السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Senin, 29 Desember 2025

Bukan Kitab yang Dibenci, Tapi Kesepian


Halimi Zuhdy

Membincang Sumatera, seperti membincang kecemburuan. Kecemburuan dalam penanganan bencana. Maka, beredar berbagai narasi-narasi atas kurang tanggapnya pemerintah dalam penanganan bencana.
Toyyib. Kita melanjutkan tentang tulisan sebelumnya, tentang kecemburuan. Mengapa seorang perempuan bisa cemburu pada kitab? Dan kemudian membakarnya. Pertanyaan ini terdengar ganjil, bahkan absurd. Kitab tidak bernapas, tidak berbicara, tidak membalas tatapan. Tetapi justru di situlah letak persoalannya, "kitab selalu ada, sementara kehadiran suami yang juga seorang ulama sering absen". Apakah berdosa membakar kitab? Wah, perlu ditilik dan dipahami lebih dalam, kalau membincang hukumnya. He.

Sebelum dilanjutnya, tarik nafas dalam-dalam.....huh. Cemburu perempuan dalam kisah-kisah pembakaran kitab bukanlah cemburu biasa. Ia bukan cemburu karena orang ketiga, melainkan karena "perhatian yang terus-menerus jatuh pada sesuatu yang tak pernah lelah menyerap waktu dan jiwa". Kitab menjadi saingan yang sunyi, tetapi menang telak.

Perempuan tidak tiba-tiba membakar kitab. Tidak ada amarah yang lahir dalam satu malam. Ia tumbuh perlahan dari percakapan yang ditunda, dari makan malam tanpa dialog, dari rindu yang tak pernah ditanya, dari perasaan menjadi “tamu” di rumah sendiri. Ketika kitab selalu dipeluk, sementara dirinya hanya disapa seperlunya, maka cemburu berubah menjadi luka.

Lalu siapa yang harus disalahkan?

Jika kita menunjuk perempuan semata, kita sedang menutup mata dari sebab. Jika kita menyalahkan ulama sepenuhnya, kita sedang mengabaikan batas moral.

Perempuan itu bersalah "karena membakar" mungkin "ya", he. Tidak ada dalih yang membenarkan perusakan ilmu. Kitab adalah amanah publik, bukan milik emosi privat. Api tidak pernah menjadi solusi bagi luka batin. Seorang perempuan itu perasa, walau tidak semua perempuan lo ya!

Tetapi sang ulama pun tidak sepenuhnya tak bersalah. Ilmu yang luhur tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab relasi. Kesalehan intelektual tidak otomatis berarti kesalehan sosial. Ketika ilmu mengasingkan pasangan hidup, maka yang retak bukan hanya rumah tangga, tetapi juga etika keilmuan.

Cemburu perempuan dalam kisah ini adalah bahasa terakhir dari "ketiadaan kehadiran". Ia bukan melawan ilmu, melainkan melawan kesepian. Kitab dibakar bukan karena dibenci, tetapi karena dianggap telah “merebut” seluruh cinta. Di sinilah tragedinya, "ilmu yang seharusnya memanusiakan, justru menjadi alasan dehumanisasi". 

Islam tidak pernah memusuhi cemburu. "Ghirah" adalah fitrah. Tetapi Islam juga memberi batas "cemburu tidak boleh melampaui keadilan". Ketika cemburu berubah menjadi kehancuran, itu tanda bahwa dialog telah mati jauh sebelumnya. Oh ia, cemburu dalam bahasa Arab adalah "ghirah", tapi dalam bahasa Indonesia diartikan dengan "semangat". 

Ok. Lanjut....Maka, yang patut disalahkan bukan hanya siapa yang menyalakan api, tetapi "mengapa api itu dibiarkan menyala tanpa pernah dipadamkan oleh kehadiran, perhatian, dan kasih sayang".

Kitab memang harus dijaga. Tetapi rumah tangga juga harus dihidupi. Ulama sejati bukan hanya yang setia pada teks, tetapi juga yang adil dalam relasi. Dan cinta sejati bukan yang menuntut penghancuran, melainkan yang berani meminta kehadiran.

Api dalam kisah ini bukan semata api cemburu. Ia adalah api dari cinta yang terlalu lama diabaikan.

Ini bukan hanya membakaran kitab Lo ya, tapi semua hal, tidak bisa hanya dinilai sepihak. Seperti selingkuh? Mengapa selingkuh, walau tidak pernah dibolehkan selingkuh, tapi ia tidak pernah berdiri sendiri ada banyak sebab yang mengitarinya. 

***
Perjalanan Malang, Probolinggo menuju Situbondo..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar