السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 05 Mei 2018

MAQHA AL-ADAB (Cafe Sastra)

IG @halimizuhdy3011
. Maqha al-Adab, minum kopi sambil mendengar sastra dibaca, dikaji, dinikmati dan diapresiasi. Acara yang menarik dan menyegarkan hati dan tenggorokan, mengkritik asyik tanpa mencubit. Apresisasi ini akan dilakukan setiap bulan di Jurusan BSA UIN Malang, insyallah.

Mengapa? 

Sekilas kita melihat sastrawan adalah orang-orang yang hanya berkutat dengan teks, mengasingkan diri menemukan imajinasi, melahirkan buku yang indah, berkhayal ria, suka memprotes tanpa aksi, memanjat panggung untuk menghibur, lahir untuk berhayal, mencipta puisi-puisi tanpa henti, menoreh cerpen, novel, roman dan drama- hanya untuk menghibur. Benarkah asumsi tersebut?
Mungkin banyak orang yang enggan menjadi sastrawan, karena menganggap mereka tidak punya pekerjaan yang berguna, banyak pula yang mencemooh sebagai tukang bual, para kritikus sastra pun dianggap sebagai orang munafiq yang hanya bisa mengkritik tanpa bisa beraksi untuk melahirkan karya, sedangkan para sastrawan yang bukan kritikus dianggap pembual yang tidak mampu melahirkan karya berbobot.


Banyak predikat yang disandang sastrawan baik yang negatif seperti di atas, namun di sisi lain tidak sedikit yang memujinya sampai-sampai melebihi seorang dewa. Kalau kita kalkulasi, sastrawan di dunia tidaklah begitu banyak (baca : langka), sehingga pemberian Nobel pertama kali yang ada di dunia adalah Nobel sastra, bukan nobel perdamaian, bukan pula fisika, kimia dll. 

Kelangkaan itu tidaklah asing, karena memang banyak manusia yang tidak terlalu suka bermain kata-kata yang dipoles dengan keindahan (menulis, berucap), tapi tidak terhitung orang-orang yang suka keindahan namun tidak mampu menuliskan dan membacakan (sebagai penikmat saja), seperti ketika malam tiba kebanyakan manusia lebih suka tidur dibandingkan bangun malam untuk merenungkan diri (evaluasi) dan menghadap Tuhannya, kiasan di atas sebatas kelangkaannya bukan kemulyaannya.ibarat seorang sastrawan yang suka berlabuh di malam hari menemukan ispirasi, sedangkan kebanyakaan mereka suka berlabuh menemukan mimpi.

Dalam "Maqha Al-adab"  mereka kan berlatih, untuk memulai diri dan berkarya tampa henti. Selanjutkan, bermanfaat tuk semua.

Kehadiran sastrawan di dunia, lebih banyak mendatangkan manfaat atau mudharat(kerusaka) Sebuah pertanyaan yang terlontar dari kebanyakaan awam bahkan para elit yang menganggap sinis dunia kesusastraan.

Ada nada-nada positif dari seorang Muhammad Takdir Ilahi, dalam artikelnya yang berjudul Sastra dan Bahasa : Akuntabilitas Sastrawan dalam Realitas Sosial “Keberadaan sastrawan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, begitu sangat penting. Sebab sastrawan pada dasarnya merupakan mediator kemajuan pembangunan bangsa di era global. Di tangan para sastrawan, perkembangan peradaban bangsa dapat ditentukan sehingga pada gilirannya mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar untuk membantu proses pembangunan bangsa yang masih terpontang panting dengan adanya krisis multidimensional yang berkepangjangan. 

Sastrawan merupakan salah satu agent of change yang berperan dalam realitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tak dapat tergantikan dengan posisi yang se-vital apapun. Karena, peran sentral sastrawan bukan mengarah pada hal-hal yang bersifat materialistik. Akan tetapi, lebih kepada kesadaran dan kepedulian terhadap masa depan bangsa ke arah kemajuan yang signifikan. Sastrawan pada dasarnya berfungsi sebagai penyampai pesan moral mapun aspek lain yang berkaitan dengan kemaslahatan ummat. 

Melalui karya yang diciptakannya, mereka mampu menggugah hati nurani dan sanubari masyarakat menjadi terkesima dengan pesan yang disampaikannya. Walaupun hanya dalam bentuk tulisan dan karya yang dibuatnya, akan tetapi pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan tersebut mengandung pemahaman yang sangat mendalam. Pesan yang disampaikan para sastrawan, sejatinya bertujuan untuk memandang kenyataan hidup dalam berbagai perspektif. Sehingga, kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya.”

Daya dobrak seorang sastrawan tidaklah selalu frontal dan demonstratif, apalagi mengadakan gerakan penghancuran, ia selalu berbicara dengan kelembutan….berkisah untuk mengajarkan akan keindahan, bersyair untuk menyindir para manusia yang arogan. 

Banyak hal yang dilakukan oleh sastrawan, meskipun mereka lebih pada dunia teks….tapi sumbangsih pemikiran mereka tidak kalah hebatnya dari para pahlawan. Dan dibeberapa Negara, sastrawan sebagai sebagai “bom” untuk mengahancurkan kemungkaran, bahkan ledakannya lebih terasa dari pada ledakan bom para teroris. Ada prinsip yang sering digunakan para sastrawan terkait dengan perubahan, yaitu kalau bisa merubah dengan cinta dan keindahan mengapa harus merubah dengan senjata dan terror.

Di sisi lain, sastrawan tidak mampu mengahadirkan sebuah perubahan kecuali hanya jebakan-jebakan kata melankolis yang mampu menghipnotis para penggila percintaan dan kerinduan, seperti yang dikatakan Edy Firmansyah bahwa selama ini para sastrawan kita tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan baru terhadap kerja kreatif mereka. Mereka lebih senang karya-karyanya terbit di media nasional, dari pada memahami kondisi masyarakat yang masih belum paham terhadap karyanya. Semestinya mereka berpikir, bahwa karya-karyanya itu bisa memunculkan perubahan dan memiliki makna konteks yang lebih mendalam.

Meskipun tidak semua sastrawan seperti di atas, namun tidak sedikit yang mengalami seperti itu. Berlebih menganggap keindahan yang dilontarkan hanya untuk para elitis, dengan bahasa imajinatif melangit, dengan pujian-pujian yang kebablasan, heperbola yang super, dan kadang maksudnya tidak pernah jelas, dan kalau bisa orang-orang awam tidak mampu menangkapnya – ini yang bisa dianggap para sastrawan pemburu materi-, ketika ada pelanggaran dan kebobrokan, mereka diam sejuta kata, namun ketika ada bagi-bagi sembako mereka berteriak dengan lantangnya bak petir menyambar pohon di siang bolong. 

Sungguh memang sebuah pilihan, menjadi sastrawan yang berkarakter atau sastrawan pembentuk kebobrokan. Mungkin meminjam istilah Imam al-Ghazaly ketika berbicara tentang ulama, ia membaginya menjadi dua, ada ulama yang sholehdan tholeh (suk). Memang selalu ada perkawinan dalam sebuah kehidupan, di antara perkawinan itu adalah kubu para sastrawan, sastrawan yang cendrung kekiri dan ada yang cenderung ke kanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar