Halimi Zuhdy
Masyarakat hari ini berbeda dengan masa sebelum hadirnya media sosial. Jika dulu pandangan tentang suatu peristiwa hanya beredar di lingkaran kecil dan terbatas, kini semua orang bisa berkomentar, menafsir, bahkan berdebat secara terbuka. Setiap peristiwa segera menjadi bahan diskusi publik, baik dengan data maupun sekadar emosi.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana wajah masyarakat modern semakin ekspresif, kritis, sekaligus reaktif terhadap isu keagamaan dan kemanusiaan. Karena itu, menarik menelusuri bagaimana masyarakat memahami kata “takdir” di tengah derasnya arus komentar dan opini. Salah satu contohnya tampak jelas dalam kasus robohnya "Musholla Al-Khoziny" di Buduran, Sidoarjo, yang tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga membuka perdebatan panjang tentang makna takdir, tanggung jawab, dan keimanan di era digital.
Pada 29 September 2025, bangunan musholla Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, roboh saat ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah. Dengan peristiwa ini, beberapa puluhan santri meninggal dunia dan melukai banyak lainnya. Sejak saat itu, ruang publik mulai dari berita daring, media sosial, hingga forum keagamaan dipenuhi perdebatan tentang makna “takdir” dalam konteks tragedi ini.
Pernyataan pengasuh pesantren, KH Abdus Salam Mujib, yang mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan “takdir dari Allah” menjadi pemicu diskusi luas. Kalimat singkat itu menimbulkan beragam tafsir: ada yang memaknainya sebagai bentuk kepasrahan spiritual, namun ada pula yang menilainya sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab manusia.
Berdasarkan analisis terhadap pemberitaan nasional, opini publik di media sosial, serta pernyataan tokoh agama dan akademisi, tanggapan masyarakat mengenai konsep “takdir” dalam kasus ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga corak utama: 1) penerimaan fatalistik, 2) kritik rasional, dan 3) refleksi teologis moderat.
Dalam tulisan ini saya sengaja tidak mencantumkan persentase pasti dari masing-masing tanggapan masyarakat, karena hal tersebut membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan terukur. Pengelompokan opini publik, terutama yang bersumber dari media sosial, harus dilakukan dengan hati-hati mengingat dinamika emosi, bias algoritma, dan keragaman konteks komentar yang sangat luas.
Oleh karena itu, klasifikasi yang saya gunakan dalam tulisan ini bersifat sementara dan deskriptif, bukan hasil survei empiris yang definitif. Namun demikian, dari pola-pola respons yang muncul, saya melihat masyarakat cenderung membentuk tiga corak besar dalam memaknai peristiwa ini: penerimaan fatalistik, kritik rasional terhadap dalih takdir, dan refleksi teologis moderat yang mencoba menyeimbangkan antara iman dan tanggung jawab manusia.
Kelompok pertama menunjukkan kecenderungan untuk menerima peristiwa tersebut sebagai ketentuan Ilahi yang harus dijalani dengan sabar dan ikhlas. Narasi yang berkembang di kalangan ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah, dan manusia wajib berserah diri tanpa banyak mempertanyakan sebabnya. Dalam pandangan mereka, ucapan pengasuh pesantren bukanlah bentuk pembelaan diri, melainkan ungkapan keimanan yang lahir dari hati yang sedang berduka.
Di berbagai platform media sosial, muncul banyak ungkapan simpati dan doa seperti “Semoga para korban husnul khotimah, ini sudah takdir Allah, mari kita bersabar.” Kalimat-kalimat ini dianggap sebagai bahasa spiritual untuk menenangkan keluarga dan para santri yang ditinggalkan. Bahkan, sebagian masyarakat menilai bahwa para korban memperoleh kedudukan mulia sebagai syuhada karena meninggal di tempat ibadah saat beribadah. Namun, di sisi lain, pandangan fatalistik ini kerap dipandang mengabaikan aspek teknis dan tanggung jawab manusiawi.
Bagi sebagian pengamat, hal ini menunjukkan kecenderungan lama dalam budaya religius masyarakat Indonesia: menghibur diri dengan konsep takdir sebelum melakukan evaluasi konkret terhadap sebab-sebab duniawi di balik tragedi.
Berbeda dengan itu, kelompok kedua muncul dengan nada yang lebih kritis. Mereka menolak penggunaan kata “takdir” jika dimaksudkan untuk menghindari tanggung jawab manusia. Pandangan ini menilai bahwa tragedi Musholla Al-Khoziny bukan semata kehendak Tuhan, melainkan juga akibat dari kegagalan manusia dalam memastikan keamanan bangunan dan lemahnya pengawasan teknis.
Di media sosial, terutama di platform seperti X dan Facebook, banyak warganet yang mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan. Komentar seperti “Giliran bangunan ambruk, salahin Allah” atau “Musibah bukan takdir, tapi kelalaian manusia” muncul di berbagai lini masa. Tokoh keagamaan seperti Gus Nadir juga menyampaikan pandangan senada dengan menegaskan bahwa takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk mencuci tangan dari kesalahan.
Analisis teknis yang muncul dari sejumlah akademisi memperkuat pandangan ini, menunjukkan bahwa struktur bangunan kemungkinan besar tidak memenuhi standar konstruksi yang semestinya. Fakta-fakta tersebut menimbulkan keyakinan di kalangan publik bahwa peristiwa tragis itu sebenarnya bisa dicegah. Karena itu, kelompok ini menyerukan penyelidikan menyeluruh dan langkah hukum yang tegas, sebagai bentuk kesadaran baru bahwa keimanan sejati tidak menafikan tanggung jawab moral dan profesional.
Di antara kedua pandangan tersebut, muncul kelompok ketiga yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan rasionalitas. Mereka memahami bahwa takdir adalah bagian dari keimanan, tetapi pada saat yang sama menekankan bahwa manusia tetap wajib berikhtiar, berhati-hati, dan belajar dari kesalahan.
Para ulama dan pemikir Islam dari kalangan ini mengingatkan bahwa konsep takdir seharusnya menjadi pegangan bagi korban untuk menenangkan hati, bukan menjadi alasan bagi pelaku kelalaian untuk menghindari introspeksi. Pandangan seperti ini banyak muncul dalam artikel dan opini keagamaan yang melihat tragedi Al-Khoziny sebagai momentum tafakur nasional—saat bagi umat untuk merenungkan makna iman tanpa kehilangan nalar.
Bagi kelompok reflektif ini, beriman kepada takdir bukan berarti berhenti berusaha; sebaliknya, keimanan seharusnya menjadi dorongan untuk memperbaiki sistem, menegakkan keselamatan, dan memperkuat tanggung jawab sosial di lembaga-lembaga keagamaan.
Jika diamati secara keseluruhan, tiga corak tanggapan tersebut menggambarkan dinamika sosial dan teologis masyarakat Indonesia dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia. Sebagian masyarakat masih menempatkan takdir sebagai bahasa keikhlasan dan penghiburan, sebagian lain menuntut evaluasi dan akuntabilitas, sementara sebagian lainnya berusaha menautkan keduanya dalam keseimbangan iman dan ikhtiar. Fenomena ini memperlihatkan perubahan cara berpikir umat: dari sekadar pasrah terhadap kehendak Ilahi menuju kesadaran bahwa iman sejati juga menuntut tanggung jawab.
Tragedi Musholla Al-Khoziny Buduran pada akhirnya bukan hanya tentang runtuhnya sebuah bangunan, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat memaknai takdir dan tanggung jawab di ruang publik. Di satu sisi, takdir memberikan ketenangan spiritual; di sisi lain, tanggung jawab menjadi wujud nyata dari cinta kepada sesama manusia. Karena itu, beriman kepada takdir seharusnya tidak membuat manusia berhenti berpikir, melainkan mendorongnya untuk lebih berhati-hati, lebih sadar, dan lebih bertanggung jawab. Sebab, pada akhirnya, takdir memang milik Tuhan tetapi ikhtiar adalah bagian dari ibadah manusia.
***
Bagi yang tertarik, bisa dilanjutkan dengan tulisan di jurnal ilmiah, tentang takdir, tawakkal, dan lainnya. Karena hasil itu, nanti bisa melihat bagaimana pemhamana teologi kini dan praktik masyarakat di Indonesia.
Sumber:
NU Online (2025), Detik Jatim (2025), Suara. com (2025), Tagar. co (2025), AnsorKroya. com (2025), Harian Disway (2025), Republika Khazanah (2025), Pikiran Rakyat Surabaya (2025).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar