السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 24 September 2022

Menelisik Asal dan Makna كبيكج di Pesantren



Halimi Zuhdy

Di pesantren tulisan "kabikaj/كبيكج" sangat masyhur sekali, alias sangat terkenal. Bagi yang belum menemukan kata di atas ketika berada di pesantren, bisa saja karena di pesantren jarang menyentuh kitab kuning, atau berada di pondok modern yang kitab kuningnya berupa kitab putih, atau di pesantren yang tidak lagi mempercayai tulisan tersebut, atau di pesantren tidak ada pelajaran kitab kuning, atau kemungkinan-kemungkinan yang lainnya. Dan tulisan tersebut paling banyak ditemukan dipesantren-pesantren salaf (yang hanya mempelajari kitab kuning saja).
Tulisan Kabikaj (كبيكج), Ya Kikah (يا كيكح), Bikaikaj (بكيكج), Bekiking (بكيكيع), dan beberapa tulisan lainnya yang mirip dengan tulisan Kabikaj biasanya berada di halaman awal atau halaman terakhir kitab. 

Ketika di pesantren dulu, saya pernah bertanya ke beberapa asatidz dan juga pada orang tua (Abah Zuhdy), mengapa tulisan itu selalu termaktub di banyak kitab kuning?, Maka, jawabannya sama, agar kitab tersebut tidak dimakan ngetnget (bahasa Madura), atau sejenis serangga, atau rayap. Seakan-akan, Kabikaj (كبيكج) atau Bikaikajin (بكيكج) atau Bekiking (بكيكيع), itu menjadi azimat, atau mungkin doa, agar aman dari serangga. 

Beberapa tahun berikutnya, sering saya temukan kitab yang termaktub "Kabikaj" di halaman awal atau di akhir kitab, kitab itu tinggal separuh atau bahkan sudah habis dimakan rayap atau serangga. Saya bertanya lagi, mengapa hal itu bisa terjadi (masih bisa dimakan rayap)?, Jawaban dari beberapa asatidz dan senior juga unik, karena ketika menulis tulisan "Kabikaj" dalam kondisi tidak suci, atau hatinya tidak dalam keadaan ikhlas karena Allah. 

Tulisan yang masyhur di kalangan pesantren dengan Rajah anti Rayap, atau Jimat anti Rayap, sedikit demi sedikit saya cari makna tersebut di beberapa laman berbahasa Arab. Dan ternyata, kata ini tidak hanya ada di pesantren di Nusantara, tetapi dalam turast juga banyak termaktub tulisan tersebut.  

Dapat potongan gambar yang bertulis "كبيكج" dari Qanat Tahqiq Makhtutat Muhammad Nuri. Potongan gambar dalam kitab tersebut tertulis;
يا كبيكج لا تجِ  ولا تأكل الورق بحق الواحد الخلاق 

Tulisan di atas dari sebuah naskah kitab Riyadhiyat (matematika) dengan judul  “Bughyah Al-Raghib fi Syarh Nursyidah Mursyidah Al-Thalib  Al-Ajami Al-Shanshuri", yang terbit pada tahun 999 H, yang masih tersimpan di Dar al-Kutub al-Dhahirah dengan nomor 1099. (Foto di atas). 

Dalam Maktabah Syamilah Al-Haditsah dijelaskan bahwa dalam banyak manuskrip kuno, ditemukan tulisan: “Ya Kabikaj, ihfadh al-waraq.” para pemerhati  turast percaya bahwa frasa di atas adalah sebuah doa, salah satu permohonan yang diyakini orang dahulu, seolah-olah ada malaikat yang menjaga kitab-kitab atau manuskrip.

Selanjutnya, Maktabah al-Syamilah Al-haditsah menjelaskan bahwa kenyataannya bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para tradisionalis.. karena kata (kabikaj) adalah nama tanaman yang mirip dengan seledri liar (الكرفس البرى) disebut juga: palem tujuh (كف السبت), pohon kodok (شجرة الضفادع), ain shafa .. pohon Ini adalah salah satu racun yang mematikan, dan para dokter biasa mengobati penyakit kulit pohon kabikaj tersebut.

Dulu, tukang kertas (alwarraqun) menggunakan tanaman kabikaj untuk mengawetkan naskah dari serangga, seperti rayap, gegat, dan lain-lain, prosesnya mirip dengan istilah sekarang yaitu fumigasi (التبخير).

Tulisan Kabikaj (كبيكج) untuk membedakan kitab yang telah melalui proses fumigasi, bila tidak tertulis kata tersebut, maka belum dilakukan fumigasi, maka pada sampulnya tertulis  “كبيكج احفظ الورق” untuk menandai pembeli, atau pemilik naskah, diperlakukan dengan jenis tanaman ini.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid038EvyWpbVM81RSCEkonEHAf5JTNpUt3o7Th6vcm8z3SMoPu48qs7TkwdfEveehpqxl&id=1508880804

Dan munculnya kata tersebut, juga masih banyak menyisakan banyak perbedaan lainnnya, seperti, bahwa tulisan tersebut adalah mantra (thalasim), ada mengatakan adalah Malaikat yang menjaga serangga, dan lainnya.

**Ketua RMI Kota Malang dan Ketua Forum Pondok Pesantren Kota Malang*  

_Kajian-kajian Al-Qur'an, Mu'jizat Al-Quran, Balaghah, Sasta Arab, Turast Islamiyah, Keagamaan,  Kajian Bahasa dan asal Muasal Bahasa, dan lainnya._

🌎 www.halimizuhdy.com
🎞️ YouTube *Lil Jamik*
📲  Facebook *Halimi Zuhdy*
📷 IG *Halimizuhdy3011*
🐦 Twitter *Halimi Zuhdy* 
🗜️ Tiktok  *ibnuzuhdy*

Sabtu, 17 September 2022

Arti Kata Dhi'afa dalam surat

Halimi Zuhdy

Membincang Generasi Tangguh

Dalam Al-Qur'an ada Ayat yang menyebutkan kata Dhi'afa (lemah);

{ وَلۡیَخۡشَ ٱلَّذِینَ لَوۡ تَرَكُوا۟ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّیَّةࣰ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَیۡهِمۡ فَلۡیَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلۡیَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدًا }
[Surat An-Nisa': 9]

Menariknya kata ini (Dhi'afa, lemah) tidak menggunakan mufrad muannast (kata tunggal),  tetapi, kata ini (Dhi'afa) menggunakan jamak (banyak). Walau kata sebelumnya menunjukkan kata tunggal "Dzurriyah". Kalau disesuaikan dengan kata sebelumnya, maka semestinya menggunakan tunggal Dha'ifah (ضعيفة). Tapi, disinilah keunikannya, tidak menggunakan kata tunggal.

Bisa saja Ayat tersebut berbunyi Dzurriyah Dhaifah (generasi yang lemah). Maka, di antara maknanya dari menggunakan jamak (ضعفا) adalah banyak generasi yang lemah tidak hanya pada satu aspek, tetapi dari banyak aspek; lemah aqidah, lemah ekonomi, lemah politik, lemah fisik, lemah dalam pengetahuan, dan lemah-lemah yang lainnya. Seandainya hanya menggunakan kata dhaifah, maka yang lemah mungkin hanya satu. Sedangkan untuk menjadi generasi tangguh, maka tidak boleh lebih banyak kelemahan-kelemahannya dari pada kekuatannya. 
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar" (Surat An-Nisa': 9)

Minggu, 11 September 2022

Menelisik Asal Hari Ahad, dan Muasal Hari Minggu di Indonesia

Halimi Zuhdy

Kata "Ahad" berasal dari bahasa Arab, yang artinya yang satu, atau pertama (al-awwal). Dan kata ini, juga salah satu nama Allah, "Ahad" Yang Maha Esa.
Kata Ahad derivasi (muystaq) dari Wahid. Dulu orang Arab sebelum Islam datang, menamainya dengan "Awwal" untuk menunjukkan hari pertama dalam satu minggu (usbu'). Di beberapa negara Islam, hari Ahad menjadi hari kedua, setelah Sabtu. Sedangkan di Barat, hari Ahad (minggu) merupakan hari terakhir dari satu minggu (akhir pekan), karena mereka merayakan ibadah di gereja (kanais) pada hari tersebut. Di beberapa negara, memulai waktu awal pekan berbeda-beda, karena disesuaikan dengan peribadatan, hari libur, dan memulai hari aktif dalam beraktifitas (formal). 

Hari Ahad, merupakan perubahan ketiga. Tahap pertama, orang Arab tidak memberi nama pada setiap harinya, hanya pada awal bulan ghurar (غرر). Pada tahap kedua, baru mereka memberi nama khusus, hari Ahad dengan nama Al-Awwal, hari Senin dengan nama Ahwan dan seterusnya (baca: sejarah Hari Sabtu, Halimi Zuhdy). Dan tahap ketiga, orang-orang Arab setelah datangnya Islam mengganti menjadi hari "Ahad". 

Imam Al-Suyuti dalam “Al-Shamarikh fi ‘ilm Al-Tarikh”, Ahad adalah hari pertama (al-awwal). Dalam syarah kitab Al-Muhadzab”, Ahad adalah minggu pertama. Ibnu Asyakir meriwayatkan dalam “ta-Tarikh” dalam sanad Ibn Abbas, bahwa pertama kali Allah menciptakan sesuatu adalah hari Al-Ahad, sehingga disebut: Al-Ahad, dan orang-orang Arab biasa menyebutnya dengan al-Awwal (pertama). 

Ada juga yang berpendapat, bahwa hari pertama dalam seminggu adalah hari Sabtu. Dalam kitab “Al-Sharh”, “Al-Rawdah” dan “Al-Minhaj” dalam Imam Muslim: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, gunung-gunung pada hari Ahad, pepohonan pada hari Senin, kerusakan/kekejian pada hari Selasa, cahaya pada hari Rabu, dan Allah menyebarkan binatang di dalamnya pada hari Kamis, dan menciptakan Nabi Adam setelah sholat dzuhur pada hari jumat. Masih dalam Kitab “Al-Shamarikh fi ‘ilm Al-Tarikh”, Imam Syuyuthi menceritakan bawa Ibn Ishaq berkata, Ahli Taurat berkata “Tuhan memulai penciptaan pada hari Minggu, dan ahli Injil mengatakan pada hari Senin, dan kami (Muslim) sebagaimana yang kami dapatkan dari Nabi Kami -yaitu  pada hari Sabtu. 

Beberapa puluh tahun terakhir ini hari Ahad mulai lenyap, dan bahkan ketika kita bertanya kepada siswa atau mahasiswa atau khalayak umum, mereka sudah tidak lagi tahu asal-muasal hari Minggu yang sebelumnya adalah berasal dari hari Ahad. Dan banyak yang sudah tidak mengenal nama "Ahad". Dan mereka dengan entengnya menyebut hari Ahad dengan hari Minggu. Banyak juga pembelajar yang tidak mengenal asal-usul hari bahwa hari- hari yang ada di Indonesia berasal dari bahasa Arab, Senin (isnain), Selasa (sulasa’), Rabu (arbia’), Kamis (khamis). Jumat (Jumuah), Sabtu (Sabt). Apakah salah dengan merubah menjadi Minggu?. Tidak juga, karena kebudayaan yang melemah, akan dikalahkan dengan budaya yang kuat. 

Setelah penulis telisik dari berbagai leteratur bahwa hari Minggu adalah nama yang diambil dari bahasa Portugis, Domingo yang berarti “hari Tuhan kita”, dan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kemudian kata ini dieja sebagai Minggu. Hari tersebut. Bagi salah satu umat yang ada di dunia, yaitu umat Kristen, nama hari Minggu selain diidentikkan dengan Hari Tuhan, juga sebagai hari kebangkitan, hari peristirahatan dan hari untuk beribadah. Pada hari Minggu ini umat gereja memperingati hari Minggu sebagai hari perhentian bagi orang Kristen sekaligus hari peringatan akan kebangkitan Yesus. (Albalad)

Dalam laman Wikipedia (berbahasa Arab) kata Minggu dalam bahasa Latin berarti hari matahari; yaitu Demenich digunakan di Prancis, Domingo digunakan di Spanyol, dan Domonica di Italia. Ketiga nama ini berasal dari kata Latin Dais Dominica, yang berarti Hari Tuhan. Selama abad keempat Masehi pemerintah dan gereja secara resmi menyetujui hari Minggu sebagai hari istirahat di Eropa. Hari ini, hari Minggu adalah hari libur di semua negara Kristen, dan dalam banyak tradisi Kristen hari Minggu adalah Sabat Kristen, yang menggantikan Sabat Yahudi.

lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan lembaga-lembaga lainnya memulai aktifitasnya dengan hari kedua, yang seharusnya (kalau mengikuti arti bahasanya) aktifitas atau kegiatan apa pun dimulai dari hari Ahad, bukan hari Senin. Mengapa? Karena hari Senin berarti hari kedua, dari satu pekan. Dari perubahan hari inipun, berubah seluruh budaya yang terkait dengan permulaan hari, banyak lembaga yang memulai kegiatan dengan hari Senin, karena pada hari Ahadnya aktifitasnya diliburkan mengikuti makna dari hari Minggu (hari Istirahat), yang “kalau mengikuti maknanya” seharusnya memulai aktifitasnya adalah hari Ahad (hari pertama dalam satu pekan).

Minggu menurut Wikipedia pada tanggal 7 Maret 321, Kaisar Konstatinus I, menetapkan hari Minggu sebagai hari peristirahatan bangsa Romawi. Para reformator gereja, Luther dan Calvi memandang hari Minggu sebagai institusi sipil yang dibuat oleh manusia, yang menyediakan waktu bagi manusia untuk beristirahat dan beribadah.

Dan saya masih salut pada beberapa pondok pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga lainnya yang masih menerapkan hari libur, pada hari Jumat. Karena hari Jumat (bagi umat Islam) adalah sayyidul Ayyam, hari penuh berkah dan hari untuk banyak melakukan peribadatan kepada Allah. Hari liburnya hari Jum'at, seebagai persuapan untuk melakukan shalat Jum'at, dan dimulai kegiatan pada hari Sabtu atau Ahad. 

Ternyata berubahnya nama hari sangat berpengaruh bagi berubahkan sebuah kebudayaan. bagi umat Islam sendiri, hari Ahad sudah banyak dilupakan, karena maraknya kalender dan media yang menggunakan hari Ahad dengan hari Minggu. Dan juga, banyak yang tidak mengetahui bahwa hari Ahad adalah hari pertama dalam satu pekan.

Perubahan hari Ahad menjadi hari Minggu ternyata sudah berjalan lama, sekitar tahun 1988. Apakah kita tetap menggunakan hari Ahad atau hari Minggu, itu terserah pembaca, tetapi kalau konsisten dengan hari dalam satu pekan di Indonesia, maka menggunakan hari Ahad lebih tepat dari pada hari Minggu.

Tulisan ini hanya sebuah refleksi sederhana saja, yang penulis sudah lama bertanya-tanya kenapa hari Ahad berganti hari Minggu, dan kebetulan penulis belum terbiasa menggunakan hari Minggu ketika di Pondok Pesantren, dan sampai hari inipun, penulis selalu menjawab hari Ahad ketika ditanya anak-anak mau berlibur kapan?. 

Mudah-mudahan hari lain tidak tergantikan dengan nama yang lain lagi. cukup hari Ahad saja, dan penulis tetap menggunakan hari Ahad, walau pun hari Minggu selalu hadir di akhir pekan. karena hari Minggu adalah hari dipekan terakhir, bukan hari pertama sebagaimana dibeberapa kalender yang meletakkan hari Sabtu diakhir, dan hari Minggu di Awal. 

Mudah-mudahan menjadi refleksi bersama. bukan untuk diperdebatkan, tetapi hanya untuk direnungkan. karena perubahan seperti di atas sering terjadi, jika suatu kaum latah, atau kalah dalam memasarkan keilmuannya, atau kalau dalam perpolitikan dunia, atau latah pada sebuah kemajuan dari sebuah peradaban tertentu. Maka, nama-nama itu pun akar tergantikan, sebuah keniscayaan. 

selamat berakhir pekan, dan mari kita mulai dengan hari Ahad.

Sabtu, 03 September 2022

Asal Mula Baju Toga dalam Wisuda

Halimi Zuhdy

Setiap mahasiswa yang diwisuda khususnya di perguruan tinggi, bisa dipastikan pernah memakai baju toga berwarna hitam, dengan topi hitam yang mempunyai lima ujung. 

Tadi pagi ada yang bertanya ketika membersemai mahasiswa dalam profesi wisuda UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Pertanyaan sederhana tapi tak mudah dijawab, "Dari mana asal mula baju toga dengan topinya yang khas?". Saya jawab ngaur, karena belum membuka rujukan yang sahih,  hanya bermaksud guyon saja, "Mungkin dari Paskitan!". 
"Lo kok bisa dari Pakistan Tadz?!", Tanyanya melongo, sepertinya ia sangat tidak percaya baju yang mirip baju Pakistan itu berasal dari Pakistan. "Itu hanya menebak, sepertinya memamg 

Benar, dari berbagai bahan bacaan yang penulis baca, toga yang digunakan bukan berasal dari Pakistan, tapi terdapat beberapa pendapat; ada yang mengatakan berasal dari Arab, ada pula yang berpendapat berasal dari eropa. Dalam beberapa kajian, masih ada kaitannya asal mula toga antara Eropa dan Arab, yaitu ketika kaum muslimin lagi berjaya di Eropa beberapa abad lalu.

Dalam buku Islam in Europe, karya Jacques Gaudi, "Gaun Arab telah menjadi tanda prestise ilmiah hingga hari ini, terutama pada acara-acara ilmiah ..." (bilarabiyah)

‏وقال جاك غودي في كتابه الإسلام في أوروبا "اللِّباس العَربي أضحى علامةَ الوجَاهة العلمية إلى اليَوم، ولا سيَما في المُناسبات العِلمية…”

Masih dalam laman yang sama, bahwa toga (gaun wisuda, jubah) berasal dari Arab. Ketika banyak mahasiswa Eropa yang lulus dari perguruan tinggi/sekolah tinggi di Andalusia pada waktu, dan  kembali ke negaranya dengan mengenakan jubah Arab (toga) sebagai slogan; "Dia lulus dari universitas Muslim" (sekolah-sekolah yang berada di Andalusia, Spanyol hari ini). 

Pakaian Arab dulu sampai hari ini, kita kenal dengan jubah (jubbah), yaitu pakaian panjang sampai di bawah lutut dan berlengan panjang. Pakaian ini juga digunakan oleh hakim, prosesi wisuda, sastra fantasi dan lainnya. Ia seperti baju kebesaran. Seperti baju toga.

Pilihan toga warna hitam ketika dalam wisuda, adalah gambaran kegelapan yang mampu dimenangkan oleh ilmuan, menuju terang dan merdeka. Mungkin sama dengan apa hang disampaikan ibu Kartini, "habis gelap terbitlah terang".

Ada pendapat lain tetang  asal usul toga (gaun), bahwa jubah hitam (toga) adalah pakaian pendeta dan biarawan pada Abad Pertengahan, karena mereka yang memakai toga (jubah) mewakili para intelektual suatu negara, serta mereka bertugas mengajar siswa-siswi, dan ketika para siswa yang diajar menyelesaikan studinya, mereka menjadi seorang biarawan, dan mengenakan seragam (toga) sebagai pendeta dan biarawan.”

Pendapat lainnya, toga merupakan baju yang biasa dipakai orang Romawi kuno, yaitu sehelai kain sepanjang kira-kira enam meter yang dililitkan ke sekeliling tubuh, dan umumnya dikenakan setelah mengenakan tunik. Dan Toga ini terbuat dari wol dan tunik kerap terbuat dari linen. Setelah abad ke-2 SM, toga menjadi busana khusus pria, dan hanya warga negara Romawi yang diizinkan mengenakannya. Karena menjadi busana khusus pria, maka kaum wanita mengenakan stola. (Wikipedia). Banyak pendapat terkait dengan asal mula baju toga ini. Sedangkan asal kata toga dari kata latin, tego yang bermakna penutup. Kalau dalam bahasa Arab rida' atau staub al-takharruj. 

Dalam bilarabiyah, terkait dengan topi, mulai digunakan pada abad keempat dan kelima untuk membedakan para filosof dan seniman dari rakyat biasa, dan orang-orang Arab Muslim di Andalusia menggunakan topi ini untuk meletakkan Al-Qur'an di atasnya. Dan dalam Farah,id Baju dan topi tersebut didesain oleh Fatimah (Universitas Al-Qarawiyyin). Topinya berbentuk kotak karena Fatimah ingin siapa pun yang menggunakannya saat wisuda, pikirannya akan ingat selalu pada Baitullah atau Ka'bah yang berbentuk kotak dan berwarna hitam. Dan mungkin ada maraji' lainnya tentang baju toga dan topi toga tersebut. Allahu'alam bishawab.

Pada akhirnya, baju toga adalah sebuah simbol, bahwa setelah memakai baju tersebut ia adalah bagian dari kaum intelektual, yang harus mematuhi berbagai kaidah-kaidah keilmuan yang sudah diraihnya. Baju bukan hanya untuk pakaian tetapi untuk menutupi, dan tidak hanya untuk menutupi tetapi bagian dari simbol ia digunakan, demikian juga dengan topi. 

***