Halimi Zuhdy
Aha. Dari pada rapat dan diskusi di medsos tentang PBNU, saling jawab, saling tabayyun, yang tidak akan pernah selesai (kecuali duduk bersama dan benar-benar ada seorang mutarjim fikriyan, wa qalbiyan), maka mendingan membaca asal usul kata tarjamah😁🙏 siapa tahu, bisa menerjemahkan kegaduhan.
Toyyib. Kita mulai tentang "terjemah" begitu kita membaca kata “terjemah”, imajinasi kita biasanya cuma melayang ke hal-hal sangat praktis seperti dosen yang memberi tugas menerjemahkan artikel, atau aplikasi di ponsel yang dengan bangga menulis “translate” di ikon birunya. Kata ini terasa biasa, teknis, nyaris membosankan. Padahal, kalau ditarik mundur jauh ke belakang, “terjemah” menyimpan sejarah panjang, lintas bahasa, lintas peradaban, dan bermula dari akar kata yang makna dasarnya justru jauh dari kesan rapi dan teratur. Bahkan ada pendapat dari kata "rajam", mengerikan kan?
Sebelum melanjutkan membaca, duduk manis, ambil nafas, ....huh. Jangan lupa kopinya.😁Toyyib.Dalam tradisi Arab klasik, kata kerja "tarjamah/ تَرْجَمَ" sudah dijelaskan dalam kamus besar seperti Lisān al-‘Arab, bahwa tarjamah/الترجمة adalah نقل الكلام من لغة إلى أخرى (memindahkan ucapan dari satu bahasa ke bahasa lain). Dari sini muncul sebutan juru bahasa, yaitu turjuman/التُّرْجُمان atau tarjaman/التَّرْجَمان, dan masdarnya "تَرجَمة" yang kemudian dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai “terjemah”. Tetapi maknanya tidak hanya soal pindah bahasa, karena dalam penulisan Arab-Islam (terutama kitab ṭabaqāt dan biografi), ungkapan تَرْجَمَ لفلان juga berarti memperkenalkan seseorang dan menuliskan riwayat hidupnya; maka jamaknya tarajum/تَراجم bisa berarti kumpulan biografi tokoh, seperti dalam judul-judul تراجم الصحابة atau pembagian bab “ترجمة فلان”, sehingga “tarjamah” di sini menjadi cara mengenal seseorang yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, seperti “alih makna” menuju pengetahuan tanpa menghilangkan inti.
Menariknya, di Indonesia, jejak makna kedua ini hampir lenyap. Kata “terjemah” mengerucut menjadi “translation” dalam arti teknis, sedangkan fungsi biografisnya digantikan istilah “biografi” atau “riwayat hidup”. Kita jarang mendengar ungkapan “tarjamah hidup ulama”, meski secara historis istilah inilah yang lama dipakai di dunia Arab.
Kalau ditarik lebih jauh, akar terjamah ternyata tidak hanya milik bahasa Arab, karena ia juga ada di banyak bahasa Semit. Yuk, kita tilik, dalam Ibrani ada "תרגם" (tirgem), dalam Aram/Suriah ada "ܬܪܓܡ" dan "ܬܪܓܡܢܐ", bahkan dalam Akkadia (bahasa kuno Mesopotamia) ada bentuk seperti "targumanu" atau "turgumannu" yang berarti “juru bahasa”, jadi gagasan tentang penerjemah dari akar t-r-g-m ini sudah sangat tua.
Sruput kopinya lagi dan lagi....Lalu muncul pertanyaan, asal akar terjamah/ترجم dari mana? Sebagian ahli bahasa mengatakan ترجمان dan ترجمة mungkin berhubungan dengan akar yang lebih tua ر ج م (r-j-m): memang kita kenal makna keras seperti رَجَمَهُ بالحجارة (melempari batu) atau الشَّيْطانُ الرَّجيم (setan yang terkutuk), tetapi ada juga makna yang lebih halus seperti رَجَمَ بالغيب (menebak tanpa ilmu), dan التَّراجُم (saling melempar kata-kata buruk). Para peneliti lalu menduga pada lapisan paling tua, "رجم / רגם" awalnya berkaitan dengan “melontarkan suara atau kata” yaitu ucapan yang keras, campur-aduk, dan belum jelas, sebelum kemudian dipahami sebagai “melempar batu”. Bayangkan pasar kuno yang ramai dengan banyak bahasa, bagi orang yang hanya paham satu bahasa semua itu terdengar seperti gumaman yang tidak jelas, semacam kalam gharu muhaddad, di situlah peran turjuman atau tarjaman muncul, yaitu orang yang masuk ke tengah keramaian suara itu, lalu memilih, menata, dan menyampaikannya kembali dalam bahasa yang bisa dipahami orang lain.
Dari sudut pandang ini, penerjemah adalah orang yang hidup dari mengurusi ketidakjelasan. Ia berhadapan dengan kata-kata yang pada mulanya “liar” bagi salah satu pihak, lalu mengubahnya menjadi susunan makna yang bisa dimengerti. Di sini, jejak akar rajama/رجم terasa, kalau r-j-m di satu sisi adalah lemparan kata tanpa bentuk, maka t-r-j-m adalah proses menata lemparan itu menjadi kalimat yang jelas. Penerjemah bukan sekadar “orang yang menguasai dua bahasa”, ia adalah mediator antara kekacauan dan keteraturan, antara "noise" dan "meaning".
Jejak kata "tarjamah" ini terlihat jelas dalam teks klasik: "tarjuman" muncul saat banyak bangsa dan bahasa bertemu, sehingga orang baru saling paham lewat para "tarajim" (penerjemah); bahkan dalam kisah Zaid bin Tsabit, Nabi Muhammad SAW memintanya belajar bahasa Yahudi untuk membaca dan menulis surat mereka, jadi terjemah dipakai untuk diplomasi, politik, dan keamanan, bukan sekadar ilmu.
Dalam konteks perang pun perannya bisa menentukan, karena satu kata yang keliru dapat mengubah hasil komunikasi; lalu maknanya meluas secara kiasan lewat ungkapan "al-qalamu wa al-lisanu kilahuma lil-qalbi tarjuman" (pena dan lidah adalah “penerjemah” hati), yakni mengubah isi batin menjadi kata atau tanda yang dipahami orang lain. Istilah ini juga hadir dalam fikih pengadilan sebagai "mutarjim", lalu menyeberang ke Eropa pada masa Ottoman sebagai "dragoman" (juru bahasa resmi), hingga akhirnya "tarjamah" masuk ke Nusantara menjadi “terjemah” dan melahirkan “menerjemahkan” serta “penerjemah”.
Memahami asal-usul kata ini membuat kita sadar bahwa “terjemah” bukan cuma memindahkan bahasa, tetapi kerja panjang menata makna, membuat yang asing jadi akrab dan yang kabur jadi jelas, sebuah rantai sejarah dari rajm → tarjama → tarjuman → tarjamah → terjemah.
Allahualam Bishawab

Tidak ada komentar:
Posting Komentar