السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 19 Oktober 2025

Menelisik Asal Kata "Umur" dan Makna Teologisnya dari Akar Bahasa Arab


Halimi Zuhdy 

"Ah cuek aja, yang penting hidup senang, bahagia, plus heppy banget dan terserah gue umur dibuat apa saja, semuanya sudah ada takdirnya". Lah, di sini pemahaman umur dianggap sederhana, yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Umur tidak hanya sebatas usia, tapi mengandung makna teologis yang mendalam. Berapa umurmu? Bukan hanya bertanya usia, tetapi apa yang sudah kalian perbuat dengan umur itu? 
Toyyib. Mari kita ulas sedikit. Kata umur dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘umr (عُمر), yang akarnya adalah kata kerja ‘amara (عَمَرَ)  tersusun dari huruf ‘ain-mim-ra’. Berdasarkan Ma‘ani Al-Mu‘jam al-Jāmi‘, ‘amara memiliki makna yang luas: hidup lama, membangun, memakmurkan, menetap, memperbaiki, hingga menjadikan sesuatu ramai dan bernilai guna. Dalam konteks ini, ‘amr dan ‘umr memiliki hubungan semantik yang erat: keduanya berporos pada gagasan kehidupan yang diisi dengan keberlangsungan dan pembangunan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang mendefinisikan umur sekadar sebagai “lama waktu hidup” atau “masa hidup”. Namun, dalam tradisi semantik Arab klasik dan Al-Qur’an, ‘umr lebih dari sekadar rentang waktu biologis—ia memuat makna eksistensial dan spiritual: hidup yang memakmurkan (QS. Al-Rūm: 9), hidup yang beribadah (QS. Al-Ḥijr: 72), dan hidup yang bermanfaat bagi sesama (QS. Hūd: 61). Dengan demikian, umur tidak hanya menunjuk pada panjangnya waktu, melainkan juga nilai keberadaan manusia dalam ruang waktu itu.

Dalam The Muqaddimah, Ibn Khaldūn (1958) memperkenalkan istilah ‘umrān, yang juga berakar pada ‘amara, untuk menjelaskan proses pemakmuran bumi dan lahirnya peradaban manusia. Menurutnya, kehidupan manusia (‘umrān al-basharī) berkembang dari aktivitas memakmurkan bumi: bercocok tanam, membangun tempat tinggal, dan membentuk tatanan sosial yang beradab. Dari sini, umur bukan sekadar “masa hidup individu”, tetapi juga energi kehidupan kolektif yang melahirkan budaya dan peradaban.

Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab (1119H: 3101) menafsirkan ista‘marakum fīhā dalam QS. Hūd: 61 sebagai pemberian otoritas dari Allah agar manusia membangun dan mengelola bumi selama masa hidupnya. Dalam pandangan ini, umur adalah amanah kosmik: waktu yang diberikan untuk memakmurkan, bukan merusak. Lawan katanya, kharāb (kehancuran), melambangkan waktu yang sia-sia umur tanpa karya.

Syekh Ahmad Yusuf Abdu Daim menafsirkan bahwa ‘umr adalah “nama bagi masa imarahnya jasad dengan kehidupan.” Artinya, selama seseorang masih bernapas dan berkarya, ia sedang menegakkan makna ‘imārah—yakni pembangunan spiritual dan material. Umur menjadi tolok ukur seberapa jauh manusia memakmurkan dirinya dan lingkungannya.

Makna ini sejalan dengan tafsir Al-Qurthubi (n.d.: XVII/306–307) tentang Bayt al-Ma‘mūr—rumah di langit yang setiap hari dipenuhi malaikat untuk beribadah. Kata ma‘mūr (yang makmur) di sini menunjukkan bahwa keberadaan yang sejati adalah keberadaan yang berisi ibadah dan manfaat. Maka, ketika seseorang hidup tanpa ibadah dan tanpa memberi manfaat, secara maknawi ia belum berumur, meskipun secara biologis ia masih hidup.

Dalam bahasa Arab, penamaan usia tidak hanya menunjuk pada angka kronologis, tetapi juga kualitas eksistensial. Misalnya, istilah syaibah (masa uban), fata (masa muda), atau syaikh (masa kebijaksanaan) masing-masing memuat nilai sosial dan spiritual. Dengan demikian, umur tidak pernah berdiri sendiri sebagai angka—ia adalah narasi hidup yang merekam fungsi dan tanggung jawab manusia di hadapan Allah dan sesamanya.

Dalam konteks Melayu-Islam, pandangan ini masih terasa dalam ungkapan seperti “umur yang berkah” atau “usia yang bermanfaat”. Ungkapan itu mengakar dari pandangan Qur’ani bahwa keberhasilan hidup tidak diukur dari lamanya umur, tetapi dari seberapa banyak kehidupan itu diisi dengan amal dan keberkahan.

Dari akar katanya, ‘amara bukan sekadar berarti “hidup lama”, tetapi “menghidupkan”—mengisi ruang dan waktu dengan kebaikan, pembangunan, dan ibadah. Ketika seseorang ditanya “berapa umurmu?”, sejatinya pertanyaan itu berarti “seberapa banyak kehidupan yang telah kau isi dengan makna?”.

Maka, umur bukanlah detik yang berlalu, melainkan detik yang bernilai. Ia adalah ayat kehidupan yang menegaskan bahwa manusia diberi waktu bukan untuk menghitung hari, melainkan untuk membangun dunia dan akhiratnya sekaligus.

Daftar Rujukan

1. Ma‘ani al-Mu‘jam al-Jāmi‘, entri: “العمر” dan “عَمَرَ”.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), entri: “Umur”.
3. Hans Wehr. (1966). A Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
4. Ibn Khaldūn. (1958). The Muqaddimah: An Introduction to History. New York: Bollingen Foundation.
5. Ibn Manẓūr. (1119 H). Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
6. Al-Qurṭubī. Tafsīr al-Qurṭubī, Vol. IX, XVI, XVII. Jakarta: Pustaka Azzam.
7. Aṭ-Ṭabarī. (2007). Tafsīr aṭ-Ṭabarī, Vol. XII, XIV. Jakarta: Pustaka Azzam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar