Halimi Zuhdy
Kemarin ada salah seorang santri bertanya, "Bagaimana ulama-ulama dahulu menulis kitab, sedangkan saya menulis status di media sosial saja kerepotan, bahkan terkadang tidak mettu (keluar) ide?". Saya kemudian bercerita tentang banyak ulama di zaman dahulu, dengan keterbatasannya melahirkan karya yang monumental. Sedangkan di era yang fasilitas serba mudah di dapat, menulis satu buku pun masih minta bantuan mesin, itu pun bukan idenya, tapi ide mesin.😁. Maka, bukan persoalan fasilitas, tapi persoalan semangat dan mau berbuat. 🫢
Toyyib. Saya memberi contoh ulama yang super duper, walau masih banyak lainnya yang juga keren banget. Yaitu kepenulisan Imam At-Thabari dalam at-Tarajim wa Syakhshiyat. Beliau digambarkan sebagai contoh kegigihan dan kejernihan niat yang luar biasa. Ia bukan hanya seorang ulama, tapi juga penulis yang hampir tak tertandingi dalam produktivitas dan kedalaman ilmu. Diceritakan bahwa Imam At-Thabari menulis sekitar 40 halaman setiap hari, sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedisiplinan dan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Itu di era, di mana kertas dan pena sangat langka, tidak seperti di era ini, apalagi di era digital yang sangat mudah menulis dalam ratusan halaman word.
روي أنه كان يكتب أربعين صفحة في كل يوم، إنه الإمام محمد بن جرير الطبري صاحب أكبر كتابين في التفسير والتاريخ،
Karya-karyanya mencakup berbagai bidang, tapi dua yang paling monumental adalah “Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān” (Tafsir At-Thabari) dan “Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk” (Sejarah Umat dan Raja-Raja). Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa beliau melakukan istikharah selama tiga tahun sebelum mulai menulis tafsirnya, memohon agar Allah memudahkannya dan memberkahi pekerjaannya. Ini menandakan bahwa baginya, menulis bukan hanya kerja intelektual, tapi juga ibadah.
At-Thabari dikenal sangat sistematis dan teliti. Ia tidak hanya mengutip riwayat, tapi juga menganalisis perbedaan pendapat para ulama, menimbang dalil-dalil mereka, lalu menarik kesimpulan yang logis. Gaya tulisannya padat, berisi, dan penuh argumentasi ilmiah. Saking luasnya ilmunya, para ulama sampai mengatakan: “Kalau ada orang berjalan ke Cina hanya untuk mendapatkan Tafsir At-Thabari, itu belum berlebihan.”
Menariknya, ia juga tidak tergoda oleh jabatan atau harta. Wow. Ketika khalifah mengirimkan hadiah besar sebagai penghargaan atas karyanya, ia menolaknya. Ia ingin kebebasan berpikirnya tetap murni. Bahkan saat teman-temannya menolak ide gila untuk menulis sejarah dunia dalam 30.000 halaman karena “usia manusia gak cukup,” At-Thabari menanggapinya dengan kalimat tajam: *Inna lillah, telah mati semangat manusia.” Lalu ia menulisnya sendiri dalam 3.000 halaman, tetap kolosal.
قال أبو القاسم بن عقيل الوراق: إن أبا جعفر الطبري قال لأصحابه هل تنشطون لتاريخ العالم من آدم إلى وقتنا قالوا كم قدره فذكر نحو ثلاثين ألف ورقة فقالوا هذا مما تفنى الأعمار قبل تمامه فقال إنا لله ماتت الهمم فاختصر ذلك في نحو ثلاثة آلاف ورقة ولما أن أراد أن يملي التفسير قال لهم نحوا من ذلك ثم أملاه على نحو من قدر التاريخ.
Jadi, kepenulisan Imam At-Thabari bukan cuma tentang banyaknya tulisan, tapi tentang semangat keilmuan yang nyatu dengan ketulusan hati. Ia menulis bukan untuk terkenal, tapi untuk menegakkan ilmu dan kebenaran. Karena itu, meskipun ia wafat lebih dari seribu tahun lalu, ilmunya masih hidup dan mengalir terus sampai sekarang.
Memang, santri yang bertanya tadi dan yang menjawabnya, sepertinya mungkin menirunya, tapi minimal pernah tahu, bahwa ada banyak ulama yang sekeren Imam Ath-thabari, dan beberapa ulama lainnya. Dan, minimal bisa menulis 1 buku dalam hidupnya. 🫢📚✍️

Tidak ada komentar:
Posting Komentar