السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 28 September 2025

Jejak Awal Istilah “Tahqīq/تحقيق” pada Sampul Buku Arab



Awal abad ke-19 menjadi titik penting pertemuan Timur dan Barat, terutama setelah masuknya ekspedisi Napoleon ke Mesir. Dari sana, teknologi percetakan mulai dikenal luas di dunia Arab, membuka jalan bagi lahirnya tradisi penerbitan dan penyebaran buku.

Salah satu tokoh besar yang meletakkan dasar dalam dunia penyuntingan naskah Arab adalah Ahmad Zaki Pasha (w. 1934 M). Beliaulah yang pertama kali menggunakan istilah “تحقيق” (tahqīq / verifikasi ilmiah naskah) pada sampul buku-buku Arab yang ia terbitkan. Sebelumnya, buku-buku hanya mencantumkan istilah seperti “تصحيح” (perbaikan) atau “ضبط وتصحيح” (penyusunan dan perbaikan).
Langkah revolusioner itu dilakukan ketika ia menerbitkan karya “الأدب الصغير والكبير” (Al-Adab al-Ṣaghīr wa al-Kabīr) karya Ibn al-Muqaffa‘ (w. 142 H), serta “أنساب الخيل والأصنام” karya Ibn al-Kalbī (w. 204 H). Pada kedua karya inilah, untuk pertama kalinya, kata “تحقيق” dicetak di sampul buku dengan makna yang kini kita kenal sebagai penyuntingan ilmiah terhadap manuskrip.

Tidak hanya itu, Ahmad Zaki juga memperkenalkan tanda baca dalam bahasa Arab dan berupaya menyederhanakan jumlah huruf cetak Arab agar lebih efisien. Dalam karyanya, ia menyertakan indeks dan daftar isi terperinci, yang sangat membantu pembaca dan menjadi standar baru dalam dunia penerbitan ilmiah.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa istilah “تحقيق” pertama kali muncul pada tahun 1911 M, ketika terbit buku Al-Adab al-Ṣaghīr hasil suntingannya. Terobosan ini kemudian menjadi pintu masuk berkembangnya ilmu tahqīq naskah di dunia Arab, beserta kaidah-kaidahnya yang terus berlanjut hingga hari ini.

Apakah Ahmad Zaki terinspirasi dari kaum orientalis Eropa, ataukah ide tersebut lahir murni dari pemikirannya sendiri? Pertanyaan ini masih menyisakan ruang bagi penelitian lebih lanjut. Namun, besar kemungkinan istilah itu adalah hasil dari orisinilitas dan kejeniusannya sendiri. Seiring waktu, sejarahlah yang akan menyingkap kebenarannya.

***
Tulisan ini disarikan dari catatan Dr. Muhammad Nuri al-Mawsawi, yang beliua tulis pada hari Senin, 13 Dzulhijjah 1441 H (3 Agustus 2020 M).

Santri Lugu, tapi Cerdas(Membincang Pemimpin Negeri)


“Pak Ustadz, saya mau tanya...”
“Apa itu, Mas?”
“Katanya Indonesia dulu dipimpin oleh Bu Hikmah. Tapi saya cari di buku sejarah, kok nggak pernah ada namanya?”

Ustadz tersenyum kecil. “Maksudnya bagaimana Mas?”

“Ya itu... saya pernah dengar kalimat ‘Indonesia dipimpin oleh Hikmah’. Saya kira itu nama orang, mungkin tokoh perempuan hebat bernama Bu Hikmah.”
Ustadz tertawa pelan. “Oh, begitu. Itu bukan nama orang, Mas. Itu kalimat dari dasar negara kita. ‘Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’.”

“Ooh... jadi maksudnya bukan Bu Hikmah?”
“Bukan, Mas. Tapi Hikmah—kebijaksanaan. Artinya, negara ini idealnya berjalan bukan dengan emosi, bukan dengan nafsu kekuasaan, bukan dengan suara mayoritas semata, apalagi dengan politik kotor. Tapi dengan hikmah, dengan kebijaksanaan yang lahir dari musyawarah dan perwakilan yang jujur.”

Wajah si anak muda berbinar. “Keren sekali, Pak. Jadi sejatinya, Indonesia itu dipimpin oleh Hikmah, bukan oleh orang-orang yang haus jabatan, bukan oleh kepentingan sesaat, tapi oleh kebijaksanaan.”

“Betul, Mas. Itulah cita-cita para pendiri bangsa. Mereka merumuskan kata ‘hikmat’ dengan sadar. Karena bangsa sebesar ini tak cukup hanya dipimpin oleh jumlah suara, tapi harus dengan kebijaksanaan yang bisa merangkul semua.”

“Luar biasa, Pak. Tapi... bagaimana caranya supaya Indonesia benar-benar dipimpin oleh Hikmah, bukan oleh nafsu politik atau kepentingan sempit?”

Ustadz menatap jauh, seolah menembus dinding masa depan. “Caranya sederhana, Mas, tapi berat. Hikmah itu lahir dari hati yang jernih, dari pemimpin yang mau mendengar, dari rakyat yang mau bermusyawarah dengan adab. Kalau pemimpin kita punya hati yang bersih, dan rakyat kita menjaga akhlak, maka hikmah itu akan hadir. Tapi kalau hati penuh dendam dan kursi jadi rebutan, maka yang memimpin bukan lagi hikmah, tapi ambisi.”

Anak muda itu mengangguk pelan. “Jadi, bukan Bu Hikmah ya Pak?”
“Bukan, Mas. Tapi lebih hebat dari sekadar seorang tokoh. Indonesia ini dititipkan untuk selalu dipimpin oleh Hikmah yang artinya kebijaksanaan. Dan tugas kita bersama, menjaga agar kalimat itu bukan hanya tulisan di dasar negara, tapi nyata dalam kehidupan bangsa.”

Halimi Zuhdy
Lirboyo, 18 Agustus 25

Menelisik Kata "Merdeka, Istiqlal dan Freedom"


Halimi Zuhdy

Berbicara tentang kata “merdeka” berarti menelusuri jejak makna yang dibentuk bahasa, sejarah, dan politik. KBBI menegaskan kata "merdeka" sebagai “bebas dari perhambaan/penjajahan, berdiri sendiri; tidak terikat atau bergantung; leluasa; boleh berbuat dengan bebas,” dengan turunan seperti "memerdekakan", "kemerdekaan", "pemerdeka", dan "semerdeka-merdekanya" yang memperluas spektrum makna dari tindakan, keadaan, hingga derajat kebebasan pribadi dan kolektif (KBBI). Definisi ini sudah memuat dua poros penting: “bebas dari” (belenggu) dan “bebas untuk” (bertindak).
Secara etimologis, "merdeka" ditelusuri ke Sanskerta "maharddhika" (“kaya, sejahtera, kuat”). Di Melayu–Indonesia, maknanya bergeser dari penanda status menjadi kondisi bebas khususnya bebas dari perbudakan dan penjajahan. Ini contoh "ameliorasi" (nilai makna naik) sekaligus "perluasan semantik": dari elit sosial ke kedaulatan politik dan agensi warga. (Kagama. co) 

Dalam bahasa Arab, padanan paling dekat ialah "الاستقلال" (al-istiqlāl). Secara morfologis (pola istif‘āl), ia menandai proses “memperoleh kemandirian”; akarnya (ق-ل-ل / q-l-l) atau "qalil" (sedikit) menyiratkan “tak bergantung pada banyak pihak”, yakni kemandirian substantif. (dar-alwafa.net) menekankan relasi konseptual: "istiqlāl" adalah "bagian dari kebebasan" (ḥurriyyah) satu sisi koin adalah kebebasan individu, sisi lainnya kebebasan dari hegemoni kekuatan luar. Menolak "istiqlāl" sambil mengaku pro-kebebasan adalah kontradiksi; kemandirian negara adalah metrik kebebasan pada skala rakyat (dar-alwafa.  net).

Bahasa Inggris memperkaya nuansa melalui pasangan "freedom" dan "liberty". Freedom (dari free + sufiks -dom “keadaan”) cenderung menunjuk kebebasan personal; "liberty" (Latin libertas) menonjolkan kebebasan yang dilembagakan hak-hak yang dijamin hukum. Dikawinkan dengan "merdeka" dan istiqlāl, kita memperoleh matriks makna "freedom from" (lepas dari dominasi), freedom to (kapasitas bertindak), dan standing on one’s own (kemandirian struktural).

Dalam konteks Indonesia, seruan “Merdeka!” bekerja sebagai "tindak tutur performatif" mengucapkannya berarti mengafirmasi kedaulatan sekaligus memobilisasi imajinasi kolektif. Maka, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar bebas dari penjajah, melainkan kemampuan, bahkan kewajiban, untuk mengatur diri, membangun, dan menjaga martabat bangsa secara berkelanjutan "merdeka sebagai kemandirian yang bertanggung jawab". 

Selanjutnya dapat dibaca di Madura Network dengan judul "Makna Kemerdekaan dalam Perspektif Linguistik"

Referensi:
 KBBI; Kagama. co; juragancibir. com; dar-alwafa. net.

Ya Laytani (يَا لَيْتَنِي) Ratapan & Harapan dalam Al-Qur'an



Halimi Zuhdy

Menarik, bagaimana Al-Qur'an menggambarkan sebuah "harapan" dari seseorang, dan mungkin ia yang paling ingin dicapai tetapi harapan itu hanyalah kehampaan. Di dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan sejumlah ungkapan pilu yang keluar dari lisan manusia setelah semua pintu kesempatan tertutup. Ucapan itu dimulai dengan kata "يَا لَيْتَنِي" (ya laytani)  dua kata yang mengandung kesedihan, kerinduan, dan penyesalan mendalam karena sebuah harapan mustahil diwujudkan. 
Toyyib. Kata layta/لَيْتَ adalah kata yang digunakan untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Ia berbeda dengan la'ala/لعل (semoga) yang masih memiliki kemungkinan.
"نِي" adalah dhamir (kata ganti) untuk “aku” atau “diriku”.

Berikut Ayat-ayat yang terdapat kalimat "Ya Laitani"

1. يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا
   "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu menjadi tanah." (QS. An-Naba’ \[78]: 40). Penyesalan orang kafir ketika melihat azab, berharap tak pernah memikul beban hidup dan tanggung jawab di hadapan Allah.

2. يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
   "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu beramal untuk hidupku (yang kekal ini)." (QS. Al-Fajr \[89]: 24). Penyesalan karena mengabaikan amal akhirat demi kesenangan dunia.

3. يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ
   "Wahai kiranya kitab amalku tidak diberikan kepadaku."* (QS. Al-Haqqah \[69]: 25). Ketakutan luar biasa saat menerima catatan amal penuh dosa.

4. يَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
   "Wahai kiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku." (QS. Al-Furqan \[25]: 28). Menyesal karena memilih teman yang menjerumuskan ke jalan salah.

5. يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
   "Wahai kiranya kami dahulu taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul." (QS. Al-Ahzab \[33]: 66). Kesadaran sia-sia karena dulu menolak perintah Allah dan Rasul.

6. يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا
   "Wahai kiranya aku dahulu mengambil jalan bersama Rasul." (QS. Al-Furqan \[25]: 27). Menyesal tidak mengikuti jalan kebenaran sejak awal.

7. يَا لَيْتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا
   "Wahai kiranya aku bersama-sama mereka, pasti aku memperoleh kemenangan yang besar.". (QS. An-Nisa’ \[4]: 73). Penyesalan karena tidak ikut bersama orang-orang beriman yang menang.

Dari Ayat-ayat di atas, penyesalan besar manusia di akhirat datang karena:  tidak mempersiapkan amal untuk akhirat. Takut dan malu melihat catatan dosa. Memilih teman yang salah. Menolak ketaatan pada Allah dan Rasul. Tidak mengikuti jalan Rasul. Tidak bersama golongan orang-orang beriman. Berharap tidak pernah hidup agar bebas dari pertanggungjawaban. Maka penyesalan itu sebenarnya adalah sebuah cita-cita terbaik yang harus dicapai oleh manusia. Apa, kebalikannya dari kalimat di atas. Seperti diberikan teman terbaik, mengikuti Rasul, bersama orang-orang beriman dan lainnya. Itulah visi mualim. 

Selagi nafas masih berhembus, kita belum terlambat untuk menghindari kata "يَا لَيْتَنِي" dari bibir kita kelak. Setiap amal shalih, setiap ketaatan, dan setiap pilihan teman yang baik adalah investasi agar kelak kita mengucapkan "Alhamdulillah" di hadapan Allah, bukan "Ya Laytani".

اللَّهُمَّ أَعْتِقْ رِقَابَنَا وَرِقَابَ أَهْلِنَا مِنَ النَّارِ
Ya Allah, bebaskanlah kami dan keluarga kami dari api neraka.

Allahu'alam Bishawab

Luka Kecil yang Membesar: Mengapa Selingkuh Terjadi?


Halimi Zuhdy

Ketika sedang serius membincang demonstrasi, penjarahan dan pembakaran beberapa rumah dan gedung DPRD yang terjadi beberapa hari terakhir, ada yang nyeletuk dan bertanya tentang istrinya yang terbakar cinta, yaitu selingkuh. Persis dengan demonstrasi hari ini, yang tidak tiba-tiba, tetapi akumulasi narasi, kebijakan, dan lainnya sehingga menumpuk dan tidak terbendung! Duarrr. 
"Pak Ustad, mengapa istri saya selingkuh?" Seorang laki-laki muda tertunduk  dengan air mata yang jatuh tampa menyapa pipinya. 

"Mas, selingkuh itu luka kecil yang sudah lama, mungkin mas lupa mengobatinya sejak awal" Saya sambil menghela nafas. Dan meneruskan dengan beberapa hal, yang sering lupa diingat oleh keluarga muda, bahkan juga keluarga yang sudah lama berbahtera. 

Selingkuh tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia bukan badai yang muncul seketika, tetapi benih kecil yang dibiarkan tumbuh tanpa pernah disadari. Awalnya hanya retakan halus, lalu melebar, lalu menjelma jurang yang memisahkan dua hati yang semula saling berjanji. Wow. Ya, memang begitu. Sedikit ada cinta yang tumbuh untuk orang lain (istri/suami orang), maka segera bakar! Aha. Kok sadis benget ya🤣

Internal: Hal-Hal Kecil yang Terabaikan

Di dalam rumah tangga, penyebab terbesar perselingkuhan seringkali bukan karena kurangnya cinta lo, melainkan karena kurangnya perawatan terhadap cinta itu sendiri. (Ini hasil investigasi kecil-kecilan lo), tetapi ada beberapa hal, di antarnya;

Kurangnya komunikasi jujur.  Sebuah keluhan yang ditahan, perasaan yang tak pernah diucapkan, atau rasa kecewa yang dibiarkan berkarat. Contoh seorang istri merasa lelah dengan pekerjaan rumah, tapi hanya diam. Suami sibuk bekerja, mengira semuanya baik-baik saja. Ketika ada rekan kerja yang sekadar bertanya, “kamu capek ya?”, ia merasa lebih didengar oleh orang luar dibanding pasangan sendiri. Biasanya, dari sini muncul rasa.🥰

Rasa syukur yang memudar. Saat pasangan lebih sering melihat kekurangan daripada kebaikan, cinta pun mulai pudar. Contoh Seorang suami mengeluh karena istrinya tak lagi secantik dulu, lupa bahwa istrinya telah berkorban banyak untuk keluarga. Dari sinilah ia mulai membandingkan dengan wanita lain dan mencari pelarian.

Dan juga, ""keintiman yang terabaikan". Perhatian sederhana seperti senyum, pelukan, atau ucapan sayang yang hilang, membuat hati kosong. Contoh seorang istri dulu selalu mendengar pujian kecil dari suaminya, kini tak pernah lagi. Ketika seorang teman lama berkata, “kamu tambah cantik ya sekarang,” hatinya goyah karena merasa dihargai kembali.

Tapi, ada penyebab lain, bukan internal dalam keluarga, tapi juga esternal! 

Dari Eksternal: Godaan yang Selalu Mengintai

Di luar rumah, dunia penuh dengan kesempatan yang bisa menguji rapuhnya hati. Godaan itu tidak berbahaya, kecuali jika jiwa di dalam rumah sudah retak. Misalnya beberapa hal berikut; 🤏

Lingkungan kerja atau pergaulan. Teman yang lebih sering mendengar daripada pasangan, bisa menumbuhkan rasa nyaman. Contoh seorang pria sering lembur dengan rekan kerjanya. Mereka makan, bercanda, curhat. Ia merasa lebih nyambung dengan rekannya daripada istrinya di rumah, padahal masalahnya hanya karena ia jarang terbuka kepada pasangan sendiri.

Media sosial. Chat ringan bisa menjadi pintu besar menuju pengkhianatan. Contoh: Awalnya hanya balas komentar di Instagram, lalu lanjut ke chat tentang hobi. Lama-lama, percakapan itu jadi candu. Ia menunggu notifikasi dari orang tersebut, sementara pasangannya di rumah menunggu ditemani.

Krisis identitas. Kadang orang merasa tidak lagi dianggap berharga di rumah, lalu mencari pengakuan di luar. Contoh seorang ibu hanya dipandang sebagai “pengurus rumah tangga.” Saat ada pria yang memberi pujian, ia merasa dirinya berarti kembali. Dari situlah pintu perselingkuhan terbuka.

Selingkuh bukan sekadar soal nafsu, melainkan gejala dari cinta yang tidak dipelihara. Saat pasangan terbiasa mengucapkan terima kasih, luka kecil bisa sembuh sebelum membesar. Saat ada waktu untuk bicara dari hati ke hati, godaan eksternal tidak mudah merasuki. Saat rasa saling menghargai dijaga, rumah menjadi tempat pulang yang dirindukan, bukan penjara yang ingin ditinggalkan.

Selingkuh tidak dimulai dari pelukan asing, tetapi dari detik pertama kita berhenti memeluk pasangan kita sendiri. Dan kesetiaan bukan sekadar menahan diri dari orang lain, tetapi juga keberanian untuk terus menumbuhkan cinta yang sama setiap hari, dari hal-hal kecil.

Semoga para pasangan selalu waspada dari hal-hal kecil yang buat luka menganga dan sulit disembuhkan. Apalagi luka yang sudah menyebar, dan duarrr.

Sejarah dan Fenomena Menulis Arab Tanpa Titik


Halimi Zuhdy

Jika kita menelusuri manuskrip kuno berbahasa Arab, seperti karya al-‘Allāmah al-Ḥillī (w. 726 H/1325 M), kita akan menemukan sebuah keunikan: tulisan Arab kala itu tidak menggunakan titik, koma, maupun harakat. Huruf-huruf seperti ب (ba), ت (ta), ث (tsa) ditulis dengan bentuk tunggal tanpa tanda pembeda. Dalam salah satu catatan naskah sebagai yang ditulis oleh Prof. Dr. Nuri Al-Mausi dalam Tahqiq Al-Makhthuthat fi Arwaq Al-Jamiah

Penulisan seperti ini menuntut pembaca untuk memahami teks dari konteks bahasa, bukan sekadar bentuk huruf. Orang Arab asli mampu membacanya tanpa kesulitan, tetapi bagi mereka yang baru masuk Islam dari luar Jazirah, hal ini menimbulkan kebingungan dan kesalahan baca.
Lahirnya Titik dan Harakat

Abu al-Aswad al-Du’ali (w. 69 H/688 M) adalah orang pertama yang memperkenalkan sistem titik sebagai tanda harakat. Titik di atas huruf melambangkan fathah, di bawah untuk kasrah, dan dua titik untuk dhammah. Ia menggunakan tinta merah agar tidak bercampur dengan huruf asli. Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H/786 M) kemudian menyempurnakan sistem ini dengan bentuk yang kita kenal sekarang: garis miring (ـَ) untuk fathah, garis bawah (ـِ) untuk kasrah, dan wau kecil (ـُ) untuk dhammah. Ia juga memperkenalkan tashdid ( ّ ), hamzah (ء), serta membedakan huruf dengan lebih rinci.

Sedangkan i‘jām (titik pembeda huruf seperti ب، ت، ث) mulai diterapkan konsisten pada abad pertama Hijriah untuk menjaga keaslian bacaan, terutama dalam mushaf Al-Qur’an.

Menurut para peneliti, tulisan Arab berkembang dari abjad Aramaik dan muncul di Jazirah Arab sekitar abad ke-4 M. Salah satu bukti tertua adalah naskah batu di Jabal Ram dekat Aqabah (Yordania). Riwayat klasik juga menyebutkan bahwa keturunan Nabi Ismail-lah yang pertama kali mengembangkan tulisan Arab.

Uniknya, setelah lebih dari seribu tahun, praktik menulis Arab tanpa titik kembali muncul—kali ini dalam bentuk tren digital. Pada Mei 2021, sebuah kampanye di media sosial Arab melalui platform Tajawoz mengajak pengguna menulis Arab tanpa titik. Tulisan menjadi samar dan sulit dikenali oleh mesin atau pembaca awam, namun orang yang terbiasa berbahasa Arab masih bisa memahaminya.(Al-yaum)

Fenomena ini viral di seluruh dunia Arab. Banyak yang menganggapnya sekadar permainan linguistik, tetapi sebagian melihatnya sebagai pengingat sejarah bahwa bahasa Arab memang pernah hidup tanpa titik.

Sejarah menunjukkan bahwa penulisan Arab tanpa titik adalah bagian dari warisan budaya dan tradisi ilmiah, bukan sekadar gaya modern. Dari manuskrip kuno karya ulama seperti al-Ḥillī hingga tren digital abad ke-21, tulisan tanpa titik memperlihatkan fleksibilitas dan kekayaan bahasa Arab.

Bahasa ini tidak hanya sarana komunikasi, tetapi juga simbol identitas yang mampu bertahan, beradaptasi, bahkan kembali menghadirkan sisi klasiknya di era digital.

***

خط العلامة الحلي، والمعروف عنه أنه يكتب بلا نقاط، ( أنهاه أيده الله تعالى قراءة وبحثاً وفهماً وضبطاً واستشراحاً وذلك في مجالس آخرها سادس عشري جمادی الآخرة سنة أربع و عشرين و سبعمائة وکتب حسن بن يوسف بن المطهر الحلي مصنف الكتاب حامدا مصليا مستغفرا)
وذكر الأستاذ أبو جعفر الحلي عن هذه النسخة ( والنسخة هذه كتبت في مقام صاحب الزمان عج في الحلة وكتبت عنها مفصلا في كتابي تاريخ مقام الإمام المهدي عج في الحلة).

Ketarangan dalam Tahqiq Al-Makhthuthat fi Arwaq Al-Jamiah oleh Prof. Dr. Nuri Al-Mausi

Sīrah Nabawiyah: Jejak Hidup Nabi Muhammad dalam Manuskrip dan Sejarah


Halimi Zuhdy

Sīrah Nabawiyah, atau kisah hidup Nabi Muhammad SAW, bukan sekadar catatan sejarah biasa. Ia adalah rangkaian kisah yang menyingkap perjalanan seorang manusia yang dipilih Allah sebagai Rasul, dari masa kelahiran hingga wafatnya, serta perjuangan beliau menyebarkan Islam di tengah masyarakat Arab abad ke-7.
Dulu, ketika penulis masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah, mulai mengenal kisah hidup Nabi Muhammad SAW melalui sebuah kitab sederhana tapi penuh makna "Khulāṣah Nūrul Yaqīn fī Sīrah Sayyidil Mursalīn". Kitab ini diajarkan sejak kelas 3 hingga kelas 6. Dari lembar demi lembar, kami belajar bagaimana perjalanan Rasulullah dari kecil hingga wafatnya. Bahasa kitabnya ringan, sehingga mudah dicerna oleh anak-anak madrasah. Dan, sepertinya kitab ini masih populer di Madrasah dan Diniyah.

Perjumpaan setelahnya dengan kitab Sīrah tidak berhenti di situ. Saat menempuh semester pertama di kampus, khususnya di Barāmij Khāṣ li Ta‘līm al-Lughah al-‘Arabiyah, kami dikenalkan pada sebuah karya besar yang bahkan meraih penghargaan internasional sebagai kitab terbaik dunia. Kitab itu adalah ar-Rahīq al-Makhtūm (الرحيق المختوم) karya ulama India, Syaikh Ṣafiyyur-Raḥmān al-Mubārakfūrī.

Kitab yang cukup tebal ini dibagikan gratis oleh Kerajaan Saudi Arabia kepada ribuan mahasiswa di UIN Malang (sekitar tahun 2000). Rasanya seperti mendapat harta berharga sebuah buku yang bukan hanya menyajikan kisah hidup Nabi secara detail, tetapi juga menyingkapnya dengan gaya ilmiah yang kuat, berbasis sumber-sumber klasik yang otoritatif.

Dan benar saja, hingga hari ini, Ar-Rahīq al-Makhtūm masih sangat populer, dipelajari di berbagai lembaga, diterjemahkan ke banyak bahasa, dan menjadi rujukan utama dalam memahami perjalanan Nabi Muhammad SAW.

Toyyib. Sejarah dalam tradisi penulisan Sīrah mulai berkembang pada awal era Abbasiyah (abad ke-8 M). Dua tokoh besar menjadi peletak dasarnya: Ibnu Ishaq (w. 767 M), yang pertama kali mengumpulkan riwayat tentang Nabi. Ibnu Hisham (w. 833 M), muridnya, yang menyusun ulang karya gurunya hingga lebih sistematis. Al-Wāqidī (w. 823 M), penulis Kitāb al-Maghāzī yang berfokus pada peperangan Nabi.

Sejak itu, karya-karya Sīrah berkembang pesat, mencatat kelahiran Nabi, silsilah, masa muda, hingga momen besar dakwah dan peperangan kaum Muslimin.

Mengapa Sīrah Begitu Penting?

Di Indonesia, khususnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad begitu marak, dan kesempatan yang luar biasa untuk mengenalkan Nabi Muhammad dan akhlaknya. Setiap kali ada majlis shalawat, maka di sana ada sejarah kehidupan Sang Nabi Muhammad diceritakan dengan apik. 

Bagi umat Islam, kehidupan Nabi bukan hanya sejarah, tetapi teladan. Al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi adalah manusia, tetapi juga dimuliakan di atas manusia lainnya. Karena itu, meneladani akhlak dan perjalanan beliau menjadi nilai iman. Lebih dari itu, hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an  erat kaitannya dengan peristiwa kehidupan Nabi. Maka, memahami Sīrah berarti memahami konteks ajaran Islam itu sendiri.

Menariknya, bukan hanya Muslim yang menaruh perhatian. Sejarawan Barat juga mengkaji Sīrah. Mereka terbagi dalam tiga aliran: 1. Tradisional, moderat menerima kisah klasik, hanya menolak bagian mukjizat. 2. Kritis Skeptis, menerima kerangka besar cerita, tetapi meragukan detail tertentu seperti Ignaz Goldziher. 3. Radikal,  menolak seluruh riwayat Islam klasik dan hanya mengandalkan sumber luar seperti yang ditulis Patricia Crone & Michael Cook.

Meskipun begitu, karya-karya klasik tetap menjadi sumber utama dan terus dilestarikan. Di berbagai perpustakaan dunia, tersimpan manuskrip Sīrah berusia ratusan tahun, dari abad ke-13 hingga ke-19. Beberapa di antaranya adalah: Kitab al-Syifāʾ karya Qādī ʿIyāḍ, yang menjelaskan hak-hak Nabi Muhammad SAW. Manuskrip berbahasa Arab yang mendokumentasikan perjalanan hidup beliau. Cetakan awal di Mesir, termasuk karya yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Sīrah Nabawiyah bukan hanya milik umat Islam, tapi juga warisan peradaban manusia. Ia menyatukan sejarah, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan dalam satu kisah agung: perjalanan seorang Nabi yang membawa cahaya bagi dunia.

Semoga dalam setiap rumah ada Sirah Nabawiyah yang tidak menjadi kitab sejarah, tapi menjadi panduan dan teladan dalam kehidupan.🙏📿

Sirah dalam Syair: Jejak Nabi dalam Madih Nabawi


Halimi Zuhdy

Madih Nabawi, puisi yang memuji Rasulullah SAW, bukan sekadar karya sastra, tetapi sebuah perjalanan cinta. Ia lahir sejak detik pertama kelahiran sang Nabi, ketika kakeknya, Abdul Muthalib, menatap cucu bercahaya lalu bersyair:

وأنت لما ولدت أشرقت الأرض وضاءت بنورك الأفق
Saat engkau lahir, bumi pun bercahaya, dan cakrawala bersinar oleh nurmu.
Dari bait sederhana itu, lahirlah tradisi panjang: puisi yang bukan hanya bercerita, tetapi mengabadikan kerinduan.

Kasidah-kasidah madah (pujian) pada Rasulullah tidak pernah usai. Sebelum terutusnya menjadi seorang Nabi, pujian-pujian itu mengalir deras kepada Abu al-Qasim. Akhlaqnya yang begitu agung menjadi magnet bagi penyair-penyair Arab untuk dinarasikan dalam lontar-lontar mulia. Misalnya, Waraqah bin Naufal  membacakan puisinya di hadapan Sayyidah Khadijah Al-Kubra, tentang akhlak Nabi Muhammad yang akan diutus. Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah al-Anshari bin al-Umr al-Qais (W 8 H) termasuk tiga penyair hebat yang dengan gigih menghadang serangan-serangan orang musyrik dengan kasidah-kasidah indahnya, serta pujian-pujian indah tentang pribadi Rasulullah.

Al-A’sya Maimun bin Qais (W 8 H), yang dijuluki Al-A’sya (Rabun), salah satu penyair Jahiliyah Ashhabul Mu’allaqat. Juga memuji-muji Rasulullah sangat indah, walau hidayat belum menyertai kematiannya. Nabiuun yara mala tarauna wa dzukruhu aghara la’amri fi al-biladi wa anjada. Abdullah bin al-Zab’ary (W 15 H), penentang keras Islam dan Nabi Muhammad, sebelum memeluk Islam, setelah mengenal lebih jauh Islam dan Nabi Muhammad, kasidah-kasidah Indah mengalir mengitu lembut tentang seorang Muhammad, Rasulullah. Abbas bin Midras (w 18 H), masuk Islam setelah bermimpi Rasulullah, Ketika bangun dari tidurnya, membakar semua patung-patungnya. Pujian tentang Nabi ukir sangat indah, Inna al-Ilah bana ‘alaika mahammadan.

Ratusan penyair dari berbagai masa, dari sebelum Hijrah sampai ribuan tahun setelahnya (tahun 1430 H) mereka menggambarkan keagungan Nabi Muhammad, akhlaknya yang sangat agung, seperti Penyair India; Kamala Saraya (1430 H). Walid al-‘Adhami (1425), Abdullah al-Barduni (1420 H), Nizar Qabbani (1419 H), Muhammad Amin al-Quthbi (1404 H)

Para peneliti berbeda pendapat: ada yang meyakini madih nabawi muncul sejak era Nabi, dibawa oleh suara Ḥassān ibn Thābit, Kʿab ibn Mālik, dan Kʿab ibn Zuhayr—penyair yang syairnya “Bānat Suʿād” diabadikan Nabi dengan hadiah burdah suci. Namun ada juga yang menilai bahwa madih nabawi sebagai genre baru justru menguat di abad ke-7 H melalui al-Būṣīrī dengan al-Burdah-nya yang melegenda.

Apapun pendapatnya, satu hal pasti: madih nabawi selalu menemukan momentumnya, baik di Timur maupun di Barat Islam. Dari Mesir hingga Maghrib, dari Syam hingga Andalusia, setiap penyair mewarisi satu hal yang sama: kerinduan kepada Rasulullah.

Sumber inspirasi madih nabawi tak pernah lepas dari Al-Qur’an dan sunnah, lalu diperkuat oleh literatur sirah. Nama-nama besar seperti Ibn Hishām, Ibn Isḥāq, al-Būṭī, al-Ghazālī, hingga al-Nadwī menjadi referensi utama. Puisi mereka bukan puisi kosong; ia berakar dari teks suci, dari sejarah, lalu mekar menjadi bunga-bunga estetika.

Bayangkan bagaimana gema “Ṭalaʿa al-badru ʿalaynā” masih kita nyanyikan hingga hari ini sebuah bukti bahwa madih nabawi bukan sekadar teks, tapi pengalaman spiritual kolektif umat. Di tangan para sufi, madih nabawi bahkan menjelma doa, dzikir, dan lantunan rindu.

Madih nabawi adalah tafsir rasa dari sirah nabawiyah. Jika kitab sirah memberi kita peristiwa, puisi memberi kita ruh peristiwa itu. Ia membuat kita bukan hanya tahu, tetapi juga merasa.

Maka, setiap bait madih nabawi sejatinya adalah ziarah: ziarah ruhani menuju sosok yang menjadi teladan sepanjang zaman Muhammad SAW.

***
Ket Gambar: Manuskrip langka ʿUyūn al-Athar karya Ibnu Sayyid al-Nās (w. 734 H) tersimpan di Perpustakaan Alexandria. Naskah ini pernah dimiliki Imam al-Buhūtī (w. 1051 H), lengkap dengan catatan tangan beliau, dan kini terjaga dengan baik setelah direstorasi. Di web tawaseen. com. Dr. Muhammad Sulaiman

Satu Bait Puisi yang dianggap setara dengan Satu Kitab



Dalam khazanah sastra Arab klasik, banyak puisi tidak hanya hadir sebagai keindahan bahasa, tetapi juga sebagai cermin kehidupan dan gudang hikmah. Salah satu penyair Abbasiyah yang meninggalkan jejak berharga adalah Yusuf bin Abdul Quddus. Ia menulis sebuah qashidah yang sarat dengan nasihat, penuh dengan pelajaran moral, dan memiliki kekuatan makna yang tetap relevan hingga hari ini. Setiap bait dalam qashidahnya seolah menyamai satu kitab nasihat, kaya akan petunjuk dan pengingat tentang tabiat manusia dan arti kehati-hatian dalam pergaulan.
كل بيت فيه يعدل كتابا من النصائح والحكم، لكن لم يشتهر من هذه القصيدة غير بيت واحد أو بيتين

Namun, sebagaimana sering terjadi dalam karya-karya klasik, hanya sebagian kecil baitnya yang benar-benar populer di kalangan pembaca. Dari qashidah panjang itu, ada satu hingga dua bait yang terus diingat dan dikutip lintas zaman. Bait-bait inilah yang memuat pesan sederhana tetapi mendalam

"jangan terkecoh dengan manisnya kata-kata, karena di balik tutur bisa tersembunyi tipu daya, dan bahwa nasihat yang tulus adalah harta paling berharga"

يعطيك من طرف اللسان حلاوة
ويروغ منك كمـا يـروغ الثّعلـب

فلقد نصحتك إن قبلت نصيحتي
فالنصح أغلى ما يباع ويوهـب

Ketika Buku Enggan Dipinjamkan: Syair-Syair Pedih Para Pecinta Kitab


Halimi Zuhdy

Urusan pinjam meminjam memang tidak mudah, "sering keselnya dari bahagianya pak". Kata mas Qadir. "Apalagi barang yang dipinjam tidak dijaga dengan baik, bahkan kembali dalam keadaan rusak". Sambungnya, sambil tertawa Wkwkw. "Gak juga mas, wong banyak yang mencari calon peminjam, meminjam uang" sangkal Dedi, juga ketawa.wkwkwkw. 
Ada satu kisah klasik dalam dunia literasi Islam yang sering kita jumpai di pinggir manuskrip kuno. Ia bukan sekadar catatan, melainkan jeritan hati para pecinta buku. Mereka begitu mencintai kitab-kitabnya hingga keberatan bila ada yang datang untuk meminjam. Maka lahirlah syair-syair, doa-doa, bahkan sumpah yang dituangkan dalam baris-baris indah, tetapi getir.

Beberapa dialog menggunakan puisi atau syair tentang kegetiran dalam peminjaman buku, penulis kutip dari tulisan Dr. Muhammad Nuri  al Mausawi dalam "Tahqiq al-Makhtut", yang beliau kutip dari sebuah manuskrip "at-Ta‘rīfāt" karya al-Jurjānī (w. 816 H), tersimpan syair bernada getir ini:

أَلا يا مُستعيرَ الكتْبِ دعْني
 فإنّ إعارتي للكتْب عارُ
ومعشوقي من الدنيا كتابٌ
 فهل أبصرتَ معشوقاً يعارُ؟

Wahai pencari pinjaman buku, tinggalkanlah aku
Meminjamkan buku bagiku adalah aib
Kekasihku di dunia ini hanyalah buku
Pernahkah engkau melihat ada kekasih yang dipinjamkan?

Namun, ada juga yang menjawab dengan nada seimbang, mengingatkan bahwa kikir terhadap ilmu pun tercela:

فَلا تمنعْ كتابًا مستعيرًا
 فإنّ البخلَ للإنسانِ عارُ
أَمَا تسمعْ حديثًا من رُواةٍ
 جزاءُ البخلِ عند اللهِ نارُ

Janganlah engkau menolak peminjam kitab,
karena kikir adalah aib manusia.
Tidakkah engkau mendengar dari para perawi,
bahwa balasan bakhil di sisi Allah adalah api neraka?

Ada pula bait yang lebih keras, ditemukan dalam syair lain, hingga mengandung sumpah:

مَن استعارَ كتابي ثمّ أفسدَهُ
اللهُ عذّبَه في النّارِ ألوانا
إنّي حلفتُ يمينًا غيرَ كاذبةٍ
أنْ لَا أُعيرَ كتابي قطُّ إنسانا

Barangsiapa meminjam bukuku lalu merusaknya,
maka Allah akan menyiksanya dengan api neraka berlapis.
Aku telah bersumpah dengan sumpah yang tidak dusta,
bahwa aku takkan pernah meminjamkan bukuku kepada siapa pun.

Bahkan, al-Ṣafadī meriwayatkan tentang Abū ʿAbdillāh al-Bustī (w. 491 H) yang terkenal begitu ketat menjaga koleksi kitabnya. Ia menulis sumpah tegas di halaman bukunya:

إِنِّي حَلَفت يَمِينا غير كَاذِبَة
أَن لَا أعير كتابي الدَّهْر إنْسَانا
إلَّا برهن وإيمان مغلطة
 كَيْلا يضيع كتابي أَيْنَمَا كَانَا

Aku bersumpah dengan sumpah yang benar,
tidak akan kupinjamkan bukuku sepanjang hidup kepada siapa pun.
Kecuali dengan jaminan kuat dan sumpah yang mengikat,
agar bukuku tidak hilang di mana pun ia berada

Syair-syair di atas bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan cermin betapa besar cinta para ulama terhadap ilmu. Mereka melihat buku bukan sekadar benda, melainkan ma‘shūq kekasih sejati. Maka wajar bila mereka merasa kehilangan besar saat bukunya dipinjam lalu tak kembali.

Mungkin di zaman digital, kita tak lagi khawatir buku hilang, karena salinan mudah diperoleh. Tapi pesan klasik para pecinta buku tetap relevan: cintailah ilmu sebagaimana para ulama mencintai kitab-kitab mereka, dengan penuh penjagaan, penghormatan, dan amanah.

Buku ada Masa Dahulu Dikunci

Dulu, buku bukan sekadar tumpukan kertas yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Dan buku bukan sekedar ditata rapi dan dipajang indah, sebagai perhiasan di ruang tamu. Ia adalah perbendaharaan ilmu, pelita yang menerangi kegelapan zaman. Saking berharganya, para ulama, ilmuan dan pemilik perpustakaan meletakkan kitab-kitab mereka di tempat khusus, bahkan mengikatnya dengan rantai besi takut dicuri. 

الكتب عند الغربيين كانت تربط بسلاسل مع الخزانة خوف سرقتها
Di perpustakaan-perpustakaan Islam kuno, atau bahkan di Eropa abad pertengahan, pemandangan itu lazim: deretan kitab berjajar di rak, tetapi tidak bebas disentuh. Setiap buku terikat pada rantai panjang yang membatasi geraknya, seakan-akan ingin berpesan, “Ambillah aku untuk belajar, tetapi jangan pernah bawa aku pergi. Aku milik semua pencari ilmu, bukan hanya satu orang.”

Bayangkan, betapa mulianya pandangan terhadap buku kala itu. Mereka dianggap pusaka, dijaga dengan penuh wibawa, dan diperlakukan seakan-akan lebih berharga daripada emas. Sebab emas hanya memperkaya dunia, tetapi ilmu memperkaya jiwa.
Tradisi pengikatan dengan rantai ini lahir bukan karena ketidakpercayaan kepada manusia, melainkan karena keyakinan bahwa buku terlalu agung untuk hilang sia-sia. Maka, rantai itu bukan sekadar besi, tetapi simbol cinta dan takut: cinta kepada ilmu agar tetap lestari, dan takut bila ia hilang, maka lenyaplah cahaya bagi generasi.

Hari ini, kita mungkin tidak lagi menemukan buku terikat rantai di rak-rak perpustakaan. Tapi “rantai” itu tetap ada ia adalah tanggung jawab moral kita menjaga, menghormati, dan merawat buku, agar ilmu di dalamnya terus bersemi, tidak dicuri oleh kelalaian dan tidak hilang ditelan zaman.

Kira-kira yang dirantai hari ini apa? 😁🤩

Uff (ْأُف) Kata yang Ringan Diucapkan, Tapi Berat Bebannya


Halimi Zuhdy

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Maka janganlah engkau berkata kepada keduanya: ‘Uff!’ dan jangan membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isrā’: 23)

Satu kata. Dua huruf. Tapi menyimpan ledakan makna. Uff (أُفٍّ) bukan sekadar gumaman kelelahan, ia adalah batas paling bawah dari kedurhakaan kepada orang tua.
Kata atau Huruf? Status Gramatikal yang Unik

Para ahli bahasa klasik memperdebatkan, apakah أُفٍّ itu sebuah kata atau hanya huruf semata. Abū al-Baqā’ menegaskan bahwa أُفٍّ adalah isim fi‘l, yaitu kata yang bentuknya seperti isim tetapi mengandung makna perbuatan. Ada yang menafsirkannya seperti fi‘l amr: artinya كُفَّ (tahanlah, hentikan!). Ada pula yang menafsirkannya seperti fi‘l māḍī: كَرِهْتُ (aku jengkel). Ada juga yang memaknainya seperti fi‘l muḍāri‘: أَتَضَجَّرُ (aku merasa terganggu).

Artinya, satu lafaz pendek ini memuat rentang waktu makna: bisa bermakna masa lalu, masa kini, bahkan perintah untuk masa depan.

Akar Etimologis: Debu, Kuku, dan Kejengkelan

Dalam kamus-kamus bahasa Arab (qadim), para ulama menjelaskan akar makna أُفٍّ. Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab menyebut:
“الأف: وسخ يسير تحت الظفر”  “‘Uff’ adalah kotoran halus di bawah kuku.”

Ibn Fāris dalam Maqāyīs al-Lughah menulis:
“أصل الأف: كل مستقذر من وسخ وقلامة ظفر وما يجري مجراها”  “Asal ‘uff’ adalah segala yang menjijikkan: kotoran, potongan kuku, dan semisalnya.”

Awalnya, ‘uff’ menunjuk pada sesuatu yang remeh tapi menjijikkan. Lalu maknanya berkembang menjadi penanda kejengkelan ringan.

Seakan Allah berpesan: “Jangan engkau perlakukan orang tuamu seperti kotoran di bawah kuku, walau hanya lewat satu desahan kecil.”

Ragam Qirā’ah: Menunjukkan Keseriusan Makna

Para qurrā’ berbeda membaca kata ini  menunjukkan betapa lafaz pendek ini diperhatikan amat serius: Ibn Kathīr dan Ibn ‘Āmir membacanya dengan fathah tanpa tanwīn: أُفَّ Nāfi‘ dan Ḥafṣ membacanya dengan kasrah dan tanwīn: أُفٍّ
Qurrā’ lainnya membacanya dengan kasrah tanpa tanwīn: أُفِّ Dalam riwayat syādz juga ada yang membacanya dengan ḍammah

Ini menunjukkan: lafaz ini tidak asal diucapkan  ia diatur, dijaga, dan dimuliakan dalam bacaan Al-Qur’an.

Batas Paling Rendah dari Durhaka

Al-Ṭabarsī meriwayatkan dari Imām ‘Alī al-Riḍā:
“Seandainya Allah mengetahui ada lafaz yang lebih ringan daripada ‘uff’ untuk melarang durhaka kepada orang tua, niscaya Dia akan menyebutnya. Tetapi tidak ada yang lebih ringan daripada ‘uff’.”

Jadi, ‘uff’ adalah titik nol durhaka  ambang paling bawah sebelum dosa besar itu terjadi. Bahkan Mujāhid berkata: “Jika keduanya telah tua, kencing dan buang hajat di tempat tidur, jangan engkau jijik pada mereka, bersihkanlah sebagaimana dulu mereka membersihkanmu saat kecil.”

‘Uff’ lahir dari desahan ringan, tapi mampu menyingkap keadaan hati. Jika diucapkan, ia menunjukkan kejengkelan. Tapi jika ditahan, ia menunjukkan kesabaran dan takwa.

Karena itu, Allah melarang bukan hanya memukul atau membentak, tapi bahkan desahan halus pun tidak boleh.

Menahan “Uff” untuk Meraih Surga

Kata ‘uff’ mengajarkan bahwa takwa sejati sering hadir dalam hal-hal kecil. Bukan selalu dari amal besar, tapi dari menahan satu desahan kepada orang tua. “Ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka keduanya.” (HR. Tirmiżī)

Dan sering kali, pintu surga tertutup bukan karena teriakan keras, tetapi karena satu helaan napas kecil: “uff…”

Menilik Asal Kata "Qalam/قلم"(Dari Batang Qasab hingga Pena Modern)


Halimi Zuhdy

Qolam. Dalam bahasa Arab, kata ini punya akar yang jelas: berasal dari fi’il قَلَمَ yang berarti "memotong" atau "meraut". Mengapa? Karena sejak dahulu batang qasab (sejenis bambu/rumput) diraut ujungnya hingga tajam, lalu dicelupkan ke tinta. Dari situlah lahir istilah qalam, sebuah alat yang diciptakan dari proses pemotongan sederhana, namun melahirkan peradaban besar.
Qalam bukan hanya sebatang bambu yang diraut. Ia adalah simbol ilmu. Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan qalam: ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (QS. Al-Qalam: 1). Sebuah sumpah yang menegaskan bahwa qalam adalah wasilah ilmu pengetahuan dan peradaban.

Manusia purba meninggalkan jejak dengan goresan di dinding gua. Setelah itu lahir alfabet dan berbagai aksara. Tapi menulis dengan tinta baru benar-benar berkembang ketika manusia menemukan “pena” sederhana dari batang alang-alang, bulu burung, atau qasab.

Di dunia Islam, sejak abad ke-7 M, qalam qasab digunakan untuk menyalin mushaf Al-Qur’an. Para khaththath (kaligrafer) memandang qalam bukan sekadar alat tulis, tetapi medium spiritual. Setiap torehan qalam mengandung kesungguhan jiwa, sebab ia menyalin ayat-ayat suci atau ilmu yang kelak diwariskan lintas generasi.

Sejarah mencatat beberapa tahap penting, abad awal Islam (± 600 M): qalam dari batang qasab menjadi standar penulisan mushaf. Kaligrafi berkembang, dari kufi hingga naskhi. Abad pertengahan: di Eropa, pena bulu (quill) mendominasi. Sementara dunia Islam tetap setia pada qalam bambu. Abad ke-19: pena logam dan fountain pen ditemukan. Pada tahun 1884, L. E. Waterman di New York mematenkan fountain pen yang bisa menyimpan tinta. 1938: jurnalis Hungaria, László Bíró, memperkenalkan bolpoin (ballpoint pen) dengan ujung bola kecil yang bisa mengalirkan tinta lebih praktis.

Hari ini: qalam hadir dalam wujud pensil, bolpoin, spidol, hingga stylus digital—namun maknanya tidak berubah: alat untuk menulis, mencatat, dan mengabadikan pikiran.

Mengapa Disebut Qalam?

Jawabannya sederhana: karena ia dipotong. Setiap kali batang qasab diraut, ia menjadi qalam. Bahkan ada pepatah di kalangan penulis Arab: “Qalam tidak disebut qalam sampai ia dibentuk.” Artinya, qalam bukan sekadar batang bambu, melainkan hasil keterampilan meraut dan menyiapkannya.

Dari akar kata itulah, kata qalam berkembang menjadi simbol lain: pena sebagai medium inspirasi (بوح القلم), pena sebagai seni (فن القلم), atau pena sebagai identitas seorang penulis (بقلم فلان).

Meski komputer dan gawai telah mengambil alih banyak fungsi menulis, qalam tetap bertahan. Di sekolah-sekolah, anak-anak belajar menulis dengan pensil. Para kaligrafer masih meraut qalam qasab untuk melatih kesabaran dan keindahan huruf. Bahkan ketika seorang wartawan menandatangani tulisannya, masih ditulis: بقلم فلان ditulis dengan pena si Fulan.

Qalam bukan sekadar alat fisik. Ia adalah jembatan antara akal dan kertas, antara ide dan sejarah. Sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, qalam tetap menjadi saksi bahwa peradaban lahir dari kata-kata yang dituliskan.
Tak Semua Harus Dipahami

Kadang kita merasa ingin didengar, dipahami, atau dimengerti sepenuhnya. Namun, kenyataannya, seperti dalam kisah para Nabi, tidak semua isi hati bisa tersampaikan, dan tidak semua orang mampu merasakan apa yang kita rasakan.
Nabi Yusuf pernah memilih

فَأَسَرَّهَا فِي نَفْسِهِ
"menyimpan sesuat hanya dalam dirinya".

Nabi Ya’qub, ketika hatinya perih, memilih

وَتَوَلَّىٰ عَنْهُم
"berpaling, menahan luka dalam diam". 

Dan Maryam, ketika tak sanggup lagi menjelaskan pada manusia, berkata:

فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
 "hari ini aku takkan bicara dengan seorang pun manusia.”

Semua itu memberi pesan: tidak semua harus diposting. Tidak semua harus dipahami orang lain. Tidak semua rasa bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Di zaman media sosial hari ini, kita sering terjebak pada keinginan untuk terus mengabarkan isi hati: status, story, caption panjang. Padahal, sebesar apapun usaha kita, orang tidak selalu benar-benar mengerti. Mereka bisa menafsirkan sesuka hati, bahkan kadang salah paham.

Dan di titik itulah kita belajar: cukup Allah saja yang tahu seutuhnya.

"فلن يفهموك ولن يشعروا بك، الله وحده الذي سيفعل"
“Mereka takkan memahami, mereka takkan merasakanmu. Allah-lah satu-satunya yang benar-benar tahu dan peduli.”

 Jadi, di tengah hiruk-pikuk dunia digital, mari belajar menenangkan hati. Tak semua keluh kesah harus diumbar, karena ada ruang lebih aman: doa.

Fatwa Cinta #328 ❤️

Menelisik Kota yang tak Pernah Mati, Gaza


Halimi Zuhdy

Adakah sebuah daerah kecil di dunia ini yang mampu bertahan begitu lama, meski terus dihantam perang, blokade, dan penderitaan? Barangkali jawabannya hanya satu: Gaza. Kota mungil di tepi Laut Mediterania itu seolah diciptakan untuk menjadi simbol daya tahan dan keberanian manusia. Sekilas, ia tampak rapuh, tapi berkali-kali sejarah membuktikan, Gaza justru tak pernah benar-benar tumbang.
Gaza bukan kota baru. Ia sudah ada sejak sekitar abad ke-15 SM. Seperti halnya Palestina, nama Gaza punya kisah panjang yang terhubung dengan berbagai peradaban. Kata "Palestina" sendiri berasal dari istilah "Philistia", nama yang diberikan para penulis Yunani untuk menyebut bangsa Filistin yang mendiami kawasan itu sejak abad ke-12 SM. Herodotus, sejarawan Yunani abad ke-5 SM, juga menggunakan istilah "Palaistina" untuk menyebut jalur pantai yang dihuni bangsa tersebut.

Lalu bagaimana dengan kata "Gaza"?
Ada banyak versi. Sebagian ahli menyebutnya dari kata Arab "gazzah" (منعة والقوة) yang berarti “kekuatan dan keberanian”—seolah ingin menggambarkan tabiat penduduknya yang keras dan tangguh. Ada juga yang mengartikannya sebagai "tsarwah" (الثروة) atau “kekayaan,” karena wilayah ini pernah dikenal makmur lewat perdagangan rempah, wewangian, dan karavan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "al-mumtazah" (المميزة) atau “yang istimewa,” tanda kedudukannya yang berbeda dari kota-kota sekitarnya.

Nama Gaza pun berubah-ubah sesuai zaman dan penguasanya. Orang Ibrani menyebutnya "‘Azza", bangsa Kanaan menyebut "Hazati", orang Mesir menyebut "Gazato". Di masa Asyur dan Yunani, namanya berganti "Azati". Pada masa Perang Salib, ia dikenal sebagai "Gadara". Namun, sejak era Turki Utsmani hingga hari ini, nama Arabnya tetap bertahan: غزة ("Ghazza").

Tak hanya punya nama yang berlapis-lapis, Gaza juga menyimpan jejak sejarah dunia. Napoleon Bonaparte pernah singgah di sini pada tahun 1799, menyebut Gaza sebagai “gerbang ke Asia sekaligus pintu menuju Afrika.” Inggris pun menjadikan Gaza medan pertempuran besar pada Perang Dunia I. Lalu di masa modern, kota ini berulang kali berpindah tangan, dari Mesir, Israel, hingga akhirnya menjadi bagian dari wilayah Palestina pasca-Kesepakatan Oslo 1993.

Lebih dari sekadar peta politik, Gaza adalah pusat peradaban kecil yang keras kepala bertahan. Ia dijuluki "Sayyidah al-Bukhur" (سيدة البخور) atau “Nyonya Wewangian,” karena pernah menjadi simpul perdagangan harum rempah yang mendunia. Gaza juga dikenal dengan sebutan "Gaza al-Hashem", untuk menghormati Hasyim bin Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad SAW, yang wafat dan dimakamkan di sana.

Kini, Gaza kembali menjadi sorotan dunia. Namun alih-alih harum rempah, yang tercium adalah bau mesiu dan darah. Sejarah panjangnya seperti terulang: kota kecil ini kembali diuji, digempur, dan ditekan dari segala arah. Tapi Gaza tetap berdiri. Ia menolak tunduk.

Mungkin inilah arti sejati dari namanya "gazzah": kekuatan yang tak pernah padam. Dan bagi kita, Gaza adalah cermin, bahwa sekecil apa pun sebuah bangsa atau wilayah, selama ada daya tahan, keberanian, dan iman, ia bisa tetap hidup meski dunia mencoba mematikannya.

Negeri atau kota yang menjadi guru hari ini, hanyalah Gaza. Semoga Engkau segera merdeka!

Cara Thalhah Mengubah Buruk Sangka Jadi Cahaya


Halimi Zuhdy

Kisah berikut adalah salah satu contoh paling indah tentang husnudhan, berprasangka baik. Kisah ini datang dari sosok mulia, Thalhah bin Abdurrahman bin Auf, seorang Quraisy yang dikenal paling dermawan di masanya.

Suatu hari, istrinya menyampaikan unek-unek dengan nada kesal, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih buruk daripada saudara-saudaramu, wahai suamiku.”
Thalhah terkejut, lalu bertanya lembut, “Mengapa engkau berkata begitu?”

Sang istri menjelaskan, “Aku memperhatikan mereka. Saat engkau memiliki banyak harta, mereka begitu baik dan selalu dekat denganmu. Tapi saat engkau tidak punya apa-apa, mereka meninggalkanmu.”

Mendengar itu, Thalhah justru tersenyum. Dengan tenang ia menjawab, “Demi Allah, justru itu kemuliaan mereka. Mereka mendatangi kita ketika kita mampu menghormati mereka, dan meninggalkan kita ketika kita sedang tak mampu melakukannya.”

Betapa indah cara pandang Thalhah. Ia melihat sesuatu yang bisa dianggap negatif, lalu membaliknya menjadi kebaikan. Inilah buah dari hati yang lapang dan pikiran yang positif. Orang-orang seperti Thalhah akan selalu menemukan cahaya, meski orang lain hanya melihat gelap.

Sikap ini menjadi pelajaran besar. Kadang seorang istri tidak tahan melihat kesabaran suaminya, lalu melontarkan pertanyaan atau bahkan tuduhan yang bisa memancing prasangka buruk. Tetapi, seorang suami yang bijak akan meredam kegelisahan itu dengan hikmah. Ia mengubah sudut pandang, agar hati tetap damai.

Berprasangka baik bukan berarti menutup mata dari kenyataan, tapi menjaga hati agar tidak mudah terjerumus pada buruk sangka. Sebab prasangka itu, apalagi yang salah, bisa berujung pada dosa besar: fitnah dan ghibah. Bahkan kalaupun sebuah keburukan nyata adanya, menyebarkannya tetap tidak dibenarkan dalam agama, apalagi bila menyangkut urusan pribadi.

Thalhah menunjukkan jalan yang indah: ia menyebut saudaranya karim (mulia), padahal sang istri melihatnya sebaliknya. Dari sanalah kita belajar, bahwa husnudhan tidak hanya menenangkan hati, tapi juga mengajarkan kita melihat sesuatu dari sisi yang lebih baik.

Sebagaimana ungkapan indah dalam bahasa Arab:

قالت: أراهم إذا اغتنيت لزِموك، وإذا افتقرت تركوك
قال طلحة: هذا والله من كرم أخلاقهم
يأتوننا في حال قدرتنا على إكرامهم، ويتركوننا في حال العجز عن ذلك.

Sang istri berkata:
“Aku lihat mereka selalu mendekatimu ketika engkau kaya, dan meninggalkanmu ketika engkau miskin.”

Thalhah menjawab:
“Itu, demi Allah, bagian dari kemuliaan akhlak mereka. Mereka datang ketika aku mampu memuliakan mereka, dan pergi ketika aku tidak sanggup melakukannya.”

Indah sekali. Kisah singkat ini meninggalkan pesan besar: lebih baik salah dalam berprasangka baik, daripada benar dalam berprasangka buruk.

Sabtu, 27 September 2025

Memahami Perbedaan Tarbiyah, Ta‘lim, Ta‘allum, dan Tadris

Memahami Perbedaan Tarbiyah, Ta‘lim, Ta‘allum, dan Tadris

Halimi Zuhdy

Dalam percakapan sehari-hari, istilah tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris sering digunakan secara bergantian. Padahal, dalam khazanah bahasa Arab klasik maupun modern, istilah-istilah ini memiliki makna yang berbeda. Seperti kegiatan yang terkait dengan aqlam (pena), ada banyak istilah yang digunakan, walau sama-sama tentang "menulis", seperti; muallif, syair, adib dan lainnya (akan dibahas selanjutnya). 
Dalam beberapa mu'jam dan musthalahat at-tarbawiyah wa at-ta'alim beberapa perbedaan istilah tersebut sebagaimana berikut: 

Tarbiyah (التربية)

Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata ربّى – يربّي yang berarti menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan.

التربية هي عملية شاملة تهدف إلى تنمية الإنسان من جميع جوانبه: العقلية، الجسدية، النفسية، والاجتماعية

Tarbiyah tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk akhlak, menanamkan nilai, serta mempersiapkan seseorang menjadi pribadi yang utuh dan bermanfaat bagi masyarakat.

Ta‘lim (التعليم)

Ta‘lim berasal dari kata علّم – يعلّم yang berarti memberikan ilmu atau pengetahuan.

التعليم هو نقل المعارف والمهارات والمعلومات من المعلّم إلى المتعلّم

Fokusnya adalah penguasaan ilmu dalam bidang tertentu seperti matematika, sains, atau bahasa. Dengan demikian, ta‘lim adalah bagian dari tarbiyah, tetapi cakupannya lebih sempit.

Ta‘allum (التعلّم)

Berbeda dengan ta‘lim yang berpusat pada guru, ta‘allum berpusat pada murid. Kata ini berasal dari pola تفعّل yang menunjukkan usaha aktif dari diri sendiri.

التعلّم هو العملية التي يقوم بها الفرد لاكتساب المعرفة والمهارات من خلال التجربة أو الملاحظة أو الدراسة

Singkatnya, ta‘lim berarti guru mengajar, sedangkan ta‘allum berarti murid belajar.

Tadris (التدريس)

Tadris berasal dari kata درّس – يدرّس yang bermakna mengajarkan secara terstruktur.

التدريس عملية مركبة تشمل التعليم إضافة إلى التخطيط والتقويم والتفاعل الصفي

Dalam dunia modern, tadris identik dengan teaching, yaitu proses profesional di ruang kelas dengan perencanaan, metode, dan evaluasi yang jelas.

Tarbiyah/التربية adalah istilah paling luas karena mencakup pembentukan akhlak, karakter, dan kepribadian. التعليم (Ta‘lim) merujuk pada proses penyampaian ilmu dari guru, sedangkan التعلّم (Ta‘allum) adalah proses belajar aktif dari murid. Adapun التدريس (Tadris) merupakan pengajaran formal yang sistematis dengan metode, perencanaan, dan evaluasi. Dengan memahami perbedaan istilah ini, kita bisa lebih tepat menggunakannya sesuai konteks.

Oh ia, contoh sederhana dari empat istilah di atas; tarbiyah seperti seorang guru yang tidak hanya mengajarkan matematika, tetapi juga membimbing murid agar disiplin, jujur, dan berakhlak baik sedang melakukan tarbiyah, karena mencakup pembentukan karakter dan kepribadian. Ketika guru bahasa Arab menjelaskan kosakata baru di kelas, itu disebut ta‘lim, yaitu aktivitas menyampaikan ilmu. Sementara seorang murid yang belajar sendiri di rumah, membaca buku, mencatat, dan berlatih soal hingga paham sedang melakukan ta‘allum, sebab ia berusaha aktif memahami ilmu.

Adapun ketika seorang dosen mengajar di perguruan tinggi dengan mengikuti silabus, menggunakan metode diskusi, presentasi, serta memberikan ujian akhir semester, maka proses formal dan terstruktur itu disebut tadris. Dengan contoh sederhana ini, perbedaan antara tarbiyah, ta‘lim, ta‘allum, dan tadris menjadi lebih jelas dan mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari.

Maraji' 

ابن منظور، لسان العرب، مادة (ربى، علم، درس)
الراغب الأصفهاني، المفردات في غريب القرآن
عبد السلام دائل، "الفرق بين التعليم والتدريس والتعلّم"، منتدى د. عبد السلام دائل (2012)
مركز التعلّم المرئي، "الفرق بين التعليم والتدريس" (2024)

Menelisik Kata "Luth" dan "Liwath" (Mengurai Kesalah pahaman tentang Nama Nabi Luth)

Menelisik Kata "Luth" dan "Liwath" 
(Mengurai Kesalah pahaman tentang Nama Nabi Luth)

Halimi Zuhdy

Banyak orang beranggapan bahwa istilah liwāṭ (sodomi) berasal dari nama Nabi Luth, sehingga tanpa sadar mereka menilai seolah-olah nama Luth memiliki arti buruk. Pandangan ini tentu keliru, sebab nama para nabi tidak pernah bermakna tercela. Lalu, apa sebenarnya arti dari nama Luth itu sendiri? Dan mengapa perbuatan tercela kaumnya kemudian disebut dengan istilah liwāṭ? Pertanyaan inilah yang perlu ditelisik agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami asal-usul kata tersebut.
Mari kita telusuri: mengapa beliau disebut Luth, dan apa arti nama tersebut?

Sebagian ulama menjelaskan, Nabi Luth dinamakan demikian karena kecintaannya yang mendalam kepada pamannya, Nabi Ibrahim AS. Kata "Luth" bermakna "al-ta‘alluq" (ketautan), "al-ilṣāq" (melekat), dan "al-ḥubb" (cinta). Dengan begitu, nama "Luth" berarti “yang sangat mencintai” (terutama kepada pamannya, Ibrahim AS).

Ada pula pendapat lain yang menyebut "Luth" sebagai nama "‘ajamī" (non-Arab), tanpa derivasi (musytaq). Namun tetap saja, maknanya tidak pernah dikaitkan dengan keburukan. Justru maknanya mulia—cinta dan kedekatan.

Nama Nabi, Bukan Nama Perbuatan

Nabi Luth hidup semasa dengan Nabi Ibrahim (sekitar 1900 SM). Jika Nabi Ibrahim berdakwah di Irak, maka Nabi Luth diutus ke wilayah Sodom dan Gomorah, di sekitar Laut Mati bagian selatan.

Di sinilah terjadi kesalahpahaman besar: istilah Kaum Luth tidak berarti “Luth” itu buruk. Kata tersebut hanyalah "nisbat" (penyandaran), sama seperti “Kaum Nuh”, “Kaum Zakariya”, atau “Kaum Musa”. Sebagian kaum memiliki nama sendiri, seperti "Kaum ‘Ad" (kaumnya Nabi Hud) atau "Kaum Tsamud" (kaumnya Nabi Saleh).

Maka, keburukan itu bukan pada nama Nabi Luth, tetapi pada perbuatan kaumnya. Bahkan istilah "liwath" berasal dari akar kata "la-wa-tha", yakni perbuatan keji berupa homoseksual yang dilakukan kaum Luth. Ada ulama yang menegaskan bahwa istilah itu dikaitkan dengan Nabi Luth karena beliaulah yang menentang keras perilaku menyimpang tersebut.

Para ulama bahasa menegaskan, orang yang melakukan perbuatan kaum Luth—baik sebagai pelaku maupun objek—disebut "lūṭī" (لوطي) "bukan" karena dinisbatkan langsung kepada Nabi Luth, melainkan kepada "kaum Luth".

Dalam kaidah bahasa, sebuah nisbat pada susunan "iḍāfah" bisa bergeser. Ibn Mālik dalam Alfiyah-nya menjelaskan bahwa jika sebuah kata hanya bisa dipahami dengan penyandaran pada kata berikutnya, maka nisbat diarahkan pada kata kedua, bukan pertama:

وانسب لصدر جملة و صدر ما
ركب مزجا ولثان تمما
إضافة مبدؤة بابن أو أب
 أو ما له التعريف بالثاني وجب

Artinya, nisbat “luwāṭ” (اللواط) diarahkan pada qawm Lūṭ (kaum Luth), bukan pada Nabi Luth sendiri. Lebih dari itu, al-liwāṭ adalah masdar dari fi‘il lāwaṭa (لاوط) yang berarti “melakukan perbuatan kaum Luth”. Jadi, sekali lagi, itu adalah nisbat pada perbuatan kaum, bukan pada nabi.

Al-Qur’an pun sangat jelas: Nabi Luth bukan pelaku, melainkan penentang paling keras. Beliau berkata:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
 (QS. An-Naml: 54–55)

Namun kaum Luth justru menjawab dengan congkak:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
 (QS. An-Naml: 56)

Dan ketika azab Allah turun, negeri mereka dibalikkan dan dihujani batu dari langit:

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
 (QS. Hūd: 82–83)

Dengan ini, jelas bahwa istilah liwāṭ adalah cap bagi perbuatan tercela kaum Luth, sedangkan Nabi Luth sendiri adalah nabi mulia yang bersih dari hal tersebut.

 Sekilas Tentang Nabi Luth

Yuk, kita lirik sekilas tentang Nabi Luth. Nabi Luth bin Haran bin Azar adalah keponakan Nabi Ibrahim AS. Nama beliau disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 17 kali. Allah mengutusnya kepada kaum Sodom, sebuah perkampungan yang terletak antara Syam dan Hijaz (sekarang sekitar Yordania). Sodom sendiri terdiri dari beberapa desa, bahkan sebagian riwayat menyebut hingga sepuluh perkampungan.

Sayangnya, justru di tempat itulah lahir salah satu bentuk penyimpangan moral terbesar dalam sejarah manusia. Kaum Luth tidak hanya mendustakan risalah kenabian, tetapi juga menormalisasi perbuatan keji yang kemudian dikenal sebagai liwath.

Dari penelusuran ini jelas, bahwa nama Nabi Luth sama sekali tidak bermakna buruk. Beliau adalah nabi mulia yang namanya mengandung arti cinta dan kedekatan. Keburukan itu lahir dari perbuatan kaumnya, bukan dari diri beliau.

Menyamakan Luth dengan LGBT adalah kekeliruan serius. Justru Nabi Luth adalah sosok yang berdiri di garis depan untuk menentang penyimpangan itu, hingga Allah menurunkan azab besar kepada kaumnya.

Maraji‘:
Maudhu‘ Asma’ al-Anbiya’
Tafsir Al-Qur’an (QS. Hūd, QS. An-Naml, dan lainnya)
Kaidah Alfiyah Ibn Malik tentang nisbat

Kamis, 14 Agustus 2025

Faidah; tiga kata yang sering dianggap sama, tapi sebenarnya berbeda اعلم،افهم، dan اعرف


Halimi Zuhdy

Menarik apa yang disampaikan Dr. Nuri dalam Tahqiq al-Makhthuth fi Awraq al-jamiah. Beliau mengutip syarah al-Kafiyah karya Syihabuddin al-Hindi tentang ketelitian para ulama klasik dalam menulis kitab, seperti kata: i'lam, ifham dan i'rif. 
Mari kita lirik, di tengah riuhnya dunia digital hari ini, kita bisa menulis dan menyebarkan apa saja dalam hitungan detik. Tapi para penulis klasik dalam tradisi keilmuan Arab punya cara pandang yang berbeda. Bagi mereka, memilih satu kata bukan sekadar soal selera atau gaya. Ia adalah keputusan ilmiah. Dan, ini sangat berpengaruh sekali pada pemahaman generasi selanjutnya, terutama di era ini. Era ngetik keluar kata-kata. 

Yuk! Kita lihat salah satu contohnya tampak dalam kebiasaan para penulis syarah (penjelasan) dan hasyiah (komentar kritis) saat mereka membuka atau menekankan bagian penting tulisan dengan kata-kata seperti: i'lam/اعلم (ketahuilah), ifham/افهم (pahamilah), atau i'rif/اعرف (camkanlah). Sekilas, bila kita tilik, ketiganya tampak sama. Tapi di balik kesamaan itu, tersembunyi perbedaan makna yang tajam dan menarik. Dan mungkin, kalau kita menulis hari ini (mungkin lo), cukup menuliskan "i'lam" saja.he

Dalam sebuah komentar terhadap Syarḥ al-Kāfiyah karya Syihabuddin al-Hindi (w. 849 H), seorang ulama menyoroti secara spesifik alasan penggunaan kata "faa'rif/فاعرف. Bukan "fa'lam/فاعلم", bukan pula "ifham/افهم". Alasannya, karena konteks kalimat yang dimaksud adalah suatu poin yang rinci, penuh kerumitan, dan berpotensi membuat pembaca tersesat dalam pemahaman. Maka, kata "i'rif/اعرف" dipilih karena ia “tepat sasaran” mengarah langsung pada makna yang spesifik.

Bandingkan dengan "i'lam/اعلم", yang lebih cocok untuk menjelaskan prinsip-prinsip besar, kaidah-kaidah umum, atau kesimpulan global dari suatu ilmu. Kata ini bersifat deklaratif ia menyampaikan, bukan menajamkan.

Sementara itu kata "ifham/افهم", memiliki cakupan makna yang lebih longgar. Ia bisa dipakai di banyak tempat, baik saat menyajikan contoh maupun saat memancing perhatian. Tapi justru karena sifatnya yang umum itulah, "ifham/افهم" kadang tak cukup kuat untuk menjelaskan maksud yang terlalu spesifik.

 وقد وجدت نصّاً في إحدى الحواشي على شرح الكافية للهندي الزوالي (ت849هـ) يفرّق بين بعض هذه الألفاظ؛ إذ يقول: (وحيثُ كان كلامُهُ -[أي شهاب الدين الهندي صاحب شرح الكافية]- مشتملا على دقّةٍ، وغموض بحيث يتحيّر فيه كثيرٌ من العقلاء أمرَ في خاتمته بالمعرفة المُنجية عن وصمة الحيرة فقال: (فاعرف) اختاره على (فاعلم) و (افهم)؛ لأن المراد الأمر بإدراك هذا الحكم الجزئي، والعلم مستعمل في الكليات، والفهم عامّ، والمعرفة نصّ في المقصود، فبالحري أن يأمر بالمعرفة (فاعرف)).ومن هذا النصّ يمكن تلمّس الفروق:1/ (اعرف) يستعمل في الأمور الجزئية المشتملة على دقة وغموض، وهي نص في المقصود.2/ (اعلم) يستعمل في الأمور الكلية العامة.3/ 

Mungkin sederhananya adalah bahwa kata-kata seperti i'lam, a'rif dan ifham memiliki makna dan fungsi yang berbeda meskipun sering dianggap serupa. Kata "i'rif/اعرف" digunakan untuk menyampaikan pengetahuan tentang hal-hal yang rinci, rumit, dan memerlukan ketelitian tinggi karena ia secara langsung menunjuk pada maksud yang spesifik. Sedangkan kata, "i'lam/اعلم" lebih cocok digunakan untuk menyampaikan prinsip-prinsip umum atau informasi yang bersifat menyeluruh. Adapun "ifham/افهم" bersifat lebih umum dan fleksibel, dapat digunakan dalam berbagai konteks, namun tidak setajam "i'rif/اعرف" dalam menyoroti hal penting, dan tidak seumum "i'lam/اعلم dalam menyampaikan kaidah. Pemilihan kata ini dalam teks-teks klasik menunjukkan betapa pentingnya ketepatan bahasa dalam menyampaikan makna secara ilmiah dan mendalam.

Allahu'alam bishawab.

***
Foto hanyalah pemanis

Hidup Paling Nikmat


(Jangan Tinggalkan 3 Hal dalam Hidup)

Halimi Zuhdy

Kadang saya iri pada tukang becak yang bisa mendengkur di atas becaknya meski matahari terik. Tidurnya lelap sekali. Saya juga iri pada para petani yang makan lahap di pinggir sawah walau hanya ikan kering dan sayur sederhana. Nelayan yang diterpa ombak pun tampak nyaman seakan perahunya rumah paling damai. Atau para pemulung dan tukang sampah yang menyeruput kopi di tumpukan sampah, tak peduli bau menyengat, mereka tertawa bebas bersama kawan-kawannya. Asyik betul. Dulu waktu ikut orang ke kebun, nasi jagung, sayur maronggih, sambal acan, dan ikan kering adalah hidangan paling nikmat. Sampai hari ini, belum ada tandingannya. Aha.
Saya jadi teringat pesan seorang al-Hakim (orang bijak):

قال حكيمٌ لابنه: يا بنيّ، في حياتك لا تتنازل عن ثلاثة: أن تأكل أفضل الطعام، وتنام على أفضل الفراش، وتسكن في أفضل البيوت. فقال الابن: نحن فقراء، فكيف لي أن أفعل ذلك؟ فقال الحكيم: إذا أكلتَ فقط عندما تجوع، سيكون ما تأكله أفضل طعام. وإذا عملتَ كثيرًا وأنت متعب، سيكون فراشك أفضل فراش. وإذا عاملتَ الناس بالمعروف، سَتسكن في قلوبهم، وبهذا تكون سكنتَ في أفضل البيوت.

Seorang lelaki bijak berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dalam hidup jangan pernah menyerah pada tiga hal: makanlah makanan terbaik, tidurlah di ranjang terbaik, dan tinggallah di rumah terbaik.” Anaknya menjawab, “Kita ini miskin. Bagaimana mungkin?” Si bijak berkata, “Jika kamu makan hanya ketika benar-benar lapar, apa pun yang kau makan akan terasa sebagai makanan terbaik. Jika kamu bekerja keras hingga lelah, tempat tidur apa pun akan menjadi paling nyaman. Dan jika kamu memperlakukan orang-orang dengan kebaikan, kamu akan tinggal di dalam hati mereka, itulah rumah terbaik.”
Pengalaman pribadi: waktu di pesantren, apa pun terasa enak. Tidur di mana pun nyenyak. Bahagia karena bersama teman-teman senasib; ngaji jauh pun ditempuh dengan gembira. Tidak kenal restoran, hotel, atau kafe. Makan ya duduk di dapur, kadang aroma sedap bercampur bau kamar mandi tetap saja lahap. 🤣

Ada lagi pesan kiai yang selalu saya ingat: “Santri kalau mau sukses lakukan tiga hal: satu, perbanyak tidur; dua, perbanyak makan; dan yang paling penting nomor tiga: kurangi belajar.”

Kita heran: kok bisa sukses kalau belajar justru dikurangi, sementara makan dan tidur diperbanyak? Kiai lalu menjelaskan sambil tersenyum. Maksud “perbanyak makan” adalah: santri akan makan lahap kalau belajarnya “berkurang” bukan malas, tapi selalu merasa kurang dalam belajar. Baca satu halaman kitab terasa belum cukup; lanjut lagi, dan lagi. Haus ilmu. Rakus kebaikan. Karena belajar tak pernah selesai, lapar pun gampang datang—makan jadi nikmat. Lelah belajar membuat tidur singkat pun terasa panjang dan pulas; inilah makna “perbanyak tidur.” Bukan jumlah jamnya, tapi kualitas tidurnya.

Jadi, apa yang disampaikan al-Hakim: hidup itu paling nikmat justru lewat letih yang bermakna. Al-ajru ba‘da ta‘ab pahala (dan kenikmatan) datang setelah lelah.

Banyuwangi, 17 Juli 2025

***
Gambar diambil dari OmanisForTolerance. com

Fatwa vs Petuah: Menilik Asal Kata dan Implikasi Hukumnya


Halimi Zuhdy

Beberapa hari terakhir, kita sering mendengar kata “fatwa” dikaitkan dengan isu Sound Horeg. Ada yang menyetujui, ada yang menolak, meski sebagian penolakan, setahu al-faqir, tidak disertai telaah hukum yang merujuk pada turats. Di saat yang sama, kita juga akrab dengan kata “petuah.” Keduanya kerap bersumber dari lisan tokoh agama, kiai, atau ustaz; beredar luas, jadi kutipan viral, lalu memengaruhi cara publik bersikap. Mirip? Ya. Sama? Tidak selalu. Ada hubungan historis di antara keduanya, tetapi makna dan konsekuensi hukumnya berbeda.
Dalam bahasa Arab, fatwa (فتوى) berarti jawaban atau penetapan hukum yang diberikan seorang mufti terhadap persoalan syariat. Di Indonesia (dan sebelumnya di ranah Melayu), istilah ini diadopsi dan mengalami perubahan. Secara fonologis, bunyi “f” dalam fatwa sering bergeser menjadi “p” dalam ujaran lokal, sebagaimana fikr = pikir; fiqh = pikih (dalam beberapa dialek). Dari sinilah muncul bentuk petuah. Secara semantis, makna teknis-hukum “fatwa” meluas dan melunak menjadi “nasihat bijak,” “wejangan moral,” atau “pesan hidup” yakni petuah. Proses ini mencerminkan kulturalisasi istilah Arab ke dalam lingkungan lokal yang lebih menonjolkan nilai kebijaksanaan sehari-hari ketimbang ketetapan hukum formal.

Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, petuah hadir di banyak ruang: nasihat orang tua kepada anak, wejangan guru kepada murid, pitutur kiai kampung kepada jamaahnya. Petuah tidak bersifat mengikat secara hukum; ia mengajak, mengingatkan, menuntun. Contoh sederhana: seorang ibu berkata, “Jangan pelit, nanti rezekimu seret.” Itu petuah. Tidak ada sitiran kitab fiqih atau pasal hukum. Yang ada: pengalaman, kasih sayang, dan kebijaksanaan. (Meski kadang, kalau mau dicari, bisa saja ditemukan dalil pendukungnya.)

Berbeda dengan petuah, fatwa berakar langsung pada tradisi Islam klasik. Ia merupakan penjelasan atau keputusan hukum syar’i atas suatu persoalan, dikeluarkan oleh mufti atau lembaga berwenang misalnya MUI pada konteks Indonesia. Fatwa bisa merespons pertanyaan umat: “Apakah vaksin ini halal?” “Bagaimana hukum penggunaan teknologi tertentu?” “Bolehkah menikah beda agama?” Fatwa disusun dengan metode istinbath: menimbang nash, ijma’, qiyas, maqashid, dan perangkat ushul lain. Ia tidak otomatis setara dengan putusan pengadilan agama, tetapi dapat menjadi dasar kebijakan negara maupun rujukan moral-hukum bagi individu Muslim. (Kasus hangat: polemik ‘Fatwa Sound Horeg’.)

Dalam khazanah Melayu dan Jawa klasik, kata fatwa kadang dipakai longgar. Ungkapan “fatwa raja” pada sejumlah naskah lama dapat bermakna petunjuk atau nasihat, bukan keputusan hukum agama yang formal. Dari ruang makna longgar inilah petuah muncul sebagai bentuk budaya turunan rasa dari fatwa dengan nada lebih lembut, akrab, dan etis.

Masalahnya, pergeseran makna ini dapat memunculkan kerancuan. Tidak semua ucapan tokoh agama otomatis berstatus fatwa. Bisa jadi itu hanya petuah pribadi, motivasi, atau opini yang bersandar pada pengalaman, bukan hasil kajian hukum. Sebaliknya, ada orang yang menyepelekan fatwa sah karena mengira semuanya sekadar nasihat.

Agar tidak salah paham, mari ringkas perbedaannya: Petuah: bernuansa etis, moral, kultural; tidak mengikat secara hukum. Fatwa: bernuansa syar’i; merespons persoalan hukum; dikeluarkan otoritas (mufti/lembaga).

Contoh: seorang kiai berkata, “Biasakan bangun pagi, itu sunnah Rasul.” Dalam banyak konteks Nusantara, ini diterima sebagai petuah—dorongan akhlak. Tetapi jika kiai diminta menjelaskan hukum tidur setelah Subuh, lalu memaparkan status makruh atau mubah berdasarkan kitab fiqih, itu sudah memasuki wilayah fatwa.

Mengira petuah sebagai fatwa dapat menimbulkan kebekuan: semua nasihat seakan wajib ditaati, lalu muncul sikap menghakimi. Sebaliknya, menganggap fatwa hanya opini membuat umat ringan mengabaikan bimbingan syar’i yang seharusnya diperhatikan. Di tengah riuh media sosial, batas antara candaan, kutipan kitab, petuah kultural, dan fatwa otoritatif makin kabur—karena potongan video, caption pendek, dan headline klikbait.

Baik petuah maupun fatwa memiliki peran penting. Petuah membentuk rasa, karakter, adab, sensitivitas moral. Fatwa memberi arah hukum: halal-haram, boleh-tidak, sah-batal, maslahat-mafsadat. Keduanya saling menguatkan bila ditempatkan proporsional. Yang bahaya adalah dua ujung ekstrem: menjadikan petuah sebagai alat memaksa, atau menurunkan fatwa menjadi sekadar pendapat ringan.

Mari lebih teliti saat menerima pernyataan keagamaan: ini petuah, fatwa, atau sekadar komentar? Tanyakan konteks, sumber, dan otoritasnya. Dengan begitu, kita bisa berdialektika tanpa mudah memvonis, dan tetap menjaga maslahat umat.

Wallahualma Bishawab 

***
Foto diambil dari omanisForTolerance. Com

Perbedaan Walad dan Ibnu dalam Al-Qur'an


Halimi Zuhdy

Menarik bila menilik kata "anak" dalam Al-Qur'an. Anak yang digambarkan dengan banyak hal, di antaranya sebagai: musuh, cobaan atau fitnah, hiasan, dan sebagai penyejuk hati. Dalam Al-Qur'an juga penyebutan anak terdapat beberapa kata, di antaranya adalah walad dan ibnu. Dan setiap peletakan kata dalam Al-Qur'an, memiliki arti, makna dan maksud sendiri? 
Dalam Mu’jam Al-Ma’ani, kata walad/وَلَد bermakna segala sesuatu yang dilahirkan, baik laki-laki maupun perempuan, tunggal maupun jamak. Kata ini mencakup arti yang lebih umum, bukan hanya terbatas pada anak laki-laki. Bentuk jamaknya antara lain wildah/أولاد, wuld/ولد, wildan/ولدان, wildah/ولدة. Sebagai kata kerja, وَلَدَ berarti melahirkan atau membantu melahirkan (misalnya peran bidan), juga dapat bermakna melahirkan sesuatu dalam arti kiasan, seperti menimbulkan kebencian (وَلَد أحقادًا) atau memunculkan ide (وَلَد الشخص الكلام). Dengan demikian, وَلَد lebih luas penggunaannya dan mencakup makna biologis maupun kiasan.

Sedangkan ibnu/اِبْن secara khusus digunakan untuk menyebut anak laki-laki yang dinisbahkan kepada ayahnya. Kata ini menekankan hubungan keturunan atau nasab, seperti ungkapan فلان ابن فلان (si Fulan anaknya si Fulan). Dalam bentuk tasghirnya (بُنَيّ), kata ini digunakan sebagai panggilan kasih sayang, seperti "anakku" atau "wahai anak muda". Ibnu/اِبْن tidak digunakan untuk anak perempuan, melainkan hanya untuk anak laki-laki dan lebih menitikberatkan pada garis keturunan atau hubungan keluarga secara langsung.

Dalam Al-Lamasat Al-Bayaniyah, perbedaan antara abna'/ الأبناء dan aulad/الأولاد menurut Dr. Fadhil Al-Samarrai abna'/الأبناء adalah jamak dari ibnu/ابن yang berarti anak laki-laki. Contoh: "يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ" (QS. Al-Baqarah: 49) yang maksudnya hanya anak laki-laki.
Aulad/الأولاد adalah jamak dari walad/ولد yang mencakup laki-laki dan perempuan. Contoh: "يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ" (QS. An-Nisa: 11) yang mencakup kedua jenis kelamin.

Menarik apa yang disampaikan oleh Dr. Ahmad Abdu al-Dhahir dalam Rihab Lugha al-Qur'an al-walad wal ibnu. Perbedaan antara ibn/ابن dan walad/ولد terkait hubungan dengan ayah atau orang tua dapat diringkas begini: kata walad meniscayakan adanya proses kelahiran biologis—seseorang disebut walid/والد hanya jika ia benar‑benar memiliki anak yang ia lahirkan (dari sulbi/rahimnya); sementara ibn tidak mensyaratkan lahir biologis, melainkan nisbah atau keterkaitan kepada seorang ab/أب, dan kata "ab" sendiri dalam pemakaian Arab lebih longgar (misalnya kunyah “Abu Fulan” bisa dipakai meski tidak melahirkan Fulan). Dari sini lahirlah konsep “tabannî” (adopsi/pengasuhan): siapa pun yang engkau besarkan dan rawat dapat secara bahasa dan (dalam konteks tertentu) secara hukum disebut ibn‑mu, meskipun bukan anak kandung. 

Adapun "walad" lazim dipakai untuk anak kandung secara khusus. Karena cakupannya yang terkait langsung dengan kelahiran nyata—dan dapat mencakup laki‑laki maupun perempuan, Al‑Qur’an ketika menjelaskan hukum waris menggunakan bentuk al‑awlâd / walad (mis. “يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ” dan “إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ” \[an‑Nisâ’ 4:11]) alih‑alih memakai ibn atau bint, guna menegaskan status anak kandung dan membedakan bagian waris antara laki‑laki dan perempuan dalam teks yang bersifat hukum.

Malang-Solo, 21 Juli 2025

Mendengar” dalam Perspektif Al-Qur’an(Perbedaan: sam', istima', isgha, inshat)

Halimi Zuhdy

Setelah saya menulis tentang "Kyai Tidak Memihak orang Desa?" dan "Fatwa vs Petuah",  kok ingin menulis tetang "fiqih", "fahm", "faqih", "fahim" dan beberapa hal terkait denga pemahaman teks agama. Mengapa? Karena tidak sedikit yang merasa paham, tidak benar-benar paham. Ada yang dianggap benar-benar paham (teks agama, dalil dll), tapi, tidak mengerti maksudnya. Maka, dalam hal ini ada istilah "ikhtilaf darajatil ulama fi fahm wal fiqhi". Bahasanya Gus Rijal Mumazziq Z, berbeda antara al-faqih wal mutafaqqih. Sebelum ke persoalan yang lebih rumit; fiqih dan fahm. Ada yang sebenarnya "derajat pendengaran yang kadang lupa dipahami. He. 
Di tengah hiruk pikuk persoalan per-Horegan, kita sering kali hanya “mendengar” hukum haram tanpa benar-benar memahami maksud-nya. Bahkan, yang menolak mentah-mentah tidak membaca teks keharamannya. Ini perbedaan tahu, mengerti, paham, dan istilah lainnya. Dan istilah dalam bahasa Arab tambah rumit dan banyak sekali. Coba, kita mulai dari pemahaman kata "mendengar" dalam Al-Qur'an. Karena persoalan Horeg, adalah persoalan kuping🤣telinga dan udzun.

Lah, ada yang hanya sering “mendengar” tanpa benar-benar mendengarkan. Suara masuk ke telinga, tetapi hati tetap tertutup. Dalam Al-Qur’an, kata السَّمْع/as-sam‘/mendengar bukan sekadar fungsi biologis, melainkan sebuah proses kesadaran. Ia menjadi gerbang bagi manusia untuk memahami kebenaran.

Menariknya, Al-Qur’an tidak hanya menyebut satu istilah untuk mendengar, tetapi membedakannya dalam empat tingkatan: السَّمْع/sam‘, الاستماع/istima‘, الإصغاء/ishgha‘, dan الإنصات/insat. Perbedaan ini bukan hanya soal kata sajo, tapi menggambarkan kedalaman sikap batin terhadap apa yang kita dengar.

Tingkatan pertama adalah السمع/sam‘, yakni sekadar mendengar suara tanpa memahami maknanya. Al-Qur’an mengibaratkan orang kafir seperti ternak yang hanya mendengar panggilan tanpa mengerti maksudnya (QS. Al-Baqarah: 171). Ini bukan sekadar perumpamaan, tetapi kritik tajam terhadap mereka yang telinganya berfungsi, tetapi hatinya tertutup.

Berikutnya adalah الاستماع/istima'. Berbeda dengan sam‘ dan istima‘ adalah mendengar dengan kesadaran, fokus, dan niat mengambil pelajaran. Kata ini dipakai ketika Al-Qur’an menceritakan sekelompok jin yang datang “mendengarkan (يستمعون) Al-Qur’an” (QS. Al-Ahqaf: 29). Ada usaha, ada perhatian, ada keseriusan untuk memahami.

Berikutnya, yang ketiga adalah الإصغاء/Ishgha‘ adalah mendengar yang melibatkan hati. Ini bukan sekadar soal telinga, tetapi bagaimana suara itu menyentuh batin. Menariknya, kata صغت قلوبكما dalam QS. At-Tahrim: 4 memiliki akar kata yang sama dengan ishgha‘, menunjukkan bahwa mendengar yang sejati lahir dari hati yang jernih. Ini, agak rumit juga. Tapi, mudah dipahami. 

Terrahkhir adalah الإنصات/Inshat berarti diam dan memberikan perhatian penuh. Saat Al-Qur’an dibacakan, Allah memerintahkan: “Dengarkanlah (فاستمعوا) dan diamlah (أنصتوا), agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A‘raf: 204). Ini adalah bentuk mendengar yang disertai penghormatan, bukan sekadar proses fisik. Bisa dilihat di vedio YT Lil Jamik (lebih lengkap)

Al-Qur’an berkali-kali menyebut bahwa pendengaran erat kaitannya dengan hati. Jika hati tertutup, telinga seolah-olah ikut tuli. Dalam QS. Al-An‘am: 25 disebutkan:
{ وَمِنۡهُم مَّن یَسۡتَمِعُ إِلَیۡكَۖ وَجَعَلۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ أَكِنَّةً أَن یَفۡقَهُوهُ وَفِیۤ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرࣰاۚ وَإِن یَرَوۡا۟ كُلَّ ءَایَةࣲ لَّا یُؤۡمِنُوا۟ بِهَاۖ حَتَّىٰۤ إِذَا جَاۤءُوكَ یُجَـٰدِلُونَكَ یَقُولُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوۤا۟ إِنۡ هَـٰذَاۤ إِلَّاۤ أَسَـٰطِیرُ ٱلۡأَوَّلِینَ }

Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “Ini (Al-Qur`ān) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” Para mufasir seperti Al-Tabari menegaskan bahwa hati yang keras ibarat telinga yang tak lagi berguna. Orang seperti ini bukan tidak bisa mendengar, tetapi tidak mau mendengarkan.

Al-Qur’an menggambarkan pendengaran sebagai salah satu bentuk kenikmatan di akhirat. Orang beriman hanya akan mendengar salam dan ucapan damai (QS. Al-Waqi‘ah: 25-26). Sebaliknya, orang kafir yang menutup telinga di dunia akan merasakan kebisuan telinga di akhirat (QS. Al-Anbiya: 100).

Mengapa Pendengaran Disebut Lebih Dahulu?

Penelitian modern menunjukkan bahwa indra pendengaran adalah yang pertama berkembang pada janin, lebih awal daripada penglihatan. Fakta ini selaras dengan urutan penyebutan dalam Al-Qur’an yang sering mendahulukan kata السَّمْع/as-sma (pendengaran) daripada البصر/al-bashar (penglihatan). Ini bukan kebetulan, tetapi ketelian bahasa Al-Qur'an. Diqqah balighah. 

Allhu'alam bishawab

Surakarta, 22 Juli 2025