Halimi Zuhdy
Beberapa hari yang lalu (17/12/2017) saya berkunjung ke rumah Prof. Dr. Muhammad Majid Al-Dakhil di Al Hasn, Guru Besar Sastra Arab di Universitas Al Balqa' Yordania. Mengenal beliau 4 tahun yang lalu di grup Muhibbul Lughah Arabiyah wa Adabiha . Konsentasi penelitian beliau tentang "Muqowamah Falestinia" dan pergumulan sastra perlawanan di Timur Tengah. Saya lagi meneliti tentang "Tajalliyat Shira' fi Adab arabi al maashir wa al-harb al-araby",. yaitu tentang pergerakan, peperangan, perlawanan, kekacauan Timur Tengah dan sastra Arab Modern.
Pertemuan yang indah, setelah berkeliling di kebun Zaitun miliknya, ia memaparkan pemikirannya tentang perlawanan, kekacaun dan pergerakan di Syam (Palestina, Yordania, Suria dll) yang dikaitkan dengan teks sastra yang muncul.
Sastra selalu menjadi perlawanan yang luar biasa untuk melawan tirani kekuasaan, teks bergerak dengan cepat, menghempas dan bahkan menjungkalkan penguasa dengan deretan bait-bait puisi revolusi, walau tidak ada bom untuk meledakkan kawasan tertentu, tapi ada sastra yang mampu menggerakkan manusia untuk mengacaukan kemapanan atau sebaliknya.
Sastra bukan hanya deretan kata manis, setiap hurufnya adalah ruh, kalimatnya adalah kilatan petir. Bagaimana penguasa terjungkal ke jurang karena puisi yang didegupkan setiap harinya, bagaimana kekuatan intifadah palestina dengan sihir puisi sebelum berangkat ke medan perlawanan. Seperti tiga penyair, yang terkenal dengan penyair perlawanan; Taufiq Ziyad, dengan puisinya "Huna Baqun". Mahmud Darwis, " Sajjil Ana Arabi", dan "Khitab Fi Suqil Bathalah ya Adhuu Syamsi" oleh Sami Qosim.
Teks sastra tentang; indahnya mati, pahala berperang, martir , nasionalisme, kebebasan, surga dengan syahid, adalah tema penting dalam membangkitkan ruh perjuangan. Seperti mendapatkan penyut api, ia bergerak pasti, memukaukan setiap pejuang yang haus mati.
Afan Fathukan, seorang penyair Palestina, menurut para pengamat, puisinya lebih militan dari 20 lebih penjuang yang paling militan, ruh puisinya membangkitkan para pemuda tuk berjuang membela agama dan tanah airnya.
Di Palestina ada; Said al-Muzayin, Ibrahim Tauqan, Samih Al-Qosim, Maurid Barghauti, Souad, Harun Hasyim Rashid, Afad Fatukan, said Abi Nahs, Ghassan Kanfani, Ishaq Musa, Ilyas Khauri.
Di Suria ada; Nizar Qobbani, Dhahi Khulfan, Imaduddin Musa, Maha Bakr, Muhamamd Ulauddin, Tamam Talawi, Shalah Ibrahim Hasan.
Dan di setiap negara, para penyair mengobarkan pemberontakan pada penguasa tiran, revolusi dan kemerdekaan. Maka tidak heran, sastra adalah perlawanan ampuh, mereka tidak lagi mengenal waktu menulis, dikala api membara atau dikala salju mendera. Ia tetap melawan, semakin kuat intimidasi, semakin kuat pula aksi dan kreatifitas diri.
*Dosen Sastra Arab (BSA) UIN Malang.
IG @halimizuhdy3011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar