السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 05 Januari 2008

Pengawasan ke Marjinalisasi?

Halimi Zuhdy

Isu pengawasan kurikulum pesantren mencuat kembali setelah terbunuhnya Dr. Azahari, warga Malaysia dalam operasi pemberantasan terorisme oleh Datasemen 88 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang belakangan ini diketahui, pengikutnya banyak jebolan pesantren, seperti Amrozi, Abdul Aziz alias Imam Samudera, Ayib Hidayat dan M. Salik Firdaus.




Hal tersebut mengagetkan banyak kalangan, yang selama ini pesantren dikenal dengan basis penyebar Islam moderat dan toleran, tiba-tiba berubah menjadi basis teroris Selain itu, tokoh yang disebut-sebut domestik yang dianggap mempunyai jaringan terorisme yang sama dengan mereka adalah KH. Abu Bakar Ba'asyir yang dikenal sebagai pemimpin Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Surakarta. Ba'asyir menyisakan stigma negatif terhadap pesantren. Andai saja Ba'asyir bukan 'orang pesantren' mungkin tidak akan ada pihak-pihak yang mengaitkan tindak terorisme dengan pesantren dan kurikulumnya.



Setelah melihat fenomena tersebut, Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Abdullah Makhmud Hendropriyono dalam wawancaranya khususnya dengan LKBN ANTARA mengimbau agar pemerintah turun tangan dalam menentukan kurikulum pesantren, ia juga meminta pihak pemerintah menghentikan kegiatan organisasi-organisasi Islam yang disebutnya ‘radikal’.



Menurut Hendro, semua organisasi, yang menurutnya radikal, tak hanya Jamaah Islamiyah (JI) juga perlu dilarang. Ia juga meminta pemerintah untuk menertibkan kurikulum di semua pondok-pesantren. "Jadi pemerintah harus turun tangan dalam masalah penentuan kurikulum, tidak bisa tiap-tiap pesantren bikin kurikulum sendiri-sendiri. Tidak boleh. Nanti mau dibawa kemana hari depan bangsa kita ini kalau tidak ada yang bertanggung jawab," kata Hendro, sebagaimana pernyataannya dengan Antara Minggu, 20 November 2005.



Dalam sejarah di negeri ini, pesantren kerap mengalami marginalisasi, bahkan terjadi sebelum negeri ini merdeka. Respon pemerintah reaksioner sebagaimana kebijakan pemerintah Hindia Belanda (PHB) terdahulu. Pada 1882, PHB mendirikan Priesterreden (Peradilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Pada 1905, PHB mengeluarkan ordonansi yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Dua puluh tahun kemudian (1925), PHB membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji (membaca Alquran). Puncaknya, pada 1932, PHB mengeluarkan peraturan bahwa pemerintah dapat memberantas dan menutup madrasah/pesantren dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai pemerintah.



Di zaman merdeka, pemerintah hanya memberikan akses kepada keluaran sekolah-sekolah umum untuk jabatan-jabatan administrasi modern. Bahkan zaman Orde Baru, dikeluarkan SKB Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri yang melarang lulusan pesantren untuk masuk perguruan tinggi umum (PTN/PTS/IAIN) tanpa menggunakan ijazah sekolah-sekolah umum milik pemerintah atau swasta yang diakui oleh pemerintah. Meskipun sering terpinggirkan, pesantren mempunyai peran yang signifikan bagi perubahan sosial. Pengaruh pesantren dapat dilihat dari alumninya yang mendirikan pesantren di mana-mana atau dukungan alumni yang bergerak di sektor ekonomi, politik, dan lain-lain bagi kemajuan pesantren. Oleh karena itu, upaya pemerintah AS dan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kurikulum pesantren yang moderat, ibarat 'menggarami air laut'. Kurikulum klasik pesantren diambil dari kitab-kitab yang tidak ada sangkut-pautnya dengan modernitas/modernisme, terorisme, globalisasi ekonomi, dan diskursus modern lainnya.



Lagi pula, jika melihat perkembangan pesantren saat ini yang banyak mengikuti sekolah umum (pesantren plus), kecenderungan untuk indoktrinasi elemen ekstremitas dalam memahami ajaran Islam semakin kecil. Kurikulum pesantren telah berkembang lama dalam 'alam moderat' sebagai bentuk terjemahan doktrin rahmatan lil alamin.



Kurikulum pesantren memang pada umumnya berbeda karena tergantung kepada kiayi yang memimpin pondok pesantren tersebut. Jika kiai cenderung memahami Alquran dan Sunah dengan pendekatan tafsir yang 'ekstrem', corak kurikulum dan output santri cenderung berpotensi 'ekstrem'. Kitab-kitab tafsir dan hadis yang digunakan kalangan pesantren tidak selalu seragam. Karena pada dasarnya tidak ada kurikulum bersama (baca: nasional) di kalangan pesantren dengan kitab-kitab yang telah dibakukan.



Oleh karena itu, faktor pimpinan sangat menentukan hitam putihnya kurikulum yang diajarkan di sebuah pesantren. Untuk mengontrol masuknya ajaran ekstrim ke pondok-pondok pesantren, nampaknya salah satunya adalah diperlukannya kerja sama dari para kiayi dan pimpinan pondok pesantren untuk saling mengobservasi dan mengevaluasi kurikulum yang diajarkan, di samping juga pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah melalui Departemen Agama.



Pengawasan terhadap kurikulum akan menimbulkan reaksi yang cukup besar oleh kalangan masyarakat, di mana pesantren yang selama ini banyak membantu negara baik dalam mempertahankan stabilitas keamanan, perlawanan melawan penjajah, dan sebagai basis pendidikan yang mandiri. Ada yang mengkhawatirkan tindakan pengawasan terhadap pesantren itu akan memunculkan kembali cara-cara yang digunakan pemerintahan masa Orde Baru yang kemudian malah menimbulkan trauma psikologis terhadap masyarakat.





Wakil Ketua MPR AM Fatwa menilai, jika cara-cara Orde Baru digunakan lagi maka Indonesia akan terjerumus lagi ke arah otoritarianisme. Pernyataan AM Fatwa bukan tidak beralasan karena banyak negara yang bersifat otoriter menunjukkan bahwa negara-negara itu menerapkan cara represif yang dilegitimasikan dengan "doktrin keamanan nasional" sehingga menjurus kepada negara birokratik otoriter maupun diktator. Jika pemerintah gegabah menentukan sasaran dengan hanya mengandalkan prasangka, apalagi mengaitkan dengan pesantren. "Mencari akar masalah terorisme di pesantren akan menimbulkan resiko dan 'biaya' tinggi karena akan membuat stigma bahwa Islam identik dengan teroris.



Dalam menghadapi dan menanggulangi terorisme, pemerintah hendaknya tidak panik, tetapi mengambil langkah yang mantap dan akurat. Pendayagunaan aparat dan kesatuan yang sudah memiliki kapasitas menangani teror seperti intelijen, Datasemen 81 TNI AD, Detasemen Jala Mangkara TNI AL, Detasemen Bravo TNI AU dan Datasemen 88 Polri akan lebih cepat dan memiliki daya dobrak dan akuntabilitas dengan dukungan unsur lain di masyarakat.



*Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Murabby Ma’had Aly Malang. Direktur Lembaga Kajian Pesantren dan Masyarakat. Alamat: Ma’had Sunan Ampel Al-Ali UIN Malang, Jl.: Gajayana 50 Dinoyo Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar