Halimi Zuhdy
Entah mengapa, setiap kali kaki ini menjejakkan diri di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, ada semacam energi yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa. Ia bukan sekadar semangat akademik, melainkan getaran batin, madrasah fiqih, bahasa, sejarah, dan doa bertemu dalam satu ruang peradaban.
Mungkin karena pondok ini memang lahir dari kajian kitab (bahasa), dan bahasa yang dimaksud adalah bahasa Arab. Atau mungkin karena tema-tema yang terus berulang, seakan tak pernah usang: al-hifâz ‘alâ irtsi al-lughah al-‘Arabiyyah, menjaga warisan bahasa Arab. Tema ini bukan sekadar judul acara. Ia adalah napas pesantren itu sendiri. Bahasa Arab bukan hanya 4 maharat yang dimaksud, tetapi di situ adalah Al Qur'an, hadis dan kitab-kitab kuni yang berkelindan.
Di pesantren, bahasa Arab bukan hiasan kurikulum. Ia adalah jantung. Kitab-kitab yang dikaji, fiqih yang didalami, ushul yang dirumuskan, tasawuf yang dihayati, semuanya berjalan dalam irama bahasa Arab. Kalau pun ada pelengkap lain, ia hanyalah “ekstra”, bukan inti. Karena itu, membicarakan pesantren tanpa bahasa Arab sama dengan membicarakan tubuh tanpa ruh.
Kehadiran saya di Sukorejo kali ini bukan yang pertama. Ini adalah kunjungan ketiga. Pertama, dalam Sastra Pesantren, saya bahkan mendapat amanah membacakan puisi. Kedua, pada perayaan Hari Bahasa Arab Sedunia. Dan kini, lagi-lagi tentang bahasa Arab. Menariknya, hampir selalu bersama Markaz Bahasa Arab Putri. Entah kebetulan atau pesan simbolik, bahwa masa depan bahasa, peradaban, dan pesantren juga bertumpu pada ketekunan para santri putri. He.
Namun, Sukorejo bukan hanya soal hari ini. Ia adalah sejarah yang ditulis dengan keringat, doa, dan keteguhan iman. Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dirintis sejak tahun 1908 oleh KHR. Syamsul Arifin (Raden Ibrahim), dengan membabat hutan belantara di Situbondo hingga menjadi perkampungan kecil dan mushala sederhana. Tahun 1914 kemudian ditetapkan sebagai tahun berdirinya pesantren, saat pendidikan klasik mulai berjalan secara sistematis.
Api perjuangan itu diteruskan dan diperbesar oleh putranya, KHR. As’ad Syamsul Arifin. Di tangan beliau, Sukorejo tumbuh menjadi pusat pendidikan Islam moderat yang kokoh memegang tradisi sekaligus berani menyambut modernitas. Prinsip al-muhâfadhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd al-ashlah bukan hanya slogan, tetapi benar-benar menjadi jalan hidup pesantren.
Sistem sorogan dan bandongan tetap terjaga, namun sekolah berjenjang modern diperkenalkan. Bahkan, Sukorejo mencatat sejarah dengan mendirikan Ma’had Aly pertama di Indonesia pada tahun 1990 sebuah tonggak penting dalam pendidikan tinggi keislaman berbasis kitab turats, yang semuanya kembali bermuara pada penguasaan bahasa Arab.
Pesantren ini juga bukan menara gading. Ia hadir sebagai pusat peradaban, benteng akidah, sekaligus penggerak kemandirian umat. Unit-unit usaha dibangun, santri diberdayakan, masyarakat sekitar disentuh. Dari sinilah lahir ulama, pemikir, dan pejuang, termasuk peran penting Sukorejo dalam sejarah NU dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tongkat estafet kepengasuhan pun berjalan dengan penuh amanah: dari KHR. Syamsul Arifin, KHR. As’ad Syamsul Arifin, KHR. Achmad Fawaid As’ad, hingga kini di bawah asuhan KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy. Setiap generasi menjaga satu hal yang sama: pesantren ini harus tetap berakar pada bahasa Arab, karena dari sanalah ilmu tumbuh dan peradaban disemai.
Maka, setiap kali bahasa Arab dibicarakan di Sukorejo, sesungguhnya yang sedang dibicarakan bukan hanya bahasa, melainkan identitas, kesinambungan, dan masa depan. Bahasa Arab di pesantren bukan nostalgia masa lalu, tetapi jembatan menuju dunia, sebagaimana dulu ia menjadi bahasa ilmu yang mengilhami peradaban global.
Dan mungkin itu sebabnya, setiap kali hadir di Sukorejo, semangat itu selalu ada. Karena di tempat ini, bahasa tidak sekadar diajarkan, tetapi dihidupkan.
Syukran lakum Sukorejo
Sukorejo, 19 Des 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar