السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 27 Agustus 2022

Gelar dalam Islam

Asal Julukan Ad-Din (Ahli Agama)

Halimi Zuhdy

Entah, mulai kapan muncul julukan atau gelar seperti syaikhul Islam, mujjaddid zaman, Alim Allamah, hujjatul Islam, al-hakim, al-hafid, al-muhaddis, Al-faqih, al-Muarrikh dan gelar lainnya. Setiap gelar yang muncul dan kemudian disematkan kepada seseorang bukanlah tanpa alasan, ada yang istimewa dari mereka. Kecuali gelar yang hanya dibuat-buat pada zamannya, maka seiring waktu gelar hilang bersama zamannya. 
Gelar yang sesuai dengan apa yang disematkan, maka akan "abadi" dalam sepanjang sejarah. Ia terus ditempelkan padanya, karena ia pernah berbuat sesuatu yang besar untuk sesuatu yang lain.

Tapi tidak semuanya harus bergelar, berpangkat, dan mempunyai julukan. Karena ia hanya bagian dari kebutuhan zamannya, dan pemberian zamannya. Dulu, dulu sekali pada zaman sahabat tidak ada gelar Syaikhul Islam walau pun alim. Dulu yang ahli ibadah tidak kemudian dijuluki dengan Al-Abid fillah. Sama dengan orang yang datang dari umrah, tidak dijuluki dengan al-mu'tamir. 

Ada yang menarik, dari kutipan Dr. Nuri Al-Mausuei dalam Tahqiq Makhthut fi Awraq Al-Jami'ah. Nuri mengutip perkataan Imam Al-Jalal Al-Suyuti asal mula julukan  yang dikaitkan dengan kata "Al-Din, Agama". 

Gelar yang terdapat kata "Al-Din" pertama kali muncul pada abad keempat. Pada waktu itu Turki mengalahkan kekhilafahan, dan ini menjadi sebab gelar atau julukan Al-Din muncul, mereka menyebutnya dengan gelar Syamsuddaulah (matahari negara), ada juga Nashir Al-Daulah (Penolong negara), Najm Al-Daulah (bintang negara), dan seterusnya. 

Imam al-Jalal as-Suyuthi menulis dalam kitabnya "al-Wasaail ila Ma'rifah al-Awaa'il": Penggunaan gelar al-diin di belakang nama ini terjadi pertama kali pada pertengahan abad ke-empat.
 
Rakyat biasa tergiur untuk menggunakan gelar-gelar tersebut, karena bermakna pengagungan dan kebesaran. Namun, karena tidak punya akses ke pemerintahan, mereka tidak dapat menggunakannya. Itulah sebabnya, mereka (rakyat) menggunakan gelar ad-diin, sehingga kebiasaan itu pun menyebar dan digunakan secara luas, sampai para ulama pun merasa nyaman dan terbiasa menggunakan gelar itu. 

( فائدة في التلقيب بالإضافة إلى الدين)
 يقولُ  الجلال السيوطي في كتابه الوسائل إلى معرفة الأوائل:
 أولُ ما حدثَ التلقيبُ بالإضافةِ إلى الدينِ في أثناء القرن الرابع.
 وسببُ ذلك أنّ الترك لمّا تغلّبوا على الخلافةِ فسمّوا إذ ذاك هذا شمس الدولةِ ، وهذا ناصر الدولة وهذا نجم الدولة إلى غيرِ ذلك، فتشوّقت نفوسُ بعضِ العوامّ ممن ليس له علم إلى تلك الأسماءِ لما فيها من التعظيم والفخر، فلم يجدوا إليها سبيلاً لأجل عدم دخولهم في الدولة، فرجعوا إلى أمرِ الدينِ ، ثمّ فشا ذلك وزادَ حتى أنِسَ به العلماء وتواطؤا عليه.

Dan yang menarik lagi, gelar-galar di kerajaan Islam Nusantara, beberapa gelar pamangku agama di Nusantara. (Butuh kajian lebih lanjut). 

***
Gambar Manuskrip tentang perkataan Al-Jalal Al-Suyuthi di tas

Kamis, 25 Agustus 2022

Moderasi dalam Ayat Al-Qur'an



Husain bin Fadl ditanya, apakah dalam Al-Qur'an terdapat Ayat yang terkait dengan "Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah"? 

Husain bin Fadl menjawab, "Ia ada, dalam Al-Qur'an terdapat empat tempat terkait hal di atas", yaitu; 

  لا فارض ولا بكر عوان بين ذلك 

 "bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu"

 والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.

ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط

..Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya...

ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا 
dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu

Minggu, 21 Agustus 2022

Hikmah di Balik Kehebohan

(Joko Tingkir, Sambo, Mas Samsuddin)

Halimi Zuhdy

"Ada-ada saja!. Hanya bikin heboh.!. Norak..!. Tak berkelas..!. Bikin onar..!. Habisi saja..!. Hanya untuk uang. Mau viral.!". Dan kalimat-kalimat lainnya yang menyertai setiap peristiwa akhir-akhir ini. Paling anyar Joko Tingkir, sebelumnya Sambo, dan yang terus bergulir Mas Samsuddin dan si Pesulap Merah. 
Saya coba merenung, bahwa setiap peristiwa selalu memberikan hikmah dan pengetahuan. Misalnya nyanyian yang lagi viral beberapa hari ini  "Joko Tingkir Ngombe Dawet", lagu ini sepertinya sudah satu bulan lalu, tapi hebohnya belakangan. Gegara Farel Prayoga tampil ciamik di Istana. Dan gegara menggunakan nama seorang ulama dan pendiri kerajaan Pajang.

Mungkin, banyak yang tidak paham siapakah Joko Tingkir, karena banyak sejarah kekinian yang tidak merekamnya dalam buku-buku anak bahkan buku untuk orang dewasa pun jarang ditemui. Masyarakat benar-benar awam tentang sosok hebat itu. Siapa sangka, Joko Tingkir adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. 

Karena kehebohan itulah, masyarakat pada mencari sosok al-Alim Joko Tingkir. Semua pada tahu. Dan masyarakat lebih memahami tentang sejarah keberadaan beliau. 

Ya, demikianlah peristiwa kalau sudah ingin dibuka oleh Allah. Walau hal ini pahit, karena dianggap kurang sopan, dan sang pencipta lagi, mas Pratama, sudah meminta maaf karena ketidaktahuannya atas nama tersebut. 

Mungkin, bukan hanya mas Pratama yang tidak tahu siapakah sosok Joko Tingkir atau Mas Kerebet (nama lengkapnya), tetapi masih banyak masyarakat yang tidak memahaminya. Tapi, gegara kehebohan itulah, namanya semakin masyhur di masyarakat. Dan banyak dicari di media. 

Bagaimana dengan Mas Samsuddin dan Pesulap Merah, bagaimana pula dengan Mas Sambo?! Bisa dicari sendiri hikmah tentangnya yang sangat melimpah. Setiap peristiwa ada hikmahnya. 

Allahumma zidna ilma.

***
Foto pemanis saja.

Selasa, 16 Agustus 2022

Menelisik Asal Kata Tirakatan

Halimi Zuhdy 

Kata tirakat dekat dengan petapa, puasa, menahan nafsu, menahan mata untuk tidak tertidur dan menahan diri dari melakukan dosa. Dan kata tirakatan juga akrab di telinga kita, yaitu seseorang yang bergadang (tidak tidur) ketika malam. Di antaranya digunakan di malam 17 Agustus (tepatnya tanggal 16 Agustus ) dengan istilah Malam Tirakatan. 

Entah, kata ini berasal dari kata asli Indonesia, atau dari luar Indonesia. Tapi, kalau ditilik dari akarnya, maka sangat dekat dengan bahasa Arab demikian juga dengan artinya. Tirakat sangat dekat dengan tarkun (الترك) yang bermakna meninggalkan dan juga dengan kata thariqah (الطريقة) yang bermakna jalan, metode, pola atau cara. 

Dari dua kata di atas (tarkun dan thariqah), kata tirakat lebih dekat dengat kata tarkun (meninggalkan), yaitu tarkul ma'ashi (meninggalkan maksiat, dosa, dan lainnya). Berbeda dengan thariqah, yaitu jalan. Mungkin cara yang digunakan untuk meninggalkan dunia, seperti petapa atau lainnya. 

Dalam KBBI tirakat adalah menahan hawa nafsu (spt berpuasa, berpantang); mengasingkan diri ke tempat yg sunyi (di gunung dsb). Sedangkan kata tirakatan adalah melakukan tirakat.

Ada pula yang menilisik dari akar yang lain, kata "tirah" yang bermakna menepi, tepi. "Petiharan" diartikan dengan tempat yang sunyi, sejuk dan tentram. Dari Jawa Kuno. Ada kesamaan arti dari berbagai kata di atas. Kesunyian. 

Malam Tirakatan yang populer di masyarakat adalah malam tasyakuran atas Kemerdekaan Republik Indonesia. Masyarakat berkumpul di balai desa, atau di lapangan, atau di jalan-jalan untuk melakukan doa bersama. Ada yang melakukan tahlil, istighosah, ada pula yang menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan kemudian doa bersama (sesuai dengan agama yang dianut masyarakat setempat) dengan mengundang tokoh agama, dan banyak kegiatan yang dilakukan warga, tentunya ada tumpeng yang siap untuk dipotong.

Bersyukur atas pemberian Tuhan kepada Indonesia. Merdeka. Merdeka dari belenggu penjajah, dan merdeka dari segala hawa nafsu yang mengekang.

Merdeka!!! 

Hari Ulang Tahun ke-77 Republik Indonesia🇮🇩

#Tirakatan #77RI #HUT77RI

BCT Malang, Malam 16 Agustus 2022

Asal kata Hewan

(Apakah Manusia itu juga hewan?)

Halimi Zuhdy

"Dasar hewan!!", Terkadang kalimat ini sering kita dengar, ketika ada seseorang yang lagi marah pada orang yang dibencinya. Dan ia lupa, bahwa yang mengucapkan juga adalah hewan. Sesama hewan jangan mencaci.😁. Loh, kak sesama hewan?. 
Dalam bahasa Arab - asal dari kata hewan itu muncul- bahwa manusia juga adalah hewan, hewan itu ada dua; hewan yang berakal (حيوان ناطق) dan hewan yang tidak berakal (حيوان غير ناطق).
Maka, hewan adalah setiap  makhluk yang punya ruh, baik berakal atau tidak.
كل ذي روح من المخلوقات عاقلا أم غير عاقل.

Hewan berasal dari kata hayiya (حيي), hidup, kehidupan, yang hidup. Satu derivasi dengan kata hayah (حياة), kehidupan. Dan kata ini, tergantung penggunaannya. Dalam bahasa Indonesia, kata hewan khusus pada binatang, atau dalam bahasa Inggris adalah animal, yang bermakna "punya nafas", sedangkan dalam bahasa  Sansekerta adalah "satwa" yang bermakna makhluk hidup. 

 Berbeda lagi dengan kata Hayawan (حيوان) dalam Al-Qur'an, yang memiliki banyak penafsiran, di antaranya adalah kehidupan yang abadi.
 
وَمَا هَـٰذِهِ ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ إِلَّا لَهۡوࣱ وَلَعِبࣱۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَ لَهِیَ ٱلۡحَیَوَانُۚ لَوۡ كَانُوا۟ یَعۡلَمُونَ 

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Surat Al-Ankabut: 64).

Hewan dalam penggunaannya dalam bahasa Arab adalah setiap organisme eukariotik (هو كل كائن حي حقيقي النواة) yang termasuk dalam kerajaan animal. Sedangkan Hewan dalam undang-undang (no 41/2014) adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

Dalam bahasa Jawa hewan adalah kewan, bahasa Madura keben, mirip, dalam satu bentuk kata. Hewan adalah kehidupan. Maka, sesama makhluk hidup harus saling menghargai dan berkasih. 

Allahu'alam Bishawab

BCT 16 Agustus 2022

Kajian-kajian Al-Qur'an, Mu'jizat Al-Quran, Balaghah, Sasta Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy* 
🗜️ Tiktok  *ibnuzuhdy*

Minggu, 14 Agustus 2022

Rambut Tetangga Lebih Hitam

Halimi Zuhdy

Manusia itu unik. Orang-orang yang hidup di desa ingin sekali melihat dunia perkotaan. Menabung puluhan tahun untuk bisa sampai ke pusat kota. Sedangkan orang kota ingin hidup di desa, mereka mengeluarkan banyak uang untuk membangun vila di dekat pegunungan dan perbukitan hanya untuk merasakan suasana desa. 

Orang-orang desa melihat makanan yang dikonsumsi orang kota serasa makanan yang paling nikmat, sebaliknya orang-orang kota melihat makanan orang desa pada ngeler; sego jagung, pecel, sayur lodeh, terasi, jenggkol, pete dan makanan-makanan lainnya.
Orang pegunungan sangat senang sekali melihat lautan dengan hamparan pasirnya, dan orang pesisir melihat gunung dan persawahan bahagia sekali. Ribuan orang berwisata hanya untuk merasakan gelombang pantai, kemudian selfi-selfi di antara karang-karangnya. Sedangkan orang-orang yang hidup dekat pantai, jarang  menikmatinya, mungkin tak sempat mengambil foto dengan latar pantainya yang indah. 

Mengapa sesuatu yang indah, dekat kita, serasa biasa saja?, Dan sesuatu yang mempesona milik kita, kadang jarang dirasakan begitu indah oleh kita?. 

Memang begitu. Rambut tetangga lebih hitam, eh rumput tetangga lebih hijau. Sebenarnya sama saja, sama rumput. Hijaunya ya sama, sama hijau. Rambut juga begitu, hanya tinggal menunggu waktu kapan putihnya. Karena rumput sendiri, dan sering dilihat setiap hari, mungkin bosen dan lupa bersyukur. Karena lupa bersyukur, maka serasa yang lain serasa lebih asyik. 

Orang yang bersyukur adalah fokus kepada kebaikan yang dimiliki, maka akan selalu merasa bahagia. Beda dengan orang yang kufur (ingkar nikmat, tidak bersyukur), maka lebih fokus pada keburukan yang dimiliki, serasa hidupnya selalu kurang, tidak indah, tidak nyaman, dan laksana neraka. Maka, dalam pikirannya milik orang lebih baik. Kemudian timbul rasa iri, dengki, dan perbuatan jahat. Selanjutnya, keburukan lainnya bisa timbul.

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

"Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

Kekayaan yang paling kaya, adalah qana'ah (merasa cukup). Munculnya rasa qana'ah karena ia bersyukur padaNya. Banyak orang yang kaya, tapi tidak qana'ah, maka serasa miskin, dan selalu kurang dan kurang. 

Rumput hijaunya tetangga hanyalah "rasa", kalau dinikmati rumput di halaman "sendiri" lebih indah dan berasa.

Allahua'lam bishawab.

Solo, 13 Agustus 2022


***
Foto hasil jepretan sendiri; Palangkaraya, Bali, Bandung.

Kajian-kajian Al-Qur'an, Mu'jizat Al-Quran, Balaghah, Sasta Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy* 
🗜️ Tiktok  *ibnuzuhdy*

Sabtu, 13 Agustus 2022

Orang yang Pertama Kali Membuat Contoh "Zaid" dalam Bahasa Arab

Halimi Zuhdy


Artis dalam ilmu nahwu itu adalah Zaid (زيد) dan Amr (عمرو). Dua nama ini sangat populer sekali bagi yang pernah belajar kitab Al-Jurmiyah, Durus Arabiyah, Imriti, Alfiyah dan kitab-kitab lainnya, contoh-contoh yang sering digunakan adalah kata zaid. Tidak hanya dalam ilmu nahwu, tapi dalam buku-buku pembelajaran bahasa Arab nama Zaid paling populer. 

Mengapa kata Zaid yang sering dijadikan contoh?, Banyak jawaban tentang ini, di antaranya adalah karena kata "Zaid" bermakna "Numuw" yaitu bertambah. Dengan penggunakan kata tersebut, diharapkan seorang pencari ilmu selalu bertambah keinginan dan semangat dalam mencari ilmu, dan selalu bertambah ilmunya dan keberkahannya. 

Tapi tahukan para pembaca, kapan kata "Zaid" digunakan pertama kali sebagai contoh dalam bahasa Arab?, kemarin dalam perjalanan Malang-Bandung penulis membuka kitab-kitab elektronik  dan menemukan kajian tersebut, dalam Majmu'ah Tahqiq Al-Makhtut fi Awraq Al-Jamiah bahwa yang pertama kali membuat contoh dengan kata Zaid dalam Bahasa Arab adalah Abdullah bin Abi Ishaq Al-Hadrami.

Menurut Syek Nuri, di akhir Risalah al-Isytiqaq li Ibn Al-Siraj dalam manuskripnya yang disimpan di Perpustakaan Shahid Ali No.2358 dijelaskan;

قالَ تاجُ الدّينِ الكنديُّ رضي اللهُ عنه: أوّلُ مَن مثّلَ بزيدٍ في أهلِ العربيةِ عبدُ اللهِ بنُ أبي إسحاقٍ الحضرميّ، كان له ولدٌ اسمُهُ زيدٌ، فكانَ إذا مثّلَ قالَ: ضربَ عبدُ اللهِ زيدًا

Kata Tajuddin Al-Kindi, bahwa orang yang pertama kali memberi contoh dengan "Zaid" adalah Abdullah bin Abi Ishaq Al-Hadrami, dan kebetulan anaknya bernama Zaid. Maka, Abdullah sering memberi contoh dengan "Dharaba Abdullah Zainda" Abdullah memukul Zaid. Ia mencontohkan dirinya sebagai Ayah yang memukul anaknya sendiri, Zaid. 

Tampaknya Ibn Abi Ishaq benar-benar memukul putranya Zaid, dan untuk ini dia menjadikannya sebagai contoh. Dan dalam banyak contoh, yang digunakan adalah Ayah (abun) dan Anaknya (ibnu). Terkadang menggunakan Abu Zaid, Ibnu Zaid, dan Zaid itu sendiri.  

Ibn Abi Ishaq meninggal pada tahun 117 H, sedangkan  Tajuddin al-Kindi meninggal pada tahun 613 H, di Damaskus, dan dimakamkan di Qasioun. Dan Syekh Tajuddin punya karya Syarah Diwan Al-Mutanabbi. (Muhammad Nuri al-Moussawi)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02sgvzq7KmgrmUCpRdR4Hpw1ks4xTEjjEEcghb1aZLn8xHcjgAKBb3cv5jQfM6Uadol&id=1508880804

Zaid  selalu asyik didiskusikan, selain dari akarnya za-a-da (زاد) yang bermakna banyak, berkembang, bertambah, kebaikan dan makna-makan lainnya, juga bisa cakep dibuat nama. Kata ini juga berubah dalam bentuk lainnya menjadi; Ziyad (زياد), Yazid (يزيد), Zayid (زايد),  Ziyad (زياد), dan nama-nama lainnya.

***
Kajian-kajian Al-Qur'an, Mu'jizat Al-Quran, Balaghah, Sasta Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy* 
🗜️ Tiktok  *ibnuzuhdy*

Minggu, 07 Agustus 2022

Asal Kata Suro dan Asyura

Halimi Zuhdy

Kata "Suro" dalam kalender Jawa menjadi nama sebuah bulan, bulan Suro. Nama bulan Suro diambil dari salah satu hari atau peristiwa yang berada di bulan Muharram (dalam kalender Hijriah), tepatnya pada tanggal 10 bulan Muharram, yang disebut dengan Asyura'. Kata Asyura' kemudian dihilangkan huruf "Ain" menjadi syura (suro), mungkin dianggap lebih mudah pengucapannya. Dan yang dimaksud dari nama Suro adalah Asyura' itu sendiri. 
Bila mendengar kata “Asyura’” maka ingatan kita pasti merujuk pada tanggal 10 di Bulan Muharram, karena kata tersebut sangat masyhur di kalangan umat Islam, meskipun agama lain, seperti Agama Yahudi juga memiliki sejarah panjang tentang hari tersebut.

Kata Asyura’ sudah menjadi istilah atau nama dari tanggal 10 di bulan Muharam, hari yang memiliki keistimewaan luar biasa bagi umat Islam. Kata ini, terdapat dua pandangan dalam membacanya; ada yang membaca عاشوراء (setelah huruf Ain terdapat alif) ada pula yang membaca عشوراء dengan membuang huruf alifnya (pendek). Namun, yang pendapat pertama lebih masyhur.

Kata ini, merupakan kata yang langka bila dicari derivasinya, karena dalam beberapa kamus Arab tidak ditemukan kecuali hanya sebuah nama dan urutan hari di Bulan Muharram. Kita tidak mendapati kata Sabua’ (سابوعاء) yang berarti tujuh, bila kata Asyura’ menjadi kata masyhur untuk sebuah angka. Juga bila kita merujuk pada wazan fa’ula’. Karena tidak semua angka dapat dirubah menjadi wazan tersebut.

Setelah membaca beberapa refrensi, ternyata Asyura berasal dari bahasa Arab kuno, bukan dari bahasa Ibrani atau Bahasa lainnya. Ulama ahli bahasa Arab, berbeda pendapat terkait asal penamaan kata tersebut, demikian juga asal dari derivasinya. Ada yang menyebutkan ia berasal dari turunan atau derivasi (isytiqaq) al-‘Asyr (العَشر).

Namun menurut al-Qurtuby, Asyura adalah bentuk perubahan (ma’dul) dari al-Asyir (العاشرة) sebagai sifat yang mulia dan penuh keagungan dari malam ke-10 Muharam. Bila kita menyebut Asyura, maka seperti kita mengatakan “yaum al-lailah al-asyirah”, kata “yaum” disandarkan pada al-lailah, dan kata “Asyura” sudah menjadi nama sendiri.

Ada pula yang menyebutkan, ia berasal dari ‘Isyr (العِشر) sebagaimana orang Arab sering menyebutkan dalam kalimat وردت الابل عشرا إذا وردت يوم التاسع.

Pada awal Islam muncul beberapa kata seperti al-Hadusya’ (الحادوشاء), sedangkan al-Hadusya sendiri sudah muncul pada masa-masa sebelumnya, dan yang seperti Hadusya’ adalah al-Asyura dan al-Tasyu’a. Ini disepakati oleh al-Khalil bahwa Asyu’ra dengan wazan fa’ula’ (فاعولاء) berasal dari bahasa Ibrani, karena wazan (bentuk) ini tidak biasa dalam bahasa Arab, dan hanya kata Asyura yang berwazan tersebut.

Dalam Majma’ al-Lughah al-Arabiyah al-Iftirady Kata Asyura adalah derivasi dari Asyra (العشرة) dengan pola Fa’ula’ (فاعولاء) sedangkan “hamzah” yang ada dalam kata Asyura adalah penanda jenis untuk perempuan (للتانيث), dan dirubah dari bentuk al-Asyir (العاشر) yang berfungsi untuk pleonastis (للمبالغة) dan pengagungan (للتعظيم). Kata ini sebenarnya adalah kata sifat dari Malam Asyura’ (اليلة العاشرة) sebagaimana pendapat Al-Qurtubi di atas.

Kata ini tidak dikenal pada masa Jahiliah atau sebelumnya, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Duraid, dan menurut Ibnu Qutaibah dalam Adab al-Katib tidak ada wazan Fa’ula’ (فاعولاء) kecuali kata “’Asyura’.

Sedangkan kata “Tasu’a’ (تاسوعاء)” diqiyaskan kepada kata “Asyura’” demikian pendapat Fayumi dalam Kitab Al-Mishbah, sedangkan menurut al-Jauhari, Al-Sha’ghani, dan Fairuzabadi kata tersebut adalah muwallad.
Sedangkan beberapa ulama lughah tidak sepakat terhadap anggapan hanya kata Asyura’ yang merupakan wazan Fa’ula’ dalam Bahasa Arab, kemudian beberapa ulama mencontohkan kata-kata lain seperti;ساموعاء (daging),خابوراء (sungai), الضاروراء والساروراء (kesulitan dan kemudahan) dan juga nama tempat seperti; حاضوراء dan رانوناء yang seperti Asyura’.

Terkait dengan hari Asyura itu sendiri, apakah ia tanggal ke-9, atau ke-10 atau ke-11 di Bulan Muharam? Sahabat, Tabi’in dan ulama berbeda pendapat terkait hal tersebut.

Menurut Jumhur ulama Asyura adalah tanggal 10 di bulan Muharam. Mereka yang berpendapat ini dari kalangan Sahabat ada Sayyidah Aisyah dan dari kalangan Tabi’in ada Said bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Basri, dari kalangan imam mazhab ada Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, dan para pengikutnya. Sedangkan yang berpendapat Al-Syura’ adalah hari ke-9 adalah Ibnu ‘Abbas, demikian juga dalam Al-Musannif dari Al-Dhahak.

Beberapa Sahabat juga berbeda pendapat, bahwa Asyura adalah tanggal 09, 10 dan 11. Dalam Tafsir al-laist Samarqandi Asyura tanggal 11, ada pula yang berbendapat, Asyura adalah tanggal 9 dan 10, ada pula yang berpendapat tiga hari adalah hari Asyura’ sebagaimana dalam ‘Madatul al-Qoriy Syarh Shahih Al-Bukhari dalam Bab Kitab Shiyam al-Asyura’.

Kekayaan kata ini, dan banyaknya pendapat terkait hari Asyura’ adalah bukti bahwa Asyura’ adalah hari yang sangat istimewa, dan sangat disunahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan sebagaimana dalam hadis dan aqwal ulama.

***
Repost Alif.Id 2019

****
Kajian-kajian Al-Qur'an, Mu'jizat Al-Quran, Balaghah, Sasta Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya.

🌎 www.halimizuhdy com
🎞️ YouTube; Lil Jamik
📲  Facebook; Halimi Zuhdy
📷 Instagram;Halimizuhdy3011
🐦 Twitter; Halimi Zuhdy 
🗜️ Tiktok ; ibnuzuhdy

Kamis, 04 Agustus 2022

Hanya Gelar, Kok Marah!

Halimi Zuhdy

Seorang teman lupa mengucapkan kata "Pak Haji" ketika menjadi MC dalam suatu acara yang digelar oleh salah seorang tokoh masyarakat. Setelah acara selesai, pak haji tersebut menegur si MC dengan cukup keras. 

Ternyata, itu tidak hanya terjadi pada Pak Haji, yang berada di masyarakat umum. Tapi, juga sering terjadi di kalangan akademisi (oknum). Pernah seorang profesor marah besar, ketika seorang mahasiswa lupa membubuhkan gelar "prof" sebelum namanya. Bahkan, hampir-hampir tidak lulus kuliahnya. Pernah juga mahasiswa mengadu, bahwa pesan di hpnya tidak dibuka beberapa bulan, karena lupa membubuhkan gelar "Dr" di depan namanya. "Untuk memperoleh gelar ini mahal lo mas, kok kamu tidak mencantumkan!". 
Tidak hanya di "masyarakat" umum dan di kalangan "akademisi" (oknum lo ya), juga pernah terjadi di kalangan tokoh agama, yang namanya tidak diawali dengan Romo, Kyai, Tuan Guru, Ajengan, tengku, Buya, Gus, Bu Nyai, Neng, Lora, Kaeh, Syekh dan atau sebutan lainnya. Mereka marah besar dengan berbagai ekspresinya. 

Ternyata tidak hanya gelar, titel, julukan, atau sebutan di atas yang mendatangkan amarah kalau tidak dicantumkan atau tidak disebutkan. Tapi, bagi yang memangku jabatan juga marah (oknum lo ya), seperti Pak Menteri, Pak Gubernur, Pak Camat, Pak Kades, Pak RW, Pak RT dan Pak-Pak yang lain.

Gelar, jabatan, titel, atau sebutan apa pun bukan tidak penting dan bukan hal yang sepele, tetapi bila hanya ada kesalahan atau lupa menyebutkan kemudian marah besar itu tidak pada tempatnya, apalagi yang marah adalah yang bersangkutan. Bukankah kalau tidak disebut "pak haji" tetaplah ia seorang haji? Apalagi ia bukan sebuah gelar, ia hanyalah pengingat padaNya. Disebut haji atau tidak, tidak akan merubah amal ibadah kepadaNya. 

Bagaimana dengan "Prof, Dr, Magister, Sarjana" sama saja,  tidak harus marah besar, cukup mengingatkan kalau lupa seseorang lupa menyebutkannha (itu pun kalau ada keharusan untuk disebutkan), kalau tidak?! Maka, tidak elok bila marah. Bukankah seorang ilmuan yang sesungguhnya adalah mereka yang punya kompetensi dalam keilmuannya?!. Bukan karena gelar atau sebutan. Karena tidak sedikit oknum yang membeli gelar, dan kemudian dicantumkan di depannya?!. 

Juga lagi marak sebutan kyai, gus, ajengan, tuan guru, dan buya walau secara keilmuan (agama) belum "pantas" untuk itu. Tapi, kalau tidak disebut dengan gelar di atas, mereka muring-muring. Bahkan sekarang mudah sekali menyebut gelar-gelar yang belum "maqam"nya. Dan  mencantumkan sendiri gelar di depan namanya.

Biarlah ia berjalan dengan sendirinya. Tidak terlalu bangga dengan berbagai sebutan yang dikalungkan, dan tidak terlalu sedih bila diletakkan. Apalagi sampai marah memerah, bila kata-kata indah tidak dilabelkan. Sesungguhnya gelar "hamba Allah" yang paling pantas untuk direbutkan.

“Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.” (Al-Qur'an).

Peristiwa di atas hanyalah oknum lo ya. Tidak boleh baper, apalagi marah. Masih banyak dan lebih banyak yang tidak marah, kalau gelar namanya "lupa"  disebutkan.

Tetapi, kita wajib menghormati seseorang dengan segala jabatan dan segala gelar yang dimilikinya, dan menyebut gelar yang dimilikinya bagian dari menghortinya. 

***

"Gelar yang sesungguhnya, bila ia benar-benar sesuai dengan gelarnya, kalau profesor maka bagaimana ia menjadi sumber keilmuan dan memproduksi ilmu pengetahuan, sebagai pelaku bukan lagi hanya sebagai penikmat" pesan Prof Muhammad Zainuddin  (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang).

Selasa, 02 Agustus 2022

Cara Mendeteksi Orang Baik atau Buruk


Halimi Zuhdy

Cara mendeteksi seseorang apakah ia orang baik atau tidak, sangat mudah sekali ditebak. Untuk mengetahuinya tidak harus ke tukang ramal, dukun, apalagi ke tukang santet. Atau mendatangi tukang  terawang yang melibatkan jin atau gendruwo. Cukup lihat apa yang dikatakan, sorot matanya, dan tentu saja perilakunya.
Mudahnya begini; lihatlah bagaimana ia membicarakan orang lain padamu, jika membicarakan kejelekan seseorang, maka dirinya tidak jauh dari apa yang dibicarakan. Kalau yang ia hadirkan kebaikan orang lain padamu, maka ia orang baik. Karena tidak mungkin air mengeluarkan bara, dan panas memuntahkan air. Pula, seperti orang menunjuk pada orang lain, maka jari jempolnya adalah dirinya".

Sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi'i;

‏ومَن نقَل إليك نقَل عَنك

“Barangsiapa yang mengabarkan kejelekan orang lain kepadamu, maka ia akan melakukan hal yang sama padamu (akan mengabarkan kejelekanmu kepada orang lain)”

Hanya terkadang cari kesempatan saja kapan ia menusuk. Kalau sudah ada kesempatan yang menguntungkan dirinya, maka ia akan menusuk dengan indahnya. 

Tapi, harus lihat-lihat dulu. Seberapa sering ia datang mengghibah orang lain padamu, kalau hanya sesekali dan sepertinya ada indikasi benar, maka tidak cukup menilainya sebegai orang tidak baik. Karena berita buruk, tidak selamanya benar-benar buruk, bisa saja ada kebaikan di dalamnya. 

Kalau ada orang datang membicarakan kejelekan saudaranya, temannya, atau sahabatnya, maka hati-hati bisa saja ia lagi iri atau dengki pada mereka. Atau ia sengaja melihat responmu!?. Bila bersepakat atas kejelekannya, maka suatu saat pembicaraanmu akan direkam dalam pikirannya, dan akan dikabarkan padanya. 

Allahu'alam bishawab.

Senin, 01 Agustus 2022

Asal Kata Nisa' dalam Bahasa Arab


(Pengapa Perempuan disebut Nisa?") 

Halimi Zuhdy

"Ustadz, apa arti nama saya?" tanya seorang perempuan dengan wajah menunduk

"Nama jenengan siapa?" saya tanya balik, karena wajahnya tampak asing, demikian juga dengan suaranya.
"Nama saya Nisa', lengkapnya Nisaul Kamilah" perempuan itu menjawab dengan malu-malu.

"Oh, mbak Nisa'. Artinya Nisa' itu modern, bisa juga terbelakang, atau terlambat!" Saya jawab seadanya.

Mbak ini kagetnya luar biasa. Sepertinya ia sudah tahu arti dari namanya sendiri, tapi ia hanya ingin memastikan arti namanya. Nisa'. Sepertinya kaget karena diartikan dengan terbelakang, atau terlambat.

Nama Nisa' sangat masyhur di Indonesia. Nama ini diartikan dengan "perempuan" atau "wanita". Kalau namanya "Nisaul Kamilah" maka artinya perempuan yang sempurna. 

Nisa' (النساء) adalah kata jamak dari kata tunggal yang berbeda bentuk yaitu mar'atun (مرأة). Ada pula yang berpendapat, kata nisa' tidak punya kata tunggal, karena berbeda antara tunggal dan jamaknya. Dan kata mar'atun tidak punya jamak. Inilah keunikan perempuan dalam bahasa Arab. Dari kata-katanya saja sudah unik, bagaimana dengan makhluk Allah yang istimewa ini, perempuan.

Terus apa arti "Nisa'" secara bahasa?. Kalau hamzah yang ada pada kata Nisa' itu asli (nun-sin-hamzah), maka bermakna telat, terlambat, atau kekinian (التأخير).

Seperti "nasa'at al-mar'atu" (perempuan telat atau terlambat). Atau Nasa'at   (mengakhirkan).

 الشيء ينسؤه نسأً وأنسأه: أخره، فعل وأفعل بمعنىً، والاسم النسيئة والنسيء. 
Mengapa perempuan dinamakan dengan Nisa' (telat, terlambat, akhir)? Di antara pendapat yang mengartikan dengan terlambat, karena seorang perempuan bila terlambat, maka sebuah tanda kehamilan. Dan juga ada yang mengartikan dengan arti "lupa" yang diambil dari kata nisyan (النسيان), tetapi ada pula yang merujuk pada arti lainnya. 

Tetapi, secara istilah kata nisa' atau niswah adalah bermakna "perempuan" yaitu sebagai jamak dari kata mar'atu (مرأة) dan niswatu (نسوة). Dan tidak banyak dikulik secara bahasanya dan arti asalnya. Berbeda dengan kata "perempuan" yang berasal dari kata "per" dan "empu" dan "an". Per diartikan dengan makhluk, empu adalah mulia, mahir dan tuan, sedangkan "an" adalah ziyadah. Maka, perempuan adalah makhluk yang mulia.

Akhiran: Nisa' adalah jamak dari kata mar'atun, jamak yang berbeda secara lafadh (kata). 

***
Bagaimana dengan asal kata Mar'ah (المرأة)? apakah benar kata Mar'ah dari Mir'ah (cermin)? Penjelasan ini dapat dibaca di kolom komentar. (Halimi zuhdy, NuOnline)