السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 02 November 2025

Perbedaan Da'i, Muballigh, Dan Khatib


Halimi Zuhdy

Kadang risih melihat da'i, penceramah, atau apa pun namanya yang mempraktikkan gaya di luar kebiasaan umum. Kebiasaan umum ini yang tidak menyalahi etika, akhlak, moral dan adab. Boleh berbagai gaya, tapi tidak kehilangan ruh, dan keluar dari relnya. Boleh melucu, tapi lucu yang tidak berbohong dan lainnya. Membincang persoalan seperti ini, memang agak rumit dan ruwet, belum urusan amplop dan panggung kemeriahannya. 😁
Ada tiga istilah klasik dalam dunia dakwah Islam yang sering kita dengar, yaitu da’i, muballigh, dan khatib. Tiga kata ini tampak mirip, tapi sesungguhnya berdiri di posisi yang berbeda, saling melengkapi dalam satu simfoni kebaikan. Menyeru manusia menuju jalan yang diridhai Allah. Tulisan ini, bukan kemudian harus memisah satu persatu sebagai tugas sendiri-sendiri, tapi ketiganya bisa menjadi satu kesatuan dalam diri seorang da'i. 

Toyyib. Ayo kita lirik perbedaannya. Da’i berasal dari kata da’wah (دعوة) yang berarti “panggilan” atau “ajakan.” Seorang da’i adalah pengajak, penyeru hati manusia untuk mendekat kepada kebenaran, mengajak kepada al-ma’ruf (kebaikan) dan mencegah al-munkar (keburukan). Ia tidak terbatas oleh tempat atau profesi. 

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

Lah, dakwah merupakan tugas kolektif umat untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Maka, kadang ada yang cuek melihat kemungkaran, "itu tugas kyai, ustadz, penceramah, muballigh, khatib" wong didepannya sudah ada kemaksiatan yang bisa dicegah dengan hal paling ringan (sebelum urusan hati lo).  

Seorang da’i bisa berdiri di atas mimbar, menulis di layar, berbicara di jalan, atau menebar kebaikan lewat tindakan sederhana. Namun satu hal pasti. Lah dakwahnya tidak boleh kehilangan hikmah (kebijaksanaan) dan mau’izhah hasanah (nasihat yang indah), sebagaimana perintah Allah dalam QS. An-Nahl:125.

Toyyib. Lanjut. Muballigh itu orangnya, sedangkn tabligh (تبليغ) itu yang dilakukannya. Tabligh berarti “penyampai.” Ia adalah pembawa pesan, penyambung lidah para nabi, yang memastikan ajaran Islam tidak hanya berhenti di kitab, tetapi hidup di dalam laku umat. Seorang Muballigh berperan sebagai jembatan antara teks dan realitas antara firman dan kehidupan. Ia bisa menjadi penceramah, penulis, atau guru, asalkan yang disampaikan adalah nilai-nilai yang menuntun manusia ke arah kebaikan.

Toyyib. Sebagaimana disebut dalam Surah Al-Ma’idah ayat 67:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Ayat ini menegaskan bahwa tabligh adalah amanah penyampaian risalah secara jujur dan tepat, tanpa menambah atau mengurangi. Dalam pandangan Dr. Fadhil Hasan Syarif, tabligh sering bersifat sementara dan tematik, seperti dalam momentum haji, umrah, atau acara keagamaan tertentu, di mana seorang muballigh menyampaikan pesan moral atau hukum tanpa membangun hubungan dakwah yang mendalam. Dengan demikian, dakwah bersifat transformasional dan membina, sedangkan tabligh bersifat informatif dan komunikatif. Ini salah satu pendapat lo! 

Berikutnya, adalah Khatib. Jangan keliru khaatib, nanti melamar. 😁. Khatiib dari khutbah (خطبة) adalah "penyampai" khutbah, biasanya di mimbar Jumat atau di acara keagamaan resmi. Khatib memiliki tanggung jawab moral yang besar, karena khutbah bukan sekadar pidato, melainkan seruan publik yang menggetarkan kesadaran. Dan, bisa dilihat dalam banyak teks dan hadis bagaimana ketika Nabi berada di mimbar. Maka, seorang khatib  bukan hanya berbicara kepada telinga jamaah, tapi mengetuk hati mereka agar kembali pada nurani dan tanggung jawab sosial.

Hari ini, mungkin istilah dan cara mungkin berbeda-beda. Ada yang lembut seperti air, ada yang tegas seperti petir, dan ada yang menenangkan seperti angin sepoi. Tapi semua mengalir menuju satu tujuan "mengajak manusia kepada kebaikan yang Allah perintahkan". Titik.

Namun, di tengah semangat berdakwah, seorang Da’i juga harus "menimbang antara biaya dan keberkahan." Jangan sampai kegiatan dakwah berubah menjadi ajang pemborosan, pamer, atau sekadar mencari tepuk tangan. Bila pengeluaran lebih besar dari nilai manfaat yang diterima umat, maka pesan dakwah bisa kabur tertutup gemerlap acaranya. Islam mengajarkan "tawazun" (keseimbangan), bahwa kebaikan yang benar tidak akan keluar dari cara yang benar. Tujuan yang baik tidak bisa ditempuh dengan jalan yang melenceng. Wow. 

Karena itu, apa pun bentuknya, tabligh akbar, ceramah kecil, atau konten dakwah digital, semuanya harus kembali pada "maqashid dakwah" menyentuh hati, menumbuhkan iman, dan memperbaiki akhlak. Sebab dakwah bukan tentang siapa yang paling lantang, tetapi siapa yang paling ikhlas dan konsisten.

Semoga para Da’i, Muballigh, dan Khatib senantiasa diberi "kesehatan, keikhlasan, dan keteguhan hati", agar tetap berada di jalur dakwah yang murni. Karena pada akhirnya, seruan kebaikan sejati tidak diukur dari panggung dan mikrofon, tapi dari seberapa banyak hati yang tersentuh dan berubah menjadi lebih baik.

Yang komen-komen juga bagian dari dakwa, apa yang ditulis, apa yang dikomentari, akan menjadi bagian dari kebaikan. Kalau buruk? Lah😁

***
Tadi gegara membaca tulisan Gus Albolliwud al al-Jamil fauqal jamal Rijal Mumazziq Z 😁🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar