Halimi Zuhdy
Pertama, saya ucapkan innalilahi wainna ilaihi Raji'un, atas korban banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Bencana yang menimbulkan dampak sangat besar dengan total 659 orang meninggal dunia, 475 orang masih hilang, serta 2.600 orang mengalami luka-luka.
Belum lagi jumlah warga terdampak mencapai 3,2 juta jiwa, sementara kerusakan meluas hingga sekitar 50 kabupaten/kota. Di Sumatra Utara saja tercatat 290 korban tewas, 154 hilang, 538.792 warga luka-luka, dan lebih dari 135 ribu orang terpaksa mengungsi. Ribuan rumah rusak parah akibat banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi secara beruntun, menunjukkan skala kerugian manusia dan material yang sangat besar.
Entah siapa yang harus disalahkan? Apakah kita akan gegabah menuding takdir? Mustahil, takdir bukan kambing hitam. Lalu siapa? Pemerintah yang lalai? Akademisi yang sibuk berteori? Penceramah yang hanya pandai menasihati? Politisi yang lihai berjanji? Para komentator dunia maya yang riuh tanpa solusi? Atau para penebang hutan yang merampas jantung bumi? Atau Pak Zulhaz yang mengizini? Atau.....duh.
Bencana ini seakan menampar kita semua. Ingat! "bahwa kerusakan tidak pernah lahir dari satu tangan, tetapi dari banyak kelalaian yang dibiarkan tumbuh bersama".
Kedua, hutan kembali menjadi sorotan hangat dalam beberapa hari terakhir. Ia yang dulu menjadi ruang paling teduh, paling jujur, dan paling setia bagi makhluk yang bergantung padanya, kini berubah menjadi panggung bencana yang tak terperi. Hutan yang semestinya menjadi penyangga kehidupan telah menjelma menjadi ancaman yang menakutkan. Bukan karena salahnya, tetapi karena tangan-tangan manusia yang menganggapnya sebagai lahan paling empuk untuk dieksploitasi.
Ada ironi yang tak bisa kita abaikan: tempat yang memberi kesejukan, kini memberi ketakutan; ruang yang menjadi rumah bagi kehidupan, kini menjadi sumber kematian. Entah dengan alasan apa pun; atas nama pembangunan, ekonomi, atau sekadar kepentingan sesaat, penjarahan terhadap hutan telah dibiarkan, bahkan dirayakan.
Dan akhirnya, kita bertanya, apa yang terjadi? Jawabannya datang dalam bentuk bencana yang tak bisa ditawar, banjir. Banjir bukan sekadar air yang meluap. Ia adalah bahasa alam yang paling jujur. Ia menjerit bahwa keseimbangan telah dirusak, bahwa akar-akar yang dulu menahan tanah kini tak lagi ada, dan bahwa kehidupan yang pernah harmonis kini digantikan oleh kekacauan.
Banjir adalah protes yang tak memakai kata-kata. Alam berbicara dengan caranya sendiri, dan kita dipaksa mendengarkan, meski sering terlambat untuk memahami.
Menilik Asal Hutan dalam Bahasa Arab, Ghabah.
Dalam bahasa Arab, hutan disebut ghabah/الغابة karena berasal dari akar kata غاب يغيب yang bermakna hilang, tersembunyi, tidak tampak. Penamaan ini bukan kebetulan, melainkan menggambarkan hakikat hutan sebagai ruang yang menutupi apa saja yang berada di dalamnya. Pepohonan yang rapat, rimbun, dan bertumbuh dari segala arah membuat siapa pun yang masuk seakan “ghaib”, lenyap dari pandangan. Maka, secara linguistik, ghabah/الغابة adalah tempat yang menghilangkan jejak dan menyelubungi keberadaan, sesuai dengan sifat dasar hutan yang penuh rahasia.
Akar kata yang sama melahirkan istilah Qur’ani ghaib/الغيب sesuatu yang ada tetapi tidak terlihat oleh pancaindra. Dari sini tampak bahwa hutan dan konsep ghaib memiliki hubungan makna yang mendalam. Hutan dalam perspektif teologis menjadi salah satu tanda kekuasaan Allah, ruang ciptaan yang menyimpan kehidupan yang tak semuanya tampak di hadapan manusia. Ia seolah menjadi "laboratorium ghaib" yang menyimpan jutaan makhluk, ekosistem, dan hukum-hukum Ilahi yang tak terjangkau pandangan. Dengan demikian, penyebutan ghabah الغابة secara tidak langsung menegaskan bahwa alam menyimpan dimensi “ghaib kecil” yang mengajarkan kerendahan hati manusia.
Secara filosofis dan kultural, hutan (ghabah), bagi masyarakat Arab klasik yang hidup di lingkungan padang pasir, hutan tampak sebagai dunia lain: sebuah wilayah yang asing, liar, dan tidak dapat dikendalikan. Karena itu, ia dipahami sebagai ruang misterius yang bisa “menghilangkan” manusia baik secara fisik maupun simbolik. Dari perspektif filosofis, ghabah/الغابة menjadi metafora ketersembunyian: tempat rahasia kehidupan bersembunyi, tempat manusia diuji kemampuan orientasinya, dan tempat keseimbangan alam bekerja tanpa campur tangan manusia.
Penamaan ini mencerminkan cara orang Arab melihat hutan. Bukan sekadar kumpulan pepohonan, tetapi dunia ketertutupan yang menyimpan pelajaran tentang batasan, keberanian, dan keharmonisan alam.
Pada akhirnya, bencana ini bukan hanya peristiwa alam, tetapi cermin besar yang memantulkan wajah kita sendiri. Ia mengingatkan bahwa kehidupan tak bisa dipisahkan dari amanah menjaga bumi, dan kehancuran selalu lahir dari kelalaian yang kita biarkan tumbuh. Karena itu, sebelum kita menuntut langit berhenti murka, mari kita sendiri yang lebih dulu berhenti abai, menata kembali hubungan dengan hutan, dengan alam, dan dengan hati kita, agar tragedi tak lagi menjadi bahasa terakhir yang dipilih alam untuk menegur manusia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar