السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 28 September 2025

Menilik Asal Kata "Qalam/قلم"(Dari Batang Qasab hingga Pena Modern)


Halimi Zuhdy

Qolam. Dalam bahasa Arab, kata ini punya akar yang jelas: berasal dari fi’il قَلَمَ yang berarti "memotong" atau "meraut". Mengapa? Karena sejak dahulu batang qasab (sejenis bambu/rumput) diraut ujungnya hingga tajam, lalu dicelupkan ke tinta. Dari situlah lahir istilah qalam, sebuah alat yang diciptakan dari proses pemotongan sederhana, namun melahirkan peradaban besar.
Qalam bukan hanya sebatang bambu yang diraut. Ia adalah simbol ilmu. Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan qalam: ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (QS. Al-Qalam: 1). Sebuah sumpah yang menegaskan bahwa qalam adalah wasilah ilmu pengetahuan dan peradaban.

Manusia purba meninggalkan jejak dengan goresan di dinding gua. Setelah itu lahir alfabet dan berbagai aksara. Tapi menulis dengan tinta baru benar-benar berkembang ketika manusia menemukan “pena” sederhana dari batang alang-alang, bulu burung, atau qasab.

Di dunia Islam, sejak abad ke-7 M, qalam qasab digunakan untuk menyalin mushaf Al-Qur’an. Para khaththath (kaligrafer) memandang qalam bukan sekadar alat tulis, tetapi medium spiritual. Setiap torehan qalam mengandung kesungguhan jiwa, sebab ia menyalin ayat-ayat suci atau ilmu yang kelak diwariskan lintas generasi.

Sejarah mencatat beberapa tahap penting, abad awal Islam (± 600 M): qalam dari batang qasab menjadi standar penulisan mushaf. Kaligrafi berkembang, dari kufi hingga naskhi. Abad pertengahan: di Eropa, pena bulu (quill) mendominasi. Sementara dunia Islam tetap setia pada qalam bambu. Abad ke-19: pena logam dan fountain pen ditemukan. Pada tahun 1884, L. E. Waterman di New York mematenkan fountain pen yang bisa menyimpan tinta. 1938: jurnalis Hungaria, László Bíró, memperkenalkan bolpoin (ballpoint pen) dengan ujung bola kecil yang bisa mengalirkan tinta lebih praktis.

Hari ini: qalam hadir dalam wujud pensil, bolpoin, spidol, hingga stylus digital—namun maknanya tidak berubah: alat untuk menulis, mencatat, dan mengabadikan pikiran.

Mengapa Disebut Qalam?

Jawabannya sederhana: karena ia dipotong. Setiap kali batang qasab diraut, ia menjadi qalam. Bahkan ada pepatah di kalangan penulis Arab: “Qalam tidak disebut qalam sampai ia dibentuk.” Artinya, qalam bukan sekadar batang bambu, melainkan hasil keterampilan meraut dan menyiapkannya.

Dari akar kata itulah, kata qalam berkembang menjadi simbol lain: pena sebagai medium inspirasi (بوح القلم), pena sebagai seni (فن القلم), atau pena sebagai identitas seorang penulis (بقلم فلان).

Meski komputer dan gawai telah mengambil alih banyak fungsi menulis, qalam tetap bertahan. Di sekolah-sekolah, anak-anak belajar menulis dengan pensil. Para kaligrafer masih meraut qalam qasab untuk melatih kesabaran dan keindahan huruf. Bahkan ketika seorang wartawan menandatangani tulisannya, masih ditulis: بقلم فلان ditulis dengan pena si Fulan.

Qalam bukan sekadar alat fisik. Ia adalah jembatan antara akal dan kertas, antara ide dan sejarah. Sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, qalam tetap menjadi saksi bahwa peradaban lahir dari kata-kata yang dituliskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar