السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 21 Mei 2011

Mengenal Istilah Syair dan Puisi

Halimi Zuhdy

Kata “puisi” dan “syair” sudah mashur ditelinga kita, keduanya memiliki kemiripan namun berbeda, kalau istilah puisi sering digunakan dalam bahasa Indonesia sedangkan syair digunakan dalam bahasa Arab, walaupun istilah Syair juga sudah menjadi bagian dari puisi, yaitu puisi lama yang tiap bait terdiri atas empat baris yang berakhir dengan bunyi sama. Menurut Hooykaas, syair merupakan jenis puisi lama yang berkembang di Indonesia hanya saja namanya merupakan serapan dari bahasa Arab. 

Dalam bahasa Indonesia, seakan-akan syair itu puisi dan puisi itu adalah syair, bukan hanya syair dan puisi yang melebur dan kabur, tapi istilah yang lain juga demikian, seperti menulis dan mengarang. Menulis dan mengarang pada dasarnya berbeda, kalau menulis seringkali menyelipkan pemikiran orang lain dalam tulisannya, dengan mengumpulkan data dan kemudian menganalisisnya, atau sekedar mengumpulkan yang kemudian mengkompelasikan dengan tulisan-tulisan lain, seperti makalah popular, artikel, opini. Sedangkan mengarang, murni dari pemikiran sendiri seperti novel, cerpen, dan puisi. Namun, mengarang dan menulis sudah dianggap tidak ada bedanya, ya..menulis.

Mari kita melihat asal kata syair dalam bahasa Arab, secara etimologis, kata syair berakar dari kata شعر- يشعر- شعرا- شعورا yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengkomposisi, atau menggubah sebuah syair (Abu al-Fadl, 1990: 409). Menurut Jurji Zaidan, syair berarti nyanyian (al-ghina`), lantunan (insyadz), atau melagukan (tartil). Asal kata ini telah hilang dari bahasa Arab, namun masih ada dalam bahasa-bahasa lain, seperti شور dalam bahasa Ibrani yang berarti suara, bernyanyi, dan melantunkan lagu. Diantara sumber kata syi`r adalah شير (syir) yang berarti kasidah atau nyanyian. Nyanyian yang terdapat dalam kitab Taurat juga menggunakan nama ini. (Muzakki)

Sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi lebih dahulu berkecimpung dalam dunia nazham daripada orang-orang Hijaz. Dengan demikian, pengalaman dan kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan kata syir yang berkaitan dengan kasidah atau nyanyian. Berdasarkan sumber itu, orang-orang Arab dipandang kuat telah mengambil kata syi`r dari orang Yahudi untuk menyebut istilah kasidah. Kemudian mereka mengganti huruf ya` dalam kata شير dengan huruf `ain, maka jadilah kata syi`r (شعر ), dan selanjutnya kata ini dipergunakan pada pengertian syair secara umum (Ahmad Husein al-Thamawi, 1992: 46).

Berbeda dengan al-`Aqqad, ia memandang kata syi`r harus dikembalikan kepada bahasa aslinya, yaitu bahasa Semit. Karena itu, kata شيرو pada suku `Aqqadi kuno merujuk kepada suara nyanyian di gereja. Dari kata ini, kemudian berpindah ke dalam bahasa Ibrani (شير) dengan arti melagukan (insyadz) dan ke dalam bahasa Aramiyah yang bersinonim dengan kata شور , ترنم (menyanyikan) dan ترتيل (melagukan) (Ahmad Husein al-Thamawi, 1992: 47).

Bagi orang Arab, kata syi`r mempunyai arti tersendiri sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka, syi`r berarti pengetahuan atau kepandaian (`ilm/fathanah), dan penyair itu sendiri disebut dengan al-fathin (cerdik pandai). Pendapat ini ada kemiripan dengan pengertian poet dalam bahasa Yunani, yang berarti membuat, mencipta (dalam bahasa Inggris padanan kata poetry erat berhubungan dengan kata poet dan poem). Poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, dan orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Henry Guntur Tarigan, 1984: 4). Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, mereka meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis, karena itu mereka dikenal sebagai “ahl al-ma’rifah” , yaitu sekelompok orang yang dapat memprediksi kehidupan dan kejadian di masa yang akan datang (Ahmad Amin, 1975: 55).
Secara terminologis, para ahli `arudh mengatakan bahwa pengertian syi`r itu sama (muradif) dengan nadzam. Mereka mengungkapkan: Kata-kata yang berirama dan berqafiah yang diciptakan dengan sengaja. Dan masih banyak pendapat-pendapat yang lain terkait dengan kata-kata syair (insyallah buat buku dulu, syair dalam kajian sastra Arab).

Sedangkan istilah Puisi, sebagaimana yang penulis temukan dalam beberapa buku, kata “puisi” berasal dari kata Yunani kuno yaitu : ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) diartikan sebagai seni tertulis yang mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Atau berasal dari poesis yang berarti penciptaan. 

Kemudian puisi diartikan suatu ciptaan tentang sesuatu keindahan dalam bentuk berirama. Citarasa adalah unsur yang diutamakan. Hubungan dengan budaya intelek atau dengan suara hati hanya merupakan hubungan yang selari. Jika bukan secara kebetulan, ia tidak ada kena mengena langsung sama ada dengan tugasnya atau dengan kebenaran, demikian menurut Edgar Allan Poe. Sedangkan menurut H.B Jassin H. B. Jassin, Puisi merupakan pengucapan dengan perasaan yang didalamnya mengandungi fikiran-fikiran dan tanggapan-tanggapan

Kalau kita tangkap dari beberapa definisi dari syair Arab , dipahami bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan kepada karya sastra genre syair apabila ungkapan tersebut memenuhi enam kriteria: 1) kalam (bahasa), 2) ma`na (gagasan), 3) wazan (irama), 4) qafiah (sajak), 5) khayal (imajinasi), dan 6) qasd (sengaja). 
 
Dan tidak terlalu jauh dengan definisi puisi dalam bahasa Indonesia yang puisi tersebut tidak lepas dari imaginasi, pemikiran, idea, nada, irama, kesan pancaindera, susunkata, kata-kata kiasan, kepadatan, perasaan, perasaan yang bercampur-baur dan sebagainya. 

Puisi dan syair pada akhirnya adalah sebuah ungkapan imajinatif, yang berirama dengan susunan kata yang tersusun dengan penuh kiasan, kepadatan dan perasaan. Ada kesamaan dalam macam/jenis keduanya. Dalam syair menurut Thaha Husein dan Ahmad al-Syayib membagi syair dari segi isinya menjadi tiga macam: 1) syair cerita/epic poetry (syi`r qishashi), 2) syair lirik/liric poetry (syi`r ghina`i), dan 3) syair drama/dramatic poetry (syi`r tamtsili). Sementara `Abd al-Aziz bin Muhammad al-Faishal menyebut syair cerita dengan istilah syi`r malhami, walaupun pengertiannya tidak ada perbedaan, dalam puisi tidak jauh berbeda.

1 komentar: