Halimi Zuhdy
Rafah pertahanan terakhir rakyat Gaza. Darah mulai membuncah, membasahi tanah Rafah, merenggut nyawa tak berdosa. Di tengah tragedi kemanusiaan ini, ada pertanyaan di mana suara sastrawan perlawanan Palestina, setelah Al-Syahid Ghassan Kanafi, Mahmoud Darwis dan lainnya.
Memang Gaza hari ini tak butuh kata-kata, tapi perlu makanan, obat-obatan, keamanan, dan bahkan butuh kemerdekaan. Tapi, bukankah kata-kata adalah ruh dari kebangkitan?.
Dahulu, sastrawan seperti Mahmoud Darwish dan Ghassan Kanafani menjadi penjaga api perlawanan. Puisi dan prosa mereka membangkitkan semangat rakyat Palestina, menggemakan kisah penderitaan dan perlawanan mereka. Darwish, dengan puisinya yang penuh metafora dan simbolisme, melukiskan keindahan tanah air yang hilang dan rasa rindu yang mendalam. Kanafani, dengan novelnya yang sarat kritik sosial dan politik, mengobarkan api perlawanan terhadap penjajahan Israel.
Namun, kini mereka telah tiada. Generasi baru sastrawan Palestina tampak bangkit untuk mengisi kekosongan ini. Suara mereka mulai menggema, meneruskan tradisi perlawanan dalam bentuk karya sastra yang menyentuh hati dan membangkitkan kesadaran.
Beberapa nama mulai muncul di kancah sastra Palestina kontemporer. Suheir Hammad, seorang penyair perempuan, mengangkat suara perempuan Palestina dalam puisinya yang berani dan penuh semangat. Ada juga Mohammed El-Kurd, seorang penyair muda dari Gaza, menggunakan media sosial untuk menyebarkan puisinya yang menggambarkan realitas pahit kehidupan di bawah blokade Israel.
Ada deretan lainnya, seperti Rana Anani, seorang penulis novel, mengeksplorasi tema-tema seperti identitas, trauma, dan harapan dalam karyanya.
Meskipun masih muda dan belum mencapai ketenaran seperti Darwish dan Kanafani, para sastrawan ini menunjukkan potensi besar. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan tradisi sastra perlawanan Palestina, menyuarakan kisah rakyat mereka, dan menginspirasi generasi baru untuk terus berjuang.
Namun, tantangan yang mereka hadapi tidaklah mudah. Di bawah penjajahan Israel, akses terhadap pendidikan dan sumber daya terbatas. Kebebasan berekspresi juga dikekang. Para sastrawan Palestina sering kali harus berhadapan dengan sensor, intimidasi, bahkan penangkapan.
Meskipun demikian, semangat perlawanan tetap hidup dalam jiwa para sastrawan Palestina. Mereka terus berkarya, menuangkan rasa sakit dan harapan mereka ke dalam puisi, prosa, dan berbagai bentuk seni lainnya. Suara mereka adalah suara rakyat Palestina, suara yang tidak akan pernah dibungkam.
Di Mana Kita Menemukan Para Sastrawan Baru?
***
Suara mereka adalah suara kemanusiaan, suara yang harus didengar oleh seluruh dunia.
****
Insyallah sekilas, akan kita sampaikan diacara Webinar HISKI, besok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar