Halimi Zuhdy
Kita hidup di zaman yang sering salah paham tentang dua hal penting dalam akhlak: kelembutan (اللِّين) dan ketegasan (الحَزْم). Ada yang mengira lembut itu lemah, dan tegas itu keras. Padahal, Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah lawan, tapi dua sisi dari satu kebijaksanaan. Bahkan, anggapan itu, orang yang lembut adalah mereka yang tidak tegas, melempem, dan lemot. Atau, sebaliknya orang yang tegas, dianggap pemarah, keras dan tidak berakhlak baik. Karena, mereka tidak memahami keduanya.
Nabi Muhammad tahu kapan harus mengusap kepala dengan kasih, dan kapan harus menegakkan prinsip tanpa ragu. Itulah sebabnya, setiap tindakan beliau menjadi pelajaran penting:
إِنَّ لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالًا، وَلِكُلِّ مَوْقِفٍ مَا يُنَاسِبُهُ
“Setiap keadaan memiliki ucapannya, dan setiap situasi punya cara menanganinya.”
Satu hari, seorang Arab Badui kencing di masjid. Para sahabat spontan marah. Namun Rasulullah SAW bersabda:
لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ
“Jangan hentikan dia, biarkan saja.” (HR. Muslim, 2/133)
Bayangkan di rumah Allah, namun Nabi SAW tak langsung murka. Setelah selesai, beliau menasihatinya dengan lembut dan menjelaskan fungsi masjid. Hasilnya? Si Badui itu bukan hanya berhenti, tapi juga berterima kasih dan berdoa untuk Nabi . Itulah lembut yang mendidik, bukan lembut yang dibiarkan tanpa arah. Lembut bukan diam, tapi tahu kapan dia menasehati dan mengarahkan.
Begitu pula dengan sahabat Mu‘āwiyah bin al-Ḥakam as-Sulamī, yang bersin di tengah salat lalu berkata “Yarhamukallāh.” Seusai salat, Nabi SAW menasihatinya tanpa mencela. Mu‘āwiyah berkata: “Demi Allah, aku belum pernah melihat guru sebaik beliau; tidak marah, tidak memukul, dan tidak mencela.” (HR. Muslim, 3/140).
Kelembutan Nabi SAW bukan basa-basi, tapi metode pendidikan. Beliau menuntun, bukan menunduk.
Namun ketika prinsip diinjak atau akidah terancam, Nabi SAW berubah tegas, bukan karena emosi, tapi karena tanggung jawab wahyu.
Suatu hari, Umar bin Khattab membawa catatan dari Taurat dan membacanya. Wajah Nabi SAW berubah, lalu beliau bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى، ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي، لَضَلَلْتُمْ"
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa hidup di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian akan tersesat.” (Musnad Ahmad, no. 14631)
Itulah ketegasan menjaga kemurnian risalah. Beliau tidak ingin umatnya mencampur wahyu dengan tradisi lama. Tegas, tapi tetap mendidik. Ketegasan juga muncul ketika ada yang berlebih dalam ibadah. Mu‘adz bin Jabal pernah memperpanjang salat hingga orang kesulitan. Nabi menegur:
أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟
“Apakah engkau ingin membuat fitnah, wahai Mu‘adz?” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukan marah, tapi pengingat: ibadah harus memudahkan, bukan memberatkan.
Rasulullah SAW dikenal tidak pernah marah karena kepentingan pribadi. Tapi bila hukum Allah dilanggar, beliau bangkit dengan wibawa kenabian. Aisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata:
“Tidaklah Rasulullah SAW marah karena dirinya, kecuali jika larangan Allah dilanggar, maka beliau marah karenanya.” (HR. Bukhari, no. 3560)
Ketegasan beliau selalu terukur: tidak melukai, tidak menghina, tapi mengingatkan dengan nur wahyu dan kekuatan hati.
Salah satu momen paling indah dalam sejarah Islam adalah Fathu Makkah (Penaklukan Mekah). Saat semua musuh yang dulu mengusir dan menyiksanya berada di depan mata, Nabi SAW justru berkata:
اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah, kalian semua bebas.” (Zād al-Ma‘ād, 3/356)
Tak ada balas dendam. Tak ada paksaan. Hanya ampunan yang menaklukkan hati. Inilah kelembutan yang lahir dari kekuatan iman, bukan kelemahan diri.
Dalam setiap peristiwa, Nabi SAW selalu menempatkan keduanya secara seimbang.
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا.
“Tidaklah Rasulullah SAW diberi pilihan antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah selama tidak berdosa.” (HR. Bukhari)
Itulah seni kepemimpinan Rasulullah SAW, tegas saat prinsip diganggu, lembut saat hati butuh arah. Kita pun dituntut meneladani jalan tengah itu lembut dalam berdakwah, tapi tidak lemah dalam prinsip, tegas dalam menjaga kebenaran, tapi tidak keras dalam menyampaikan, marah karena Allah, bukan karena ego.
Menarik ungkapan seornag ulama, kelembutan tanpa prinsip adalah kelumpuhan, dan ketegasan tanpa kasih adalah kekerasan.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri; berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan keselamatan bagi kalian, terhadap orang-orang beriman beliau penuh kasih dan sayang.” (QS. At-Taubah: 128)
Marja'
Muslim, Ṣaḥīḥ, jilid 2/133, 3/140.
Ibn al-Qayyim, Zād al-Ma‘ād 3/356.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 14631.
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ, no. 3560.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar