السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 19 Oktober 2025

Belajar Santun dari Pesantren


(Antara Akhlak, Etika, dan Kebijaksanaan)

Halimi Zuhdy

Saya jadi agak baper membaca komentar-komentar netizen terkait dengan Baikot Trans7 yang melebar kemana-mana, sampai membanding-bandingkan ormas A dan ormas B, suku A dan suku B, urusan bid'ah, paling sunnah dan merembet keurusan nasab dan lainnya. 
Dan membaca protes terhadap tayangan Trans7 kemarin, yang secara tidak langsung memperlihatkan siapa yang benar-benar memahami, dan siapa yang justru menaruh kebencian terhadap perilaku dan tradisi “pesantren”.
Coba saja baca kolom komentar. Banyak yang membenarkan perilaku Trans7 tanpa memahami konteks. Perhatikan akun-akunnya—kalau tidak dikunci, seringkali anonim, atau punya afiliasi ideologis tertentu. Ironinya, dari situ kita bisa tahu bahwa sebagian dari masyarakat kita belum paham, bahkan belum selesai membedakan antara akhlak dan etika.

Padahal, pesantren sejak dulu sangat terbuka terhadap kritik. Lembaga ini bukan lembaga “maha benar” atau “maha suci”. Pesantren adalah lembaga yang tumbuh bersama masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman serta kemanusiaan. Tapi tentu, ada hal-hal yang menjadi ciri khas pesantren, tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, baik di pesantren salaf maupun modern.

Nama dan bentuknya pun beragam: ada yang disebut pesantren, pondok, ada ribath, ma’had dan nama lainnya. Masing-masing punya tradisi yang tumbuh dari nilai-nilai lokal yang kemudian diberi ruh Islam. Jadi, ketika seseorang menilai tradisi pesantren hanya dari potongan video atau perilaku satu dua orang, jelas itu bukan analisis ilmiah, melainkan bias emosional.

Mari ambil contoh sederhana: menundukkan kepala di hadapan guru. Apakah hanya ada di pesantren? Tidak. Di Jepang, orang bahkan membungkuk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu bentuk kesyirikan? Tidak juga. Karena yang dihormati bukan wujud manusia, tapi nilai yang ia bawa.

Lalu ada yang berkomentar, “Itu melanggar Sunnah!”  saya sering bertanya, Sunnah yang mana? Apakah mencium tangan dalam Islam diharamkan? Apakah menundukkan kepala termasuk dosa? Buka kitab, baca hadis secara utuh, jangan potong-potong. Ulama hadis saja berbeda pandangan, apalagi kita yang hanya membaca dari cuplikan dakwah pendek di media sosial.

Kalau memang ada perbedaan pandangan, mari hormati. Dalam fikih saja, perbedaan bisa sampai pada level hukum: dari mubah hingga haram, tergantung pendekatannya. Maka tidak pantas kita mudah memvonis orang lain salah, apalagi dengan nada menghina.

Kadang, orang yang bilang “santri baperan” justru adalah mereka yang kurang membaca. Padahal, kalau mau belajar lebih dalam, justru tradisi pesantren adalah benteng akhlak dan etika bangsa ini.

Ironi sekali, ketika yang meniru budaya luar dianggap “modern”, tapi yang menjaga tradisi sendiri justru dicap “kolot”. Contohnya, makan pakai tangan dibilang jorok. Padahal, penelitian di Journal of Clinical Nutrition (2019) menyebutkan bahwa makan dengan tangan bisa meningkatkan koordinasi otak dan memperkuat pencernaan. Tapi ketika pakai sendok, dibilang ikut-ikutan Barat. Duh, repot kalau logika sudah kalah dengan perasaan.
Inilah pentingnya kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semua yang berbeda harus disamakan, dan tidak semua yang sama harus dipertentangkan. Bukankah kita hidup di negeri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Pesantren sangat paham Sunnah. Sejak dulu para kiai dan ulama pesantren telah mempraktikkan nilai-nilai itu dengan luar biasa. Mereka turun langsung ke masyarakat, mengajarkan wudhu kepada yang belum tahu, memperkenalkan Islam kepada yang baru mengenal. Kadang mereka harus beradaptasi dengan tradisi lokal dulu agar dakwahnya diterima.

Bayangkan jika dakwah dilakukan dengan gaya sebagian orang hari ini, yang sedikit-sedikit bilang “bid’ah”, “dosa”, “haram”. Apakah Islam akan berkembang dengan indah seperti dulu?
Coba lihat sejarah Nabi. Beliau tidak datang dengan amarah, tapi dengan kasih sayang dan keteladanan. Maka siapa sebenarnya yang tidak mengikuti Sunnah Nabi hari ini? Mereka 
yang keras dalam ucapan tapi miskin akhlak.

Pesantren punya sistem yang menanamkan akhlak, etika, dan moralitas. Tidak ada perbudakan, tidak ada feodalisme. Jika ada penyimpangan, silakan dikritik. Tapi jangan framing seolah seluruh pesantren begitu. Karena faktanya, pesantrenlah yang selama ini menjaga karakter bangsa, menanamkan toleransi, dan juga tidak sedikit yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa.

Kita paham, dunia media sosial hari ini bising, semua orang bisa bicara, tapi tidak semua memahami. Maka mari bijak: sebelum menilai, pelajari. Sebelum berkomentar, pahami. Sebelum mengkritik, bedakan dulu antara akhlak dan etika. Karena di situlah letak peradaban dimulai.

***
Salam 
Ayo ke Pesantren!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar