السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Senin, 10 November 2025

Menelisik Asal Kata "Qasidah" dan Sekilas Kisahnya di Indonesia

Halimi Zuhdy

Kata "Qasidah" memiliki akar menarik, seakan menyimpan perjalanan sejarah antara bahasa, seni, dan spiritualitas yang melintasi padang pasir Arab hingga panggung musik Indonesia. Orang Indonesia, ketika mendengar kata Qasidah, langsung terbayang "Nasidah Ria".he. Lagu-lagu religi, yang paling saya ingat adalah "jilbab putih", "anakku-anakku", dan judul keren-keren lainnya. 
Toyyib. Mari kita lihat akar kata qasidah, kasidah atau qosidah. Secara etimologis, kata qasidah atau kasidah berasal dari bahasa Arab "qosidah" (قصيدة)  yang berakar dari kata qasd (قصد) berarti "niat, tujuan, atau arah yang sengaja dituju. Jadi, dalam makna paling dasarnya,  "qasidah" adalah “puisi yang memiliki tujuan”. Ia bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan ekspresi yang diarahkan sebuah sastra yang tahu ke mana ia melangkah. wow. 

أصل كلمة "قصيدة" هو الجذر العربي "ق-ص-د"، والذي يرتبط بمعنى "القصد" أو "النية" أو "التوجه". ويرى بعض الباحثين أن معناها الأصلي يرتبط بـ "العظم ذي المخ" الذي يُشبه القصيدة في كونها منسوجة من الكلام الغني بالمعاني

Dalam tradisi Arab klasik, "qasidah" menjadi bentuk puisi formal paling bergengsi. Ia memiliki struktur yang kaku namun anggun, "satu pola irama (monometer) dan "satu bunyi rima (monorhyme)" yang konsisten dari awal hingga akhir. Jumlah baitnya bervariasi, bisa tujuh hingga seratus atau bahkan lebih. Bentuk ini muncul jauh sebelum Islam, menjadi wadah bagi penyair gurun seperti Imru’ al-Qays atau Antarah ibn Shaddad untuk menuturkan kisah cinta, peperangan, kebijaksanaan, bahkan penyesalan hidup. Salah satu contoh klasik yang paling termasyhur adalah "Mu‘allaqat" kumpulan puisi yang konon digantung di dinding Ka’bah karena keindahannya.

Dalam istilah keilmuan Arab, "qasidah" secara teknis didefinisikan sebagai puisi panjang yang berisi lebih dari tujuh bait, berirama tetap, dan biasanya dimulai dengan “bait musarra‘”, baris pembuka yang rima di kedua ujungnya. Puisi ini seringkali memadukan unsur "tasybīb" (pengantar cinta) dan "madḥ" (pujian), dan pada bagian akhirnya penyair menyebut "takhalluṣ" nama atau julukan dirinya sebagai penanda karya. Dengan demikian, "qasidah" bukan hanya puisi; ia adalah bentuk sastra dengan sistem, tradisi, dan etika estetik tersendiri.

Namun, perjalanan "qasidah" tidak berhenti di padang pasir. Melalui ekspansi peradaban Islam, ia menyeberang ke Persia, Turki, Afrika Utara, hingga ke Nusantara. Dalam bahasa Persia, kata ini diserap menjadi "قصیده" (qasīdeh); dalam bahasa Turki menjadi "kaside". Di Indonesia, "qasidah" mengalami metamorfosis budaya menjadi "kasidah", sebuah kesenian yang bukan lagi semata puisi, melainkan juga musik religius.

Kasidah Indonesia lahir dari akulturasi antara budaya Arab dan Nusantara. Menurut penelitian Marlisna dan Marzan, istilah "kasidah" di sini bermakna “lagu” atau “nyanyian”, yang pada awalnya berbentuk syair Arab bernuansa keagamaan. Kasidah digunakan sebagai sarana dakwah, menyampaikan pesan moral dan ajaran Islam dengan cara yang merdu dan mudah diterima masyarakat. Bentuk tradisionalnya diiringi dengan "rebana", alat musik perkusi dari kata Arab "rabbana" (Ya Tuhan, Ya Rabbana), yang menegaskan fungsi spiritualnya sebagai pujian kepada Ilahi.

Seiring waktu, kasidah bertransformasi. Pada era 1960-an, muncul kasidah modern, yang tidak hanya memakai rebana, tetapi juga gitar, biola, hingga piano. Di sinilah lahir kelompok legendaris seperti Nasida Ria dari Semarang, pelopor kasidah modern yang mampu menjembatani pesan dakwah dengan aransemen pop dan sentuhan kontemporer. Lagu-lagu mereka, seperti "Perdamaian" dan "Bom Nuklir", menunjukkan bahwa “qasidah” masih memelihara semangat asalnya: berbicara dengan tujuan. Hanya saja kini tujuan itu diiringi irama yang lebih berwarna dan bisa berdendang di radio.

Dari akar katanya yang berarti “niat” hingga perjalanannya sebagai musik dakwah, "qasidah" adalah bukti bagaimana bahasa, seni, dan keimanan dapat bersatu dalam satu kata. Di Arab, ia adalah puisi yang menggetarkan; di Indonesia, ia menjadi nyanyian yang menghidupkan semangat.🤩 Dua bentuk yang berbeda, tapi sama-sama menuju satu arah, seperti makna asal katanya, menuju dengan maksud yang jelas.

Beberapa peneliti juga mengaitkan makna asalnya dengan العظم ذي المخ (tulang besar dengan sumsum), menggambarkan qasidah sebagai karya yang padat dan kaya makna, terstruktur dengan baik seperti tulang yang memiliki inti yang berharga. Dengan demikian, qasidah bukan hanya puisi, tetapi sebuah karya yang dalam dan penuh arti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar