Halimi Zuhdy
"Mas, kenapa bingung?" Tanya seorang ustadz pada santri Gen Z di beranda pesantren yang menghadap ke jalan raya. Santri ini datang dengan wajah kusut seperti baru berkelahi dengan pikirannya sendiri. Kemudian Ia duduk di hadapan Pak Ustadz yang sedang membaca kitab sains 'Ajaibul Faiziqa karya Ahmad Fahmi , dan di sebelahnya kitab Minhajul Qashidin Ibnu Jauzi sebuah kitab ringkasan dari Ihya Ulumiddin Imam Ghazali. Santri ini mulai bicara dengan nada kebingungan.
“Pak Ustadz,” katanya pelan tapi tegas, “saya akhir-akhir ini bingung sekali. Dunia kok rame banget, ya? Setiap buka HP, semua orang heboh. Di TikTok orang joget, di YouTube orang debat, di Instagram orang pamer, di Facebook orang marah. Semua berlomba-lomba mau viral, cari FYP, cari perhatian, entah buat apa. Rasanya semua orang berperang, tapi nggak tahu siapa musuhnya.”
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang.
“Lihat saja, Tad, di luar sana orang kerja siang malam, pasar nggak pernah sepi, cekout terus berdering, hiburan nggak pernah berhenti, semua kayak dikejar waktu. Di luar negeri pun sama, Amerika ribut dengan Trumpnya, Rusia belum selesai dengan Ukraina, belum lagi Gaza dan Israhiil, tambah Sudan beberapa hari ini, mengerikan. dunia terus panas dan saya cuma bisa nonton dari layar kecil ini.” 😔
"Beberapa kyai, ustadz, gus, sepertinya tidak lagi hanya berdakwah di medsos, tapi sikat sikut, entah apa yang diperjuangkan, belum lagi yang viral yang ikhtilatath, duh sedih. Belum para lagi pejabat dan akademisi yang pamer pangkat dan jabatannya, entah untuk apa?" Ia terdiam lama.
Santri itu mengusap wajahnya, lalu menatap Ustadznya dengan mata lelah.
“Kadang saya mikir, emang apa sih yang sebenarnya diperjuangkan manusia, Pak Ustadz? Apa yang mereka cari dari semua kebisingan ini? Dan... apa sebenarnya tujuan hidup kita di tengah dunia yang sibuk tanpa henti ini?”
Ia terdiam. Angin sore berhembus pelan, membawa suara jangkrik dan azan dari kejauhan. Pak Ustadz masih diam, seolah menunggu waktu yang tepat untuk menjawab. Pertanyaan itu seperti membuka jendela di tengah malam. Gelap di luar, tapi ada udara segar yang bikin sadar kalau hidup bukan sekadar rutinitas berulang. Pak ustadz, menutup kitab sainsnya. Pluk. 📚 Setelah beberapa detik hening, barulah ia berkata dengan suara tenang tapi dalam.
“Nak, pertanyaanmu itu berat, tapi penting banget lo. Karena sedikit sekali manusia yang sempat berhenti dan bertanya seperti itu. Banyak yang sibuk berlari, tapi lupa kenapa mereka berlari.” 😁
Ia menggeser duduknya, menatap mobil yang tak pernah sepi berderu. “Dunia memang heboh. Semua orang tampak sibuk, seolah yang paling cepat akan menang. Tapi coba lihat lebih dalam. Apa yang sebenarnya mereka kejar? Uang, jabatan, popularitas, validasi. Semuanya berputar di lingkar yang sama, dan anehnya, tidak pernah membuat tenang. Karena manusia tidak diciptakan untuk sekadar punya banyak, tapi untuk jadi berarti.”
Ustadz mengangkat pandangannya lagi. “Kita ini, Nak, bukan kebetulan. Hidup bukan error di semesta. Dalam ajaran kita, Allah menciptakan manusia bukan tanpa alasan. FirmanNya jelas. "Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.". Tapi ibadah itu bukan cuma salat dan puasa. Itu juga berarti menjalani hidup dengan sadar. Tahu dari mana kita datang, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.”
Ia tersenyum lembut. “Masalahnya, dunia modern membuat orang sibuk membangun citra, bukan jiwa. Mereka berperang untuk terlihat hidup, padahal justru kehilangan kehidupan yang sebenarnya. Padahal, tujuan hidup manusia adalah menjadi khalifah di bumi. Penjaga, bukan perusak. Pembawa manfaat, bukan kerusuhan; pencari makna, bukan sensasi.”
Lalu ia menepuk pundak santri itu. “Kita ada untuk menghadirkan keseimbangan, Nak. Agar dunia yang bising punya titik tenang. Agar dalam hiruk-pikuk sosial media, masih ada orang yang memilih berpikir jernih dan berbuat baik diam-diam. Karena setiap manusia adalah potongan kecil dari rahmat Tuhan dan tugas kita adalah membuat potongan itu bersinar, sekecil apa pun.”
Ustadz menutup nasihatnya dengan lirih, “Jadi, jangan takut dengan keramaian dunia. Biarkan mereka berlari. Tugasmu bukan mengejar mereka, tapi menemukan dirimu. Karena begitu kau tahu siapa dirimu dan untuk apa kau diciptakan, dunia yang ribut itu tak lagi mampu membuatmu bingung.”
Santri itu menunduk, bibirnya bergetar pelan. Bukan karena sedih, tapi karena baru sadar. Mungkin selama ini, ia sibuk mencari dunia, padahal yang hilang adalah dirinya sendiri.
Yang sebenarnya diperjuangkan dalam hidup. kalau mau jujur dan tidak klise. Bukan kebahagiaan semata. Karena kebahagiaan itu lebih mirip efek samping dari hidup yang bermakna. Yang kita perjuangkan, barangkali, adalah makna itu sendiri. Alasan mengapa kita bangun tiap pagi dan tetap berjalan meski semua terasa berat.
Ada orang yang memperjuangkan pengakuan, karena merasa dilihat berarti diakui sebagai “ada.” Ada yang memperjuangkan cinta, karena ingin merasa terhubung dengan sesuatu di luar dirinya. Ada juga yang memperjuangkan ketenangan, karena dunia terlalu bising untuk pikiran yang penuh luka. Tapi kalau ditarik ke akar paling dalam, perjuangan hidup manusia hampir selalu bermuara pada satu hal "menemukan tempat di dunia yang tidak bisa dijelaskan tapi bisa dirasakan. Jadi mungkin bukan soal "apa" yang diperjuangkan, tapi "bagaimana" kita terus mencari alasan untuk memperjuangkan sesuatu.
"Entah! Kalau kamu bagaimana anaku, santriku, yang jelas nak, "khairunnas an fa'uhum linnas". Itu saja. Tapi, ingat nak "orang yang sibuk dengan media sosial, jangan kamu suudhan, kita tidak pernah tahu tujuannya hidupnya dan apa yang diperjuangkannya!".
Pak ustadz, penutup kitab minhajnya, dan mulai membuka HPnya yang mulai kehilangan sinyal, dan datanya mulai habis🤣😁 sebentar ya saya ada pengajian LIVE di tik tok.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar