Halimi Zuhdy
Dua tulisan sebelumnya, saya menulis tentang pembakaran buku, cinta dan ulama. Ketika membuka natgeomagarab, tiba-tiba mata saya tertegun dengan vedio yang menampilkan kitab bersampul hijau, dengan judul "kitab ahdhar bassam, kitab hijau beracun". Ini info yang unik. Kemudian saya tilik dibeberapa laman, dengan judul lebih mengerikan "bimujarati lamsihi, wa qiroatihi satamut, hanya memegang dan membacanya kau akan mati"!
Saya terus membacanya, saya kira kitab-kitab berbahasa Arab, ternyata buku karya Robert C, seorang profesor kimia dan dokter Amerika, ia sangat mengerikan dan setiap lembarannya membawa petaka. Membunuh.
Sebelum dilanjut membaca, tarik nafas dulu......huh. Geser tempat duduk, dan sruput kopi susunya. Toyyib. Ada ungkapan lama yang menyebut buku sebagai jendela dunia. Namun kisah "Adhalal min didaril maut, Shadows from the Walls of Death" (1863) justru menghadirkan kengerian. Sebuah buku yang, secara harfiah, dapat membunuh pembacanya. Bukan karena isinya menghasut kekerasan, melainkan karena halaman-halamannya dilapisi racun mematikan, arsenik. Buku karya Robert C. Kedzie kini tercatat dalam Guinness World Records sebagai buku paling berbahaya di dunia. Di balik sensasinya, kisah ini menyimpan pelajaran etis yang relevan hingga hari ini. Wow.
Kedzie bukan penulis horor. Ia seorang ilmuwan yang gelisah melihat praktik industri abad ke-19. Penggunaan arsenik dalam pewarna hijau cerah pada kertas dinding rumah (jidar ahdhar). Racun itu menguap ke udara, dihirup manusia, dan perlahan merenggut nyawa, terutama kalangan anak-anak. Ketika peringatan ilmiah diabaikan, Kedzie memilih jalan ekstrem. Ia mengumpulkan sampel kertas dinding beracun dan menjilidnya menjadi buku. Ia ingin membuktikan bahaya itu dengan cara yang tak bisa diabaikan. Buku itu bukan untuk dibaca, melainkan untuk “dirasakan”. sebuah peringatan yang memaksa. Ngeri.
Di sinilah kita dihadapkan pada dilema etika pengetahuan. Apakah sah menggunakan bahaya untuk menyadarkan publik dari bahaya yang lebih besar? Kedzie tampaknya yakin bahwa guncangan perlu ketika nalar publik tumpul. Namun sejarah juga mengajarkan bahwa kebenaran yang disampaikan tanpa pagar keselamatan dapat berubah menjadi ancaman baru. Tak heran, dari seratus eksemplar, kini hanya tersisa dua, disimpan dengan protokol ketat di Universitas Michigan. Kemana lainnya? Gak tahu.he
Apakah hari ini juga masih ada? Hari ini, racun tidak selalu berwujud arsenik. Ia bisa hadir sebagai disinformasi, teknologi tanpa etika, atau kebijakan yang abai pada dampak kesehatan dan lingkungan. Seperti kertas dinding hijau abad ke-19, bahaya sering tampak indah dan “normal” hingga korban berjatuhan. Ketika peringatan ilmiah diabaikan, siapa yang bertanggung jawab, ilmuwan yang berteriak, industri yang meraup untung, atau publik yang lalai? Entah musibah Sumatera masuk atau tidak?
Buku Kedzie mengajarkan bahwa pengetahuan bukan sekadar akumulasi fakta, melainkan amanah. Ia harus disampaikan dengan tanggung jawab, namun juga diterima dengan kesungguhan. Sensasi tanpa etika berbahaya, tetapi penyangkalan terhadap sains tak kalah mematikan. Di antara keduanya, kita membutuhkan keberanian moral. Mendengar peringatan sebelum tragedi menjadi statistik.
Shadows from the Walls of Death, atau dalam bahasa Arab "Kitab ahdhar sammam", bukan tentang buku yang membunuh, melainkan tentang peradaban yang sering menutup mata. Ketika ilmu berbicara dan kita enggan mendengar, sejarah akan menemukan cara, kadang ekstrem, untuk mengingatkan. Pertanyaannya, apakah kita masih harus “menyentuh racun” agar mau berubah? Tentunya tidak. Apakah harus banyak mayat dulu, untuk sadar? Tentu juga tidak.
Semoga kita diselamatkan olehNya.
Sukorejo, 19 Desember 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar