السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Sabtu, 24 April 2021

La'alakum Tattaqun dan La'alakum Tasykurun

(Akhir Ayat, Berlatar Situasi yang  Berbeda)

Halimi Zuhdy

Ayat tentang kewajiban puasa terhimpun dalam satu tempat (surat) secara berurutan. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban lainnya yang berada di beberapa surat, serta menyebar di beberapa tempat dengan teks yang berbeda-beda. 
Dalam Ayat puasa, terdapat kalimat "La'ala" yang diartikan dengan "Barangkali, semoga, mudah-mudahan" sebuah  kata harapan (tarajji). Harapan yang mungkin dapat diraihnya. Bukan harapan palsu, dan bukan harapan yang tidak mungkin diraihnya (tamanni). La'ala dalam Al-Qur'an menurut Imam Sibawaihi bermakna tarajji (berharap kebaikan) dan Isyfaq (berharap karena takut tertimpa sesuatu yang tidak baik), ia sesuai dengan konteknya di dalam Al-Qur'an. Ada pula yang mengartikan dengan Ta'lil, yang berfungsi menjelaskan terjadinya sebab sesuatu. 

Menarik, dalam Ayat puasa ada dua harapan (la'ala) yaitu La'alum Tattaqun (agar kamu bertaqwa) dan La'allakum Tasykurun (agar kamu bersyukur). Terkait faidah   ini, Abu Hayyan dalam Al-Bahr Al-Muhith menjelaskan, apabila Ayat terkait dengan sesuatu yang susah, sulit, berat, atau masyakat, maka Ayat berakhir dengan "La'alkum Tattaqun" berbeda dengan ayat yang terkait dengan kemudahan, rukhshah, atau sesuatu yang ringan, maka berakhir dengan "La'alakum Tasykurun". 

Mari kita perhatikan Ayat yang berakhir dengan "La 'alakum Tattaqun" (لعلكم تتقون) yang diartikan dengan "semoga engkau menjadi orang yang bertakwa" beberapa ayat ini didahului dengan kewajiban syiam dan qishah seperti;

 -كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ... لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
-ولَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ.....لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dua ayat di atas terkait dengan puasa dan qishah (eksekusi, hukuman), yang tentunya dua hal ini sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan (takalif masyaqqah). 

Berbeda dengan Ayat yang diakhiri dengan "La'allakum Tasykurun, لعلكم تشكرون" semoga engkau menjadi orang yang bersyukur,  seperti dalam Ayat...

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 Sebelumnya, Ayat ini berbicara tentang rukhsah (dispensasi, kemurahan) dalam menjalani puasa bagi orang yang sakit dan musafir, keduanya boleh berbuka (tidak berpuasa)

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu" 

Antara isi dan penutup dalam Ayat di atas sangat menarik, semoga bertakwa dan semoga bersyukur. 

Bila kata "la'alla" di atas diartikan sebagai Ta'lil, maka puasa menjadi sebab seseorang dapat meraih peringkat bertakwa, demikian pula dengan qishah. Dan seseorang juga dapat meraih derajat Syakirin (orang ahli bersyukur) bila ia merasakan apa yang telah Allah berikan kepadanya berupa kemudahan dalam hidupnya. 


Kajian-Kajian dan Risalah Ramadan lainnya dapat dibaca di:

📲FB: Halimi zuhdy
💌IG: Halimizuhdy3011
🎞️Youtube: Lil Jamik
🌍Web: halimizuhdy.com

Al-Qur'an itu unik, Setiap Sisinya Mengandung I'jaz

Halimi Zuhdy

Suatu hari Amr bin Ash menemui Musailamah Al-Kadzzab, dan ketika itu Amr masih belum menjadi seorang muslim. "Wahai Amr, apa yang turun kepada sahabatmu hari ini?" tanya Musailamah. "Hari ini turun kepadanya (Rasulullah saw) surat ringkas padat dan indah sekali (balighah)". Jawab Amr bin Ash. Rupanya Musailamah penasaran, "Surat apa itu wahai Amr?". Kemudian Amr membacakan sebuah Surat Al-Ash;

وَالْعَصْرِ ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ، إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Amr bin Ash melihat temannya itu berfikir beberapa saat setelah mendengar Surat Al-Ashr, tetiba Musailamah mengangkat kepalanya dan berkata kepada Amr bin Ash "Turun surat kepada saya sebagaimana Surat di atas!" rupanya Amr bin Ash penasaran dan bertanya, "Apa itu wahai Musailamah?!". Kemudian Musailamah membacakan kalimat-kalimat yang ia anggap wahyu turun kepadanya;

يَا وَبَرُ يَا وَبَرُ، إِنَّمَا أَنْتِ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ، وَسَائِرُكِ حَقْرٌ نَقْرٌ"

"Bagaimana menurutmu wahai Amr?" tanya Musailamah. "Demi Allah, sungguh engkau telah mengerti, bahwa aku sungguh telah mengetahui bahwa engkau itu benar-benar pembohong". Cerita di atas disampaikan oleh Ibnu Katsir.


Apa yang indah dari ungkapan Musailamah di atas? Bagi yang hanya tertarik pada kalimat-kalimat bersajaknya (saja') maka ia memang kalimat bersajak dengan akhiran bar-shar-qar, karena memang Musailamah seorang penyair kawakan, tetapi lihatlah bagaimana tanasub, fashah kalam (logika bahasa), uslub, makna?! Maka akan berbeda jauh dengan Al-Qur'an. Apalagi Musailamah banyak melakukan re-kreasi dari Al-Qur'an dan juga Iqtibasat, coba baca surat-surat yang dikarangnya; Qurasy, Tamim, Al-Syams, Difda', An-Nisa, dan surat-surat lainnya yang namanya menyerupai nama-nama surat dalam Al-Qur'an.

Bisa dibandingkan dengan al-Qur'an yang memilih genrenya sendiri, kadang dalam satu surat kita menemukan kisah, tapi ia bukan cerpen apalagi novel. Ada pola yang unik dengan imaji yang tinggi, juga  tidak sepi dari majas, personifikasi, metafora, heperbola, tamsil, simile, alegori,  tiba-tiba ada kata perintah, peringatan, kabar gembira, siksa, hukum dan...seperti mengobarkan semangat, tiba-tiba sedih, tiba-tiba gembira, ada harapan, ada ancaman, penghianatan, kemunafikan, dosa dan dusta, ada sisipan kisah orang-orang terdahulu, keghaiban, surga dengan keindahannya, neraka dengan kengeriannya. Gaya Ini, tidak ditemukan pada karya sastra sebelumnya (masa jahiliyah).

Para alim (pakar) ada yang mengkaji dari sisi i'jaz ilmi (saint), i'jaz bayani, i'jaz adady (jumlah kata dalam Al-Qur'an), i'jaz shauty dan i'jaz lainnya.

Kajian-Kajian dan Risalah Ramadan lainnya dapat dibaca di:

📲FB: Halimi zuhdy
💌IG: Halimizuhdy3011
🎞️Youtube: Lil Jamik
🌍Web: halimizuhdy.com

Selasa, 13 April 2021

Uslub Nida’ (panggilan) dalam al-Qur’an

Halimi zuhdy

Lawan bicara al-Qur’an itu bukan hanya orang Islam, tetapi semua umat manusia. Karena al-Qur’an hadir untuk memberi pencerahan kepada seluruh umat manusia, sebagaimana redaksi Hudan linnasi (petunjuk untuk manusia), bukan hanya hudan lil muslimin (petunjuk bagi umat Islam). Kehadiran al-Qur’an memberi petunjuk, menunjukkan jalan yang benar, meluruskan yang bengkok, dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil.  
Lawan bicara al-Qur’an itu beragam, hal ini dapat dilihat dari uslub Nida’ (panggilan) yang tidak hanya menggunakan “wahai orang-orang beriman” tetapi juga “Wahai orang-orang kafir”. Al-Qur’an mengajak berdialog, mendialogkan dirinya dengan realitas, dan mendialogkan keyakinan yang diyakini atau diingkari. Bahkan al-Qur’an menantang sesiap yang mengingkari untuk bersaing atau membuat seperti dirinya. 

Nida’ (panggilan) dalam al-Qur’an ada beberapa macam, yang paling banyak digunakan adalah panggilan untuk orang-orang yang beriman “Ya Ayyuhal ladzina Amanu, wahai orang-orang yang beriman”, redaksi ini terdapat di 89 tempat. Berikutnya untuk semua umat manusia “Ya Ayyuhannas, wahai manusia” terdapar 20 tempat. Panggilan kepada Nabi terdapat di 15 tempat, Ya Ayyuha al-rusulu, ya Ayuha nabi….. dan ada juga “ya Ayyuhal insan”, dan panggilan untuk orang kafir “ya Ayyuha al-kafirun”, “ya Ayyuhaladzina kafaru” Dan beberapa khitab lainnya. 

Tidak semua redaksi nida’ dalam al-Qur’an menggunakan “ya Ayyuha”, ada juga “ya ayyatuha” dan ada juga “ya”. Pemilihan adawat (bentuk panggilan, alat) nida’ bukan hanya karena jenis munada (yang dipanggil) laki-laki atau perempuan, tunggal atau jamak, tetapi ia memiliki makna dan fungsi tersendiri. Dan terkadang huruf (adat nida’) dalam Al-Qur’an tidak ditampakkan (dihilangkan), seperti;

قَالَ رَبِّ ٱغْفِرْ لِى..، قال رب أرني…، قال رب لوشئت اهلكته…، رب اجعلنى مقيم الصلاة…، قال رب انظرني…، قال رب بما اغويتني

Huruf-huruf panggilan di atas tidak ditampakkan (dibuang), tetapi dalam terjemahan tetap ditulis dengan “wahai”, yang asalnya adalah “Ya Rabb, wahai Tuhanku. Dalam kitab I’jaz al-Qur’an Lamasat bi bayan al-Qur’an, hal tersebut berfungsi lil ta’adub (memuliakan), dan juga berfungsi sebagai tanzih (mensucikan) Allah dan ta’dhim (memuliakan) Allah, serta beberapa fungsi lainnya. Panggilan kepada Allah, kebanyakan menggunakan kalimat doa, bukan perintah atau larangan. Sebagaimana doa Nabi Zakariya yang memohon kepada Allah untuk diberikan keturunan dengan redaksi yang sungguh lembut dan rendah hati; 

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ العَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً وَلَمْ أَكُنْ بِدُعائِكَ رَبِّ شَقِيّاً 
“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku”

Kebanyakan huruf nida’ yang tidak tampakkan, adalah panggilan kepada Allah.

Panggilan dalam al-Qur’an sangat vareatif, baik dari aspek mukhatabnya (yang dituju), gaya pengunaanya, fungsinya serta penggunaan huruf munada (bentuk panggilan). Misalnya panggilan sebagai bentuk pujian, penghargaan, kasih sayang; Ya Ayyuhan Nabi (يا ايها النبي), Ya Ayyuhar rasul (يا أيها الرسول) , Ya Ayyuhal ladzina Amanu (يا أيها الذين آمنو). Bentuk penyesalan; Ya hasrata (يا حسرتا).   Tantangan; Ya ma’syaral jin wa ins inisthata’tum antanfudzu min aqthari samawati wal ardh (يا معشر الجن والإنس ان استطعتم أن تنفذوا من أقطار السموت والأرض). Dan beberapa fungsi lainnya.

Penggunaan huruf Nida’ dalam al-Qur’an tidak hanya sebuah panggilan, tetapi memiliki I’jaz, rahasia dan keunikan, ada yang jauh serasa dekat, tetapi yang dekat masih menggunakan kata panggilan. Panggilan yang fungsi awalnya memanggil yang jauh, tetapi terkadang ia adalah sebuah ungkapan kasih sayang, cinta dan kelembutan.

Allahu’alam bishawab
Sumber;
Mu’jam Al-Araby
Asrar balaghiyah li hifdz harf Nida’
Uslub Nida’ fi al-Qur’an al-karim

Jumat, 09 April 2021

Salah Paham dengan kata “Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan”

Halimi zuhdy

“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan” sebuah terjemahan dari Ayat al-Qur’an “Al-Fitnatu Asyaddu minal Qatl”. Dan terjemahan ini yang kemudian menyebar dan dipahami sesuai dengan fitnah yang berbahasa Indonesia, bahwa fitnah (dalam arti bahasa Indonesia) adalah lebih kejam dari pembunuhan. Benarkan kata “fitnah” dalam ayat tersebut bermakna fitnah sebagaimana dalam bahasa Indonesia?
Bahasa Indonesia banyak menyerap dari kata-kata bahasa Arab, untuk memahami kata Fitnah maka sebaiknya ditelisik dulu makna asal dan perubahan maknanya dalam bahasa Indonesia (dalam beberapa tafsir al-Qur’an sudah dijelaskan, bagi yang hanya membaca terjemahannya tidak akan mendapatkan penjelasan yang memadai terkait dengan kata fitnah ini). 

Menelisik suatu kata juga harus memahami pola kata yang ada pada beberapa bahasa sebagai sumbernya. Dalam unsur fonologi, misalnya, harus memahami fleksi (al-I'rab), pola-pola mufrad dan jamak. Karena tidak semua kata yang diserap dalam sebuah bahasa itu utuh, misalnya dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Kata yang diserap ada yang masih utuh (lafal dan artinya), seperti almanak, daftar, kiamat, khitan dan lainnya. Ada yang lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda, seperti kalimat, makam, dan lainnya (Zuhdy H, 2020).

Kata fitnah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab yang sudah mengalami perubahan makna, dalam Kamus Al-Ma’ani (bahasa Arab) kata “fitnah” adalah ibtila’ (cobaan), Ikhtibar (ujian), Imtihan (ujian). Menurut al-Azhari dalam Tadzhib al-Lughah kata fitnah adalah bentuk nomina yang diturunkan dari bentuk verba dengan fleksi fatina- yaftanu seperti Fatantu al-dzahaba wa al-fidhah (aku menguji keaslian mas dan perak). Dan seperti dalam Firman Allah  يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُوْنَ artinya dibakar dalam api (diazab).

Dalam Maqalah Ma’na Kalimat al-Fitnah fi Al-Qur’an Mauqi’ al-Islam wal al-Jawab, tidak ditemukan fitnah yang bermakna “buhtan” atau “kadzib” atau “naql kalam” yang bermakna perkataan bohong.  Fitnah dalam Maqalah tersebut menurut Ibnu Atsir adalah al-Ikhtibar (ujian), Ibtila’ (cobaan), al-Istm (dosa), kufr (kafir), qital (pembunuhan), Ihraq (dibakar). Sedangkan menurut Ibnu Arabi adalah al-Ikhtibar, al-mal, al-awlad, iktilaf an-nas bi al-ara’, al-ihra’ bi annar.

Bahkan dalam Mu’jam (kamus) al-Taraduf wa addhat fi al-Ma’ani (sinonim dan antonym) tida ditemukan kata kadzib (bohong) yang tertera adalah bermakna dosa, kesulitan, keresahan, revolusi, kegilaan dan lainnya;

إثْم، إِخْتِلاَل، إِضْطِراب، إِضْطِرَاب، بَغْضَاء، ثَوْرَة، جَمَال، جُنُون، خَبَل، داهِيَة، سِحْر، شَحْنَاء , شَغَب , ضَرَّاء , ضَلاَل , ضَوْضَاء , عَدَاوَة , عِتْه , فَوْضى , فَوْضَى , كَراهِيَة , كُفْر , مَسّ , مِحْنَة , نازِلَة , هَرْج , هَلاَك , هَوْشَة

Kata “Fitnah” dalam al-Qur’an masih dalam marja’ yang sama, diartikan dengan; memalingkan dari jalan yang benar dan menolaknya (al-Maidah, 49), Azab (an-Nahl, 110), Syirik dan kekafiran (AL-Baqarah, 194), terjerembab dalam ma’siat dan kemunafikan (Al-Hadid, 14),  kesesatan (Al-Maidah, 41), dibunuh atau dipenjara (An-Nisa’, 101) dan beberapa makna lainnya, seperti dalam Surat al-Fath ayat 176 yang bermakna Majnun (gila).

Dari beberapa penjelasan di atas, tidak ada satupun yang mengartikan sebagaimana kata fitnah dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, Fitnah diartikan dengan “Perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)”.

Dalam beberapa tafsir “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan” tidak ada yang mengartikan dengan kata-kata bohong, tuduhan negatif kepada orang lain, menuduh seseorang melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan. Tetapi kata fitnah dalam Ayat tersebut diartikan sebagai syirik (dalam Tafsir Jalalain, dan juga pendapat Abu Ja’far, Basyar bin Mua’ad, Ad-Dhahak, Mujahid dan beberapa perawi lainnya). Ada pula yang mengartikan dengan “kembali kepada kesyirikan  seperti menyembah patung itu lebih berbahaya dari pada permbunuhan”. Dan pendapat yang lain, fitnah itu adalah menghalangi seseorang dari jalan Allah, melakukan kemusyrikan, kekufur, menghalangi seseorang memasuki Masjid al-Haram serta diartikan dengan  mengusir penduduk ahl Makkah.

Bila kita perhatikan kata fitnah dengan makna kekufuran dan kemusyrikan, sungguh kehilangan keyakinan pada Allah dengan menyekutukannya itu lebih berbahaya dari kematian, pembunuhan dan peperangan. Keyakinan suatu bangsa kepada Al-Haq adalah sebuah kebahagiaan, kemajuan dan harga diri. 

Dalam laman al-Balad, Ibnu Asyur ketika dalam siaran langsung ditanya oleh seseorang tentang kata “fitnah”, beliau menjawab “kata Fitnah dalam Al-Qur’an bukan bermakna naql al-kalam (gosip, berbicara, menyampaikan informasi tidak benar), sedangkan naql al-kalam adalah mengadu domba, dan kata Fitnah yang ternyantum dalam al-Qur’an adalah berupaya menabur perselisihan di antara manusia dengan dengan mempertanyakan (tasykik) agama mereka, asal-usul kepercayaan, agama dan ibadah”.

Orang yang menabur keraguan tentang agama Islam, dan kemudian seseorang tersebut Kembali kepada kemusyrikan, atau menjadi kafir, mereka lebih kejam dari memerangi dan mengadakan pembunuhan. 

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 191)

Allahu a’lam bishwat, wallahu muawaafiq ila aqwamit thariq

Sabtu, 03 April 2021

Struktur Bahasa Arab

Halimi Zuhdy

Ali berdiri. Berdiri Ali. Sungguh Ali telah/sedang berdiri. Ada Ali, adalah berdiri. 

Kalimat di atas serasa aneh dalam bahasa Indonesia, tidak biasa, kecuali kalimat pertama "Ali berdiri" yang mengikuti SPOK bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab, susunan di atas sangat biasa digunakan. Selain biasa digunakan, kalimat tersebut memiliki makna tersendiri, walau secara umum bermakna Ali berdiri. 
Bila kalimat bahasa Arab seperti susunan di atas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seakan-akan makna dan maksudnya sama, walau sebenarnya memiliki maksud yang berbeda. 

Misalnya dalam bahasa Arab;
قام علي(Telah bediri Ali)
علي قام (Ali telah berdiri)
علي قائم (Ali berdiri)
إن عليا قائم (Sungguh Ali berdiri)
كان علي قائما (Ada Ali adalah berdiri)
كان علي قام (Ada Ali telah berdiri)
إن عليا قام (Sungguh Ali telah berdiri)

Kalimat di atas diterjemahkan secara tekstual (kata perkata), bila  diterjemahkan secara bebas  merujuk pada satu makna "Ali berdiri".

Struktur bahasa Arab di atas memiliki nama-nama tersendiri, ada yang namanya Jumlah Ismiyah atau klausa nomina (ada pula yang menyebut dengan musnad dan musnad ilaih), itupun masih dirinci menjadi Aljumlah Al-Sughara (kalimat terkecil) bila hanya terdiri dari susunan Mubtada' dan Khabar saja, itu pun khabarnya bila terdiri dari isim mufrad (tunggal). Ada Jumlah al-Kubra yang masih dibagi dua, Aljumlah dzatul wajhi dan Aljumlah Dzatul wajhain.

Susunan kalimat bahasa Arab di atas bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, hanya menunjuk pada satu makna, "Ali Berdiri" tetapi dalam dalam struktur bahasa Arab, susunan fi'liyah (kalimat verba) memiliki beberapa fungsi di antaranya adalah "adam stubut" (tidak tetap), berbeda dengan susunan is'miyah (kalimat nonina) yang memiliki fungsi tetap. Belum lagi bila predikatnya menggunakan fi'il (kata kerja madhi atau mudhari'), sedangkan dalam bahasa Indonesia sering menggunakan keterangan waktu. Dan dalam bahasa Arab sering menggunakan menggunakan pola Predikat + Subjek (fi'liyah).

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10219010037951090&id=1508880804

Belum lagi bila susunan kalimat di atas ditambah dengan Awamil seperti Inna (sungguh), Kana (ada) dan lainnya maka memiliki makna tersendiri. 

Tayyib, bagaimana bila subjek berada setelah predikat atau subjek sebelum predikat, atau setelah subjek setelah predikat, objek dan keterangan? Itu juga sangat berpengaruh kepada yang diinginkan oleh teks dalam bahasa Arab, walau dalam bahasa Indonesia terasa aneh misalnya "Berdiri Ali". 

Susunan dalam Al-Qur'an tidak dapat diterjemah secara bebas, walau maksudnya tidak jauh dari struktur bahasa Indonesia atau secara bahas Indonesia sudah benar (S+P+O+K). Sepertinya susunan "Kami Menyembah Kepadamu". Dan "Kepadamu, kami menyembah". Atau menerjemah susunan ayat "Idza waqa'atil waqiah" Apabila kiamat telah terjadi, tanpa memahami maksud dari susunan fi'liyah (kalimat verba) di dalamnya, maka seolah-olah kiamat telah pernah terjadi, berbeda dengan terjemahan yang ada "Apabila terjadi hari Kiamat" itu pun tidak ditemukan arti verba madhi (lampau) yang ada di dalamnya.

Ayo semangat belajar bahasa Arab.😁

 *Ramadhan Bulan Al-Qur'an*

Bagaimana redaksi al-Qur'an dalam menggambarkan orang munafiq?


Perhatikan Ayat berikut yang menggunakan kalimat fi'il (kata kerja) dan kalimat isim (kata benda). 

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙ اِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ ﴿البقرة : ۱۴﴾

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (QS. Al-Baqarah: 14).

Ketika orang munafik bertemu dengan orang beriman mengatakan "Kami beriman". Kata "Ammanna" adalah kalimat fi'il yang dalam ilmu Balaghah berfungsi yataghayyar (berubah) selalu berubah-ubah atau perilaku/keadaan yang tidak pernah tetap. Orang munafik itu selalu mincla mencle. 

Tetapi bagaimana redaksi al-Qur'an ketika orang munafik bertemu dengan para pemimpin (syaithan) atau teman-teman yang sesama munafik? Al-Qur'an menggunakan kalimat isim (kata benda) mustahziun (mengolok-olok) dan ini sifat tetap mereka, sifat dasar sebagai orang munafik.

Wajah sebaik apapun yang ditampilkan oleh orang munafik, dengan rupa apapun yang dihaturkan, akan kembali kepada sifat dasarnya. 

Alluhamma salimna minhum