(Ketika Keterbatasan Melahirkan Karya)
Halimi Zuhdy
Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan teknologi saat ini, sulit membayangkan bagaimana para ulama di masa lalu menulis dan menyebarkan ilmu dengan alat yang sangat terbatas. Gambar manuskrip Arab klasik di atas adalah bukti nyata betapa luar biasanya dedikasi mereka. Di tengah halaman tampak teks utama "matn" sementara di tepinya ada komentar, penjelasan, dan catatan tambahan dari generasi ulama berikutnya. Setiap guratan tinta adalah saksi perjalanan intelektual yang panjang, penuh kesabaran, dan jauh dari kemewahan.
Para ulama dahulu hidup dalam kondisi yang sulit: kertas mahal, tinta terbatas, dan alat tulis sederhana. Namun keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar kreativitas mereka. Satu lembar kertas dimanfaatkan sedemikian rupa teks utama di tengah, penjelasan di pinggir, lalu tambahan catatan di sela-selanya. Hasilnya adalah peta pemikiran yang padat, kompleks, dan luar biasa hidup.
Mereka menulis bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk memastikan ilmu tidak berhenti pada dirinya sendiri. Inilah bentuk "tahrīr al-‘ilm" upaya menulis dan mengabadikan ilmu agar tetap hidup lintas generasi.
Struktur tulisan dalam manuskrip seperti ini bukan kebetulan. Ia mengikuti sistem pengetahuan yang sangat teratur. Teks utama (matn) berfungsi sebagai inti pemikiran; penjelasan (syarh) memberikan konteks dan memperluas makna; sementara catatan di tepi halaman (hasyiyah) adalah refleksi kritis atau tambahan dari pembaca setelahnya.
Artinya, setiap halaman bukan sekadar catatan tunggal, tetapi percakapan antara ulama dari berbagai zaman. Ilmu dalam Islam bersifat dialogis, bukan monolog. Setiap ulama menghormati pendahulunya dan menambahkan pemahaman baru tanpa menghapus karya sebelumnya. Ini adalah bentuk kolaborasi ilmiah paling mulia yang pernah ada.
Tradisi menulis seperti ini menunjukkan bahwa bagi ulama, ilmu bukan hanya urusan rasionalitas, tetapi juga spiritualitas. Menulis adalah ibadah. Mengoreksi pendapat adalah bentuk cinta terhadap kebenaran. Menambahkan penjelasan adalah upaya menjaga agar cahaya ilmu terus menyala.
Dari sini kita belajar bahwa kemajuan ilmu tidak lahir dari fasilitas, tapi dari "etos keilmuan" ketekunan, kejujuran, dan kerendahan hati dalam menuntut serta menyebarkan pengetahuan. Ulama tidak menulis untuk viral, tetapi agar generasi setelahnya tidak kehilangan arah.
Di era media sosial dan AI, kita memiliki akses ke jutaan sumber ilmu dalam genggaman. Namun, justru sering kali kita kehilangan "kedalaman berpikir". Manuskrip seperti ini mengingatkan kita bahwa keilmuan sejati lahir dari proses panjang: membaca, menulis, mengomentari, dan terus mencari kebenaran dengan rendah hati.
Kalau para ulama mampu menghasilkan karya monumental dengan secarik kertas dan setetes tinta, maka kita tidak punya alasan untuk malas menulis dan berpikir di era kelimpahan ini.
Setiap huruf dalam manuskrip kuno itu adalah jejak perjuangan, doa, dan ketulusan. Dari keterbatasan mereka lahir kelimpahan yang tak ternilai. Ilmu mereka melampaui zaman karena ditulis dengan niat suci dan kerja keras yang konsisten.
Maka benar kata para sejarawan: “Ilmu para ulama tidak mati, karena tinta mereka telah menulis kehidupan umat.”
Sumber:
Tahqiqul Mahthuthat fi awraqil jamih, Muhammad Nuri Almausawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar