Halimi Zuhdy
Menyapa Pondok Pesantren Banyuanyar selalu menghadirkan kesan yang sama, teduh, hidup, dan penuh semangat keilmuan. Kali ini, sapaan itu terbingkai dalam peringatan Hari Bahasa Arab Sedunia, yang diselenggarakan di Markaz Bahasa Arab Putri Pondok Pesantren Banyuanyar, dengan tema besar: Al-Adab al-‘Arabiyyah: Mīrāts Yulhim al-‘Ālam, Sastra Arab sebagai Warisan yang Mengilhami Dunia.
Acara ini dihadiri oleh para santri putri yang dengan antusias membincang sastra Arab, bukan sekadar sebagai teks klasik, tetapi sebagai denyut peradaban yang membentuk cara berpikir dunia. Di samping saya sebagai moderator oleh Dr. Muhsin Muis , menghadirkan suasana ilmiah yang cair, dialogis, dan menggugah.
Yang paling mengesankan, diskusi berlangsung sangat hidup. Pertanyaan-pertanyaan peserta menunjukkan bahwa bahasa Arab di pesantren ini tidak dipelajari sebagai hafalan, melainkan sebagai bahasa makna, bahasa rasa, dan bahasa peradaban. Dari puisi Jahiliyah, prosa klasik, hingga pengaruh sastra Arab terhadap filsafat, ilmu pengetahuan, dan sastra dunia, semuanya dibincang dengan semangat ingin tahu yang jujur dan cerdas.
Kegiatan ini terasa istimewa, bukan hanya karena temanya, tetapi juga karena ia menjadi pertemuan keempat atau mungkin kelim saya di pesantren ini. Setiap kunjungan selalu menghadirkan energi yang sama: kesungguhan dalam menjaga bahasa Arab sebagai ruh keilmuan Islam.
Pondok Pesantren Banyuanyar bukanlah pesantren yang lahir kemarin sore. Ia berdiri sejak sekitar 1787 M, dirintis oleh Maulana Raden KH. Itsbat bin Ishaq, bermula dari sebuah musholla kecil di tanah Madura yang gersang. Dari tempat sederhana itulah, sejarah besar dimulai. Nama “Banyuanyar” lahir dari penemuan sumber mata air jernih yang hingga kini masih mengalir dan dimanfaatkan. Namun lebih dari itu, “Air Baru” adalah simbol pembaruan, ilmu yang menghidupkan, tradisi yang menyegarkan, dan iman yang terus mengalir lintas generasi.
Warisan KH. Itsbat bukan hanya bangunan, melainkan amanah peradaban, membangun pesantren yang kokoh dalam nilai, namun tanggap terhadap zaman. Amanah ini diteruskan oleh generasi penerus mulai dari Raden KH. Abd. Hamid, RKH. Abdul Majid, RKH. Baidhawi, RKH. Abdul Hamid Bakir, RKH. Muhammad Syamsul Arifin dan dilanjutkan oleh KH. Hasbullah..
Bahasa Arab sebagai Nafas Pesantren
Komitmen Banyuanyar terhadap bahasa Arab bukan slogan kosong. Ia diwujudkan secara nyata melalui pendirian STIBA Darul Ulum Banyuanyar pada tahun 2016, yang kemudian berkembang menjadi STAI Darul Ulum Banyuanyar (STAI DUBA). Bahasa Arab ditempatkan bukan hanya sebagai alat memahami teks, tetapi sebagai jalan membangun adab, nalar, dan kepekaan intelektual. Sekarnag menjadi IDB (institut Darul Ulum)
Slogan pesantren ini terasa relevan hingga kini “Berpijak pada ilmu yang bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Allah.” Di sinilah bahasa Arab menemukan maknanya bukan sekadar struktur dan gramatika, melainkan sarana tazkiyah, peradaban, dan pengabdian.
Menyapa PP. Banyuanyar adalah menyapa air ilmu yang tak pernah berhenti mengalir. Dari Madura, ia menyapa dunia melalui bahasa Arab, sastra, dan adab yang terus mengilhami zaman.
Pamekasan, 26 Des 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar