السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 19 Oktober 2025

Al-Khoziny, Duka Kita dan Duka Indonesia


(Sejenak Merenung, tentang Musibah ini) 

Halimi Zuhdy

Ketika satu pesantren berduka, sejatinya seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Nusantara, ikut berduka. Sebab pesantren itu satu tubuh dengan satu ruh,  ruh pengabdian untuk umat.
Bagi mereka yang belum pernah mencicipi “asam garam pesantren”: kerasnya hidup di bilik sederhana, keringnya nasi di dapur umum, atau keruhnya air di kamar mandi pesantren,  barangkali sulit memahami betapa dalamnya makna perjuangan itu. Mereka hanya melihat dari luar, kadang dengan sinis, kadang dengan sumpah serapah. Bahkan kolom-kolom media penuh dengan nyinyiran tentang pesantren. "Bubarkan pesantren!" Teriaknya. 

Padahal, bukan berarti pesantren anti kritik. Tidak. Pesantren bukan lembaga sempurna, sebagaimana lembaga pendidikan lain di Indonesia. Namun pesantren adalah warisan asli Nusantara, jati diri bangsa yang tak boleh goyah. Ia harus terus berbenah, karena tiada manusia, lembaga, atau bangunan yang sempurna.

Musibah yang menimpa Pesantren Al-Khoziny hari ini adalah duka yang dalam. Namun mungkin juga menjadi peringatan dan pelajaran besar,  bukan hanya bagi satu pesantren, tapi bagi seluruh lembaga pendidikan di negeri ini. Al-Khoziny menjadi korban, tapi sesungguhnya kitalah yang harus mengambil hikmah. Saatnya semua pihak berbenah: pesantren, lembaga pendidikan, pemerintah, bahkan masyarakat.

Pemerintah perlu meninjau kembali sistem perizinan dan IMB. Jangan sampai prosesnya mempersulit lembaga yang ingin membangun kebaikan. Dari RT hingga pemerintah kota dan kabupaten, biarlah kemudahan itu menjadi bagian dari pelayanan. Dan pesantren juga berbenah, bersusah-susah untuk mengajukan IMB, bagaimana pondok berstandar keamanan. 

Kampus-kampus dengan fakultas teknik sipil, arsitektur, dan keinsinyuran  juga punya tanggung jawab moral. Nantinya, bisa ikut hadir membantu pesantren yang sedang membangun generasi bangsa, atau yang telah dan sedang juga bisa lebih masif. Semuanya, bergotong royong hadir untun lembaga pesantren. Lembaga milik Indonesia. 

Jangan lupa, banyak pesantren kesulitan luar biasa hanya untuk membangun ruang belajar yang layak. Dari semen, bata, hingga mencari tukang pun sering penuh perjuangan. Padahal, dari tempat-tempat sederhana itulah lahir generasi berakhlak, berilmu, dan tangguh.

Yang kita butuhkan hari ini bukan komentar pedas, bukan nyinyiran, bukan caci maki. Mari duduk bersama. Karena bukan hanya pesantren yang belum sempurna,  semua lembaga pun demikian. Kecuali beberapa pesantren yang memiliki banyak donatur, atau santrinya membayar spp lumayan mahal. Tapi, tidak sedikit pesantren yang menampung santri yang hanya punya untuk biasa buku, bahkan 100 persen bebas spp, uang makan, dan lainnya. Siapa yang harus hadir di sini? 

Kita perlu menata kembali banyak hal: keamanan, perlengkapan, tata bangunan, hingga manajemen risiko. Semua bisa menjadi pelajaran berharga, agar tidak ada lagi duka serupa di masa depan. Tidak hanya Al-Khoziny, karena ada musibah. Tidak. Semuanya. Maka, bergotong royong, membagun bersama. 

Ada yang juga aneh. Sebagian orang menuduh pesantren seperti “perbudakan.” Mereka jelas belum pernah masuk dan tinggal sehari saja di dalamnya. Atau mungkin, ada beberapa pesantren yang menerapkan kerja-kerja seperti itu, tapi coba dilirik kembali. Apa yang mereka kerjakan? Menarkan mereka dipermudak? Atau lagi belajar untuk berkhidmah, penguatan mental, kerja dan lainnya. 

Lihatlah, jutaan santri hidup di pesantren tanpa paksaan, tanpa tentara, tanpa politisi, tapi dengan semangat luar biasa untuk belajar dan berkhidmah. Mereka makan seadanya, tidur di kasur tipis, dan tetap bersyukur. Mereka tidak di dampingi orang tua, jauh dari kemewahan, ada yang hanya disambangi satu tahun sekali, siapa tim psikolog yang mampu bersemai 24 jam dengan ratusan bahkan riabuan santri yang mengalami stres belajar? Duh, susah banget. Jamaah haji saja butuh pengkondisian luar biasa, itu hanya 40 hari. Ini 1-3 tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Bukan membela pesantren, ini kenyataan. Tapi, ingat tetap harus terus berbenah menjadi baik, kalau tidak terbaik. Dan butuh dukungan masyarakat dan pemerintah. 

Bahkan banyak pesantren berdiri di atas tanah yang belum rata, dengan bangunan yang masih gubuk, tapi penuh cahaya ilmu dan doa. Pesantren bukan milik individu. Ia milik umat. Ia milik Indonesia. Maka mari bantu pesantren, rawat pesantren, cintai pesantren. Pesantren tidak anti kritik. Ia selalu berdampingan dengan masyarakat, terbuka terhadap masukan. 

Ketikan Kyai dawuh tentang "takdir",  bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Justru ikhtiar adalah bagian dari iman kepada takdir. Bila ada kelalaian, tentu harus diperbaiki. Bila ada kekurangan, tentu harus dibenahi. Kita negara hukum, maka setiap lembaga, termasuk pesantren, harus mengikuti aturan keselamatan dan pembangunan. Dan kata "takdir" di pesantren bukan sesuatu yang abai, ia adalah penguat. 

Namun satu hal pasti: tidak ada kiai, ustaz, atau pesantren mana pun yang ingin santrinya menjadi korban. Para santri itu adalah anak-anak kiai, anak-anak bangsa, bahkan sering lebih dekat secara ruhani dibanding anak sendiri.

Al-Khoziny yang berarti perbendaharaan, menyimpan, gudang, kalau toh hari ini, ia lagi Al-Hazin (berdua). Mari, kita berdoa, dan tentunya juga berikhtiyar semaksimal mungkin, untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. 

Dan Mari kita doakan: semoga para keluarga yang berduka diberi kesabaran oleh Allah. Semoga para santri mereka menjadi bunga-bunga syahid yang harum di sisi-Nya. Dan semoga pesantren-pesantren di seluruh Indonesia terus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan penuh berkah, manba‘ul ‘ilmi, sumber ilmu yang tak pernah kering.

Ya Allah Ya Rabb. Lakal hamdu, wa laku syukru, wailaika rajiun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar