyampaikan pesan moral atau hukum tanpa membangun hubungan dakwah yang mendalam. Dengan demikian, dakwah bersifat transformasional dan membina, sedangkan tabligh bersifat informatif dan komunikatif. Ini salah satu pendapat lo! 

Berikutnya, adalah Khatib. Jangan keliru khaatib, nanti melamar. 😁. Khatiib dari khutbah (خطبة) adalah "penyampai" khutbah, biasanya di mimbar Jumat atau di acara keagamaan resmi. Khatib memiliki tanggung jawab moral yang besar, karena khutbah bukan sekadar pidato, melainkan seruan publik yang menggetarkan kesadaran. Dan, bisa dilihat dalam banyak teks dan hadis bagaimana ketika Nabi berada di mimbar. Maka, seorang khatib  bukan hanya berbicara kepada telinga jamaah, tapi mengetuk hati mereka agar kembali pada nurani dan tanggung jawab sosial.

Hari ini, mungkin istilah dan cara mungkin berbeda-beda. Ada yang lembut seperti air, ada yang tegas seperti petir, dan ada yang menenangkan seperti angin sepoi. Tapi semua mengalir menuju satu tujuan "mengajak manusia kepada kebaikan yang Allah perintahkan". Titik.

Namun, di tengah semangat berdakwah, seorang Da’i juga harus "menimbang antara biaya dan keberkahan." Jangan sampai kegiatan dakwah berubah menjadi ajang pemborosan, pamer, atau sekadar mencari tepuk tangan. Bila pengeluaran lebih besar dari nilai manfaat yang diterima umat, maka pesan dakwah bisa kabur tertutup gemerlap acaranya. Islam mengajarkan "tawazun" (keseimbangan), bahwa kebaikan yang benar tidak akan keluar dari cara yang benar. Tujuan yang baik tidak bisa ditempuh dengan jalan yang melenceng. Wow. 

Karena itu, apa pun bentuknya, tabligh akbar, ceramah kecil, atau konten dakwah digital, semuanya harus kembali pada "maqashid dakwah" menyentuh hati, menumbuhkan iman, dan memperbaiki akhlak. Sebab dakwah bukan tentang siapa yang paling lantang, tetapi siapa yang paling ikhlas dan konsisten.

Semoga para Da’i, Muballigh, dan Khatib senantiasa diberi "kesehatan, keikhlasan, dan keteguhan hati", agar tetap berada di jalur dakwah yang murni. Karena pada akhirnya, seruan kebaikan sejati tidak diukur dari panggung dan mikrofon, tapi dari seberapa banyak hati yang tersentuh dan berubah menjadi lebih baik.

Yang komen-komen juga bagian dari dakwa, apa yang ditulis, apa yang dikomentari, akan menjadi bagian dari kebaikan. Kalau buruk? Lah😁

***
Tadi gegara membaca tulisan Gus Albolliwud al al-Jamil fauqal jamal Rijal Mumazziq Z 😁🙏