(Rahasia Urutan Kata dalam Al-Qur'an)
Halimi Zuhdy
Beberapa hari yang lalu, saya mencoba sedikit mengupas tentang rahasia tartibul Ayat (urutan Ayat) dalam Surat An-Nas, kemudian ada yang bertanya tentang urutan kata dan kalimat, seperti Az-Zaniyatu waz Zani (penzina perempuan dan penzina laki-laki). Mengapa harus perempuan yang didahulukan, kok tidak laki-laki? Tapi, mengapa dalam hal pencurian, laki-laki malah yang didahulukan?
Toyyib. Mari kita sedikit melirik tentang urutan kata dalam Al-Qur'an. Bila kita perhatikan, Al-Qur’an sering menyebut laki-laki lebih dulu, seperti al-mu’minun wal-mu’minat (kaum mukminin dan mukminat) dan beberapa kata dan kalimat lain juga demikian. Namun tiba-tiba dalam Ayat tentang zina Allah berfirman:
 ٱلزَّانِیَةُ وَٱلزَّانِی فَٱجۡلِدُوا۟ كُلَّ وَ ٰحِدࣲ مِّنۡهُمَا مِا۟ئَةَ جَلۡدَةࣲۖ  
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali.”
(QS Al-Nūr [24]: 2)
Urutan itu terasa janggal, karena seringnya laki-laki didahulukan dalam banyak Ayat, lah..justru di situlah letak keindahan bahasanya. Al-Qur’an, dengan gaya retorika (balaghi), sedang menekankan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar urutan gender (al-jins). 
Imam al-Zamakhsyarī dalam Al-Kasysyāf menjelaskan bahwa aAyat ini bukan penyimpangan tata bahasa, melainkan penekanan moral. Dalam masyarakat, godaan pertama dalam perzinaan sering kali berawal dari pihak perempuan, dari cara bicara, penampilan, atau bahkan hanya tatapan mata yang memberi “lampu hijau.” Maka, mendahulukan kata al-zāniyah bukanlah bentuk menyalahkan, tapi peringatan, jagalah diri, karena fitnah terbesar bisa bermula dari kelembutan yang tak dijaga. Wow, ini alarwm lo. Walau tidak sedikit laki-laki yang sering menggoda perempuan.he
Syaikh Khalid al-Sabt, menyebut fenomena ini dengan lebih realistis: “Jika perempuan tidak membuka ruang, lelaki tak akan berani melangkah.” Dalam bahasa lain, kunci pertama ada di tangan perempuan. Demikian juga dalam tafsir karya Ṭāhir bin ‘Āsyūr, mufassir besar dari Tunisia. Bahwa, Az Zaniyatu didahulukan karena ada dorongan lebih dari perempuan. Dan i masa pra-Islam, zina sering dilakukan dengan terang-terangan. Ada perempuan yang bahkan memasang tanda (bendera) di rumah mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pelacur. Islam datang untuk menghapus praktik itu dan menegakkan aturan hukum yang tegas serta menjaga kehormatan manusia.
Juga ada pendapat lain, bahwa zina pada wanita membawa aib lebih besar. Diterangkan pula oleh al-Qurṭubī
زنا النساء أعر وهو لأجل الحبل أضر
  “Zina pada wanita itu lebih memalukan (a‘ar) dan karena potensi kehamilan menjadi lebih berbahaya (aḍarr)”
Artinya, aib yang ditanggung perempuan jauh lebih besar daripada laki-laki. Perempuan yang berzina menanggung malu yang mendalam di tengah masyarakat. Reputasinya tercemar, dan keluarganya pun menanggung malu.
Dan perempuan disebut lebih dulu bukan untuk menyalahkan, tetapi karena akibat sosial zina jauh lebih berat bagi perempuan, ia bisa hamil, kehilangan nama baik, dan menanggung stigma yang lebih dalam. Jadi urutan itu bukan bentuk hukuman, tapi bentuk empati ilahi, Allah menegur lebih dulu yang paling rentan agar terlindung dari akibat paling pahit. Maka, tidak sedikit akibat perzinahan, terjadi kekerasan, pelecehan dan yang paling dirugikan adalah perempuan. 
Beberapa mufassir modern pun menggarisbawahi hal ini. Mereka menolak anggapan bahwa wanita selalu menjadi penggoda atau pemicu zina. Sebaliknya, dorongan nafsu pada pria justru lebih agresif;
الرجل فيه خاصية الاندفاع والانجذاب نحو المرأة 
"laki-laki cenderung lebih terdorong dan tertarik kepada wanita"
Wanita disebut pertama bukan karena dosanya lebih besar dari pria, hukuman keduanya sama adilnya, tetapi karena kasih sayang Allah yang ingin mencegah si perempuan dari kerugian yang lebih dalam. Dengan mendahulukan perempuan, peringatan Ayat itu lebih mengena kepada pihak yang konsekuensi dunianya paling berat. (hablullah)
Mengapa “Pencuri Laki-laki” Didahulukan?
lah, bagaimana dengan pencurian? Ketika beralih ke kasus pencurian, Al-Qur’an mengembalikan urutan ke bentuk lazim, maksudnya laki-laki didahulukan. 
 وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوۤا۟ أَیۡدِیَهُمَا 
“Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
(QS Al-Mā’idah [5]: 38)
Di sini, logikanya berbalik. Menurut Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Fath al-Bārī, pencurian lebih sering dilakukan oleh laki-laki, mereka punya kekuatan, keberanian, dan peluang lebih besar untuk melakukannya. Maka, Al-Qur’an menegur yang paling sering bersalah lebih dulu. 
Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid menambahkan, “Mencuri bagi pria jauh lebih hina, karena mereka seharusnya mampu bekerja.”. Maka, aneh bagi mereka yang punya kekuatan untuk mencari nafkah, kok malah mencuri, dan terkadang merampok. Kalau pakai bahasa kita, lelaki sejati tidak mengambil milik orang lain, ia bekerja untuk mendapatkannya. Wow. 
Dengan begitu, urutan kata al-sāriq wa al-sāriqah bukan sekadar formalitas linguistik, tapi tamparan moral yang lembut laki-laki, "wahai lelaki, kau kuat, kau bisa mencari nafkah mengapa memilih jalan curang?"
Toyyib. Baik pada ayat zina maupun pencurian, Al-Qur’an menyebut dua gender secara eksplisit. Dalam kaidah hukum Islam, sebenarnya bentuk maskulin sudah cukup mencakup feminin. Tapi Allah tetap menyebut keduanya seolah berkata "jangan ada yang merasa kebal. Ini bukan sekadar kesetaraan di atas kertas; ini kesetaraan dalam bahasa wahyu".
Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr bahkan menyebut penyebutan dua gender sebagai cara Al-Qur’an “menghapus tradisi patriarkal Arab Jahiliyah” yang dulu menganggap perempuan bukan subjek hukum. Dalam satu Ayat, bahasa menjadi alat revolusi moral.
Susunan kata dalam dua Ayat itu menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur’an bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga alat untuk menyentuh hati manusia. Dan, bukan hanya susunan biasa lo!. Ketika perempuan disebut dulu, itu karena ia harus dijaga. Ketika laki-laki disebut dulu, itu karena ia harus ditampar kesadarannya.
Bahasa Al-Qur’an seperti cermin, ia memantulkan wajah sosial manusia apa adanya, lalu mengarahkan pandangan kita pada yang seharusnya. Setiap perubahan urutan, setiap pilihan kata, adalah strategi moral yang presisi. Tidak ada satu pun huruf yang keliru tempat.
Maka, ayat-ayat ini bukan sekadar hukum. Ia adalah pelajaran tentang tanggung jawab, kehormatan, dan keseimbangan. Tentang bagaimana Al-Qur'an mendidik manusia bukan dengan teriakan, melainkan dengan susunan kata yang menembus hati. Asyik. Katanya, isyarah itu cukup bgai ornag yang cerdas.
Marja'
 al-Zamakhsyarī (Al-Kasysyāf), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (Fath al-Bārī), Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr (Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr), serta penjelasan Syaikh Khalid al-Sabt dan Syaikh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid yang termuat dalam tafsir.app. Dan juga bisa dibaca di al-bahist Al-Qur'ani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar