السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Minggu, 28 September 2025

Menelisik Kota yang tak Pernah Mati, Gaza


Halimi Zuhdy

Adakah sebuah daerah kecil di dunia ini yang mampu bertahan begitu lama, meski terus dihantam perang, blokade, dan penderitaan? Barangkali jawabannya hanya satu: Gaza. Kota mungil di tepi Laut Mediterania itu seolah diciptakan untuk menjadi simbol daya tahan dan keberanian manusia. Sekilas, ia tampak rapuh, tapi berkali-kali sejarah membuktikan, Gaza justru tak pernah benar-benar tumbang.
Gaza bukan kota baru. Ia sudah ada sejak sekitar abad ke-15 SM. Seperti halnya Palestina, nama Gaza punya kisah panjang yang terhubung dengan berbagai peradaban. Kata "Palestina" sendiri berasal dari istilah "Philistia", nama yang diberikan para penulis Yunani untuk menyebut bangsa Filistin yang mendiami kawasan itu sejak abad ke-12 SM. Herodotus, sejarawan Yunani abad ke-5 SM, juga menggunakan istilah "Palaistina" untuk menyebut jalur pantai yang dihuni bangsa tersebut.

Lalu bagaimana dengan kata "Gaza"?
Ada banyak versi. Sebagian ahli menyebutnya dari kata Arab "gazzah" (منعة والقوة) yang berarti “kekuatan dan keberanian”—seolah ingin menggambarkan tabiat penduduknya yang keras dan tangguh. Ada juga yang mengartikannya sebagai "tsarwah" (الثروة) atau “kekayaan,” karena wilayah ini pernah dikenal makmur lewat perdagangan rempah, wewangian, dan karavan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "al-mumtazah" (المميزة) atau “yang istimewa,” tanda kedudukannya yang berbeda dari kota-kota sekitarnya.

Nama Gaza pun berubah-ubah sesuai zaman dan penguasanya. Orang Ibrani menyebutnya "‘Azza", bangsa Kanaan menyebut "Hazati", orang Mesir menyebut "Gazato". Di masa Asyur dan Yunani, namanya berganti "Azati". Pada masa Perang Salib, ia dikenal sebagai "Gadara". Namun, sejak era Turki Utsmani hingga hari ini, nama Arabnya tetap bertahan: غزة ("Ghazza").

Tak hanya punya nama yang berlapis-lapis, Gaza juga menyimpan jejak sejarah dunia. Napoleon Bonaparte pernah singgah di sini pada tahun 1799, menyebut Gaza sebagai “gerbang ke Asia sekaligus pintu menuju Afrika.” Inggris pun menjadikan Gaza medan pertempuran besar pada Perang Dunia I. Lalu di masa modern, kota ini berulang kali berpindah tangan, dari Mesir, Israel, hingga akhirnya menjadi bagian dari wilayah Palestina pasca-Kesepakatan Oslo 1993.

Lebih dari sekadar peta politik, Gaza adalah pusat peradaban kecil yang keras kepala bertahan. Ia dijuluki "Sayyidah al-Bukhur" (سيدة البخور) atau “Nyonya Wewangian,” karena pernah menjadi simpul perdagangan harum rempah yang mendunia. Gaza juga dikenal dengan sebutan "Gaza al-Hashem", untuk menghormati Hasyim bin Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad SAW, yang wafat dan dimakamkan di sana.

Kini, Gaza kembali menjadi sorotan dunia. Namun alih-alih harum rempah, yang tercium adalah bau mesiu dan darah. Sejarah panjangnya seperti terulang: kota kecil ini kembali diuji, digempur, dan ditekan dari segala arah. Tapi Gaza tetap berdiri. Ia menolak tunduk.

Mungkin inilah arti sejati dari namanya "gazzah": kekuatan yang tak pernah padam. Dan bagi kita, Gaza adalah cermin, bahwa sekecil apa pun sebuah bangsa atau wilayah, selama ada daya tahan, keberanian, dan iman, ia bisa tetap hidup meski dunia mencoba mematikannya.

Negeri atau kota yang menjadi guru hari ini, hanyalah Gaza. Semoga Engkau segera merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar