Halimi Zuhdy
Mata tertunduk hanya kedipan, tubuh tertirai hanya gerakan, mulut bungkam hanya tasbih, kaki beku hanya langkah kecil, tangan kaku hanya wiridan, tak ada rasa kecuali “cinta”.
Ketika cinta sudah berbicara, semua menjadi tak nyata, seakan-akan semuanya adalah sorga, duri menjadi rumput-rumput yang indah, pedang menjadi pisang yang siap santap, bom hanyalah sebuah gertakan, tapi seperti donat yang empuk, amarah tak lagi terhiraukan, tubuh tak lagi menjadi sebuah dambaan, kemolekan sudah tak terpandang, semua tirai teungkap dibalik anggukan, khayalan tak lagi menjadi khayal, kerena ia sebuah kenyataan, kenyataan menjadi semakin nyata ketika sudah ada pernyataan.
Ibnu khazm al-Andalusi dalam puisinya
Jalan tak sealu panjang
Jarak tak selalu anggang
Walau tajam, itu pedang bisa patah
Walau buas, itu macan bisa berubah
Meski kasar, begitu gampang aku tertawan
Bak serigala, diam dalam tawanan cerdik –cendekiawan
Mati dalam cintamu sungguh puncak kenikmatn
Betapa mengherankan, ada rang menikmati kebinasaan
Cinta memang sulit dikhayalkan apalagi dirasionalisasikan, ia seakan-akan batu yang tidak keras, seakan lautan yang dangkal, sungai yang pendek, langit yang sempit, bumi yang kecil, gunung bak bukit, tak ada kehebatan, semuanya hanyalah keyakinan dan pandangan, dalam cinta semuanya tak lebih dari sebuah keyakinan.
Ia tak bisa dinyatakan hanya dengan ungkapan, semuanya menjadi kaku, Bilal bin Rabah, di antara perindu beratnya, suara emasnya yang mampu menggetarkan manusia, berhenti berazan ketika ia mendengar kekasihnya menghadap rabbul izati. Orang-orang pada kalang-kabut, karena suara merdunya tak lagi bersayuh, mereka bingung. Akhirnya, setelah didesak banyak orang -termasuk Fatimah a.s- Bilal mulai mengumandangkan azan. Ketika sampai kata “wa asyhadu anna Muhammad…”, ia berhenti, suaranya tersekat ditenggorokan, ia menangis keras. Nama “Muhammad”, kekasih yang baru saja kembali pada hadirat-Nya, menggetarkan jantung Bilal. Bilal bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah Saw, Muhammad Saw. Adalah nama insan yang paling indah baginya. Justru karena cintanya kepada Rasulullah Saw., nama beliau sering diingat, disebut, dan dilagukan. Bilal berhenti azan, hanya karena nama itu mengingatkan dia kepada kehilangan besar yang bukan saja memukul Bilal, tapi seluruh kaum muslimin.
Kecintaan lain yang luar biasa :
Suatu hari Urwah AL-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan kepada kaumnya, “orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasi. Demi Allah, belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Ia usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di hadapannya. Mereka menundukkan pandangan di hadapannya karena memuliakannya (shahih Bukhari 3 :255). Dan dalam peristiwa lain, Ummu Sulaym menampung keringat beliau pada sebuah botol, sedangkan beliau dalam keadaaan tidur, dan setelah bangun, Nabi Saw bertanya, “apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaym?” ia menjawab, “Ya Rasulallah, kami mengharapkan berkahnya buat anak-anak kami.” Mendengar, Nabi Saw. Bersabda, “Ashabti, Engkau benar (Musnad Ahmad 3 : 221-226)
Memang cinta, sepenuhnya kembali pada diri, bagaimana ia membawa dirinya untuk bercinta, bercinta dengan sepenuh hati, akan mendustakan diri sendiri, jika masih dibalut oleh kemunafikan. Mencintai adalah hak preogratif diri, yang tidak mampu dibendung oleh siapa pun, karena semuanya adalah karunia dari Tuhan, asal tidak salah memaknai, antara nafsu dan cinta, yang selalu sulit dibedakan, maka bercintalah atas nama-Nya, semuanya menjadi jalan yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar