Halimi Zuhdy
Madih Nabawi, puisi yang memuji Rasulullah SAW, bukan sekadar karya sastra, tetapi sebuah perjalanan cinta. Ia lahir sejak detik pertama kelahiran sang Nabi, ketika kakeknya, Abdul Muthalib, menatap cucu bercahaya lalu bersyair:
وأنت لما ولدت أشرقت الأرض وضاءت بنورك الأفق
Saat engkau lahir, bumi pun bercahaya, dan cakrawala bersinar oleh nurmu.
Dari bait sederhana itu, lahirlah tradisi panjang: puisi yang bukan hanya bercerita, tetapi mengabadikan kerinduan.
Kasidah-kasidah madah (pujian) pada Rasulullah tidak pernah usai. Sebelum terutusnya menjadi seorang Nabi, pujian-pujian itu mengalir deras kepada Abu al-Qasim. Akhlaqnya yang begitu agung menjadi magnet bagi penyair-penyair Arab untuk dinarasikan dalam lontar-lontar mulia. Misalnya, Waraqah bin Naufal membacakan puisinya di hadapan Sayyidah Khadijah Al-Kubra, tentang akhlak Nabi Muhammad yang akan diutus. Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah al-Anshari bin al-Umr al-Qais (W 8 H) termasuk tiga penyair hebat yang dengan gigih menghadang serangan-serangan orang musyrik dengan kasidah-kasidah indahnya, serta pujian-pujian indah tentang pribadi Rasulullah.
Al-A’sya Maimun bin Qais (W 8 H), yang dijuluki Al-A’sya (Rabun), salah satu penyair Jahiliyah Ashhabul Mu’allaqat. Juga memuji-muji Rasulullah sangat indah, walau hidayat belum menyertai kematiannya. Nabiuun yara mala tarauna wa dzukruhu aghara la’amri fi al-biladi wa anjada. Abdullah bin al-Zab’ary (W 15 H), penentang keras Islam dan Nabi Muhammad, sebelum memeluk Islam, setelah mengenal lebih jauh Islam dan Nabi Muhammad, kasidah-kasidah Indah mengalir mengitu lembut tentang seorang Muhammad, Rasulullah. Abbas bin Midras (w 18 H), masuk Islam setelah bermimpi Rasulullah, Ketika bangun dari tidurnya, membakar semua patung-patungnya. Pujian tentang Nabi ukir sangat indah, Inna al-Ilah bana ‘alaika mahammadan.
Ratusan penyair dari berbagai masa, dari sebelum Hijrah sampai ribuan tahun setelahnya (tahun 1430 H) mereka menggambarkan keagungan Nabi Muhammad, akhlaknya yang sangat agung, seperti Penyair India; Kamala Saraya (1430 H). Walid al-‘Adhami (1425), Abdullah al-Barduni (1420 H), Nizar Qabbani (1419 H), Muhammad Amin al-Quthbi (1404 H)
Para peneliti berbeda pendapat: ada yang meyakini madih nabawi muncul sejak era Nabi, dibawa oleh suara Ḥassān ibn Thābit, Kʿab ibn Mālik, dan Kʿab ibn Zuhayr—penyair yang syairnya “Bānat Suʿād” diabadikan Nabi dengan hadiah burdah suci. Namun ada juga yang menilai bahwa madih nabawi sebagai genre baru justru menguat di abad ke-7 H melalui al-Būṣīrī dengan al-Burdah-nya yang melegenda.
Apapun pendapatnya, satu hal pasti: madih nabawi selalu menemukan momentumnya, baik di Timur maupun di Barat Islam. Dari Mesir hingga Maghrib, dari Syam hingga Andalusia, setiap penyair mewarisi satu hal yang sama: kerinduan kepada Rasulullah.
Sumber inspirasi madih nabawi tak pernah lepas dari Al-Qur’an dan sunnah, lalu diperkuat oleh literatur sirah. Nama-nama besar seperti Ibn Hishām, Ibn Isḥāq, al-Būṭī, al-Ghazālī, hingga al-Nadwī menjadi referensi utama. Puisi mereka bukan puisi kosong; ia berakar dari teks suci, dari sejarah, lalu mekar menjadi bunga-bunga estetika.
Bayangkan bagaimana gema “Ṭalaʿa al-badru ʿalaynā” masih kita nyanyikan hingga hari ini sebuah bukti bahwa madih nabawi bukan sekadar teks, tapi pengalaman spiritual kolektif umat. Di tangan para sufi, madih nabawi bahkan menjelma doa, dzikir, dan lantunan rindu.
Madih nabawi adalah tafsir rasa dari sirah nabawiyah. Jika kitab sirah memberi kita peristiwa, puisi memberi kita ruh peristiwa itu. Ia membuat kita bukan hanya tahu, tetapi juga merasa.
Maka, setiap bait madih nabawi sejatinya adalah ziarah: ziarah ruhani menuju sosok yang menjadi teladan sepanjang zaman Muhammad SAW.
***
Ket Gambar: Manuskrip langka ʿUyūn al-Athar karya Ibnu Sayyid al-Nās (w. 734 H) tersimpan di Perpustakaan Alexandria. Naskah ini pernah dimiliki Imam al-Buhūtī (w. 1051 H), lengkap dengan catatan tangan beliau, dan kini terjaga dengan baik setelah direstorasi. Di web tawaseen. com. Dr. Muhammad Sulaiman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar