Halimi Zuhdy
Aha. Pertanyaan ini terdengar hipotetis, tapi sesungguhnya menyentuh kegelisahan paling mendasar kita, "apakah kehadiran manusia di bumi membawa maslahat atau justru mafsadat? Tentunya, termasuk kita. Apakah kita ini, sering membuat kerusakan di bumi, membuat bumi lebih cepat kiamat, atau adanya kita membuat makhluk lain tidak nikmat di muka bumi ini? Sehingga tidak perlu ada manusia, agar bumi ini hidup indah dan tenang.
Saya agak males menjawab pertanyaan di atas, karena saya sendiri manusia yang sudah lahir ke muka bumi, dan entah sudah berapa banyak kerusakan yang saya buat, dan apakah ada kebaikan yang pernah saya lakukan?. Embuh! Saya tidak mampu meniliknya. Semoga ada kebaikan walau hanya sedikit.
Jangan lupa, sebelum melanjutkan membaca tarik nafas dulu. ......Aha. Dalam banyak diskusi lingkungan, manusia kerap diposisikan sebagai biang kerok. Krisis iklim, kerusakan hutan, pencemaran laut, hingga kepunahan spesies, semuanya memiliki satu benang merah, "ulah manusia". Dalam kacamata ini, tidak berlebihan jika muncul anggapan bahwa bumi akan lebih baik tanpa manusia. Wow. Ulah manusia? Manusia yang mana😁
Secara ekologis, argumen itu tampak masuk akal. Ketika manusia absen, alam cenderung memulihkan dirinya. Hutan kembali tumbuh, satwa liar berani keluar dari persembunyian, dan keseimbangan ekosistem bekerja tanpa gangguan. Bumi tidak membutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Mungkin, mungkin lo ya hewan-hewan yang ada di Sumatera senang kalau tidak ada manusia! Atau mungkin tidak hanya di Sumatera, tapi di seluruh wilayah di dunia.
Namun, pertanyaan lain, "bumi yang lestari tidak otomatis berarti bumi yang bermakna".
Alam berjalan menurut hukumnya sendiri, tetapi ia tidak mengenal baik dan buruk, adil dan zalim, atau tanggung jawab dan amanah. Semua kategori moral itu hanya hadir ketika ada manusia. Tanpa manusia, tidak ada yang menyebut kerusakan sebagai kerusakan, dan tidak ada yang menyebut keindahan sebagai tanda kebesaran Tuhan.
Di sinilah posisi manusia menjadi paradoksal. Manusia adalah makhluk yang paling berpotensi merusak bumi, tetapi sekaligus satu-satunya yang mampu menyadari kesalahan dan memperbaikinya. Gunung yang meletus tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hewan yang memangsa tidak bisa disebut zalim. "Hanya manusia yang memikul beban moral atas tindakannya."
Dalam perspektif keagamaan, manusia tidak diciptakan sebagai penguasa mutlak alam, melainkan sebagai "khalifah, penjaga yang diberi amanah. Kerusakan bumi bukanlah bukti bahwa manusia seharusnya tiada, melainkan tanda bahwa manusia gagal menjalankan amanahnya.
Oh hampir lupa. Ada dialog menarik, ketika Allah ingin menciptakan manusia, Malaikat bertanya, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" (QS. Al-Baqarah: 30). Apa jawaban Allah, ""Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 30).
Klir ya! Allah lebih mengetahui, mengapa manusia diciptakan.
Karena itu, pertanyaan tentang dunia tanpa manusia sejatinya mengarahkan kita pada pertanyaan yang lebih mendasar: "apakah manusia masih menjalankan perannya sebagai penjaga kehidupan, atau justru berubah menjadi perusak yang merasa berhak atas segalanya?"
Bumi akan tetap ada, dengan atau tanpa manusia. Tetapi keberlanjutan nilai, tanggung jawab, dan makna hidup sangat bergantung pada pilihan manusia hari ini. Jika manusia terus hidup melampaui batas, bumi memang akan bertahan, tanpa manusia.
Maka, alih-alih membayangkan dunia tanpa manusia, jauh lebih mendesak bagi kita untuk membayangkan "manusia yang kembali sadar batas", hidup secukupnya, memelihara keseimbangan, dan menempatkan diri bukan sebagai pusat semesta, melainkan sebagai bagian darinya.
Ada pertanyaaan terakhir, bumi yang butuh manusia, atau manusia butuh bumi, atau keduanya sama-sama membutuhkan? Masihkah bumi ini sayang sama manusia, dan sebaliknya?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar