Halimi Zuhdy
Tulisan ringkas ini hanya sebagai lemparan awal bagi para pembuat kebijakan (pemerintah), akademisi, ulama, pemilik pasar (supermarket dll). Terkait dengan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang mulai marak di beberapa supermarket atau di swalayan-swalayan baik di Indonesia atau lainnya, saya sebut dengan pelanggaran, karena ada beberapa “pemaksaan” (meski pun tidak semuanya) dalam hal berpakaian, misalnya beberapa muslimah yang terbiasa menggunakan hijab atau menutup aurat (kepala dan bagian bawah, betis dan paha).
Pemaksaan di sana bukan dengan dipukul atau dianiaya, tapi dengan adanya “pemecatan” , atau tidak diterima menjadi penjaga supermarket bagi yang tidak “rela membuka aurat”, sehigga dengan keterpaksaan, misalnya karena belitan ekonomi mereka rela untuk tidak menutup auratnya. Apa ini yang disebut dengan “peraturan supermarket”, yang wajib dipatuhi , atau di sana ada unsur lain yang harus diusut. Mengapa saya menggunakan HAM, karena ini lebih umum, kalau agama jelas-jelas mereka akan menentang, karena agama mereka tidak mengajarkan itu, hanya muslim misalkan, sehingga mereka akan kebal hukum, atau tidak ada Perda yang membahas dan melarang perempuan di supermarket untuk menggunakan kain separuh telanjang, misalnya. Tapi yang saya soroti adalah unsur pemaksaannya di sana, misalkan para muslimah berangkat dengan kain penutup (kerudung dengan celana panjang) karena ada peraturan yang ditetapkan di salah satu supermarket misalnya, maka mereka terpaksa melepasnya, atau salah satu pakaian keagamaan yang dilarang untuk digunakan bagi agama lain, tapi karena ada peraturan di tempat tadi , maka dengan terpaksa menggunakannya/memakainya atas nama tunduk “peraturan”, kalau menetang siap untuk dikeluarkan.
Apakah kita harus tunduk dengan peraturan lokal dan mengabaikan sesuatu yang lebih universal, dan di sana ada unsur “pemaksaan”. Kemudian kalau alasannya ekonomi, dengan telanjang dapat meningkatkan daya jual, daya saing dan semakin laris dagangannya. Apakah ini bisa dijadikan alas an dan mengorbankan Hak Asasi Manusia. Kalau semua berbicara HAM, tapi persoalan ini tidak disentuh, juga akan menyalahi HAM, sama dengan sebuah kebijakan lokal yang dibiarkan terus mengalir tanpa ada kebijakan yang lebih universal, yang dapat menginjak-nginjak agama secara khususdan HAM secara umum.
Mungkin juga saya tambahkan salah satu contoh adanya pemaksaan tanpa sadar, adalah pemilihan miss universe yang diantara keharusannya sesi penilaian membuka aurat.
Beberapa hal contoh di atas adalah bentuk pelanggaran HAM, yang harus mendapat perhatian dari pihak pemerintah, tokoh masyarkat dan para ulama. Jika hal di atas dibiarkan, maka akan menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan dalam masyarakat. Apabila contoh di atas bukan termasuk pelanggaran HAM tapi sebuah kebebasan dan kepatuhan terhadap aturan local, bagaimana dengan keuniversalan hokum. Terutama yang terkait dengan HAM. Kalau saya kaitkan dengan agama Islam jelas melanggar, karena ada unsur membuka aurat, tapi jika dikaitkan HAM, apakah hal itu melanggar atau tidak, tinggal dibawa ke MK atau dikaji ulang peraturan perda terkait dengan perilaku beberapa supermarket yang sengaja membuat peraturan tersebut. Atau mungkin ada konspirasi pihak-pihak tertertu untuk membiaran pelanggaran tersebut. Atau bahkan sama sekali tidak dianggap pelanggaran. Silahkan anda menilainya.
Seandainya perempuan-perempuan itu hidup di tempat lain “yang lebih menjungjung ketelanjangan” bukan di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia, mungkin hal tersebut masih memungkinkan, tetapi kita hidup di negeri mayoritas Muslim dan banyak saudara-saudara kita yang menggunakan penutup aurat, apakah kita biarkan hal tersebut terjadi, dan muslimah menjadi “pajangan” atas nama keterpakaan.? Silahkan anda menilainya?
Malang, 15 Januari 2011
saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
BalasHapusArtikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)