Halimi Zuhdy
Pernahkah kita merasa…... dunia ini makin riuh tapi makin sepi? Media sosial (medsos) yang katanya tempat silaturahmi, malah jadi ladang adu emosi, pamer aurat, atau ajang gosip tanpa henti.
Suatu hari, ada seorang Bapak guru yang marah-marah di depan sekolah “Media sosial itu sampah semua! TikTok sampah, Facebook sampah, Instagram juga! Isinya buka aurat, maksiat tok, gosip tok, saling hina tok!” Orang-orang mengangguk, beberapa senyum kecut, mungkin karena merasa “kena”.
Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. “Lho, masa sih, Pak? Saya buka media sosial malah isinya ngaji, shalawat, kajian ilmiah, banyak ilmu… saya nggak nemu yang aneh-aneh.” Seketika suasana hening. Pak Guru terdiam, menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Ya juga, mungkin memang… yang kamu cari, itulah yang kamu temukan.”
Konon. Seorang lelaki datang kepada Buya Hamka dengan wajah heran, “Subhanallah, Buya! Saya baru pulang dari Makkah. Ternyata di Tanah Suci pun ada pelacur! Kok bisa ya, Buya? Ih, ngeri.” Buya Hamka tersenyum dan menjawab pelan, “Oh begitu? Padahal saya baru saja pulang dari Los Angeles dan New York dan masya Allah, saya tidak menemukan pelacur di sana.”
Lelaki itu kaget, “Ah, mana mungkin, Buya! Di Makkah saja ada, apalagi di Amerika!”
Buya menatapnya dengan teduh dan berkata bijak, “Nak, kita ini hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari. Jika yang kita cari adalah keburukan, maka keburukanlah yang akan kita temukan, bahkan di tempat paling suci sekalipun. Tapi jika yang kita cari adalah kebaikan, maka kebaikanlah yang akan kita temukan bahkan di tempat yang paling .”
Kalimat sederhana itu dalam sekali. Makkah tak berubah yang berubah adalah mata dan hati orang yang memandangnya. Bila yang dicari dosa, dosa pun tampak di depan mata. Tapi bila yang dicari cahaya, di mana pun akan ditemukan cahaya.
Media sosial, pada dasarnya, hanyalah cermin besar dari diri kita. Kalau kita suka hal remeh, dangkal, dan sensasional, algoritma akan rajin menyajikan hal-hal itu. Tapi kalau kita suka kajian, ilmu, dan kebaikan, ajaibnya…...... timeline kita akan dipenuhi kebaikan.
Algoritma bekerja seperti pelayan setia, ia memberi apa yang sering kita minta. Masalahnya, kita sering tak sadar apa yang sebenarnya kita minta. Dan di sinilah jeratnya. Semakin sering kita klik hal yang sia-sia, semakin dalam kita ditarik ke lubang yang sama. Seolah-olah dunia ini cuma berisi konten bodoh, padahal kita sendiri yang menanamkan bibitnya di ladang algoritma.
Sebenarnya bukan hanya dunia digital yang begitu. Kehidupan juga punya algoritma sendiri. Siapa teman kita, apa yang kita dengar, bacaan apa yang kita konsumsi, semua akan membentuk “feed” kehidupan kita.
Kalau kita bergaul dengan orang yang suka maksiat, kita akan terbiasa dengan itu. Tapi kalau kita berteman dengan orang shaleh, orang berilmu, orang yang menjaga lisannya, maka kita akan terpengaruh kebaikan mereka. Lingkar pertemanan adalah algoritma kehidupan: siapa yang kamu dekatkan, dialah yang akan paling sering “muncul” dalam hidupmu.
Kita Mau Jadi Apa?
Di media sosial, kita punya dua pilihan: 1). Jadi korban algoritma, yang diseret oleh klik dan scroll tanpa sadar. 2). Atau jadi pencipta algoritma, yang sadar memilih apa yang dilihat, dibaca, dan disebarkan.
Yang pertama selalu mengeluh, “kok medsos isinya makin rusak.” Yang kedua tersenyum, “nggak juga, di timeline saya malah banyak ilmu.” Maka, sebelum menyalahkan platform, tanyakan dulu pada diri: “Apa yang sebenarnya aku cari di dunia maya ini?”
Cerita Pak Guru tadi membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa dunia tidak kotor yang kotor adalah cara kita melihatnya. Media sosial bukan sampah yang menjadikannya sampah adalah tangan-tangan kita sendiri. Karena itu, mari kita pilih teman, konten, dan arah hidup dengan sadar. Klik yang baik, ikuti yang baik, sebarkan yang baik. Biarkan algoritma hidupmu mendukung imanmu, bukan menjeratnya. “Manusia akan selalu menemukan apa yang ia cari.”
Jadi, yuk…...mulai sekarang, scroll dengan sadar. Jadikan timeline kita taman ilmu, bukan tempat sampah.
***
Aha. Algoritma ini berasal dari nama ilmuan Muslim Alhawarizmi.
Kucur Dau Malang. 9 Nov 25

Tidak ada komentar:
Posting Komentar