Halimi Zuhdy
Belakangan ini, muncul banyak pertanyaan di grup WhatsApp Bahasa Arab mengenai istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, khususnya perbedaan antara murid, tilmīdz, dan ṭālib. Pertanyaan ini cukup menarik, sebab di balik istilah-istilah tersebut tersimpan nuansa makna yang kaya, baik secara etimologis maupun historis. Oleh karena itu, insyaAllah dalam tulisan ini saya akan mengkaji perbedaan ketiganya dengan merujuk pada beberapa marāji‘ penting, agar pembahasan menjadi lebih jelas dan mendalam.
Murīd
Kata murid dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab مُريد (murīd). Menurut Kamus al-Ma‘ani, kata ini merupakan ism fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja أرادَ (arāda) yang berarti menghendaki atau menginginkan. Dengan demikian, murid pada mulanya berarti seseorang yang memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu, khususnya terhadap ilmu atau jalan tertentu.
Dalam ranah tasawuf, istilah ini digunakan untuk menyebut seorang pengikut atau pencari jalan spiritual yang menaruh kehendak penuh untuk menapaki bimbingan seorang guru (shaykh) (Kamus al-Ma‘ani).
Selain berasal dari akar kata arāda–yurīdu–murīd, dalam kamus juga ditemukan bentuk lain seperti مرِيد (marīd) dan مَريد (marīd). Kata marīd sendiri bisa bermakna negatif, yakni “pembangkang”, “jahat”, atau “orang yang durhaka” (Kamus al-Ma‘ani). Namun bentuk murīd yang berakar pada irādah lebih populer dalam tradisi keilmuan dan sufisme, karena mengandung makna positif: orang yang dengan kesungguhan hati menuntut ilmu, berjuang, dan berkehendak untuk memperoleh pengetahuan atau bimbingan rohani.
Dalam KBBI, kata murid diartikan sebagai “orang (anak) yang sedang berguru, belajar, atau bersekolah.” Pemaknaannya kemudian menyempit dalam konteks pendidikan formal menjadi siswa atau pelajar di sekolah (KBBI). Perbedaan ini menunjukkan adanya transformasi makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Arab murīd lebih menekankan aspek “kehendak” dan “pencarian,” maka dalam bahasa Indonesia ia lebih identik dengan status formal sebagai peserta didik.
Tilmīdz
Secara etimologi, tilmīdz mengandung arti “mengikuti,” “membantu,” atau “pelayan.” Dalam kamus-kamus kontemporer seperti al-Ma‘āshir dan al-Wasīt, kata ini dipakai untuk menyebut anak-anak yang sedang belajar (yatalammadz).
Ulama bahasa menjelaskan, tilmīdz adalah sebutan bagi murid di tingkat dasar (ibtidā’) hingga menengah (mutawassit). Umumnya mereka berusia 0–16 tahun—masa di mana seorang anak masih membutuhkan arahan (tawjīh), bimbingan (irshād), dan pendampingan dalam membentuk jiwa (nafsiyyah), cara berpikir (‘aqliyyah), hingga perilakunya (sulūkīyyah). Dengan kata lain, tilmīdz adalah siswa atau murid yang masih “dibentuk.” Ia belum sepenuhnya mandiri dalam menuntut ilmu.
Ṭālib
Berbeda dengan tilmīdz, istilah طالب (ṭālib) secara bahasa berarti “pencari.” Dalam praktiknya, kata ini merujuk pada penuntut ilmu yang lebih dewasa, biasanya mereka yang sudah melampaui masa pubertas.
Ṭālib identik dengan mahasiswa universitas, sehingga kita sering mendengar istilah طالب الجامعة (ṭālib al-jāmi‘ah) yang dalam bahasa Inggris disebut student. Sementara tilmīdz lebih dekat dengan kata pupil—siswa sekolah dasar atau menengah.
Namun demikian, kata ṭālib sebenarnya lebih luas. Ia bisa dipakai untuk menyebut siapa saja yang menuntut ilmu, termasuk siswa madrasah. Jadi, kalau tilmīdz terbatas pada anak-anak sekolah, ṭālib lebih fleksibel, bisa melekat pada siapa saja yang berproses mencari ilmu.
Kamus Mughni bahkan mencatat makna tambahan dari kata ṭālib: 1) orang yang gemar mencari ilmu. 2) dua hal yang paling dicari manusia menurut al-Jāhiẓ: ilmu dan harta. 3) 0rang tua yang mencarikan suami bagi putrinya (ṭāliban liz-zawāj li-ibnatihi).
Di sini tampak bahwa kata ṭālib lebih kaya makna dan lebih luas penggunaannya dibanding tilmīdz. Juga ada yang menyebutkan bahwa perbedaan istilah antara murid dan tilmīdz. Kata تلميذ (tilmīdz) biasanya digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk pada pelajar biasa atau anak sekolahan. Sedangkan murīd menekankan makna lebih dalam: seorang penempuh jalan yang bersungguh-sungguh mencari ilmu atau kebenaran, baik dalam konteks agama maupun dalam pengertian umum. Inilah yang membuat istilah murid memiliki dimensi spiritual yang tidak ditemukan dalam kata tilmīdz.
Penggunaan istilah dalam sejarah Islam juga menarik. Pada masa Rasulullah SAW, para penuntut ilmu disebut dengan istilah ṣaḥābah (sahabat), yang memiliki makna lebih mulia karena tetap menjaga kemandirian dan kehormatan pribadi mereka. Sementara istilah murid lebih banyak muncul dalam tradisi tasawuf dan pendidikan setelahnya, untuk menunjukkan ikatan spiritual dan intelektual antara guru dan pencari ilmu. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa kata murid mengandung sejarah panjang: dari akar kata Arab irādah yang berarti kehendak, berkembang ke dalam tradisi sufisme, lalu masuk ke bahasa Indonesia dengan makna formal sebagai “siswa” atau “pelajar.”
Marāji‘:
Mu‘jam al-Ma‘āshir, Mu‘jam al-Ma‘āni, al-Mu‘jam al-Wasīt, al-Furuq al-Lughawiyyah, Maqālah Furuq Lughawiyyah li-Duktūr Farhān, Mu‘jam al-Mughni, KBBI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar